BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II PEDOMAN PENETAPAN IZIN GANGGUAN. Di dalam kamus istilah hukum, izin (vergunning) dijelaskan sebagai

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK. Dalam kamus hukum, izin (vergunning) diartikan sebagai;

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. itu, hal ini disebabkan oleh antara para pakar tidak terdapat persesuaian paham,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam berita AIPI (1997) mengatakan bahwa pelaksanaan berasal dari kata

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH, PENEGAKAN HUKUM, PERIZINAN, DAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN (IMB)

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, tujuan Negara tertuang dalam alinea keempat Pembukaan Undang-

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN TEORITIS. untuk mengemudikan tingkah laku para warga. Izin juga diartikan sebagai

APA ITU DAERAH OTONOM?

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan. Konsep tentang peran (role) menurut Komarudin (1994;768) dalam buku

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengidentifikasikan

PENGAWASAN TERHADAP PERIZINAN INDUSTRI DI KABUPATEN BADUNG

Panduan diskusi kelompok

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hakikat diterbitkannya Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam hal tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota,

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

BAB II KAJIAN TEORI. tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang. sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 12

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

KEWENANGAN KEPALA DAERAH DALAM MELAKUKAN INOVASI PENGEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI DI DAERAH

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN IZIN GANGGUAN DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. manusia terindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 9 TAHUN 2005 PEMERINTAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN PERIZINAN

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMBAGIAN KEKUASAAN SECARA VERTIKAL

BAB I PENDAHULUAN. dengan tega s menyatakan bahwa pemerintahan daerah provinsi, kabupaten

BAB II PENGATURAN IZIN PENDIRIAN TVRI

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Rencana Induk Pengembangan E Government Kabupaten Barito Kuala Sistem pemerintahan daerah disarikan dari UU 32/2004 tentang

BENTUK-BENTUK PERBUATAN PEMERINTAH

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANJAR

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH TAHUN 2009

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perizinan adalah pemberian legalitas kepada seseorang atau pelaku usaha/kegiatan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN

BAB II KAJIAN TEORI. Bahasa Indonesia dijelaskan pelayanan sebagai hal, cara, atau hasil pekerjaan. dalam masyarakat (A.

BAB II IZIN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KAJIAN TENTANG IMPLEMENTASI PERDA IJIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA GORONTALO. Erman, I. Rahim Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Gorontalo

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan perubahan zaman dan perkembangan kebutuhan

OTONOMI DAERAH PERTEMUAN 7

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-undangan,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 6 SERI E

BAB II LANDASAN TEORI

Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1988 Tentang : Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal Di Daerah

BAB I PENDAHULUAN. ketentuan perundang-undangan. Izin menurut definisi yaitu perkenan atau

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

BAB I PENDAHULUAN. diserahkan kepadanya. Dengan demikian, pemerintah daerah tidak sekedar

KAJIAN POLITIK HUKUM TENTANG PERUBAHAN KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PELAYANAN PUBLIK. menyediakan segala apa yang diperlukan oleh orang lain untuk perbuatan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERIZINAN. handling waarop in het algemeen belang special toezict vereist is, maar die, in

2 alamat, pindah datang untuk menetap, tinggal terbatas, serta perubahan status orang asing tinggal terbatas menjadi tinggal tetap. Sedangkan Peristiw

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

TINJAUAN UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK DALAM PELAYANAN PERIZINAN DI DAERAH

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

BUPATI BLITAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TEN TANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. daerah (dioscretionary power) untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri

KEPUTUSAN KOMISI NO. 89/2009. Tentang Pengaturan Monopoli Badan Usaha Milik Negara

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERIZINAN PEMBANGUNAN HOTEL. mengendalikan tingkah laku para warganya. Selian itu, izin juga sebagai

JURNAL LOGIKA, Volume XII, No 3 Tahun 2014 ISSN : ASPEK HUKUM PERIZINAN DI BIDANG BANGUNAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ARSITEKTUR BANGUNAN GEDUNG BERWAWASAN BUDAYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENERBITAN SURAT IZIN USAHA PERDANGANGAN DI KOTA PALU WIJAYA / D

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

4. Apa saja kendala dalam penyelenggaraan pemerintah? dibutuhkan oleh masyarakat? terhadap masyarakat?

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi pemerintah dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. 1

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG

Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah. Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia

Transkripsi:

12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Terkait Dengan Bekerjanya Hukum (Efektifitas Hukum) Setiap bidang kehidupan sekarang ini sering dijumpai peraturanperaturan hukum. Tingkah laku manusia ini menjelajahi hampir semua bidang kehidupan manusia. Ditinjau dari sudut perspektif perkembangan masyarakat dan negara, kejadian masuknya hukum itu kedalam bidangbidang kehidupan masyarakat menjadi semakin meningkat bersamaan dengan makin meningkatnya peran yang dimainkan oleh negara dalam masyarakat. Perkembangan atau perubahan yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat di bidang teknologi, ekonomi maupun industri terhadap kehidupan sosial menghendaki agar hukum melakukan adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh pengaruh tersebut. Menurut Satjipto Rahardjo bahwa hukum diartikan sebagai perilaku manusia karena perilaku manusia seringkali mengintervensi normatifitas dari hukum itu sendiri, sebagai contoh ketika seseorang membaca sebuah aturan kemudian dalam benak pikiran orang tersebut berpendapat bahwa adalah sebuah keharusan untuk bertindak sesuai dengan apa yang ada dalam aturan tersebut (Satjipto Rahardjo, 2006: 110). Fenomena yang sering dilihat dalam konteks di negara adalah bahwa dari sekian banyak regulasi yang sudah dibuat oleh pemerintah terkadang belum juga berangkat dari landasan sosiologis, produk hukum yang dibuat secara sepihak oleh pemerintah terkadang juga tanpa kajian yang serius yang berangkat dari realitas masyarakat. Sehingga kehadiran sebuah Undang-Undang terkadang belum juga menciptakan masyarakat yang sadar hukum. Keadilan yang sering dianggap sebagai cita-cita dan aparat penegak hukum terkadang sering berbuat melanggar hukum. Fenomena tersebut nampaknya bekerja hukum atau efektifitas hukum masih menuntut usaha keras dari berbagai pihak. Maka dari itu 12

13 menurut Satjipto Rahardjo bahwa berbicara soal hukum pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari asas-asas paradigma hukum yang terdiri atas fundamental hukum dan sistem hukum. Beberapa fundamental hukum diantaranya legislasi, penegakan dan peradilan sedangkan sistem hukum meliputi substansi, struktur, dan kultur hukum. Efektifan hukum adalah situasi dimana hukum yang berlaku dapat dilaksanakan, ditaati, dan berdaya guna sebagai alat kontrol sosial atau sesuai tujuan dibuatnya hukum tersebut. Efektifitas hukum yang dimaksud berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yakni hukum yang diberlakukan berlandaskan pada landasan yurisdis, sosiologis, maupun fisiologis. Adapun beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi daya kinerja hukum di masyarakat adalah sebagai berikut (Satjipto Rahardjo, 2006:117): a. Faktor Substansi Kaidah Hukum Substansi atau materi dari suatu produk peraturan perundangundangan merupakan faktor yang cukup penting untuk diperhatikan dalam penegakan hukum, tanpa substansi atau materi yang baik dari suatu peraturan perundang-undangan rasanya sangat sulit bagi aparatur penegak hukum untuk dapat menegakkan peraturan perundang-undangan secara baik pula, dan hal tersebut sangat ditentukan atau dipengaruhi ketika proses penyusunan suatu peraturan perundang-undangan dilakukan. b. Faktor Aparatur Penegak Hukum Peranan aparatur penegak hukum juga tidak kalah pentingnya dalam menentukan tingkat keberhasilan penegakkan suatu peraturan perundang-undangan, baik-buruknya aparatur penegak hukum dapat menentukan baik-buruknya pula suatu penegakkan peraturan perundangundangan. Suatu peraturan perundang-undangan yang baik terkadang tidak dapat ditegakkan secara baik, apabila yang menegakkan peraturan perundang-undangan tersebut adalah aparatur penegak hukum yang tidak baik atau tidak cakap. Dan hal tersebut dapat

