PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN

dokumen-dokumen yang mirip
POLICY BRIEF. Kajian Peran Organisasi Petani Dalam Mendukung Pembangunan Pertanian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

2.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Manajemen Sumberdaya Manusia Pentingnya Manajemen Sumberdaya Manusia

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian, pengumpulan data, analisis, dan penyajian hasil penelitian. Penulisan

PENGORGANISASIAN SECARA PERSONAL DAN GEJALA INDIVIDUALISASI ORGANISASI SEBAGAI KARAKTER UTAMA PENGORGANISASIAN DIRI PETANI DI INDONESIA

akibatnya fenomena seperti ini menjadi hal yang berdampak sistemik. Tawuran pelajar yang

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU

KAJIAN PERAN ORGANISASI PETANI DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN

BAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi

BAB I PENDAHULUAN. Paradigma pendidikan di Indonesia sudah semakin berkembang dari

BAB I PENDAHULUAN. penghargaan atas kebhinekaan dan sejarah nusantara. Daerah Istimewa

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan. tujuan dri pembangunan itu sendiri. Dalam dunia usaha yang selalu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. berjalannya suatu perusahaan. Karena setiap perusahaan didirikan untuk mencapai

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Melalui penelitian ini dapat dihasilkan beberapa temuan. Pertama, dari

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

ORGANISASI IRIGASI DALAM OPERASIONAL DAN PERAWATAN IRIGASI i

BAB II KAJIAN PUSTAKA. semua warga menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat,

BAB I PENDAHULUAN. demorasi secara langsung, desa juga merupakan sasaran akhir dari semua program

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang

BAB I PENDAHULUAN. vital dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai bentuk simbol, teorema, dalil,

Oleh: Novianto Murti Hantoro Sulasi Rongiyati Denico Doly Monika Suhayati Trias Palupi Kurnianingrum

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Pada kenyataannya saat sekarang ini ekonomi pasar

BAB I PENDAHULUAN. Kinerja seorang guru merupakan komponen yang sangat menentukan

Internalisasi ASEAN dalam Upaya Penguatan Integrasi Kawasan Abstrak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. individual sendiri tetapi juga mencakup perilaku ekonomi yang lebih luas, seperti

BAB I PENDAHULUAN. STUDI ini secara garis besar memotret implementasi program LSM H2O (Human

BAB I PENDAHULUAN. makmur, sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Marilah kita kaji sejenak arti kata belajar menurut Wikipedia Bahasa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Oka Nazulah Saleh, 2013

BAB VI PENUTUP. manusia. Pada sisi lainnya, tembakau memberikan dampak besar baik bagi

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memungkinkan terjadinya integritas sosial, merupakan hubungan-hubungan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. nilai budaya, memberikan manfaat/benefit kepada masyarakat pengelola, dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Savitri Purbaningsih, 2013

KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM MENANGANI TINDAK KEKERASAN ANAK BERBASIS GENDER DI KOTA SURAKARTA

MENGENAL HUBUNGAN PATRON-KLIEN

Berikut adalah analisis dari hasil penelitian yang didapat dari wawancara dengan

BAB I PENDAHULUAN. bentuk tempat dan cara pengelolaannya, dari yang bersifat tradisional menjadi

BAB IV KESIMPULAN. dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman,

I. PENDAHULUAN. timbul pada diri manusia. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. kewilayahan dalam penelitian ini merujuk desain penelitian deskriptifkualitatif,

MATERI KULIAH PENGANTAR ILMU HUKUM MATCH DAY 25 ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU KENYATAAN (BAGIAN 1)

ORIENTASI KONSEP PO YUDHA PRAKASA, S.AB, M.AB L/O/G/O

PARADIGMA MESIN PEMBANGUNAN UNTUK PERKEMBANGAN DAERAH 1. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Bab I Pendahuluan. Mahasiswa erat hubungannya dengan tugas perkuliahan. Menurut pandangan Kusuma

III METODE PENELITIAN

BAB VI PENUTUP. dilakukan dalam proses pengurangan Risiko bencana di wilayah rawan bencana. Kabuaten Sinjai, dapat disimpulkan temuan sebagai berikut;

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu-membantu untuk

METODOLOGI. Hutan untuk Masa Depan Pengelolaan Hutan Adat di Tengah Arus Perubahan Dunia

