Prosiding Pendidikan Dokter ISSN: X

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB I PENDAHULUAN. Mekanisme alergi tersebut akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen

BAB 1 PENDAHULUAN. dermatitis yang paling umum pada bayi dan anak. 2 Nama lain untuk

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang Permasalahan. Alergen adalah zat yang biasanya tidak berbahaya

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing,

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu,

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka Kematian Neonatus (AKN) di Indonesia mencapai 19 per 1.000

BAB I PENDAHULUAN. Reaksi alergi dapat menyerang beberapa organ dan pada setiap kelompok usia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Alergi merupakan respon imun yang abnormal dari tubuh. Reaksi alergi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. immunoglobulin E sebagai respon terhadap alergen. Manifestasi yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. usia anak. Anak menjadi kelompok yang rentan disebabkan masih. berpengaruh pada tumbuh kembang dari segi kejiwaan.

@UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Alergi merupakan penyakit yang sering terjadi pada balita. Prevalensi

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

Penyakit alergi pada bayi paling sering

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada. sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB I PENDAHULUAN. timbul yang disertai rasa gatal pada kulit. Kelainan ini terutama terjadi pada masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

REKOMENDASI IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA ALERGI SUSU SAPI

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB I PENDAHULUAN. paru-paru. Penyakit ini paling sering diderita oleh anak. Asma memiliki gejala berupa

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB VI PEMBAHASAN. Pada penelitian ini didapatkan insiden terjadinya dermatitis atopik dalam 4 bulan pertama

BAB I PENDAHULUAN. batu kapur merupakan kegiatan yang dapat memenuhi kebutuhan material dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang berbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

ABSTRAK GAMBARAN KEJADIAN DERMATITIS ATOPIK PADA BAYI DI RSU HERMINA KOTA BOGOR

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Alergi terjadi akibat adanya paparan alergen, salah satunya ovalbumin.

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit. peradangan kulit kronik spesifik yang terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan terjadi pada 2-3% anak di seluruh dunia. 4 Angka kejadian ASS di. mengenai topik ini belum begitu banyak dilakukan.

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

BAB I PENDAHULUAN. terutama pada anak, karena alergi membebani pertumbuhan dan perkembangan anak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT DIABETES MELITUS PADA ORANG DEWASA YANG DIRAWAT INAP DIRUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2014

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya penyempitan, penyumbatan, atau kelainan pembuluh nadi

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

ABSTRAK ANGKA KEJADIAN ALERGI MAKANAN DI KLINIK ALERGI R. S. IMMANUEL PERIODE APRIL 2002 SAMPAI DENGAN MARET 2003

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di

SKRIPSI GAMBARAN DERMATITIS ATOPIK PADA ANAK USIA 0-12 TAHUN YANG TERPAPAR ASAP ROKOK DI RUMAH SAKITGOTONG ROYONG SURABAYA

LAMPIRAN 1. Biaya Penelitian 1. Alergen / pemeriksaan Rp ,- 2. Transportasi Rp ,- 3. Fotokopi dll Rp

BAB I PENDAHULUAN UKDW. pada masa bayi, balita maupun remaja (Sidhartani, 2007).

PREVALENSI WHITE DERMOGRAPHISM PADA DERMATITIS ATOPIK DI POLI ANAK KLINIK PRATAMA GOTONG ROYONG SURABAYA

PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH RHESUS

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

ABSTRAK GAMBARAN PASIEN KANKER PARU DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2013 DESEMBER 2014

Kejadian Ikterus Pada Bayi Baru Lahir Di RSUP H.Adam Malik Medan Dari Tahun

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan di Indonesia tepatnya Jakarta pusat didapatkan 25.5% anak yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan

Selama berabad-abad orang mengetahui bahwa penyakit-penyakit tertentu tidak pernah menyerang orang yang sama dua kali. Orang yang sembuh dari

BAB I PENDAHULUAN. bahan kimia atau iritan, iatrogenik, paparan di tempat kerja atau okupasional

ABSTRAK. Aisyah,2012; Pembimbing I : Dr. Savitri Restu Wardhani,dr.SpKK Pembimbing II: dr. Hartini Tiono, M.Kes

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit

BAB V PEMBAHASAN. anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. umumnya. Seseorang bisa kehilangan nyawanya hanya karena serangan

PROFIL PASIEN RHINITIS ALERGI DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA TAHUN 2013

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

Peran Hipersensitivitas Makanan pada Dermatitis Atopik

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK PASIEN RAWAT INAP DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2012

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB 1 PENDAHULUAN. Diare merupakan penyebab kedua kematian pada anak usia dibawah 5. terdapat 1,7 milyar kasus diare baru pertahunnya (WHO, 2013).

