KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN

dokumen-dokumen yang mirip
PROFIL INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA UTARA IWAN RISNASARI, S. HUT PROGRAM ILMU KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Industri pengolahan kayu merupakan industri yang mengolah kayu atau

I. PENDAHULUAN. (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini

SISTEM PEMANTAUAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU DI ERA OTONOMI DAERAH

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Implikasi Kebijakan

PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU: STUDY KASUS DI SUMATRA SELATAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan alam yang

IV. GAMBARAN UMUM. yang yang hanya memiliki luas Ha sampai Ha saja.

Peluang Peredaran Kayu Bulat Illegal Dalam Tata Usaha Kayu Self Assessment

Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran Hutan Alam

VII. ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN Keterkaitan Sektor Berbasis Kehutanan

PENGUMPULAN DATA KEHUTANAN

Sektor kehutanan merupakan sektor yang memberikan kontribusi pang

A. PERKEMBANGAN IUPHHK-HA. 1. Jumlah HPH/IUPHHK-HA per Bulan Desember 2008 sebanyak 312 unit dengan luas ha.

ASPEK SOSIAL EKONOMI JENIS: SUNGKAI

lmplikasi Kebijakan Kenaikan DR.dan PSDH terhadap Laba Pengusaha Hutan Alam dan PNBP Sektor Kehutanan Ringkasan Rekomendasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

ARAHAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

mesin penggergajian untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi dan kualitas produk yang dihasilkan.

SISTEM HAK PENGUSAHAAN HUTAN DAN MANAJEMEN HUTAN. Oleh : Budi Nugroho

PERATURAN PEMEIRNTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1998 TENTANG PROVISI SUMBER DAYA HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VI. ANALISIS NILAI TAMBAH INDUSTRI PENGGERGAJIAN KAYU (IPK)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PEREDARAN DAN PENERTIBAN HASIL HUTAN KAYU DI KABUPATEN BARITO UTARA

Tabel V.1.1. REKAPITULASI PRODUKSI KAYU BULAT BERDASARKAN SUMBER PRODUKSI TAHUN 2004 S/D 2008

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI, KEGUNAAN DAN NILAI TAMBAH KAYU DARI HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN BOGOR

MENTERI KEHUTANAN, MEMUTUSKAN :

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia

PENDAHULUAN. Indonesia menyebabkan industri kehutanan mengalami krisis bahan baku.

BAB I PENDAHULUAN. unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta

Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor : P. 01/VI-BPPHH/2010 Tanggal : 7 Januari 2010

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

V. PRODUKSI HASIL HUTAN

Perkembangan Bisnis Kehutanan Indonesia dan Permasalahannya

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

KEPUTUSAN BUPATI KUTAI BARAT NOMOR: 08 TAHUN 2002 T E N T A N G

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

PENGUMPULAN DATA KEHUTANAN TRIWULANAN TAHUN 2017 TRIWULAN I : BULAN JANUARI MARET

POSTUR INDUSTRI DAN PERDAGANGAN PRODUK KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL

Perkembangan Bisnis Kehutanan Indonesia dan Permasalahannya

M E M U T U S K A N :

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

Catur Budi Wiati dan S. Yuni Indriyanti

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan serangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk memindahkan kayu. kayu dibedakan atas 4 (empat) komponen yaitu:

PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DENGAN SWAKELOLA DI INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bab I PENDAHULUAN. Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN REVITALISASI SEKTOR KEHUTANAN KHUSUSNYA INDUSTRI KEHUTANAN DAN HASIL YANG DICAPAI

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGUSAHAAN HUTAN NOMOR 135/KPTS/IV-PPHH/1998 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 317/KPTS-II/1999 TAHUN 1999 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

LUAS KAWASAN (ha)

PT. Nusantara Plywood untuk diolah menjadi suatu produk yang bernilai ekonomis

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG

PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN BERBASIS HUTAN TANAMAN penyempurnaan P.14/2011,P.50/2010, P.38 ttg SVLK) dan update peta P3HP.

