BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Imunisasi merupakan salah satu kegiatan prioritas Kementerian Kesehatan dan sebagai bentuk nyata komitmen pemerintah untuk mencapai Millennium Development Goals (MDGs) khususnya menurunkan angka kematian pada bayi (2010a). Program imunisasi merupakan upaya preventif yang telah terbukti sangat cost effective dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian serta kecacatan pada bayi dan balita akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Program imunisasi dapat mencegah lebih dari 3 juta anak meninggal setiap tahun (WHO, 2009). Dalam program imunisasi terdapat komponen utama yaitu vaksin. Untuk keberhasilan program imunisasi yang baik harus ditunjang dengan pengelolaan dan ketersediaan vaksin dalam jumlah cukup, berkualitas dan tepat waktu. Vaksin merupakan bahan biologis sangat mudah rusak, maka pengelolaan (penyediaan, pendistribusian, penyimpanan, dan pemakaian) memerlukan penanganan khusus sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1611/Menkes/SK/XI/2005 tentang pedoman penyelenggaraan imunisasi (Depkes RI, 2010). Jika pengelolaan vaksin tidak sesuai ketentuan akan mengakibatkan turunnya atau hilangnya potensi vaksin, bahkan dapat memberikan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) jika diberikan pada sasaran. Kerusakan vaksin dapat mengakibatkan kerugian sumberdaya tidak sedikit, baik bentuk biaya vaksin maupun biaya lain yang terpaksa dikeluarkan untuk menanggulangi masalah KIPI atau Kejadian Luar Biasa (KLB) (UNICEF, 2005). Kerusakan potensi vaksin dapat dicegah dengan melakukan pengelolaan vaksin secara benar, sejak vaksin diproduksi di pabrik hingga digunakan di unit pelayanan (UNICEF, 2005). Proses produksi di pabrik umumnya memiliki prosedur khusus sesuai dengan ketentuan GMP (Good Manufacturing Practices) dibawah pengawasan NRA (National Regulatory Authority) setempat. Oleh karena itu monitoring kualitas pengelolaan vaksin lebih ditujukkan pada pengelolaan vaksin di gudang penyimpanan vaksin di tingkat primer sampai unit 1
2 pelayanan (Puskemas, Rumah Bersalin (RB), Balai Pengobatan Swasta (BPS), dan lainnya) (WHO Indonesia, 2011). Tempat pelayanan imunisasi ialah unsur paling kritis dalam sistem imunisasi karena tempat tersebut vaksin diterima, disimpan dan didistribusikan. Pada saat terdapat kegagalan peralatan atau pengelolaan, vaksin dapat rusak hanya dalam beberapa jam. Setiap unit pelayanan imunisasi perlu adanya penanggung jawab pengelola vaksin. Kepatuhan petugas dalam mengelola vaksin di tempat pelayanan imunisasi adalah sesuatu hal utama dan perlu dilakukan, agar kualitas vaksin dapat dipertahankan (WHO Indonesia, 2011). Upaya untuk meningkatkan kualitas vaksin telah dilakukan Departemen Kesehatan antara lain meningkatkan pengetahuan pengelola vaksin (pembuatan prosedur baku imunisasi dan pelatihan), penggantian/peremajaan peralatan rantai vaksin dan pelaksanaan supervisi sampai jenjang pelayanan paling ujung. Namun upaya tersebut lebih banyak ditujukan pada sektor pemerintah terutama Puskesmas, sedangkan di rumah sakit atau unit pelayanan swasta masih belum mendapat perhatian (Depkes RI, 2005a). Unit pelayanan swasta adalah mitra pemerintah dalam pelaksanaan program imunisasi walaupun secara nasional kontribusi pelayanan cakupan masih relatif kecil. Di kota-kota besar pelayanan imunisasi di unit pelayanan swasta cenderung meningkat, akan tetapi penyiapan sarana dan tenaga terlatih belum diterapkan sehingga terjadi penyimpangan dalam pengelolaan vaksin. Banyak rumah sakit dan unit pelayanan swasta yang belum mendapat pengetahuan tentang prosedur pengelolaan vaksin yang baku (PATH and Depkes RI, 2005). Menurut Mugharbel and Al Wakeel (2009) di Damman Saudi Arabia pengelolaan vaksin pada unit pelayanan pemerintah jauh lebih baik dibandingkan swasta (p<0.05). Di unit pelayanan pemerintah suhu penyimpanan vaksin 100% sesuai standar dan di swasta kurang dari 20%. Penanganan vaksin saat pelaksanaan imunisasi sesuai standar di pemerintah 90-100% dan di swasta 20%. Pengetahuan petugas tentang rantai dingin di pemerintah 100% dan 20-40% di swasta, sedangkan penataan vaksin sesuai standar 100% di pemerintah dan 40% di swasta.