PREVALENSI GEJALA RINITIS ALERGI DI KALANGAN MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN

GAMBARAN GEJALA KLINIK, HEMOGLOBIN, LEUKOSIT, TROMBOSIT DAN WIDAL PADA PENDERITA DEMAM TIFOID DENGAN

Transkripsi:

Prosiding Pendidikan Dokter ISSN: 2460-657X Gambaran Manifestasi Klinis Alergi Susu Formula pada Usia 1 6 Bulan di Rumah Sakit Al-Ihsan Bandung Periode 2013 2015 Representation Of Cow Milk Allergy Clinical Manifestation In Pediatric Patients 1 6 Months at Al-Ihsan Hospital period 2013 2015 1 Ilmawati Candraini, 2 Yuli Susanti, 3 Zulmansyah. 1 Prodi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Bandung 2 Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Bandung 3 Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Bandung Jl. Tamansari No.22, Bandung 40116 email: 1 ilmawati.candraini@gmail.com, 2 susanti.yuli@yahoo.com, 3 zulluz812@yahoo.com Abstract. Cow s Milk Allergy is one of the most common disease of food allergies in childhood about 2-7.5%. This reaction can be caused by hypersensitivity type I. Clinical manifestations of cow s milk allergy may appear in the organs of the respiratory tract, gastrointestinal tract, and skin. This study aims to describe the clinical manifestation in pediatric patients 0-6 months who suffer from cow s milk allergy at Al-Ihsan Hospital Bandung period 2013 2015. The study was observational descriptive with 51 sample were taken by total sampling method from medical records. The result of this research are cough 41%, diarrhea 27%, common cold 20%, dermatitis 8.57%, and vomit 2.86%. Total respondent of male 78.43% and female 21.57%. Cough is the most common clinical manifestations in cow s milk allergy. Hypersensitivity type I in respiratory resulted that the respiratory system becomes more sensitive than the other organ systems. Keywords: Allergy, Cow s Milk Allergy Abstrak. Alergi susu formula merupakan penyakit alergi makanan tersering pada anak yaitu sekitar 2-7.5%. Reaksi ini dapat diakibatkan oleh hipersensitivitas tipe I. Manifestasi klinis alergi susu formula dapat muncul pada organ saluran napas, saluran cerna, dan kulit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran manifestasi klinis pada pasien anak usia 0-6 bulan yang menderita alergi susu formula di Rumah Sakit Al-Ihsan Bandung periode 2013-2015. Penelitian adalah observasional deskriptif, dengan total sampel 51 orang yang diambil dengan metode pengambilan sampling jenuh berupa rekam medis. Hasil penelitian didapatkan manifestasi klinis alergi susu formula yaitu batuk 41%, diare 27%, pilek 20%, dermatitis 8.57%, dan muntah 2.86%. Jumlah responden laki-laki 78.43% dan perempuan 21.57%. Batuk merupakan manifestasi klinis terbanyak. Proses hipersensitivitas tipe I pada saluran napas menjadikan sistem pernapasan lebih sensitif dibandingkan sistem organ lainnya. Kata Kunci: Alergi, Alergi Susu Formula 447