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.393/MENHUT-II/2005 TENTANG

BAB III. METODE PENELITIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 3 OBJEK PENELITIAN. IKH termuat di dalam Akte Pendirian Perseroan. Akte ini telah disahkan oleh

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia

KATA PENGANTAR. Kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusunan buku ini kami ucapkan terima kasih.

I. PENDAHULUAN. Dalam masa menuju era globalisasi dan pasar bebas, kemajuan di bidang industri

BIAYA PRODUKSI PAKAN TERNAK

BIAYA PRODUKSI PAKAN TERNAK

BABI PENDAHULUAN merupakan salah satu prod uk dari industri pengolahan kayu hilir

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KEPUTUSAN GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR NOMOR: 09 TAHUN 2002 T E N T A N G IZIN KHUSUS PENEBANGAN JENIS KAYU ULIN GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009. Tentang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan industri memiliki peran yang penting sebagai motor penggerak

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 326/KPTS-II/1997 TENTANG

Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas

KAJIAN PEMASARAN KAYU JATI RAKYAT DI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 132 TAHUN 2010 TENTANG

2. Undang -undang No 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak; 3. Undang-undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

EVALUASI KEBIJAKAN YANG MENDISTORSI PASAR KAYU (An Evaluation of Policies Distorting Timber Market )

III. METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Persentase Produk Domestik Bruto Pertanian (%) * 2009** Lapangan Usaha

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (VLK) PADA HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT (HTR, HKm, HD, HTHR)

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 397/Kpts-II/2005

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK

KEPUTUSAN BUPATI KABUPATEN KUTAI NOMOR /HK-110/2002 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN PEMUNGUTAN DAN PEMANFAATAN KAYU RAKYAT BUPATI KUTAI,

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI

PENDAHULUAN. Latar Belakang

LAPORAN PERUBAHAN KE I RENCANA PEMENUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI (RPBBI) PRIMER HASIL HUTAN KAYU TAHUN 2010

PENGHITUNGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO SEKTOR KEHUTANAN

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA. Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D.

DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DI INDONESIA FOREST DEFORESTATION AND DEGRADATION IN INDONESIA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

STRATEGI PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN BADAN LITBANG KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah

Transkripsi:

KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN Oleh : Rachman Effendi 1) ABSTRAK Jumlah Industri Pengolahan Kayu di Kalimantan Selatan tidak sebanding dengan ketersediaan bahan baku kayu bulat yang dihasilkan. Hal ini mengakibatkan industri pengolahan kayu primer atau IPKH mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kebutuhan bahan baku industri tersebut sebagian besar dipasok dari luar Kalimantan ataupun antar propinsi di Kalimantan. Berdasarkan permasalahan tersebut maka kajian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang asal dan cara perolehan bahan baku kayu bulat serta mengetahui besarnya kebutuhan bahan baku kayu bulat untuk industri pengolahan kayu primer khususnya industri penggergajian dan kayu lapis. Hasil analisis dengan metode deskriptif diperoleh bahwa sumber bahan baku industri panel-panel kayu dan penggergajian (sawmill) adalah dari IUPHHK sendiri, membeli dari IUPHHK lain, dan dari IPK bagi IUPHH yang melaksanakan HTI. Kapasitas industri kayu primer sebesar 2.769.25 m per tahun dengan total kebutuhan bahan baku sebesar 4.75.686 m per tahun diperoleh dari produksi Kalimantan Selatan sebesar 80.69 m dan yang berasal dari luar Kalimantan Selatan sebesar 469.48 m, dimana kekurangan bahan baku sebesar.825.555 m dipenuhi dari tebangan rakyat dan sumber lain yang tidak terdaftar. Kendala utama yang dihadapi industri kayu primer adalah kesulitan bahan baku, tingkat kesulitan tertinggi terjadi pada musim kemarau. Penanganan penggergajian yang tidak berijin oleh instansi terkait perlu ditingkatkan dan dikoordinasikan agar kerusakan hutan akibat tebangan liar dapat dikurangi. Selain itu perlu peningkatan efisiensi dalam pengolahan industri kayu primer, sehingga pemakaian bahan baku berkurang. Kata Kunci : Industri Pengolahan Kayu Primer, Kapasitas industri, Bahan Baku Kayu Bulat, Penggergajian, Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). I. PENDAHULUAN Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan kayu olahan berupa kayu gergajian, kayu lapis, mebeler, papan partikel, dan pulp kertas, baik untuk keperluan lokal maupun untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maka kebutuhan bahan bakupun 1) Peneliti pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan Bogor 22