3 Berdasarkan hasil pemantauan kualitas vaksin yang dilakukan Dinkes DIY di 21 unit pelayanan swasta antara bulan September sampai dengan Desember tahun 2011 didapatkan hasil penyimpanan vaksin tidak sesuai standar (menggunakan lemari es tidak standar 14.3%, suhu lemari es tidak 2 0-8 0 C 47.6%, tidak mencatat suhu 2 kali sehari 61.9%, menyimpan vaksin bercampur dengan barang lain 47.61%, dan tidak ada termometer dalam lemari es 23.8%), sedangkan hasil pemantauan Dinkes Kota Yogyakarta di 10 Puskesmas pada bulan September tahun 2011 mayoritas penyimpanan vaksin sudah sesuai standar (suhu lemari es sesuai standar 100%, suhu dicatat 2 kali sehari 100% dan tidak ada barang lain selain vaksin 100%) (Dinkes Propinsi D. I Yogyakarta, 2011a). Keberhasilan program imunisasi antara lain ditandai dengan tingginya angka cakupan dan menurunnya angka kematian dan kesakitan akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Hasil cakupan imunisasi di Kota Yogyakarta tahun 2010 sampai 2011 mencapai > 97% dan 100% desa mencapai Universal Child Immunization (UCI) (Dinkes Kota Yogyakarta, 2011). Hasil coverage survey Universitas Gadjah Mada tahun 2004 cakupan imunisasi di Kota Yogyakarta dilaksanakan oleh unit pelayanan swasta 58% dan unit pelayanan pemerintah sebanyak 42% (UGM, 2004). Cakupan imunisasi Kota Yogyakarta sudah tinggi dan merata, tetapi kasus penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi pada anak usia <15 tahun masih ada, walaupun tidak mengkhawatirkan namun perlu diwaspadai. (Tabel 1) Tabel 1. Cakupan Imunisasi dan Kasus PD3I Cakupan imunisasi/ TAHUN Kasus PD3I 2010 2011 Cakupan Campak 97.9% 98.6% Kasus Campak 13 29 Cakupan DPT/HB 98.3% 99.1% Kasus Dipteri 2 0 Kasus Pertusis 92 18 Kasus Tetanus 2 0 Sumber: Laporan STP Dinas Kesehatan DIY (2010, 2011b) Terjadinya angka kesakitan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi merupakan kendala bagi keberhasilan program imunisasi. Salah satu faktor
4 kemungkinan sebagai penyebab adalah penyimpangan terhadap prosedur pengelolaan vaksin berakibat rusaknya potensi vaksin. Unit pelayanan imunisasi pemerintah maupun swasta perlu dilakukan pengawasan dan penilaian pengelolaan vaksin secara terus menerus, untuk mencegah hilangnya potensi vaksin selama pembawaan, penyimpanan, dan pemakaian. Untuk mengetahui permasalahan tersebut, peneliti melakukan penelitian tentang perbedaan kepatuhan pengelola imunisasi dalam mengelola vaksin pada unit pelayanan imunisasi pemerintah dan swasta di Kota Yogyakarta. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di latar belakang dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: Apakah ada perbedaan kepatuhan pengelola imunisasi dalam mengelola vaksin pada unit pelayanan imunisasi pemerintah dan unit pelayanan imunisasi swasta di Kota Yogyakarta. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Meningkatkan kepatuhan pengelola imunisasi dalam mengelola vaksin pada unit pelayanan imunisasi di Kota Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya gambaran kepatuhan pengelola imunisasi dalam mengelola vaksin di fasilitas pelayanan imunisasi pemerintah dan swasta. b. Teridentifikasinya standar operasional prosedur pengelolaan vaksin yang tidak dipatuhi pengelola imunisasi di unit pelayanan imunisasi. c. Membandingkan kepatuhan pengelola imunisasi dalam mengelola vaksin antara unit pelayanan imunisasi pemerintah dengan swasta. d. Diketahuinya faktor lain (pengetahuan, beban kerja, sarana, supervisi, dan pelatihan) yang berhubungan dengan kepatuhan pengelola imunisasi dalam mengelola vaksin pada unit pelayanan imunisasi.