448 Ilmawati Candraini, et al. A. Pendahuluan Berdasarkan data dari World Allergy Organization (2011) terdapat 22% penduduk dunia menderita alergi dan terus meningkat setiap tahun. Menurut penelitian (Tanakusumah et al. 2015) di Poli Alergi Imunologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) terdapat 30% responden alergi makanan, dan jenis makanan yang paling banyak menyebabkan alergi pada anak-anak adalah susu formula dan tepung terigu yaitu sebesar 10,3 %. Berdasarkan Ikatan Dokter Indonesia (2010) menyatakan bahwa reaksi alergi terhadap susu formula sekitar 2-7,5%. Sebagian besar reaksi alergi susu formula diperantarai oleh IgE dengan prevalensi 1,5%, sedangkan sisanya adalah tipe non Ig-E. Penelitian (Munasir et al. 2013) menyatakan bahwa gejala akibat alergi susu formula adalah gejala saluran napas 51,5%, kulit 48,7%, saluran cerna 39,3% dan lain-lain 7,3%. Menurut penelitian (Siregar, 2001), alergen tersering pada alergi makanan adalah glikoprotein dengan berat molekul antara 10.000 60.000 Dalton. Antigen yang tersering pada susu formula adalah casein dan whey, dengan jumlah tertinggi yaitu casein sekitar 76%-86%. Menurut (Sugiatmi, 2012), gejala pada reaksi alergi sesuai dengan target organ. Jika organ sasarannya paru-paru maka bisa menimbulkan batuk atau sesak, dan jika terjadi pada kulit akan menjadi dermatitis atopik. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, manifestasi klinis alergi susu formula yang paling sering diketahui adalah dari sistem pencernaan dan sistem kulit, namun terdapat manifestasi klinis lain yang belum diketahui yaitu pada sistem pernapasan. Maka perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: Bagaimana gambaran manifestasi klinis pada pasien anak usia 1 6 bulan yang menderita alergi susu formula di RS Al-Ihsan Bandung?. Selanjutnya, tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui gambaran manifestasi klinis pada pasien anak usia 1 6 bulan yang menderita alergi susu formula di RS Al-Ihsan Bandung. B. Landasan Teori Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan sel mast. Reaksi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada umumnya tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut alergen. Faktor penyebab alergi diantaranya yaitu riwayat alergi pada keluarga akan meningkatkan risiko alergi lain, seperti rhinitis alergi, dan asma. Transmisi alergi bisa terjadi melalui interaksi antara ibu dan anak saat kehamilan. Patogenesis yang sering terjadi pada kejadian alergi yaitu IgE mediated dengan adanya reaksi hipersensitivitas dari pajanan tertentu. Atopy dapat terjadi bukan karena penyakit tertentu, namun karena pajanan alergi yang berulang. Selain atopy yaitu lingkungan. Lingkungan sangat berpengaruh untuk terjadinya suatu alergi. Polusi udara merupakan primary suspect tersebarnya alergi melalui udara seperti asma. (Wistiani & Notoatmojo: 2011) Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan, serta merupakan respon imunologis terhadap antigen makanan spesifik, sebagian besar reaksi ini melalui reaksi hipersensitivitas tipe I. Terdapat batasan yang dibuat oleh American Academy of Allergy and Immunology dari The National Institute of Allergy and Infections Disease, yaitu: Volume 2, No.2, Tahun 2016