semakin meningkat pula. Akibatnya banyak bermunculan industri penggergajian yang tidak mempunyai areal bahan baku yang pasti. Sehubungan dengan hal itu, maka masalah penyediaan bahan baku berupa kayu bulat merupakan problema tersendiri, baik untuk penggergajian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), industri penggergajian kecil (wantilan), maupun industri pengolahan kayu primer lainnya yang mengharapkan bahan baku kayu bulat dari pasar bebas, baik kayu dari IUPHHK (dulu HPH) maupun dari tebangan rakyat. Kapasitas industri pengolahan pada tahun 2000/2001 di Kalimantan Selatan khususnya industri penggergajian dan kayu lapis tidak seimbang dengan pasokan bahan baku dari IUPHHK yang ada. Ketidakseimbangan tersebut terlihat dari kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu sebesar 4.75.686 m untuk kebutuhan industri penggergajian non IUPHHK yang ada tercatat sebanyak 28 unit, industri penggergajian IUPHHK sebanyak 17 unit, dan industri panel-panel kayu (kayu lapis, papan blok, dan papan partikel) sebanyak 18 unit, sedangkan jumlah IUPHHK yang masih aktif hanya ada 5 unit dengan produksi kayu bulat hanya sebesar 80.69 m (Dishut Prop. Kalsel, 2001). Keadaan tersebut menunjukkan bahwa konsumsi bahan baku kayu bulat di propinsi tersebut melebihi kapasitas atau potensi hutan yang ada, sehingga sistem perolehan bahan bakunya dipasok dan dipenuhi oleh IUPHHK di luar propinsi Kalimantan Selatan baik dalam satu group IUPHHK yang sama ataupun group IUPHHK tidak sama. Beberapa permasalahan yang timbul antara lain: 1. Semakin sulitnya memperoleh bahan baku kayu terutama bagi industri penggergajian baik IUPHHK maupun non IUPHHK (terutama wantilan), akibatnya penebangan liar semakin meningkat 2. Kurangnya produksi kayu bulat di Kalimantan Selatan dibandingkan dengan kapasitas industri pengolahan kayu yang ada, sehingga semakin banyak kayu bulat yang berasal dari luar Kalimantan Selatan ataupun propinsi lainnya di Kalimantan. Berdasarkan permasalahan tersebut maka kajian sistem dan kebutuhan aktual bahan baku kayu untuk industri kayu primer di propinsi Kalimantan Selatan ini dimaksudkan untuk: 1 Memperoleh gambaran tentang asal dan cara perolehan bahan baku kayu bulat untuk industri pengolahan kayu primer baik dari hutan alam maupun hutan tanaman. 2 Mengetahui besarnya kebutuhan bahan baku kayu bulat untuk industri pengolahan kayu primer khususnya industri penggergajian dan panel kayu. Hasil kajian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam perbaikan sistem penata usahaan kayu serta luas hutan tanaman yang perlu dilaksanakan sehingga dapat dicapai suatu sistem pengelolaan hutan lestari. II. METODOLOGI A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2001 di propinsi Kalimantan Selatan dengan pertimbangan bahwa di propinsi tersebut jumlah industri pengolahan 224 Vol. 7 No. 4 Desember Th. 2007, 22-21