14 dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya rendahnya tingkat pemahaman dari aparatur penegak hukum terhadap substansi suatu peraturan perundang-undangan. Kemudian diberlakukannya suatu peraturan perundang-undangan yang mempunyai maksud dan tujuan baik belum tentu memberikan suatu manfaat yang nyata bagi masyarakat, apabila tidak ditegakkan secara konsisten dan bertanggung jawab aturan-aturan hukum yang ada di dalamnya. c. Faktor Kesadaran Hukum Kesadaran hukum dapat dijelaskan sebagai nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Faktor budaya atau kesadaran hukum tidak dapat diabaikan begitu saja dalam menentukan sukses atau tidaknya penegakkan hukum. Meskipun materi suatu peraturan perundangundangan itu baik dan dilengkapi oleh aparatur hukum yang cakap dalam menegakkannya, tanpa adanya budaya hukum yang kondusif di masyarakat rasanya akan sangat sulit bagi suatu produk peraturan perundang-undangan dapat berjalan secara efektif. Sedangkan budaya hukum itu sendiri tercermin dalam sikap warga masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut oleh masyarakat. Respon masyarakat terhadap penerapan hukum yang mengatur perilaku akan sangat dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianutnya. Sedangkan menurut pendapat dari Prof. Dr. Zainuddin Ali, M. A, bila membicarakan efektifitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektifitas hukum dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yurisdis, berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis. Oleh karena itu, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat adalah kaidah hukum. Di dalam teori-teori ilmu hukum, dapat dibedakan tiga macam hal

15 mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal itu diungkapkan sebagai berikut: a. Kaidah hukum berlaku secara yurisdis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan. b. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kaidah dimaksud dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat. c. Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. 2. Tinjauan Umum Mengenai Pemerintahan Daerah a. Pengertian Pemerintahan Daerah Pemerintahan Daerah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah adalah penyelenggaran urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam system dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 juga menegaskan bahwa Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintahan Daerah lain baik dalam urusan kewenangan, hubungan pelayanan umum,keuangan, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilakukan secara adil dan selaras. Dalam rangka penyelenggaraan kewenangan antara pemerintah dan daerah, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 9 ayat (3) dan (4) menyebutkan bahwa urusan pemerintahan

16 konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/ kota dan Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintah daerah menjalankan otonomi yang seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal nasional dan agama (Ni matul Huda,2006:350). Penyelenggara urusan pemerintahan ini dapat dilimpahkan kepada perangkat atau wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintah daerah dan / atau pemerintahan desa. Pembagian urusannya itu berdasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya / tetap menjadi kewenangan pemerintah. Urusan pemerintah tersebut menyangkut terjamunnya kelangsungan hidup bangsa dan Negara secara keseluruhan. b. Asas-Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Asas-asas penyelenggaraan pemerintahan daerah antara lain sebagai berikut: 1) Asas Desentralisasi Berdasarkan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi. Definisi lebih mendalam diberikan oleh Arellano Colongon pada jurnalnya yang diterbitkan dalam ISEAS. Decentralization is defined as, The transfer of responsibility for planning, management and resource raising and allocation from the central government and its agencies to field units of central government ministries or agencies,

17 subordinate units or levels of government, semi autonomous public authorities or corporations, and area-wide, regional or functional authorities (2003:88). Desentralisasi diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab atas perencanaan, pengelolaan, serta peningkatan sumber daya dan alokasi dari pemerintah pusat beserta lembaga-lembaganya kepada unit-unit yang ada di pemerintah pusat atau instansinya, unit di bawahnya atau yang setingkat dengan itu, kewenangan publik atau badan hukum yang setengah otonom, dan daerah yang luas, kewilayahan atau kewenangan fungsional. 2) Asas Dekonsentrasi Berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, menjelaskan bahwa dekonsentralisasi adalah pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, kepada instansi vertikal diwilayah tertentu, dan/ atau kepada Gubernur dan Bupati / Walikota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. 3) Asas Tugas Pembantuan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 1 angka 11, menyatakan Tugas Pemabantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah provinsi kepada daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi. 3. Tinjauan tentang Otonomi Daerah a. Pengertian Otonomi Daerah Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 1 Angka 6 menjelaskan bahwa

18 Otonomi Daerah adalah hak, kewenangan, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi Daerah dapat diartikan sebagai hak wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Utang Rasidin, 2010:85). Dengan adanya otonomi daerah diharapkan lebih mandiri dalam menentukan seluruh kegiatannya dan pemerintah pusat diharapkan tidak terlalu aktif mengatur daerah. Definisi yang telah dijabarkan mengenai otonomi daerah maka dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan yang diberikan oleh pusat kepada daerah untuk mengatur segala urusan rumah tanggaya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku. b. Tujuan Otonomi Daerah Terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah wujud nyata reformasi dalam sektor pemerintahan demokatis. Inilah yang menjadi tuntutan aspirasi masyarakat Indonesia dewasa ini. Dengan kebijakan ini diharapkan pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab mampu memberdayakan pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pembangunan daerah. Penyelenggaraan pembangunan daerah ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, dilaksanakan secara lebih aspiratif, partisipatif, dan demokratis bersama seluruh unsur kekuatan masyarakat di daerah. Kebijakan otonomi daerah diharapkan akan mampu memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dilaksanakan berdasarkan kepada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan

19 keadilan serta potensi, dan keanekaragaman daerah (Dewi Aniaty, Aviani Santi, dan Baryono, 2009:39). Menurut Mardiasmo tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah (Mardiasmo, 2002 : 46). Pada dasarnya terkandung 3 (tiga) misi utama pelaksaaan otonomi daerah yaitu: 1) Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. 2) Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah; dan 3) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. c. Prinsip Otonomi Daerah Prinsip-prinsip yang digunakan dalam otonomi daerah (Dewi Aniaty, Aviani Santi, dan Baryono, 2009 : 43)., yaitu: 1) Prinsip otonomi seluas-luasnya artinya daerah berwenang mengatur semua urusan pemerintahan di luar urusan pemerintahan yang ditetapkan Undang-undang (misalnya selain bidang-bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama). 2) Prinsip otonomi nyata adalah bahwa untuk menangani urusan pemerintahan, berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada serta berpotensi untuk hidup dan berkembang sesuai potensi serta kekhasan daerah. 3) Prinsip otonomi bertanggung jawab adalah otonomi yang penyelenggaraannya benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi. 4. Tinjauan Umum Mengenai Kebijakan Publik James E. Anderson mendefinisikan kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah.

20 Kebijakan publik dipahami sebagai pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat atau badan pemerintah dalam bidang tertentu, misalnya bidang pendidikan, politik, ekonomi, pertanian, industri, pertahanan, dan sebagainya. Ruang lingkup kebijakan publik sangatlah luas. Dilihat dari hirarkinya, kebijakan publik dapat bersifat nasional, regional, maupun lokal, seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Provinsi, Peraturan Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Keputusan Bupati/Walikota (AG. Subarsono, 2009:3-4). Sedangkan menurut George C. Edwards III dan Ira Sharkansky mendifinisikan kebijakan publik sebagai suatu tindakan pemerintah yang berupa program-program pemerintah untuk pencapaian sasaran atau tujuan (Suwitri, 2008:10). Pengertian atau definisi yang dikemukakan para ahli tersebut jelas bahwa kebijakan itu bermakna sebagai serangkaian tindakan yang diambil oleh seorang atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu atau untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Walaupun terdapat bermacam-macam definisi tentang kebijakan publik namun demikian secara umum suatu kebijakan publik adalah kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga pemerintah atau pejabat pemerintah. Kebijakan publik dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/04/M.PAN/4/2007 tentang Pedoman Umum Formulasi, Implementasi, Evaluasi Kinerja, dan Revisi Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam Peraturan Menteri ini, kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau lembaga pemerintahan untuk mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu yang berkenaan dengan kepentingan dan manfaat orang banyak. Dalam Peraturan Menteri tersebut, kebijakan publik mempunyai 2 (dua) bentuk yaitu peraturan yang terkodifikasi secara formal dan legal, dan pernyataan pejabat publik di depan publik. Berdasarkan Peraturan Menteri ini, pernyataan pejabat publik juga merupakan bagian kebijakan publik. Hal

21 ini dapat dipahami karena pejabat publik adalah salah satu aktor kebijakan yang turut berperan dalam implementasi kebijakan itu sendiri. 5. Tinjauan Umum Mengenai Perizinan a) Pengertian Izin Didalam kamus hukum, izin (vergunning) dijelaskan sebagai Overheidstoestemming door wet of verordening vereist gesteld voor tal van handeling waarop in het algemeen belang special toezicht vereist is, maar die, in het algemeen, niet als onwenselijk worden beschouwd (perkenaan/izin dari pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada umumnya tidaklah dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak dikenhendaki). Menurut Sjahran Basah, izin adalah perbuatan hukum administrasi Negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkreto berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. E. Utrecht, mengatakan bahwa bilamana pembuat peraturan umumnya tidak melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, maka keputusan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning) (Ridwan HR, 2011:198-199). Bagir Manan menyebutkan bahwa izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundangundangan untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang. N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge membagi pengertian izin dalam arti luas dan sempit yaitu sebagai berikut: a) Izin dalam arti luas Izin adalah salah satu instrument yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi. Pemerintah menggunakan izin