Gambaran Manifestasi Klinis Alergi Susu Formula pada Usia 449 Gambar 1 Adverse Food Reaction Dikutip dari Alergi Makanan, Diet, dan Autisme, 2005. Menurut (Judarwanto, 2016) jika terjadi keracunan makanan maka reaksi toksis yang terjadi. Namun jika non toksis maka terjadi reaksi imunologis dan non imunologis. Hal itu dilihat berdasarkan etiologi. Sebagian besar reaksi alergi makanan melalui reaksi hipersensitivitas tipe I. Reaksi yang terjadi bisa cepat dan lambat. Reaksi cepat akan terjadi pada saluran cerna, saluran pernapasan, kulit, mata, jantung, pembuluh darah, serta reaksi anafilaksis. Reaksi cepat dapat terjadi pada menit hingga beberapa jam setelah terpajan alergen. Sedangkan reaksi lambat dapat terjadi seperti dermatitis atopic serta pada saluran cerna. Reaksi lambat dapat timbul lebih dari delapan jam setelah terpajan alergen. Perbedaan dengan intoleransi makanan adalah gejala selalu terjadi pada pencernaan dikarenakan partikel yang kontak dengan saluran pencernaan. Faktor penyebab alergi makanan diantaranya genetik, imaturitas usus, pajanan alergi. Alergi dapat diturunkan dari orang tua atau keluarga penderita. Pada saat usia imatur, sistem pertahanan tubuh tersebut masih lemah sehingga gagal berfungsi untuk menahan alergen. Alergen akan secara mudah masuk ke dalam tubuh. Pada bayi baru lahir, sel yang mengandung IgA merupakan immunoglobulin utama yang disekresi secara eksternal, tidak sering ditemui di saluran cerna. Dalam perkembangan usia akan meningkat sesuai dengan maturasi sistem kekebalan tubuh. Hal ini menyebabkan reaksi alergi makanan sebagian besar terjadi selama tahun pertama kehidupan. Alergi susu sapi adalah suatu reaksi yang tidak diinginkan yang diperantarai secara imunologis terhadap protein susu sapi. Klasifikasi alergi susu sapi diantaranya terbagi menjadi dua, yaitu: 1. IgE mediated, yaitu: Alergi susu sapi yang diperantarai oleh IgE. Gejala klinis timbul dalam waktu 30 menit sampai 1 jam. Sangat jarang terjadi dalam waktu kurang dari 2 jam dari mengkonsumsi susu sapi. Manifestasi klinis yang terjadi diantaranya, urtikaria, angioedema, ruam kulit, dermatitis atopic, muntah, nyeri perut, diare, rinokonjungtivitis, bronkospasme, dan reaksi anafilaksis. 2. Non-IgE mediated: Alergi susu sapi yang tidak diperantarai oleh IgE, tetapi diperantarai oleh IgG dan IgM. Gejala klinis timbul lebih lambat 1-3 jam setelah mengkonsumsi protein susu sapi. Protein susu sapi adalah alergen tersering pada anak. Susu sapi mengandung sedikitnya 20 komponen protein yang dapat merangsang produksi antibodi manusia. Pendidikan Dokter, Gelombang 2, Tahun Akademik 2015-2016

450 Ilmawati Candraini, et al. Protein susu sapi terdiri dari dua fraksi, yaitu casein dan whey. Fraksi casein yang membuat susu berbentuk kental dan merupakan 76% sampai 86% dari protein susu sapi. Saluran cerna berfungsi untuk memproses makanan yang dikonsumsi menjadi bentuk yang dapat diserap dan digunakan untuk energi dan pertumbuhan sel. Selama proses berlangsung, mekanisme imunologi dan non-imunologi yang berperan dalam pencegahan masuknya antigen asing ke dalam tubuh. Pada bayi baru lahir, kadar siga dalam usus masih rendah sehingga antigen mudah menembus mukosa usus dan kemudian dibawa ke aliran darah sistemik. Menurut (Hill et al. 1997) membagi alergi susu sapi menjadi tiga kelompok, yaitu: 1. Kelompok I: timbul beberapa menit setelah memakan makanan yang jumlahnya sedikit. Gejala biasanya berupa urtikaria, angioedema, eksaserbasi eksema, dan gejala saluran napas. 2. Kelompok II: timbul beberapa jam setelah memakan makanan yang jumlahnya cukup banyak. Gejala pada saluran cerna berupa muntah dan diare. 3. Kelompok III: timbul lebih lama hingga 20 jam kemudian dan jumlah yang diminum sangat banyak. Gejala muntah, diare, gejala saluran napas, dan eksaserbasi eksema. Berdasarkan kelompok di atas, perjalanan penyakit dapat berubah, misalnya dari kelompok I menjadi kelompok II atau sebaliknya. Pendekatan diagnosis untuk alergi susu sapi tipe IgE-mediated adalah dengan melihat gejala klinis yang didiagnosis dari anamnesis, diantaranya melihat jangka waktu timbul gejala setelah minum susu sapi, jumlah susu yang diminum, riwayat penyakit atopi, gejala klinis pada kulit, saluran napas, dan saluran cerna. Uji IgE spesifik yaitu uji tusuk kulit atau uji Radio Allergo Sorbent Test/RAST juga dilakukan. Jika hasil yang didapatkan positif maka akan dilakukan eliminasi (penghindaran) makanan yang mengandung protein susu sapi. Jika hasil negatif maka dapat diberikan kembali makanan yang mengandung protein susu sapi. Untuk diagnosis pasti dapat dilakukan uji eliminasi dan provokasi. Pendekatan diagnosis untuk alergi susu sapi non IgE-mediated adalah dengan adanya riwayat alergi terhadap protein susu sapi, diet eliminasi dan uji provokasi makanan. Susu formula adalah susu bayi yang berasal dari susu sapi yang telah diformulasikan sedemikian rupa sehingga komposisinya mendekati ASI. Pada manusia dan susu sapi terdapat lemak sekitar 4% dari volume susu serta terdapat komponen lain seperti kolesterol, fosfolipid, hormone steroid. Casein dan whey merupakan zat yang terdapat pada susu sapi. Whey merupakan protein susu yang terdiri dari lactoferin, -lactalbumin, dan secretory immunoglobulin A(s-Ig-A), sejumlah kecil ion sodium, potassium, dan klorida, sitrat, kalsium, fosfat bebas dan air. Casein dari susu sapi biasanya didapat dari presipitasi rennin yang digunakan untuk pembuatan keju saat whey banyak digunakan. Casein merupakan bahan dasar dari susu formula. Berdasarkan tabel di bawah ini dapat dilihat komposisi susu sapi yang terdapat pada susu formula. Volume 2, No.2, Tahun 2016