kayu primernya cukup banyak sedangkan produksi dan jumlah IUPHHK yang masih aktif relatif sangat sedikit karena areal hutannya sangat terbatas B. Pengumpulan dan Analisis Data Data primer dikumpulkan dengan menggunakan daftar pertanyaan ( quesioner) dan wawancara langsung dengan staf manajemen serta pengamatan di industri yang di survei. Data sekunder diperoleh baik langsung dari industri maupun dari hasil pendataan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan instansi kehutanan lainnya di Kalimantan Selatan. Hasil pengumpulan data di lapangan kemudian ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif untuk memperoleh gambaran sumber dan cara perolehan bahan baku serta jumlah industri kayu primer. Sedangkan untuk mengetahui jumlah kebutuhan bahan baku didekati dengan menghitung besarnya rendemen dari masing-masing industri pengolahan kayu. Cara perhitungan rendemen kayu adalah sebagai berikut : Rendemen (r) = Output (m )/ Input (m ) x 100% III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sumber dan Cara Perolehan Bahan Baku Pada umumnya kegiatan pembalakan masih menitikberatkan pada produk kayu berkualitas baik dan berdiameter 50 cm ke atas sesuai dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), sehingga meninggalkan limbah pembalakan yang cukup besar. Di sisi lain perkembangan struktur industri pengolahan kayu menuntut tersedianya bahan baku dalam jumlah yang memadai, serta dapat mengolahnya dalam kualitas, jenis dan ukuran yang beragam. Dari kapasitas terpasang Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH) di Kalimantan Selatan diperlukan kayu bulat lebih dari 4 juta meter kubik per tahun, sedangkan kontribusi produksi kayu bulat dari Kalimantan Selatan hanya lebih kurang 5 persen dan lainnya dipasok dari propinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, serta beberapa propinsi lainnya termasuk Pulau Jawa. Bahan baku bagi IPKH diperoleh dari beberapa sumber antara lain IUPHHK sendiri, Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), IPKH lain dan yang tidak mempunyai IUPHHK dapat membeli dari pihak lain. Bagi industri panel-panel kayu (kayu lapis, papan partikel, dan papan blok) sumber bahan baku mereka terutama dari areal IUPHHKnya sendiri, dan kekurangannya dipenuhi dengan membeli (kontrak) dengan pemilik IUPHHK lain atau diperoleh dari IPKH, terutama yang berasal dari luar Kalimantan Selatan. Sedangkan industri penggergajian ( sawmill) yang memiliki IUPHHK, sumber bahan baku utama berasal dari areal IUPHHK sendiri, namun tidak tertutup kemungkinan membeli dari pihak lain untuk memenuhi target produksi mereka, sedangkan bahan baku sawmill non IUPHHK diperoleh dengan cara membeli dari tebangan rakyat, demikian juga wantilan (penggergajian non mekanis yaitu penggergajian yang semuanya dikerjakan manusia) dengan bahan baku khususnya kayu ulin. Dengan demikian maka beberapa penggergajian dan wantilan 225

