Subjective Well-Being Pada Istri yang Memiliki Pasangan Tunanetra

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

Prosiding Psikologi ISSN:

Subjective Well-Being Pada Guru Sekolah Menengah. Dinda Arum Natasya Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective wellbeing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Konsep Subjective well-being. juga peneliti yang menggunakan istilah emotion well-being untuk pengertian yang

BAB I PENDAHULUAN. Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar penyakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

SUBJECTIVE WELL-BEING DAN REGULASI DIRI REMAJA PELAKU TINDAK KEKERSAN (Studi pada anak pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being

Subjective Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Tuna Rungu

BAB II KAJIAN PUSTAKA

SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PENARI STUDIO SENI AMERTA LAKSITA SEMARANG

Subjective Well-Being pada Guru Honorer di SMP Terbuka 27 Bandung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan seperti firman Allah dalam Qur`an Surat Al- Baqarah ayat 36

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN ANTARA RASA BERSYUKUR DAN SUBJECTIVE WELL BEING PADA PENDUDUK MISKIN DI DAERAH JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di Indonesia seseorang dikatakan sejahtera apabila dapat memenuhi

PEDOMAN WAWANCARA. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian dengan

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. penduduk tersebutlah yang menjadi salah satu masalah bagi suatu kota besar.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abdi dalem merupakan orang yang mengabdi pada Keraton, pengabdian abdi

INSAN Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental p-issn e-issn

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

Hubungan antara Gaya Regulasi Motivasi dengan Psychological Well Being pada Mahasiswa Bidikmisi Fakultas Ilmu Budaya Unpad Novita Purnamasari

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed method yang merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Kebahagiaan merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan, karena pada

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah combined

PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU NEGERI DI SMAN I WONOSARI DENGAN GURU SWASTA DI SMA MUHAMMADIYAH I KLATEN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. Dampak perubahan tersebut salah satunya terlihat pada perubahan sistem keluarga dan

BAB I PENDAHULUAN. Kristen. Setiap gereja Kristen memiliki persyaratan tersendiri untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. emosional yang positif karena telah terpenuhinya kondisi-kondisi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB 2 LANDASAN TEORI. Ada dua tradisi dalam memandang kebahagiaan, yaitu kebahagiaan

Prosiding Psikologi ISSN:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik. Sedangkan Diener, dkk (2003) menerjemahkan subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. mereka kelak. Salah satu bentuk hubungan yang paling kuat tingkat. cinta, kasih sayang, dan saling menghormati (Kertamuda, 2009).

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. strategis di era globalisasi. Dengan adanya kemajuan tersebut, sesungguhnya

Prosiding SNaPP2015 Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Semua orang menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Kebahagiaan

HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DAN SUBJECTIVE WELL- BEING PADA GURU SEKOLAH DASAR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. Variabel dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel Bebas : Terapi Kebermaknaan Hidup

PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL BEING ANTARA GURU BERSERTIFIKASI DAN NON SERTIFIKASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

KEBAHAGIAAN DAN KETIDAKBAHAGIAAN PADA WANITA MENIKAH MUDA

Mewujudkan Kebahagiaan di Masa Lansia dengan Citra Diri Positif *

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan terdiri atas beberapa jenis, yaitu pendidikan umum, kejuruan, akademik,

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sekitar lima tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 30 Desember 2005,

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA GURU BANTU SD SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

BAB 1 PENDAHULUAN. ketidakberdayaan. Menurut UU No.13 tahun 1998, lansia adalah seseorang yang telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

1. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

RELATIONSHIP BETWEEN SPIRITUAL INTELLIGENCE AND SUBJECTIVE WELL-BEING IN CIVIL SERVANT GROUP II DIPONEGORO UNIVERSITY

BAB I PENDAHULUAN. Harapan bagi setiap wanita yang ada di dunia ini adalah untuk bisa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well Being. Menurut Diener (2009) definisi dari subjective well being (SWB) dan

HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN SUBJECTIVE WELL- BEING SISWA SMA NEGERI 1 BELITANG NASKAH PUBLIKASI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. usahanya tersebut. Profesi buruh gendong banyak dikerjakan oleh kaum

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well Being. dan kepuasan dalam hidup dikaitkan dengan subjective well being.

Pengaruh Pelatihan Syukur terhadap Subjective Well-Being pada Penduduk Miskin di Surakarta

SUBJECTIVE WELL-BEING (KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF) DAN KEPUASAN KERJA PADA STAF PENGAJAR (DOSEN) DI LINGKUNGAN FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Bandung merupakan salah satu kota besar dengan kemajuan dibidang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah disampaikan pada. bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Anak yang Bekerja sebagai Buruh Nelayan di Desa Karangsong Indramayu

HUBUNGAN ANTARA SUBJECTIVE WELL-BEING DENGAN SELF MANAGEMENT PADA IBU BEKERJA DI RUMAH SAKIT X. Rini Aprillia Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maupun dengan lawan jenis merupakan salah satu tugas perkembangan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang dialaminya. Subjective well-being melibatkan evaluasi pada dua komponen, yaitu