I. PENDAHULUAN. Sejarah menunjukkan bahwa kemajuan dan kesejahteraan bangsa ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Para kepala sekolah, guru, warga sekolah, stakeholder sekolah atau yang

BAB II KAJIAN TEORI. A. Lembar Kerja Siswa (LKS) 1. Pengertian LKS. Untuk memahami maksud LKS, terlebih dahulu diuraikan mengenai

BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

Sosiologi Pendidikan Sosiologi Politik Sosiologi Hukum Sosiologi Agama Sosiologi Komunikasi

BAB VI KOMUNITAS DIBO-DIBO SEBAGAI JARINGAN YANG HIDUP

BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI. Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM. dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei, teori ini

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri dalam menghadapi globalisasi dibidang perekonomian seperti

pertama di lapangan. Dalam penelitian ini, untuk mengetahui informasi terkait strategi

SISTEM. Oleh: Syahyuti Sunarsih Ahmad Makky. Ar-Rozi Sri Suharyono Sugiarto

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VII KESIMPULAN. dan berkuasa dalam aspek pendidikan dan politik, bahkan dipandang lebih superior

dipersyaratkan untuk terselenggaranya tata kelola pemerintahan secara efektif dan efisien serta mampu mendorong terciptanya daya saing daerah pada tin

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan di Indonesia masih belum selesai dengan problematika sarana dan

BAB II METODOLOGI PENDAMPINGAN A. PENGERTIAN PARTICIPATORY ACTION RESEARCH. Participatory Action Research (PAR). Dalam buku Jalan Lain, Dr.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan esensi dari sebuah pendidikan. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. orang-orang dalam bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang telah

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS. Menurut Darwyn Syah (2007:133), bahwa metode pembelajaran merupakan

2015 MANFAAT HASIL BELAJAR MATA KULIAH PROYEK DESAIN MODE SEBAGAI KESIAPAN MENJADI FASHION VISUAL MERCHANDISER

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Keterbelakangan menurut Chamber (1987) ialah rasa tidak berdaya

BAB I PENDAHULUAN. merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkat

BAB V PENUTUP. telah berdaya dan yang belum berdaya, treatment pembiayaan berjenjang,

2014 PENGARUH BUDAYA SEKOLAH TERHADAP EFEKTIVITAS PROSES PEMBELAJARAN DI SMA NEGERI KOTA CIMAHI

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. bagian akhir bab ini menjelaskan tentang keterbatasan-keterbatasaan dan saran untuk

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan

BAB I PENDAHULUAN. Sosiologi pada dasarnya mempunyai dua pengertian dasar yaitu sebagai

Bagian Pertama: PENDEKATAN EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB V PENUTUP. Penelitian ini pada akhirnya menunjukan bahwa pencapaian-pencapaian

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era keterbukaan dan globalisasi yang sudah terjadi sekarang yang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap organisasi memiliki berbagai tujuan. Untuk mencapai tujuannya,

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. situasi kondisi yang tengah berlangsung sekarang ini, tujuannya mencoba

BAB I PENDAHULUAN. Hampir di setiap sudut kota Yogyakarta dapat dijumpai lukisan-lukisan yang

Komunikasi dan Politik 1 Oleh : Adiyana Slamet, S.Ip., M.Si

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB VII REFLEKSI DAN KESIMPULAN

BAB I PENDAHULUAN Konteks Penelitian. Dalam kehidupan sehari- hari kita tidak dapat terlepas untuk berinteraksi

Transkripsi:

PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN Oleh : Budi wardono Istiana Achmad nurul hadi Arfah elly BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2014