yang tidak mempunyai ijin, tidak memiliki jaminan bahan bakunya. Akibatnya produksinya tidak teratur, karena bergantung pada pasokan bahan baku dari masyarakat yang umumnya berasal dari tebangan liar. Bahan baku kayu bulat yang diperlukan oleh industri kayu primer di Kalimantan Selatan melebihi potensi atau produksi hasil hutan per tahun yang dikelola oleh 5 unit IUPHHK yang sampai saat ini masih aktif. Jatah tebangan tahunan (JPT) dari 5 unit IUPHHK yang terdapat di Kalimantan Selatan pada tahun 2000 adalah sebesar 606.852 m. Namun kayu bulat yang dihasilkan dari Kalimantan Selatan tahun 2000 sebanyak 80.69 m (Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Selatan, 2001). Jadi propinsi Kalimantan Selatan masih kekurangan kayu bulat yang harus dikirim dari propinsi lain. Volume kayu bulat yang dikirim ke propinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2001 berasal dari berbagai propinsi di luar Kalimantan Selatan sebesar 469.48 m. Di Kalimantan Selatan terdapat 18 unit industri panel kayu yaitu industri kayu lapis, papan partikel, dan papan blok. Industri yang terbanyak adalah industri kayu lapis, sedangkan industri papan blok hanya ada 6 unit yang juga merupakan industri kayu lapis dan industri papan partikel hanya ada 1 (satu) unit. Kapasitas dari 18 unit industri panel-panel kayu tersebut sebesar 1.689.861 m per tahun. Dengan rendemen rata-rata sebesar 57%, maka selama satu tahun diperlukan bahan baku kayu bulat sebesar 2.876.949 m. Produksi kayu bulat Kalimantan Selatan dari berbagai jenis (meranti, keruing, bangkirai, agathis, dll.) tahun 2001 adalah sebesar 80.69 m dan yang berasal dari luar Kalimantan sebesar 469.48 m. Jadi jumlah kayu bulat yang dapat dipakai oleh industri kayu primer sebanyak 550.10 m. Jumlah tersebut tidak cukup untuk memenuhi bahan baku industri panel-panel kayu sebanyak 18 unit dengan kekurangan bahan baku kayu bulatnya sebanyak 2.26.817 m. Padahal kebutuhan bahan baku industri penggergajian saja sudah hampir sebanyak 2 juta m, yang terdiri dari 17 unit sawmill IUPHHK dengan kapasitas sebesar 21.600 m, sehingga kebutuhan bahan baku kayu bulat sebesar 41.760 m (rendemen rataan 62,5%) dan sawmill non IUPHHK sebanyak 28 unit dengan kapasitas sebesar 81.9 m dan kebutuhan bahan baku kayu bulat sebanyak 1.116.689 m (rendemen rataan 74,5%). Belum lagi jumlah wantilan yang masih aktif hingga tahun 2001 di Kalimantan Selatan adalah sebanyak 96 unit yang tersebar di 10 kabupaten/kotamadya dengan produksi sebesar.841,80 m per tahun. Dengan rendemen yang cukup tinggi yaitu mencapai 84%, maka jumlah bahan baku kayu bulat (khususnya kayu ulin) yang diperlukan setiap tahun tidak kurang dari 40.287,85 m. Kayu gergajian ulin ini hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal saja dan tampaknya semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan lokal tersebut. Dari data tersebut berarti terdapat kekurangan bahan baku kayu bulat sebesar.785.268 m. Kekurangan tersebut tidak dapat dihitung berapa meter kubik kayu bulat yang berasal dari tebangan liar, karena data pemakaian bahan baku kayu bulat dari IPKH yang membeli dari tebangan rakyat tidak dapat dicatat atau dievaluasi oleh instansi terkait. Perbedaan yang besar antara kebutuhan bahan baku kayu dengan ketersediaan bahan baku itu sendiri mengakibatkan proses produksi industri penggergajian ( sawmill) 226 Vol. 7 No. 4 Desember Th. 2007, 22-21

terutama industri penggergajian non IUPHHK yang kecil tidak menentu. Kekurangan bahan baku mengakibatkan jumlah hari tidak kerja setiap bulannya lebih banyak dibandingkan dengan hari kerjanya. Jadi jelas bahwa sumber bahan baku industri pengolahan kayu primer (IPKH) tampaknya semakin terbatas (potensi hutan menurun) sementara hutan tanaman yang direncanakan untuk memasok industri pengolahan kayu primer sampai saat ini belum dapat dipungut hasilnya. B. Industri Pengolahan Kayu 1. Industri Panel-Panel kayu Produksi hasil industri panel-panel kayu ini terutama dipasarkan ke luar negeri (ekspor) dan sisanya dijual antar pulau dan juga untuk memenuhi kebutuhan lokal. Dari data yang berhasil dihimpun, jumlah bahan baku kayu bulat yang diolah di Kalimantan Selatan yang berasal dari luar propinsi tersebut pada tahun 2001 adalah 469.48 m. Sebagian besar kayu bulat yang berasal dari luar Kalimantan Selatan tersebut dipergunakan sebagai bahan baku industri panel-panel kayu yang terdapat di propinsi ini. Kendala utama yang dihadapi industri panel-panel kayu sehubungan dengan bahan baku tersebut adalah sulitnya transportasi bahan baku dari lokasi IUPHHK ke pabrik terutama pada musim kemarau, karena air sungai surut sehingga tidak dapat dilalui rakit atau tongkang. 2. Industri Penggergajian ( Sawmill ) IUPHHK Banyaknya industri penggergajian IUPHHK yang terdapat di Kalimantan Selatan adalah sebagai berikut : Tabel 1. Banyaknya Industri Penggergajian IUPHHK di Kalimantan Selatan No. Kabupaten Jumlah Industri (Unit) 1. UPT Barito Muara 12 2. Tanah Laut 2. Kota Baru J u m l a h 12 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah industri penggergajian ( sawmill) IUPHHK yang terdapat di Kalimantan Selatan sebanyak 17 unit dengan kapasitas industri adalah 21.600 m per tahun dengan rendemen rata-rata adalah 62,5%, sehingga bahan baku kayu bundar yang diperlukan setiap tahunnya adalah sebesar 41.760 m. Kayu gergajian yang dihasilkan pada umumnya dijual antar pulau dan lokal. Untuk kebutuhan lokal, kayu gergajian lebih banyak berasal dari industri penggergajian non IUPHHK. Dari kapasitas industri penggergajian yang ada dapat menyerap tenaga kerja tidak kurang dari 5.48 orang, dimana beberapa industri penggergajian berproduksi di bawah kapasitas karena selain terbatasnya bahan baku kayu bulat juga ekspor kayu gergajian sulit dilaksanakan. Hal ini disebabkan 227