22 sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan tingkah laku para warga. Izin ialah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini menyangkut perkenan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus atasnya. b) Izin dalam arti sempit Pengikatan-pengikatan pada suatu peraturan izin pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk mengahalangi keadaankeadaan yang buruk. Tujuanny adalah mengatur tindakan-tindakan yang oleh pembuat undang-undang tidak selurunya dianggap tercela, namun dimana ia menginginkan dapat melakukan pengawasan sekadarnya. Yang pokok pada izin (dalam arti sempit) ialah bahwa suatu tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan, dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenan dapat dengan teliti diberikan batas-batas tertentu bagi tiap kasus. Jadi persoalannya bukanlah untuk hanya memberi perkenan dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, tetapi agar tindakan-tindakan yang diperkenankan dilakukan dengan cara tertentu (dicantumkan dalam ketentuan-ketentuan) (Ridwan HR, 2011:199-200). Menurut Pasal 1 angka 8 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah, izin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lainnya yang merupakan bukti legalitas menyatakan sah atau diperbolehkannya seorang atau badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu. Dengan demikian, izin

23 menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri adalah sebuah dokumen, hal ini menunjukan bahwa izin harus berbentuk tertulis. Keharusan dalam bentuk tertulis karena izin merupakan sebuah Ketetapan Tata Usaha Negara (beschikking) yang dibuat oleh pejabat negara ditunjukan kepada seseorang untuk dapat dilakukan suatu kegiatan tertentu. b) Sifat Izin Pada dasarnya izin merupakan keputusan pejabat/badan tata usaha negara yang berwenang, yang isinya atau substansinya mempunyai sifat sebagai berikut : 1) Izin bersifat bebas, adalah izin sebagai keputusan tata usaha negara yang penerbitannya tidak terikat pada aturan dan hukum tertuis serta organ yang berwenang dalam izin memiliki kadar kebebasan yang besar dalam memutuskan pemberian izin. 2) Izin bersifat terikat, adalah izin sebagai keputusan tata usaha negara yang penerbitannya terikat pada aturan dan hukum tertulis dan tidak tertulis serta organ yang berwenang dalam izin kadar kebebasannya dan wewenangnya tergantung pada kadar sejauh mana peraturan perundang-undangan mengaturnya. Misalnya, izin yang bersifat terikat adalah IMB, izin HO, izin usaha industry, dan lain-lain 3) Izin yang bersifat mengurungkan, merupakan izin yang isinya mempunyai sifat menguntungkan pada yang bersangkutan. Izin yang bersifat menguntungkan isi nyata keputusan merupakan titik pusat yang memberi anugerah kepada yang bersangkutan. Dalam arti, yang bersangkutan diberikan hak-hak atau pemenuhan tuntutan yang tidak aka nada tanpa keputusan tersebut. Misalnya, dari izin yang menguntungkan adalah SIM, SIUP, SITU, dan lain-lain. 4) Izin yang bersifat memberatkan, merupakan izin yang isinya mengandung unsur-unsur memberatkan dalam bentuk ketentuanketentuan yang berkaitan kepadanya. Disamping itu, izin yang berisfat memberatkan merupakan pula izin yang memberi beban

24 kepada orang lain atau masyarakat sekitarnya. Misalnya, pemberian izin kepada perusahaan tertentu. Bagi mereka yang tinggal disekitarnya yang merasa dirugikan izin tersebut merupakan suatu beban. 5) Izin yang segera berakhir, merupakan izin yang menyangkut tindakan-tindakan yang akan segera berakhir atau izin yang masa berlakunya relatif pendek, misalnya izin mendirikan bangunan (IMB), yang hanya berlaku untuk mendirikan bangunan dan berakhir saat bangunan selesai didirikan. 6) Izin yang berlangsung lama, merupakan izin yang menyangkut tindakan-tindakan yang berakhirnya atau masa berlakunya relatif lama, misalnya izin usaha industri, dan izin yang berhubungan dengan lingkungan. 7) Izin yang bersifat pribadi, merupakan izin yang isinya tergantung pada sifat atau kualitas pribadi dan pemohon izin. Misalnya, izin mengemudi (SIM). 8) Izin yang bersifat kebendaan, merupakan izin yang isinya tergantung pada sifat dan objek izin. Misalnya, izin HO, SITU, dan lain-lain (Adrian Sutedi, 2011:173-175). c) Unsur-Unsur dalam Izin Berdasarkan pemaparan pendapat para pakar tersebut, dapat disebutkan bahwa izin adalah perbuatan pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk diterapkan pada peristiwa konkrit menurut prosedur dan persyaratan tertentu. Dari pengertian ini ada beberapa unsur dalam perizinan, yaitu (Adrian Sutedi, 2011:179-193): 1) Wewenang Salah satu prinsip dalam negara hukum adalah wetmatigheid van bestuur atau pemertintahan berdasarkan peraturan perundangundangan. Dengan kata lain, setiap tindakan hukum pemerintah, baik