RINGKASAN Pemberdayaan petani selama ini terperangkap secara teori dan praktek karena menggunakan paradigma yang sempit, dimana organisasi formal merupakan satu-satunya strategi. Pandangan ini lahir dari bangun Teori Organisasi (Organization Theory) yang ilmunya diturunkan dengan mempelajari organisasi bisnis modern industrial, dari organisasi-oranisasi petani yang berhasil di negara maju, serta organisasi petani di negara berkembang yang dibatasinya hanya pada yang kondisinya tergolong bagus (success story). Dengan basis pendekatan ini, maka pendirian kelompok-kelompok petani yang telah mulai dijalankan semenjak tahun 1970-an sampai sekarang di Indonesia, sangat sedikit yang berjalan sesuai harapan. Demikian pula, analisis yang dilakukan kalangan akademisi tidak mampu menemukan akar permasalahannya, karena membatasi hanya pada kerangka fikir teori organisasi. Berbeda dengan ini, penelitian berikut menggunakan konsep dan teori kelembagaan terutama pemahaman Kelembagaan Baru (New Institutionalism), dengan menjadikan relasi sosial (social relation) sebagai pokok perhatian. Dengan pendekatan ini, berhasil ditemukan berbagai pola pengorganisasian diri petani yang lebih elementer dibandingkan sekedar konsep organsiasi formal. Selain itu, juga mampu dilakukan analisis yang lebih mendasar, dan akhirnya cukup mampu memberikan solusi pengorganisasian petani ke depan yang lebih sesuai dengan kebutuhan petani sebagai aktor yang rasional dan aktif. Pertanyaan pokok penelitian ini adalah bagaimana petani mengorganisasikan dirinya dalam menjalankan usaha pertaniannnya? Dengan demikian, tujuan penelitian ini secara lebih detail adalah: (1) Mempelajari bentuk dan karakter pengorganisasian (dalam arti luas) diri petani, (2) Mempelajari lingkungan kelembagaan (institutional setting) yang menjadi latarnya, (3) Mempelajari proses pembentukan pengorganisasian yang terbangun, dan (4) Merumuskan bentuk dan pendekatan pengorganisasian petani yang lebih sesuai ke depan. Dalam studi ini dilakukan pengkonsepan baru (rekonseptulasisasi) berkenaan dengan konsep lembaga dan organisasi, mengikuti pemikiran sosiologi kelembagaan baru. Langkah ini penting dilakukan, karena selama ini ditemui ketidaksepakatan dan tumpang tindih dalam penggunaan kedua konsep tersebut, baik dalam literatur keilmuan maupun dokumen kebijakan pemerintah. Apa yang dimaksud dengan pengorganisasian diri petani dalam kajian ini adalah bagaimana petani membangun dan menjaga relasi-relasi di seputar dirinya dalam upaya menjalankan usaha pertaniannya sendiri. Relasi ini dapat berupa relasi individual di luar organisasi, dan dapat pula berupa relasi dalam organisasi. Dalam studi ini lembaga dirumuskan sebagai hal yang berisi norma, regulasi, dan kultural-kognitif yang menyediakan pedoman, sumber daya, dan sekaligus hambatan untuk bertindak bagi aktor. Selanjutnya, organisasi merupakan aktor dalam lembaga. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan etnografi, dan menerapkan beberapa metode pengumpulan data secara sekaligus, baik wawancara, observasi visual, maupun studi dokumen