menurunnya daya dukung sumberdaya hutan dan pajak ekspor yang tinggi menyebabkan kesepakatan harga dengan pembeli di luar negeri sulit dicapai, sedangkan untuk pasaran interinsuler dan lokal dipandang kurang ekonomis. Untuk mengatasi keadaan tersebut, beberapa industri penggergajian melanjutkan prosesnya menjadi moulding dan dowel sehingga lebih ekonomis untuk diekspor.. Industri Penggergajian non IUPHHK Jumlah industri penggergajian non IUPHHK di Kalimantan Selatan jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah industri penggergajian IUPHHK. Bahan baku dari industri penggergajian non IUPHHK diperoleh antara lain dari IUPHHK, IPK, lelang, anak angkat perusahaan IUPHHK, maupun membeli dari masyarakat yang pada umumnya berasal dari tebangan liar. Jumlah industri penggergajian non IUPHHK ini cukup banyak terdapat di setiap wilayah Dinas Kehutanan kabupaten. Sampai saat ini jumlah industri yang masih aktif sebanyak 28 unit dengan kapasitas total sebesar 81.9 m per tahun dengan rendemen rata-rata sebesar 74,5% maka setiap tahunnya diperlukan bahan baku dari berbagai jenis sebanyak 1.116.689 m dan mampu menyerap tenaga kerja tidak kurang dari 6.575 orang. Jumlah industri penggergajian non IUPHHK yang tidak aktif lebih dari 50 unit, terutama yang tergolong kecil, karena sulitnya bahan baku kayu bulat. Pemasaran kayu gergajian bagi penggergajian yang tidak mempunyai ijin industri lebih lancar dibandingkan dengan yang mempunyai ijin. Hal ini dikarenakan harga jualnya bisa lebih rendah, karena tidak dibebani kewajiban dan pungutan (PSDH, DR, dan IHPH) serta harga bahan bakunya lebih rendah (berasal dari tebangan rakyat) Secara umum, penggergajian non IUPHHK ini mempunyai kesulitan memperoleh bahan baku secara kontinyu yang menjamin produksi berkesinambungan. Hal ini dialami juga oleh penggergajian non IUPHHK yang membeli/kontrak dengan pemilik IUPHHK atau sebagai anak angkat dari industri penggergajian atau IUPHHK lain. Bahan baku yang diolah oleh penggergajian tak berijin itu boleh dikatakan semua jenis kayu, sebab kayu-kayu yang dianggap bukan kayu pertukangan seperti jenis ketiau, kini diolah menjadi kayu gergajian bahkan diameternya kurang dari 25 cm. Hal ini memberi indikasi bahwa tingkat kesulitan bahan baku kayu bulat yang baik saat ini sudah sangat tinggi. 4. Wantilan Industri penggergajian wantilan adalah industri penggergajian non mekanis yaitu industri penggergajian yang semua proses produksinya dikerjakan manusia. Bahan baku kayu industri wantilan ini umumnya kayu ulin yang sudah berbentuk persegi, yang diperoleh dari tebangan rakyat. Di Kalimantan Selatan wantilan tersebar di seluruh kabupaten dan kotamadya. Jumlah wantilan ini cukup banyak, hanya saja kemampuan/kapasitasnya rendah. Kayu gergajian yang dihasilkan hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal, jarang sekali dipasarkan ke luar daerah (antar pulau), kecuali oleh pedagang pengumpul. 228 Vol. 7 No. 4 Desember Th. 2007, 22-21