5 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis a. Sebagai masukan bagi penanggungjawab program imunisasi baik di Kabupaten/Kota, Provinsi serta di tingkat Pusat, mengenai tingkat kepatuhan pengelola imunisasi dalam mengelola vaksin pada unit pelayanan imunisasi pemerintah maupun swasta. b. Sebagai acuan data bagi perumus kebijakan dalam menentukan langkahlangkah strategi untuk meningkatkan kepatuhan pengelola imunisasi dalam pengelolaan vaksin di unit pelayanan imunisasi. 2. Manfaat Teoritis a. Kajian ini diharapkan dapat sebagai bahan masukan untuk dijadikan referensi bagi peneliti lain yang akan melaksanakan penelitian serupa. b. Bagi peneliti membuka wawasan dan pengetahuan serta memberikan pengalaman dalam menerapkan ilmu yang didapatkan selama pendidikan. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang Perbedaan kepatuhan pengelola imunisasi dalam mengelola vaksin pada fasilitas pelayanan imunisasi pemerintah dan swasta di Kota Yogyakarta belum pernah dilakukan. Pada penelusuran artikel tentang perbedaan kepatuhan pengelola imunisasi dalam mengelola vaksin pada unit pelayanan imunisasi pemerintah dan swasta yang mirip dengan penelitian ini adalah: 1. Penelitian Gazmararian et al.(2002) melakukan penelitian yang berjudul Vaccine storage practices in primary care physician offices: assessment and intervention. Tujuan penelitian ini mengevaluasi kepatuhan pengelolaan vaksin di fasilitas pelayaanan imunisasi swasta. Desain penelitian ini studi eksperimental dan subjek penelitian 721 unit pelayanan swasta. Hasil penelitian terjadi peningkatan kepatuhan pengelola cold chain setelah dilakukan intervensi. Pencatatan suhu meningkat 19%, tidak ada vaksin disimpan pada pintu lemari es meningkat 14%. Setelah dilakukan intervensi
6 tingkat kepatuhan relatif tinggi yaitu 80%, memiliki termometer 89%, suhu sudah dicatat 83%, tidak menyimpan vaksin di pintu 80%, tidak menyimpan makanan bahan lain di lemari es 96% dan hampir semua vaksin belum kadaluwarsa. 2. Penelitian Mugharbel and Al Wakeel (2009) melakukan penelitian tentang Evaluation of availability of cold chain tools and assessment of health workers practice in Dammam. Tujuan penelitian menilai ketersediaan alat rantai dingin dan kepatuhan pengelolaan vaksin di unit pelayanan pemerintah dan swasta di Damman. Desain penelitian ini cross sectional dilakukan di 10 unit pelayanan pemerintah dan 5 unit pelayanan swasta. Hasil penelitian tempat penyimpanan vaksin sesuai standar 91% di unit pelayanan pemerintah dan 80% swasta, suhu penyimpanan vaksin sesuai standar 100% di pemerintah dan < 20% swasta, penanganan vaksin saat pelayanan sesuai standar (90-100%) di pemerintah dan 20% swasta, pengetahuan petugas tentang rantai dingin 100% di pemerintah dan 20-40% swasta, penataan vaksin sesuai standar di pemerintah 100% dan 40% swasta (p< 0.05). 3. Rao et al. (2012) melaksanakan penelitian tentang Evaluation, awareness, practice and management of cold chain at the Primary Health Care Centers in Coastal South India. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui keadaan rantai dingin, pengetahuan dan kepatuhan petugas pengelola vaksin di puskemas. Desain penelitian cross sectional dilakukan pada 70 Puskesmas di Dakshina Kanada. Hasilnya sebanyak 98.6% tersedia lemari es sesuai standar, 10% tersedia termometer, 97.2% tersedia stabilisator, 10% penyimpanan vaksin tidak benar dan 61.8% pengelola imunisasi mencairkan bunga es yang tidak benar. 4. Mavimbe and Bjune (2007) melakukan penelitian berjudul Cold chain management: Knowledge and practices in primary health care facilities in Niassa, Mozambique. Tujuan penelitian ini membandingkan tingkat pengetahuan dan pengelolaan vaksin di unit pelayanan imunisasi di ibukota kabupaten dan di daerah pinggiran kota. Desain penelitian cross sectional. Hasil penelitian tingkat pengetahuan pengelola vaksin di ibukota kabupaten
7 lebih baik dari pada pengelola vaksin di pinggiran kota. Tingkat pengetahuan kurang memadai mengakibatkan buruknya kualitas vaksin yang diberikan.