Gambaran Manifestasi Klinis Alergi Susu Formula pada Usia 451 Komposisi Karbohidrat a. Lactose b. Oligosaccharides Protein c. Casein d. -lactalbumin e. Lactoferrin f. Secretory IgA g. -lactoglobulin Lemak Susu h. Triglycerides i. Phospolipids Tabel 1. Komposisi Susu Formula 4.0 g/dl -1 0.1 g/dl -1 2.6 g/dl -1 0.2 g/dl -1 0.5 g/dl -1 4.0% 0.04% Kadar Mineral j. Sodium 15 mm k. Potassium 43 mm l. Chloride 24 mm m. Calcium 30 mm n. Magnesium 5 mm o. Phosphate 11 mm p. Bicarbonate 5 mm Dikutip dari Neonatal Nutrition and Metabolism, Edisi Kedua, 2006. Terdapat perbedaan pertumbuhan antara bayi yang mendapat ASI dan yang mendapat susu formula. Hal yang mencetuskan alergi susu formula adalah dari protein casein dan whey. SIgA yang terdapat dalam ASI memberikan proteksi lokal pada mukosa traktus digestivikus. Selain itu di dalam ASI terdapat zat penangkal penyakit yang berupa factor selular dan factor humoral. SIgA tersebut selain memberi proteksi juga berfungsi sebagai penangkal alergen. C. Hasil Penelitian dan Pembahasan Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa selama periode 2013 2015 terdapat 51 pasien berusia 1 6 bulan yang didiagnosis alergi susu formula di Rumah Sakit Al-Ihsan Bandung. Karakteristik responden berdasarkan usia dan jenis kelamin terdapat pada Tabel 2 berikut ini. Identitas Responden Tabel 2. Karakteristik Responden Distribusi Responden Frekuensi Persentase (%) Usia 1-2 bulan 13 25.50 2-3 bulan 5 9.80 Pendidikan Dokter, Gelombang 2, Tahun Akademik 2015-2016