25 dalam menjalankan fungsi pelayanan, harus didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Om positief recht ten kunnen vasstellen en hanhaven is een bevoegdheid noodzakelijk. Zander bevoegdheid kunnen geen juridisch concrete besluitten genomen warden (untuk dapat melaksanakan dan menegakkan ketentuan hukum positif perlu wewenang. Tanpa wewenang tidak dapat dibuat keputusan yuridis yang bersifat konkret). 2) Izin Sebagai Bentuk Ketetapan Berdasarkan jenis-jenis ketetapan, izin termasuk sebagai ketetapan yang bersifat konstitutif, yakni ketetapan yang menimbulkan hak baru yang sebelumnya tidak dimiliki oleh seseorang yang namanya tercantum dalam keputusan itu, atau beschikkingen welke lets toestaan wat tevoren niet geoorloofd was (ketetapan yang memperkenankan sesuatu yang sebelumnya tidak diperbolehkan). Dengan demikian, izin merupakan instrumen yuridis dalam bentuk keputusan yang bersifat konstitutif dan yang digunakan oleh pemerintah untuk menghadapi atau menetapkan peristiwa konkret. Sebagai ketetapan, izin itu dibuat dengan ketentuan dan persyaratan yang berlaku bagi keputusan pada umumnya, sebagaimana yang telah disebutkan diatas. 3) Lembaga Pemerintah Lembaga atau kelembagaan, secara teoritis adalah rule of the game yang mengatur tindakan dan menentukan apakah suatu organisasi dapat berjalan secara efisien dan efektif. Dengan demikian tata kelembagaan dapat menjadi pendorong pencapaian keberhasilan dan sekaligus juga bila tidak tepat dalam menata, maka dapat menjadi penghambat tugas-tugas termasuk tugas menyelenggarakan perizinan.

26 4) Peristiwa Konkret Peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu, orang tertentu, tempat tertentu, dan fakta hukum tertentu. Karena peristiwa konkret ini beragam, sejalan dengan keragaman perkembangan masyarakat, izin pun memiliki berbagai keragaman. Izin yang jenisnya beragam itu dibuat dalam proses yang cara prosedurnya tergantung dari kewenangan pemberi izin, macam izin, struktur organisasi instansi yang menerbitkannya. 5) Proses dan Prosedur Proses dan prosedur perizinan dapat meliputi prosedur pelayanan perizinan, proses penyelesaian perizinan yang merupakan proses internal yang dilakukan oleh aparat/petugas. Dalam setiap tahapan pekerjaan tersebut, masing-masing pegawai dapat mengetahui peran masing-masing dalam proses penyelesaian perizinan. 6) Persyaratan Persyaratan merupakan hal yang harus dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh izin yang dimohonkan. Persyaratan perizinan tersebut berupa dokumen kelengkapan atau surat-surat. 7) Waktu Penyelesaian Izin Waktu penyelesaian izin harus ditentukan oleh instansi yang bersangkutan. Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan. 8) Biaya Perizinan Biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian izin. Penetapan biaya pelayanan izin perlu memperhatikan hal-hal yaitu : a) Rincian biaya harus jelas untuk setiap perizinan, khususnya yang memerlukan tindakan seperti penelitian, pemeriksaan, pengukuran, dan pengajuan.