dan artefak. Peneliti terlibat dan berpartisipasi dalam topik yang dipelajari, memperhatikan konteks sosial dari data, dan sensitif pada bagaimana subjek direpresentasikan dalam laporan (research text). Pada hakekatnya, peneliti mempelajari bagaimana subjek yakni petani - melihat dunia mereka, dan lalu mengkonstruksi dunianya tersebut. Dari pengumpulan data di lapang, peneliti menemukan bahwa meskipun tercatat ada belasan organisasi petani, namun sangat sedikit petani yang secara resmi namanya masuk dalam anggota organisasi. Selain itu, hampir tidak ada kebutuhan usaha pertanian petani yang mengandalkan pada aksi kolektif dalam organisasi dimana mereka menjadi anggotanya. Sehingga, secara umum petani hanya mengandalkan relasi-relasi individual berbasis non organisasi. Pengorganisasian diri ini mengandalkan pada basis komunitas dan mekanisme pasar, bukan organisasi formal seagaimana diinginkan pemerintah dan kalangan ahli pemberdayaan. Berdasarkan analisis kelembagaan, petani menjalankan usaha pertaniannya melalui pedoman norma dan regulasi, dengan melakukan pemaknaan aktif terhadapnya. Petani menjalin relasi-relasi sosial dengan berbagai pihak dengan berpedoman kepada panduan normatif komunitas, norma ekonomi dalam pasar, dan relasi dengan petugas pemerintah. Dalam kondisi ini, organisasi formal (kelompok tani, koperasi, Gapoktan, dan lain-lain) hanyalah salah satu sumber daya bagi petani yang bersama-sama unsur-unsur dalam lembaga dijadikan sebagai peluang, pedoman, serta batasan untuk berperilaku sehari-hari. Jika dalam berbagai teori pemberdayaan diyakini bahwa berorganisasi (secara formal) merupakan pilihan terbaik untuk petani kecil (small farmers), dari lapangan ditemukan bahwa untuk kondisi dan pemaknaan mereka terhadap kondisi yang dihadapi, lembaga cukup bagi petani untuk mengorganisasikan diri. Lembaga menjadi pedoman dan basis dalam membangun sejumlah relasi sosial bagi petani untuk menjalankan usahanya. Meskipun ada belasan organisasi dalam satu desa, tapi hampir semua relasi yang dijalankan petani, merupakan relasi individual, bukan suatu tindakan kolektif yang diwakilkan kepada organisasi. Ditemukan pula adanya kekaburan batas-batas klasifikasi antara lembaga dan organisasi, Jika dalam teori keduanya merupakan hal yang berbeda, namun unsur-unsur di dalamnya memiliki kesejajaran. Aspek regulatif, normatif, dan kultural-kognitif yang ada di lembaga juga hidup dalam organisasi. Aspek norma dan regulasi diformalkan menjadi peraturan-peraturan atau kesepakatan-kesepakatan yang lalu mengikat seluruh anggota organisasi. Demikian pula dengan aspek kultural-kognitif, dimana setiap anggota dalam organisasi adalah juga aktoraktor aktif yang tidak otomatis mematuhi semua aturan dan kesepakatan yang ia telah ikrarkan untuk diikuti. Dari temuan di lapangan, fenomena yang terjadi cenderung menembus batas-batas teoritis ini. Dalam organisasi milik petani, keberadaan lembaga juga hidup. Batas kultural antara petani yang ada dalam organisasi tidak berbeda dengan petani di luar. Hal ini sejajar dengan kondisi dimana organisasi-organisasi milik petani memiliki batas yang lemah dengan lingkungannya (=borderless). Selain bercirikan batas organisasi (organization bordering) yang kabur, organisasi petani juga terbuka dan terpengaruh oleh kultur lingkungan secara kuat, ranah organisasinya (organization field) sempit, berkembang kultur pragmatis dalam organisasi, serta menerapkan manajemen non formal.

Petani melekatkan diri pada masyarakat sebagai sebuah relasi yang mengandung prinsip-prinsip organisasi, dengan mempedomani dan dikontrol oleh lembaga. Demikianlah cara petani mengorganisasikan dirinya. Berlangsung proses yang saling mencampurkan (interplay) antara aspek regulatif, normatif dan kultural kognitif dengan organisasi formal. Lebih jauh, petani telah memberikan makna yang sama sekali baru terhadap organisasi, yang sungguh berbeda sebagaimana diinginkan oleh pemerintah. Bagi petani, organisasi dijadikan modal dalam membentuk dan menjaga relasi dengan aparat pemerintah. Petani tidak memberikan sikap resistensi, namun tetap mampu menarik manfaat dari relasi kuasa tersebut. Salah satu bentuk respon kreatif petani adalah dimana organisasi petani hanya dijalankan sejumlah kecil pengurus, sehingga muncul gejala individualisasi organisasi. Pola manajemen organisasi seperti ini meniru bentuk pengorganisasian masa lalu yang memberikan kewenangan dan peran pada seseorang saja (= pengorganisasian secara personal). Fenomena ini biasa ditemukan pada pengelolaan irigasi skala kecil yang disebut dengan Ulu-Ulu di Jawa Barat, Kapalo Banda di Sumatera Barat, dan Klian Subak di Bali, yang merupakan sebuah individual autonomous. Seseorang yang ditunjuk diberi wewenang penuh untuk mengelola irigasi, dan berhak merencanakan dan mengoperasionalkannya sehari-hari. Dapat dikatakan, temuan ini merupakan sesuatu yang baru yang selama ini tidak pernah diungkap oleh penelitian lain. Informasi dan hasil analisis dari lapangan menunjukkan bahwa organisasi formal tidak diterima petani sebagai pilihan dalam menjalankan usahanya. Dengan segala permasalahan dan pilihan yang mereka hadapi, relasi individual yang berbasiskan komunitas dan pasar terbukti lebih banyak dipilih petani. Temuan ini sedikit banyak dapat menjadi catatan, bahwa selain relasi individual ini perlu diperhatikan, petani dengan ciri seperti ini membutuhkan bangun organisasi yang berbeda. Bagi yang menerima kehadiran organisasi, organisasi dijalankan dengan menerapkan kultur yang pragmatis dengan mengkombinasikan antara prosedur formal dengan non formal secara kreatif. Jika dalam paham kelembagaan baru organisasi menjadi aktor pokok, dimana ketiga pilar lembaga lebih efektif bila dijalankan dalam organisasi, dan aktor dipersepsikan akan tunduk kepada aturan dalam organisasi dimana ia menjadi anggotanya; namun dari fakta di lapangan, kehadiran unsur-unsur lembaga jauh lebih kuat dibandingkan aturan-aturan dalam organisasi. Artinya, batasan organisasi (organization s boundary) sangat lemah, bahkan cenderung menyatu dengan unsur-unsur di lingkungannya. Tampaknya sikap yang mendikotomikan antara pendekatan negara dan pendekatan pasar perlu direvisi lebih jauh. Prinsip-prinsip pengorganisasian pasar dapat diadopsi oleh pelaku pemberdayaan, agar usaha pemberdayaan lebih efektif. Basis dari relasi yang digunakan petani merupakan kombinasi dari relasi-relasi yang berbasis sentimen primordial, relasi berbasis norma ekonomi pasar, serta relasi yang berbasis keorganisasian. Perlu ditekankan bahwa relasi-relasi berbasis pasar pada hakekatnya adalah sebuah organisasi dalam arti luas.