452 Ilmawati Candraini, et al. 3-4 bulan 10 19.61 4-5 bulan 6 11.76 5-6 bulan 17 33.33 Jumlah 51 100.00 Jenis Kelamin Laki-laki 40 78.43 Perempuan 11 21.57 Jumlah 51 100.00 Dari Tabel 2 diatas menunjukkan karakteristik responden berdasarkan usia bahwa responden terbanyak pada usia 5 sampai 6 bulan (33.33%). Sedangkan berdasarkan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki (78.43%). Sistem Organ Tabel 3. Proporsi Manifestasi Klinis Alergi Susu Formula Manifestasi Klinis Alergi Susu Formula Frekuensi % Sistem Pernapasan Batuk 29 41.00 Pilek 14 20.00 Sistem Pencernaan Diare 19 27.00 Muntah 2 2.86 Sistem Dermatologis Dermatitis 6 8.57 Jumlah 70 100 Berdasarkan hasil penelitian terhadap pasien berusia 0 6 bulan yang rawat jalan di Rumah Sakit Al-Ihsan Bandung periode 2013 2015 manifestasi klinis terbanyak adalah batuk. Batuk merupakan salah satu manifestasi klinis alergi susu formula dari sistem pernapasan. Hal ini cocok dengan penelitian (Munasir, 2013) menyatakan bahwa gejala akibat alergi susu formula adalah gejala saluran napas 51,5%, kulit 48,7%, saluran cerna 39,3% dan lain-lain 7,3%. Batuk yang dikeluhkan adalah batuk berulang. Batuk kronik berulang adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh berbagai etiologi dengan gejala batuk yang berlangsung sekurang-kurang dua minggu berturut-turut dan atau paling sedikit tiga episode dalam tiga bulan dengan atau tanpa disertai gejala respiratorik/non-respiratorik lainnya. Alergen dalam bentuk partikel akan disalurkan menuju nasal epithelium karena proporsinya yang besar dalam bentuk partikel akan mengenai membran mukosa. Hal ini dapat terjadi dikarenakan protein dari susu formula yang merupakan alergen tidak terdigesti seluruhnya, tetapi akan masuk ke sirkulasi. Asosiasi HLA pada alergi juga berperan pada sensitisasi yang spesifik terhadap alergen. HLA-linked control berhubungan dengan mekanisme inflamasi dari reaksi hipersensitivitas tipe I. Proses inflamasi ini akan mengakibatkan terjadinya edema pada mukosa saluran nafas, sehingga akan tejadi batuk. Rekruitment dari sel mast pada paru-paru akan berpindah dari subepithelium pada epithelium dimana basophil muncul dalam nasal mucus. Hal ini mengakibatkan sistem pernapasan menjadi lebih sensitif. Batuk yang terjadi hampir selalu diikuti dengan hidung tersumbat. Selain itu terjadi obstruksi trakeobronkial yang menyebabkan terjadi peningkatan mukus. Peningkatan mukus dapat terjadi karena adanya reaksi hipersensitivitas tipe I yang Volume 2, No.2, Tahun 2016

Gambaran Manifestasi Klinis Alergi Susu Formula pada Usia 453 menyebabkan peningkatan IgE spesifik pada sel mast dan basophil yang akan mengikat antigen dan mengeluarkan berbagai macam mediator inflamasi. Mediator inflamasi yang dikeluarkan akan meningkatkan respon peradangan lokal sehingga mukus akan meningkat dan terjadi hidung tersumbat disertai batuk. Menurut penelitian (Hanum, 2013), gejala alergi susu formula pada saluran nafas sering terjadi bersin dan pilek. Diare merupakan manifestasi klinis terbesar kedua dengan persentase 27%. Diare muncul akibat reaksi hipersensitivitas tipe III, dimana reaksi ini berlangsung beberapa jam setelah terpapar antigen. Menurut (Subagyo, 2009), reaksi gastrointestinal dapat terjadi 6 jam setelah pemaparan. Gejala yang ditimbulkan berupa muntah dan diare. Hal ini terjadi dengan meningkatnya IgM dan sel plasma IgA. Selain itu terjadi pula peningkatan lokal IgG dan C3 di dalam jaringan ikat subepitelial yang menunjukkan adanya reaksi kompleks imun. Pada tahap ini akan mulai terlihat kerusakan enterosit yaitu mikrovili yang menjadi tidak teratur, peningkatan lisosom dan pembengkakan mitokondrial. Kerusakan enterosit tersebut yang akan menyebabkan diare pada pasien alergi susu formula. Hipersensitivitas tipe IV juga dapat mengakibatkan kerusakan mukosa usus yang berat. Delayed type hypersensitivity reaction merupakan reaksi yang ditimbulkan oleh antigen dengan limfosit T spesifik terhadap antigen tersebut. Antigen akan menembus mukosa usus melalui plaques payeri, lalu ditangkap sel APC, sel dendritic atau makrofag. Sel T yang mengikat MHC II akan memacu Th1 untuk menghasilkan IFN- yang menyebabkan peradangan dan kerusakan mukosa usus. Muntah terjadi disertai dengan diare. Hal ini dikarenakan adanya kerusakan enterosit pada usus karena alergi susu formula yang menyebabkan terangsangnya saraf vagus sehingga mengakibatkan gejala muntah. Pasien yang mengeluhkan gejala dermatitis pada penelitian ini termasuk sedikit yaitu 9%. Menurut (Sampson & Siregar, 2001) bahwa dermatitis sedang dan berat diakibatkan oleh IgE mediated makanan, setelah diberikan diet eliminasi gejala dermatitis akan membaik. Dermatitis yang terjadi pada pasien mengeluhkan kemerahan pada kulit wajah, leher, dan ekstremitas. Reaksi dermatitis dapat diakibatkan oleh hipersensitivitas tipe I. Peningkatan IgE spesifik pada sel mast dan basophil yang akan mengikat antigen kemudian mengeluarkan berbagai macam mediator. Dari mediator inilah terjadi kemerahan pada kulit. D. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dalam penelitian ini, peneliti menyimpulkan bahwa gambaran manifestasi klinis alergi susu formula pada pasien anak usia 0-6 bulan di RS Al-Ihsan Bandung adalah batuk (41%), diare (27%), pilek (20%), dermatitis(8.57%), dan muntah (2.86%). E. Saran Saran pada penelitian ini sebagai berikut. 1. Bagi peneliti lain dapat menambah jumlah sampel dengan memperluas daerah penelitian. 2. Penelitian lebih lanjut dapat melakukan analisis hubungan pada setiap manifestasi klinis. 3. Terdapat kesesuaian antara data komputerisasi dengan rekam medis fisik pada rumah sakit. Pendidikan Dokter, Gelombang 2, Tahun Akademik 2015-2016