Tabel 2. Keaslian Penelitian Peneliti Judul penelitian (Gazmararian et al., 2002) Vaccine storage practices in primary care physician offices: assessment and intervention (Mugharbel and Al Wakeel, 2009) Evaluation of availability of cold chain tools and assessment of health workers practice in Dammam Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian Perbedaan Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan r dan mengevaluasi tingkat kepatuhan setelah dilakukan pelatihan. Menilai ketersedian rantai dingin dan kepatuhan mengelola vaksin pada unit pelayanan imunisasi pemerintah dan swasta. - Desain penelitian Studi eksperimental - Sample penelitian 721 unit pelayanan imunisasi di Amerika Serikat - Desain penelitian cross sectional. - Sample penelitian 10 unit pelayanan imunisasi pemerintah dan 5 swasta di Damman Saudi Arabia Terjadi peningkatan kepatuhan pengelola cold chain setelah dilakukan intervensi. Pencatatan suhu meningkat 19%, tidak ada vaksin disimpan di pintu lemari es meningkat 14%. Tingkat kepatuhan setelah dilakukan intervensi relatif tinggi 80% memiliki termometer, 89% suhu sudah dicatat, 83% tidak menyimpan vaksin di pintu 80%, tidak menyimpan makanan bahan lain di lemari es 96% dan hampir semua vaksin belum kadaluwarsa Tempat penyimpanan vaksin sesuai standar 91% di fasilitas pemerintah dan 80% swasta. Suhu penyimpanan vaksin sesuai standar 100% pemerintah dan < 20% swasta, penanganan vaksin saat pelayanan sesuai standar (90-100%) di pemerintah dan 20% swasta, pengetahuan petugas tentang rantai dingin 100% pemerintah dan 20-40% swasta, penataan vaksin sesuai standar di fasilitas pemerintah 100% dan 40% swasta (P<0.05). Pada desain penelitian, variabel yang diteliti, dan lokasi penelitian. Pada analisa data, variabel yang diteliti, dan lokasi penelitian. 8
9 Lanjutan Tabel 2 Peneliti/ Judul Penelitian (Rao et al., 2012) Evaluation, awareness, practice and management of cold chain at the Primar Health Care Centers in Coastal South India Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian Perbedaan Menilai pengetahuan dan ketersediaan sarana cold chain di Puskesmas. - Desain penelitian cross sectional - Sample penelitian 70 Puskesmas di Dakshina Kanada. Sebanyak 98.6% tersedia lemari es sesuai standar, 10% tersedia termometer, 97.2% tersedia stabilisator, 10% penyimpanan vaksin tidak benar, dan (61.8%) pengelola imunisasi mencairkan bunga es tidak benar. Pada analisa data, variabel yang diteliti, dan lokasi penelitian. (Mavimbe and Bjune, 2007) Cold chain management: Knowledge and practices in primary health care facilities in Niassa, Mozambique Membandingkan tingkat pengetahuan dan pengelolaan vaksin di unit pelayanan imunisasi ibukota kabupaten dan di daerah pinggiran kota - Desain penelitian cross sectional - Sample penelitian 44 pengelola imunisasi : 12 orang di kabupaten dan 32 orang di daerah pinggiran kota Niassa Mozambique Ethiopia Tingkat pengetahuan pengelola vaksin di ibukota kabupaten lebih baik dari pada pengelola vaksin di pinggiran kota. Tingkat pengetahuan yang kurang memadahi mengakibatkan buruknya kualitas vaksin yang diberikan. Pada variabel penelitian dan lokasi penelitian.