GAMBARAN DUKUNGAN SOSIAL DAN KOMITMEN PADA INDIVIDU YANG BERPACARAN BEDA AGAMA

BAB I PENDAHULUAN. Pada perguruan tinggi mahasiswa tahun pertama harus bersiap menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

Transkripsi:

Subjective Well-Being Pada Istri yang Memiliki Pasangan Tunanetra Chintia Permata Sari & Farida Coralia Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung Email: coralia_04@yahoo.com ABSTRAK. Penilaian negatif dan perlakuan yang kurang menyenangkan dari lingkungan sekitar membuat istri yang memiliki pasangan tunanetra merasa dirinya mengalami keterasingan dari lingkungan, kurang percaya diri, dan merasa kurangnya dukungan dari anggota keluarga. Namun, peneliti juga menemukan istri yang memiliki pasangan tunanetra yang merasa bahagia akan kehidupannya dan memiliki penilaian positif menyenai dirinya. Perasaan positif dan negatif yang dirasakan oleh istri yang memiliki pasangan tunanetra berkaitan dengan tingkat subjective well-being, yang membuat mereka memiliki penilaian yang rendah atau tinggi mengenai hidup yang dijalaninya dan menganggap pernikahannya sebagai hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan. Tujuan ini adalah menggambarkan subjective well-being pada istri yang memiliki pasangan tunanetra. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan subjek berjumlah 24 orang. Hasil menunjukkan bahwa subjek yang memiliki tingkat subjective well-being tinggi yaitu sebanyak 19 orang (79,16%) dan subjek yang memiliki tingkat subjective well-being rendah sebanyak 5 orang (20,84%). Artinya subjek dengan tingkat subjective well-being tinggi memiliki perasaan puas dalam menjalani kehidupan pernikahannya dan mampu menerima kondisi suaminya yang tunanetra, serta memiliki banyak afek positif dan sedikit merasakan afek negatif. Sedangkan subjek dengan tingkat subjective well-being rendah, mereka memiliki tingkat life satisfaction, positive affect, dan negative affect yang tinggi. Artinya mereka memiliki kepuasan dalam hidupnya dan memiliki afek positif, namun mereka sering juga merasakan afek negatif. Kata kunci: Subjective well-being, Istri, Pasangan Tunanetra Latar Belakang Dalam menentukan pasangan, seseorang dihadapkan pada berbagai pilihan calon pasangan hidup yang baik menurut penampilan fisik maupun non-fisik. Penampilan fisik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penampilan luar seseorang yang mudah diamati dan dinilai oleh orang sekelilingnya. Seorang wanita terkadang memiliki kriteria fisik tersendiri untuk calon pasangannya, seperti pria yang berpostur tinggi, atletis, berkulit putih atau sawo matang, hingga kemampuan dalam panca indera yang dimiliki tanpa adanya kekurangan dan kecacatan. Sedangkan penampilan non-fisik adalah penampilan hati yang tercermin dari perilaku, tutur kata, ketaatan beribadah, dan kemampuan menjaga diri dan sebagainya. Peneliti menemukan fenomena di ITMI Bandung wanita-wanita yang bersedia menikah dengan tunanetra. Tunanetra adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami gangguan penglihatan sehingga matanya tidak berfungsi secara normal. Secara fisik, ketunanetraan merupakan gangguan visual, sehingga seseorang tidak bisa menyerap informasi dengan lengkap (http://netra-indonesia.blogspot.com/2013/04/ pengertiantunanet ra.html). Keterbatasan fisik tunanetra akan membuat fungsi keluarga yang terbentuk dari perkawinan wanita normal dengan disabilitas tunanetra secara tidak langsung mengalami perbedaan dan terdapat beberapa aspek yang tidak terpenuhi dengan baik. Peran wanita pun dalam sebuah keluarga mengalami perubahan dengan beberapa tanggung jawab yang lebih dan berbeda dibandingkan dengan wanita yang menikah dengan pria normal. Keterbatasan fungsi tubuh yang dimiliki suami membuat para subjek menghadapi pertentangan dari pihak keluarga yang tidak menyetujui dirinya untuk menerima pasangan tunanetra, dan banyaknya pihak-pihak dari lingkungan sekitar yang mengucilkan orang tunanetra. Perlakuan negatif dari lingkungan yang dihadapinya, membuat para subjek merasa sedih, kecewa, dan merasa terasingkan oleh lingkungan sekitar. Berdasarkan hasil survey, istri yang memiliki pasangan tunanetra seringkali merasa dirinya direndahkan, merasa kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar, kecewa, sedih, tidak bahagia, tidak berharga, tidak nyaman, dan kurang percaya diri. Perasaan-perasaan tersebut muncul akibat perlakuan tidak menyenangkan yang diterima, baik dari keluarga atau lingkungan sosial, akibatnya mereka menjadi enggan untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lebih memilih untuk berdiam di rumah saja. Di sisi lain peneliti juga menemukan istri-istri yang merasa bahagia akan kehidupannya. Meskipun terkadang 69