454 Ilmawati Candraini, et al. Daftar Pustaka Candra, Yolanda dan Asih Setiarini IR. 2011. Gambaran Sensitivitas Terhadap Alergen Makanan. Makara Kesehatan. 15(1), pp. 44 50. Prabantini, Dwi. 2010. Makanan Pendamping ASI A to Z. Yogyakarta: Penerbit CV. Andi Offset. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diagnosis dan tata laksana alergi susu sapi IDAI Edisi 1. 2010. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. Munasir, Zakiudin dkk. 2013. Studi Observasional Pasca-pemasaran Formula Isolat Protein Kedelai Pada Bayi Dengan Gejala Sugestif Alergi Terhadap Protein Susu Sapi. Siregar, Sjawitri. 2001. Alergi Makanan Pada Bayi Dan Anak. 3(3), pp. 168 74. Sugiatmi. 2012. Alergi Makanan. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. 8(2), pp. 87 155. Notoatmojo, Wistiani. 2011. Hubungan Pajanan Alergen Terhadap Kejadian Alergi Pada Anak. Sari Pediatri. 13(3), pp. 185 90. Rudolph E dkk. 2002. Rudolph Pediatrics 21 Edition. California: Mc Graw Hill. Tanukusumah M, dkk. 2015. Prevalensi Alergi Makanan Pada Anak Usia Kurang Dari 3 Tahun Di Jakarta Berbasis Survei Dalam Jaringan/Online. 16(5), pp. 365 74. Judarwanto, Widodo. 2005. Alergi Makanan, Diet Dan Autisme. Thureen, Patti dan Hay Jr, William. 2006. Neonatal Nutrition and Metabolism. America: Cambridge University. Suradi, Rulina. 2001. Spesifisitas Biologis Air Susu Ibu. 3(3), pp. 125-129. Lubis, Helmi. 2005. Batuk Kronik Dan Berulang Pada Anak. Sumatera: Universitas Sumatera Utara. Subagyo, B. 2009. Manifestasi Klinis Cow s Milk Protein Allergy Pada Saluran Gastrointestinal, Diagnosis Dan Tatalaksana Pada Anak. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Surakarta. Hanum, Yuspa dan Tukiman. 2013. Dampak Susu Formula Terhadap Kesehatan Bayi. Jurnal Keluarga Sehat Sejahtera. 11(22), pp. 50-57. Volume 2, No.2, Tahun 2016