27 b) Ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan, dan atau memperhatikan prosedur sesuai ketetntuan peraturan perundangundangan. 9) Pengawasan Penyelenggaraan Izin Saat sekarang kinerja pelayanan perizinan yang dilaksanakan oleh pemerintah dituntut untuk lebih baik. Dalam banyak hal memang harus diakui bahwa kinerja pelayanan perizinan pemerintah masih buruk. Hal ini disebabkan oleh tidak ada sistem insentif untuk melakukan perbaikan, dan buruknya tingkat pengambilan inisiatif dalam pelayanan perizinan. 10) Penyelesaian Pengaduan dan Sengketa Setiap pimpinan unit penyelenggara pelayanan perizinan wajib menyelesaikan setiap pengaduan masyarakat mengenai ketidakpuasan dalam pemberian izin sesuai kewenangannya. Apabila penyelesaian pengaduan tersebut oleh pemohon atau pihak yang dirugikan akibat dikeluarkan izin, maka dapat melakukan penyelesaian melaui jalur hukum, yakni melalui mediasi, Ombusman, atau ke pengadilan untuk menyelesaikan sengketa hukum perizinan tersebut. 11) Sanksi Sebagai produk kebijakan publik, regulasi, dan deregulasi perizinan di Indonesia ke depan perlu memperhatikan materi sanksi dengan kriteria sebagai berikut : a. Disebutkan secara jelas terkait dengan unsur-unsur yang dapat diberi sanksi dan sanksi apa yang akan diberikan. b. Jangka waktu pengenaan sanksi disebutkan c. Mekanisme pengguguran sanksi 12) Hak dan kewajiban Hak dan kewajiban antara pemohon dan instansi pemberi izin harus tertuang dalam regulasi dan deregulasi perizinan di Indonesia. Dalam hal ini juga harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

28 a. Tertulis dengan jelas b. Seimbang antara pihak c. Wajib dipenuhi oleh para pihak d) Fungsi dan Tujuan Perizinan Perizinan merupakan perbuatan atau usaha yang sifatnya sepihak yang berada dibidang hukum publik yang berdasarkan wewenang tertentu berupa penetapan permohonan seseorang maupun badan hukum terhadap masalah yang dimohonkan. Menurut Adrian Sutedi ketentuan tentang perizinan mempunyai fungsi yaitu: 1) Fungsi Penertib Fungsi penertib, dimaksudakan agar izin atau setiap izin atau tempat-tempat usaha, bangunan dan bentuk kegiatan masyarakat lainnya tidak bertentangan satu sama lainnya, sehingga ketertiban dalam setiap segi kehidupan masyarakat dapat terwujud. 2) Fungsi Mengatur Fungsi mengatur, dimaksudkan agar perizinan yang ada dapat dilaksanakan sesuai dengan peruntukannya, sehingga terdapat penyalahgunaan izin yang telah diberikan, dengan kata lain, fungsi pengaturan ini dapat disebut juga sebagai fungsi yang dimiliki oleh pemerintah. 3) Fungsi Pembinaan Fungsi pembinaan, bahwa dengan diberikannya izin oleh pemerintah, maka pelaku usaha sudah diakui sebagai pihak yang memiliki kompetensi untuk melakukan praktik usaha. Oleh karena itu, sebagai pihak yang berkewajiban untuk memberikan pembinaan bagi pelaku usaha, maka pemerintah akan memiliki tanggung jawab pada pelaku usaha yang sebelumnya sudah memperoleh izin (Adrian Sutedi, 2011:193-197). Adapun mengenai tujuan perizinan, hal ini tergantung pada kenyataan konkret yang dihadapi. Keragaman peristiwa konkret

29 menyebabkan keragaman pula dari tujuan izin ini, yang secara umum dapat disebutkan sebagai berikut : a) Keinginan mengarahkan (mengendalikan sturen ) aktivitasaktivitas tertentu (misalnya izin bangunan) b) Mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan). c) Keinginan melindungi objek-objek tertentu (izin terbang, izin membongkar pada monumen-monumen). d) Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di daeah padat penduduk). e) Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitasaktivitas (izin berdasarkan drank en horecawet, dimana pengurus harus memenuhi syarat-syarat tertentu) (Ridwan HR, 2011:208-209). Tujuan dan fungsi dari perizinan adalah untuk pengendalian daripada aktivitas pemerintah dalam hal-hal tertentu dimana ketentuannya berisi pedoman-pedoman yang harus dilaksanakan oleh baik yang berkepentingan ataupun oleh pejabat yang berwenang. Selain itu tujuan dari perizinan itu dapat dilihat dari dua sisi yaitu: a) Pemerintah Dari sisi pemerintah tujuan pemberian izin itu adalah sebagai berikut: 1) Untuk melaksanakan peraturan, apakah ketentuan-ketentuan yang termuat dalam peraturan tersebut sesuai dengan kenyataan dalam prakteknya atau tidak dan sekaligus untuk mengatur ketertiban. 2) Sebagai sumber pendapatan daerah, dengan adanya permintaan izin, maka secara langsung pendapatan pemerintah akan bertambah karena setiap izin yang dikeluarkan pemohon harus membayar retribusi terlebih dahulu. Semakin banyak pula pendapatan dibidang retribusi tujuan akhirnya, yaitu untuk membiayai pembanguna