Jumlah wantilan yang masih aktif hingga tahun 2001 adalah sebanyak 96 unit yang tersebar di 10 kabupaten/kotamadya dengan produksi sebasar.841,80 m per tahun. Dengan rendemen yang cukup tinggi yaitu mencapai 84%, maka jumlah bahan baku kayu ulin yang diperlukan setiap tahun tidak kurang dari 40.287,85 m. Kayu gergajian ulin ini hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal saja dan tampaknya semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan lokal tersebut. Hal ini terbukti dengan semakin tingginya harga kayu ulin di pasaran. C. Kebutuhan Bahan Baku Sesuai dengan besarnya kapasitas industri pengolahan kayu primer (IPKH) yang terdapat di Kalimantan Selatan, kebutuhan bahan baku kayu bulat untuk industri tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan potensi hutan daerah ini. Untuk itu rencana kebutuhan bahan baku untuk industri pengolahan kayu disesuaikan dengan daya dukung sumberdaya hutannya. Mengingat kualitas kayu bulat semakin lama semakin menurun, terutama bagi penggergajian non IUPHHK, maka produk yang dihasilkanpun semakin menurun kualitas dan kuantitasnya. Dengan demikian rendemen dari setiap industri kayu primer tidaklah sama. Tampaknya kebutuhan bahan baku kayu bulat untuk penggergajian non IUPHHK, ketersediaan bahan baku merupakan masalah utama. Bagi industri penggergajian tersebut, jumlah hari tidak kerja dalam setiap bulannya akan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah hari kerjanya, di mana penyebab utamanya adalah tidak tersedianya bahan baku. Sedangkan bagi industri panel-panel kayu dan penggergajian IUPHHK kontinuitas bahan baku kayu bulat lebih baik sehingga kegiatan produksi berjalan baik. Untuk memenuhi kapasitas industri kayu primer yang terdapat di Kalimantan Selatan dibutuhkan bahan baku kayu bulat minimal sebesar 4.75.686 m per tahun yang meliputi 2.876.949 m untuk industri panel-panel kayu dan 1.498.77 m untuk industri penggergajian ( sawmill ) dan wantilan. Melihat potensi kayu di Kalimantan Selatan dari RKT 5 unit IUPHHK dan jumlah kayu yang masuk dari luar Kalimantan Selatan tahun 2000 hanya sebesar 469.47,76 m, maka kekurangan bahan baku tersebut diantaranya dipenuhi dari tebangan rakyat (liar) yang jumlahnya tidak dapat dievaluasi. Melihat jumlah bahan baku kayu yang diolah di Kalimantan Selatan tahun 2001 dan kebutuhan bahan baku IPKH, maka pengaturan pasokan kayu harus diatur dengan pengawasan yang lebih baik terutama dari propinsi Kalimantan Tengah sebagai pemasok utamanya. Hal tersebut perlu dilakukan karena walaupun ada perbedaan antar kebutuhan bahan baku IPKH dengan produksi kayu bulat dan pasokan dari luar propinsi, tetapi industri yang ada masih terus mampu memproduksi dengan kapasitas yang hampir memadai. Untuk itu perencanaan Jatah Penebangan Tahunan (JPT) maksimum selanjutnya perlu dipertimbangkan daya dukung sumber hutan yang tersedia disesuaikan dengan kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu yang ada. Membandingkan jumlah bahan baku yang diolah di Kalimantan Selatan tahun 2001 dan kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu primer (IPKH) dengan produksi dan kayu bulat yang dipasok dari luar propinsi maka terdapat perbedaan yang cukup besar yaitu sebesar.825.555 m 229

