REKOMENDASI PERTEMUAN NASIONAL JEJARING KONSELOR HOTEL GRAND CEMPAKA JAKARTA TANGGAL, 14 17 NOVEMBER 2006 Pertemuan nasional jejaring konselor HIV/AIDS yang diselenggarakan di Jakarta mulai tanggal 14 hingga 17 November 2006, diikuti oleh 195 peserta dari 33 propinsi yang memiliki latar belakang sebagai konselor profesional dan konselor senior. Inisiatif penyelenggaraan pertemuan ini didasari oleh pemikiran tentang perlunya penguatan jejaring konselor HIV/AIDS baik di tingkat nasional maupun wilayah guna meningkatkan kerjasama yang lebih baik. Dengan demikian diharapkan kualitas dan kuantitas penanggulangan pencegahan HIV/AIDS di masyarakat dapat lebih ditingkatkan. Ulasan mengenai prinsip-prinsip dasar dalam pelaksanaan VCT disampaikan oleh beberapa pejabat dari lingkungan Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan dan Pelayanan Medik serta Direktorat lain di Departemen Kesehatan yang terkait. Di awal pertemuan, yang kemudian dilanjutkan dengan paparan pengalaman aktivitas jejaring konselor dari beberapa wilayah. Aktivitas utama pertemuan adalah penyelenggaraan diskusi kelompok untuk empat (4) topik, yaitu: 1). Jejaring konselor, 2). Kurikulum dan modul pelatihan, 3). Sistem layanan berbasis kelompok sasaran dan 4). Monitoring dan evaluasi. Berbagai kendala dan tantangan yang terkait dengan topik-topik di atas telah terdokumentasi, demikian pula berbagai alternatif jalan keluar atas permasalahan tersebut serta rencana pengembangan programnya. 1. Rekomendasi Jejaring Konselor 1.1. Dirasakan perlu diperkuat jejaring yang bersifat internal kelembagaan, yang mencakup konselor, instalasi-instalasi terkait, maupun tenaga kesehatan lainnya. Dengan demikian penolakan keterlibatan dalam penanganan kasus HIV/AIDS yang mungkin masih ada pada lembaga tersebut dapat diminimalisasi. Selain itu juga dapat meningkatkan kualitas layanan, karena bersifat lebih komprehensif. 1.2. Dirasakan perlu adanya jejaring atas lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang penanggulangan HIV/AIDS, yang meliputi antara lain klinik VCT, klinik PMS, layanan KIA, unit Harm Reduction, serta klinik TB di 1
berbagai setting; juga dengan pusat layanan kesehatan lain (termasuk praktek dokter swasta, layanan terapi Napza, PMI, Puskesmas, laboratorium ) khususnya yang dapat menunjang proses rujukan. Jejaring lembaga yang bergerak di bidang HIV/AIDS ini dirasakan perlu diperluas hingga tatanan khusus seperti TNI / Polri, PJTKI dan lapas/rutan 1.3. Perlu dibentuk jejaring dengan lembaga-lembaga yang tidak bergerak dalam bidang penanggulangan HIV/AIDS secara langsung tetapi yang dirasakan dapat menunjang pekerjaan penanggulangan HIV/AIDS, baik dalam bentuk dukungan program, dukungan finansial, maupun sosialisasi program. Lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang-bidang seperti pariwisata, pendidikan, pembinaan mental, kesejahteraan sosial,ketenagakerjaan, media, dan penegakan hukum, baik di tingkat kabupaten, propinsi maupun nasional perlu dilibatkan dalam pembentukan jejaring ini. Diharapkan program VCT dapat berkembang dengan lebih baik dan tersosialisasi dengan lebih luas. 1.4. Jejaring bagi para konselor juga perlu dibentuk, baik di tingkat wilayah / regional maupun nasional. Jejaring diusulkan mengambil format kelompok/ forum, bukan asosiasi profesi. Selain itu juga perlu ditetapkan jejaring ini berada di bawah koordinasi Dinas Kesehatan untuk tingkat propinsi dan Departemen Kesehatan untuk tingkat Nasional dan dengan penetapan struktur organisasi, termasuk penetapan AD/ART. 1.5. Perlu ada agenda pertemuan tingkat nasional dan tingkat wilayah untuk menyamakan persepsi, pertukaran dan updating informasi, sharing permasalahan, akselerasi pelaksanaan program 1.6. Perlu media komunikasi berkala antar konselor baik dalam bentuk elektronik (website / mailing list) maupun non-elektronik (buletin, majalah) agar informasi dapat segera diakses oleh banyak angota 2. Rekomendasi Kurikulum dan Modul Pelatihan 2.1. Modul pelatihan yang saat ini memerlukan penambahan dan perbaikan: 2.1.1. Perbaikan bahasa agar lebih mudah untuk dipahami 2