Dari sisi teori, relasi dalam organisasi merupakan bentuk ideal. Namun, dari kondisi lapangan, relasi individual di luar organisasi formal menjadi inti pengorganisasian diri petani. Temuan ini membutuhkan pendalaman lebih jauh dari kalangan akademisi, yang pada gilirannya akan dapat menjadi paradigma baru dalam pemberdayaan petani, terutama petani kecil dengan karakter khas Indonesia. Hal ini dapat dipandang sebagai sumbangan penting dalam teori lembaga dan organisasi, serta pemilahan yang paling banyak diacu dalam kegiatan pemberdayaan yakni konsep besar yang mengkategorikan antara tiga pelaku utama yakni masyarakat, pemerintah, dan pasar. Ke depan, sikap pemerintah selama ini yang menjadikan organisasi formal sebagai satu-satunya jalan dalam pemberdayaan, merupakan pendapat yang sudah waktunya direvisi. Pengorganisasian petani pada hakekatnya merupakan upaya untuk menjalankan tindakan kolektif, dengan keyakinan bahwa tindakan kolekif lebih murah dan efektif. Namun, dalam kondisi pelayanan pasar yang baik, tanpa tindakan kolekif telah dicapai kemudahan. Sesuai dengan pendekatan paham kelembagaan baru (New Institutionalism) perilaku petani dipersepsikan sebagai sebuah tindakan yang sadar dan rasional sesuai dengan konteks sosial politik yang mereka miliki dan berbagai kekuatan yang melingkupi mereka. Pengembangan keorganisasian usaha petani dimasa mendatang setidaknya perlu memperhatikan prinsip-prinsip: bahwa organisasi formal untuk petani hanyalah sebuah opsi belaka bukan keharusan, pengembangan organisasi memperhatikan prinsip multipurpose sehingga tidak lagi terikat pada egosubsektor dan keproyekan, organisasi hanyalah alat bukan tujuan, petani dihargai sebagai individu yang rasional dan pandai memahami kondisinya sendiri, dan bentuk keorganisasi yang ditawarkan ke petani adalah yang mampu memperkuat relasi-relasi horizontal sekaligus vertikal. Format pengorganisasian petani ke depan mencakup baik petani dalam organisasi maupun tidak. Untuk organisasi, mencakup organisasi dalam bentuk individual (individual organization) namun juga mencakup bagaimana rancangan antar organisasi petani, yang mencakup satu area tertentu secara horizontal dan vertikal. Secara umum, ada tiga level organisasi petani yang perlu dibangun, yakni level organisasi individual (individual organization), organisasi koordinasi (inter-group organization), dan organisasi pendukung (supporting group). Secara beriringan, lingkungan kelembagaan yang dibutuhkan untuk berkembangnya relasi-relasi individual tanpa organisasi formal, adalah agar aspek regulasi (yang dikeluarkan pemerintah) memberi ruang agar petani bisa tidak harus berorganisasi, serta dengan mendayagunakan sedemikian rupa elemen normatif dan kultural kognitif petani. Pada hakekatnya, penyusunan teori dan praktek pemberdayaan ke depan perlu berbasiskan cara berfikir petani yang merupakan aktor sesungguhnya dalam persoalan ini.