30 b) Masyarakat Dari sisi masyarakat tujuan pemberian izin itu adalah sebagai berikut: 1) Untuk adanya kepastian hukum 2) Untuk adanya kepastian hak 3) Untuk memudahkan fasilitas, apabila bangunan yang didirikan telah mempunyai izin akan lebih mudah mendapat fasilitas (Adrian Sutedi, 2011:200). 6. Tinjauan Mengenai Bangunan Gedung Bangunan gedung merupakan sebuah karya manusia yang dibuat untuk menunjang kebutuhan hidup manusia, baik sebagai tempat bekerja, usaha, pendidikan, sarana olahraga, rekreasi, keagamaan, dan sarana lain sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pada dasarnya setiap orang, badan, atau institusi bebas untuk membangun bangunan gedung sesuai dengan kebutuhan, ketersediaan dana, bentuk kontruksi, dan bahan yang digunakan. Dalam pembangunan bangunan gedung harus diatur dan diawasi oleh pemerintah, karena pembangunan suatu bangunan gedung dapat mengganggu orang lain maupun membahayakan buat kepentingan umum. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung memberikan pengertian adalah wujud fisik hasil pekerjaan kontruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan atau di dalam tanah dan atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. Bangunan gedung diselenggarakan berlandaskan asas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, serta keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya. Asas kemanfaatan dipergunakan sebagai landasan agar bangunan gedung dapat diwujudkan dan diselenggarakan sesuai fungsi yang ditetapkan, serta sebagai wadah kegiatan manusia yang memenuhi nilai-nilai

31 kemanusiaan yang berkeadilan, termasuk aspek kepatutan dan kepantasan. Asas keselamatan dipergunakan sebagai landasan agar bangunan gedung memenuhi persyaratan bangunan gedung, yaitu persyaratan keandalan teknis untuk menjamin keselamatan pemilik dan pengguna bangunan gedung, serta masyarakat dan lingkungan di sekitarnya, disamping persyaratan yang bersifat administratif. Asas keseimbangan dipergunakan sebagai landasan agar keberadaan bangunan gedung berkelanjutan tidak menggangu keseimbangan ekosistem dan lingkungan di sekitar bangunan gedung. Asas keserasian dipergunakan sebagai landasan agar penyelenggaraan bangunan gedung dapat mewujudkan keserasian dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungan di sekitarnya (Marihot Pahala Siahaan, 2008:29-30). Pengaturan bangunan gedung bertujuan untuk : a. Mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya. b. Mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan gedung yang menjamin keandalan teknis bangunan gedung dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan. c. Mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung (Marihot Pahala Siahaan, 2008:30).

32 B. Kerangka Pemikiran Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Daerah Kota Yogykarta Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Bangunan Gedung Dinas Perizinan Kota Yogyakarta Prosedur Perizinan Pembangunan Hotel Kendala Yang Timbul Solusi Gambar. 2 Kerangka Pemikiran

33 Keterangan: Kerangka pemikiran diatas mencoba memberikan gambaran mengenai alur berpikir, menggambarkan, menelaah, menjabarkan dan menemukan jawaban atas Prosedur perizinan pembangunan hotel oleh Dinas Perizinan Kota Yogyakarta ditinjau dari Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Bangunan Gedung. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa pemerintah daerah dan DPRD adalah penyelenggara urusan pemerintahan di daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI dan sejalan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, bahwa pemerintah Kota Yogyakarta bersama DPRD telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Bangunan Gedung. Salah satu fungsi dari bangunan gedung adalah dipergunakan untuk perhotelan. Orang atau Badan hukum yang akan dan telah mengajukan izin pembangunan hotel ditujukan kepada Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Dalam proses pemberian izin, Dinas Perizinan Kota Yogyakarta menerapkan Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Terpadu di Bidang Penanaman Modal. Sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, Dinas perizinan akan melakukan verifikasi terhadap semua persyaratan yang telah ditetapkan. Selanjutnya dari hasil verifikasi akan diketahui pemohon yang memenuhi persyaratan dan tidak memenuhi persyaratan. Selama proses pengurusan izin, bila ditemui kendala dalam pelaksanaannya, maka perlu dicarikan solusinya.