2.1.2. Kasus dan masalah disesuaikan dengan budaya setempat, kelompok sasaran (misalnya, PSK atau MSM) dan ruang lingkup kerja (misalnya pada masyarakat umum atau pada pusat pelayanan kesehatan) 2.1.3. Pemberian materi pelatihan selain pemahaman dasar & umum, juga hendaknya diberi penekanan pada materi-materi yang sesuai dengan target sasaran pusat layanan VCT (misalnya, untuk RSKO diberikan penekanan pada materi tentang IDU) 2.1.4. Diperlukan adanya penambahan materi dalam aspek: 2.1.4.1. Etik dan legal; 2.1.4.2. Konseling untuk populasi khusus seperti TNI / Polri, pasien dengan kesadaran menurun dan gangguan mental; 2.1.4.3. Pembahasan kasus yang bersifat indeterminate; 2.1.4.4. Modifikasi VCT bagi kelompok khusus secara massal (mis. VCT bagi TKI); 2.1.4.5. Rujukan pembacaan hasil positif; 2.1.4.6. Penyusunan SOP 2.1.4.7. Pelaksanaan VCT pada seting klinik yang bergerak (mobile clinic) 2.2. Metode pelatihan: 2.2.1. Tetap menggunakan role play dengan menggunakan expert patient, demo dan atau film. 2.2.2. Seting kelas tidak diubah 2.2.3. Tempat pelatihan hendaknya lebih bersifat regional 2.2.4. Penyegaran materi secara reguler 2.3. Fasilitator: 2.3.1. Dapat menghidupkan suasana dan masih tetap bekerja sebagai konselor 2.3.2. Sebaiknya setiap kelas memiliki fasilitator yang tetap 2.4. Pedoman pelatihan: agar ditambahkan: 2.4.1. Penjelasan yang lebih detail mengenai bagaimana membuka dan memberitahu hasil pada pasien dengan kasus khusus. 2.4.2. Aspek HAM pada pasangan, anak, keluarga dan orang lain pada klien dengan kasus khusus 3
3. Rekomendasi Sistem Pelayanan Berbasis Kelompok Sasaran 3.1. Perlu sosialisasi yang lebih intensif, berkesinambungan dan sedini mungkin tentang manfaat dan pentingnya VCT kepada seluruh kelompok sasaran 3.2. Diperlukan teknik pendekatan yang bersifat komprehensif bagi tiap-tiap kelompok sasaran (PSK, MSM, IDU dll), yaitu dengan melibatkan pula segenap komponen yang telah tersedia di masyarakat 3.3. Pentingnya promosi VCT melalui media lokal yang sesuai dengan situasi dan kondisi daerah 3.4. Perlu diperkuat pelaksanaan advokasi VCT (baik di tingkat Propinsi maupun nasional) 3.5. Diperlukan peningkatan kualitas penyedia layanan khususnya untuk meningkatkan asas konfidensialitas serta meminimalisasi masalah diskriminasi dan stigmatisasi 3.6. Bentuk pusat layanan perlu mempertimbangkan hal-hal berikut: 3.6.1. Keterjangkauan dari aspek finansial 3.6.2. Keterjangkauan dari aspek jarak 3.6.3. Berorientasi pada klien (non-diskriminatif, non-stigmatisasi, dan konfidensialitas) 3.7. Diperlukan jenis layanan yang bergerak (mobile VCT) agar dapat menjangkau kelompok-kelompok sasaran tertentu 4. Rekomendasi Monitoring dan Evaluasi 4.1. Instrumen monitoring dan evaluasi yang ada perlu perbaikan dalam halhal berikut ini: 4.1.1. Instrumen 1: pertanyaan tentang jenis pelayanan harus jelas 4.1.2. Instrumen 2: perlu penjelasan tentang jumlah profesional konselor yang disupervisi (minimal 2 orang konselor) 4
4.1.3. Check list instrument VCT harus terstandarisasi secara nasional 4.2. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi: 4.2.1. Perlu dibuat jadwal tetap dan pemberitahuan sebelumnya kepada pusat layanan VCT 4.2.2. Dilakukan oleh tim yang berkompeten 4.2.3. Dilakukan di seluruh layanan kesehatan maupun non-kesehatan yang memiliki klinik VCT 4.3. Sistem pelaporan terdiri dari 3 format: 4.3.1. Pelaporan untuk Propinsi, Kabupaten / Kota dan Usaha Pelayanan Kesehatan (UPK) 4.3.1.1. Pelaporan tingkat UPK diberikan kepada Dinkes Kabupaten / Kota dengan tembusan kepada Dinkes Propinsi 4.3.1.2. Pelaporan tingkat Kabupaten / Kota diberikan kepada Dinkes Propinsi dengan tembusan kepada KPA Propinsi/KPA Kabupaten/Kota 4.3.1.3. Pelaporan tingkat Propinsi diberikan kepada Depkes RI cq Dirjen P2PL dengan tembusan kepada KPA Jakarta, 17 November 2006 KONSELOR PROFESIONAL SE INDONESIA 5