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Sumber bahan baku industri panel-panel kayu dan penggergajian ( sawmill ) IUPHHK adalah dari IUPHHK sendiri, membeli dari IUPHHK lain, dan dari IPK bagi IUPHHK yang melaksanakan HTI. 2. Jumlah industri panel-panel kayu adalah 18 unit, penggergajian ( sawmill ) IUPHHK sebanyak 17 unit, penggergajian non IUPHH sebanyak 28 unit, dan wantilan sebanyak 96 unit.. Kapasitas industri pengolahan kayu primer atau IPKH sebesar 2.769.25 m per tahun dengan total kebutuhan bahan baku sebesar 4.75.686 m per tahun. 4. Bahan baku kayu bulat produksi Kalimantan Selatan tahun 2000 sebesar 80.69 m dan yang berasal dari luar Kalimantan Selatan sebesar 469.48 m, dimana kekurangan bahan baku sebesar.825.555 m dipenuhi dari tebangan rakyat dan sumber lain yang tidak terdaftar. 5. Kendala utama yang dihadapi industri pengolahan kayu primer adalah kesulitan memperoleh bahan baku dengan minimal kebutuhan sebesar 4.75.686 m per tahun dan hanya dipenuhi dari sumberdaya hutannya sebesar 469.47,76 m. B. Saran 1. Penanganan penggergajian yang tidak berijin oleh instansi terkait perlu ditingkatkan agar kerusakan hutan akibat tebangan liar dapat dikurangi. 2. Koordinasi antar instansi terkait dalam menangani penggergajian tanpa ijin dan tebangan liar perlu ditingkatkan sehingga hasilnya akan lebih baik. Perlu peningkatan efisiensi dalam pengolahan industri kayu sehingga diperlukan pengetahuan teknologi tinggi dan akibatnya kebutuhan bahan baku akan berkurang dari kapasitas industri yang ada. 4. Perlu adanya pengembangan produk yang bernilai ekonomi tinggi dan sesuai dengan permintaan pasar. DAFTAR PUSTAKA Dinas Kehutanan. 2001. Laporan Tahunan Dinas Kehutanan Propinsi Dati I Kalimantan Selatan Tahun 2000. Banjar Baru. Dinas Kehutanan. 1999. Statistik Kehutanan Propinsi Dati I Kalimantan Selatan Tahun 1996/1997 s.d. 1998/1999. Banjar Baru. Dinas Kehutanan. 1996. Bahan untuk Pertanggungan Jawaban Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Kalimantan Selatan 1995/1996 Sub Sektor Kehutanan. Banjar Baru. Ditjen Intag. 1997. Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kayu Bulat Indonesia Tahun 1997/1998-2018/2019. Jakarta. 20 Vol. 7 No. 4 Desember Th. 2007, 22-21

Effendi, R. dan Antaatmaja S. 1989. Pola Distribusi Kayu Penghara Untuk Industri Penggergajian di Daerah Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, Vol 6 No. 2 (1989) pp. 94-99. Bogor. Iskandar, U. 2001. Forest Sector Reform. Lokakarya Optimalisasi Pelaksanaan Desentralisasi serta Sistem Pendukungnya di Sektor Kehutanan. 2 - Desember 2001, Jakarta. Meulenhoff, M. dan B.D. Nasendi, 1987. Peningkatan Efisiensi Distribusi dan Tata Niaga Bahan Baku Kayu dan Hasil Olahannya. Diskusi Industri Perkayuan VII, Februari 1987, Jakarta. Rahmanto, G.H. dan Suwarno. 1997. Perkembangan Produksi Kayu di Kalimantan Timur. Dipterokarpa, Vol. 2 No. 2 (1997) pp. 15-26. BPK Samarinda. 21