mereka atau keluarganya (suami dan anak) menerima perlakuan yang tidak menyenangkan, baik dari pihak keluarga maupun lingkungan sosial, seperti masih ada pihak keluarga yang belum bisa menerima suaminya, ada yang mengucilkan suami, dan teman anak-anaknya yang mengejek fisik tunanetra, namun para istri ini mampu mengatasi dengan baik serta memiliki rasa optimis bahwa keluarga mereka akan mampu melewati kondisi sulit apapun. Sekalipun seringkali para istri ini harus menjalankan beberapa tugas suami yang disebabkan keterbatasan suaminya, namun relasi dalam keluarga terlihat harmonis, mereka pun cukup aktif dalam lingkungan sosial, tidak memiliki kesulitan yang berarti dalam berinteraksi dengan orang lain, dan mampu menjadi dukungan bagi suami dan anaknya ketika merasa terpuruk akibat perlakuan tidak menyenangkan dari lingkungan. Kondisi-kondisi tersebut mengindikasikan adanya evaluasi perasaan yang dipersepsi oleh istri yang memiliki suami tunanetra, yaitu ada yang mengevaluasi diri secara negatif, namun ada pula yang mengevaluasi diri secara positif. Istri yang mengevaluasi diri secara positif memiliki penilaian yang lebih tinggi tentang hidupnya. Mereka dapat mengendalikan aspek-aspek penting dalam hidupnya seperti aspek hubungan sosial, kehidupan dengan pasangan, dan kehidupan dengan keluarga, sehingga mereka menjadi lebih puas dan lebih bahagia dalam menjalani hidupnya. Subjective Well-Being Diener, Lucas, Oishi (2005) mendefinisikan subjective well-being sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang tentang hidupnya. Evaluasi ini meliputi penilaian emosional terhadap berbagai kejadian yang dialami yang sejalan dengan penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan kebutuhan. Seseorang dideskripsikan mempunyai subjective well-being yang tinggi apabila ia menilai kepuasan hidupnya tinggi, dan merasakan afek positif lebih sering dibandingkan afek negatif (Diener & Lucas dalam Ryan & Deci, 2001). Subjective well-being memiliki tiga komponen, yaitu: Life Satisfaction Life satisfaction, yakni penilaian kognitif seseorang mengenai kehidupannya, apakah kehidupan yang dijalaninya berjalan dengan baik. Life satisfaction ini dapat diukur dengan melihat derajat kepuasan seseorang terhadap hidupnya. Campbell, Converse, dan Rodgers (dalam Diener, 1994) mengatakan bahwa komponen kognitif ini merupakan kesenjangan yang dipersepsikan antara keinginan dan pencapaiannya apakah terpenuhi atau tidak. Life satisfaction merupakan penilaian subjektif seseorang mengenai seberapa dekat kehidupannya saat ini dengan kehidupan ideal (Pavot dan Diener, 1993). Positive Affect dan Negative Affect Menurut Diener (2003) definisi afeksi adalah evaluasi individu mengenai kejadian-kejadian yang dialami dalam hidupnya. Sedangkan afeksi positif dan negatif menggambarkan pengalaman yang terjadi dalam kehidupan individu. Evaluasi terhadap afeksi ini terdiri dari gambaran emosi dan mood (suasana hati). Mood biasanya diistilahkan sebagai suasana hati. Mood biasanya memiliki nilai kualitas positif atau negatif. Mood berbeda dengan emosi karena mood tidak harus disebabkan sesuatu hal. Mood cenderung bertahan lebih lama dari emosi, namun intensitasnya kurang dibanding emosi. Apabila emosi dikategorikan menjadi positif dan negatif, maka ini akan berubah menjadi suasana hati. Jadi dapat dikatakan bahwa afek positif adalah sebuah dimensi suasana hati yang terdiri dari emosi-emosi positif, seperti kesenangan, ketenangan diri, kegembiraan, dan lain-lain. Afek negatif adalah sebuah dimensi suasana hati yang terdiri atas kesedihan, kecemasan, kemarahan, stress, dan lain-lain. (Diener, 1999). Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif karena ingin mendapatkan kejelasan mengenai gambaran subjective well-being pada istri yang memiliki pasangan tunanetra. Sedangkan alat ukur yang digunakan adalah SWLS (Satisfaction With Life Scale) yang dikembangkan oleh Diener dkk, (dalam Pavot & Diener, 1993) dan PANAS (Positive Affect and Negative Affect Schedule) yang dikembangkan oleh Watson, dkk (1988). Subjek yang digunakan dalam ini adalah istri yang memiliki pasangan tunanetra yang berjumlah 24 orang. 70

Hasil Hasil mengenai Subjective Well-Being, Life Satisfaction, Positive Affect dan Negative Affect tergambar sebagaimana Grafik 1, 2, 3, dan 4. Grafik 1. Tingkat subjective well-being pada subjek Grafik 2. Tingkat Life Satisfaction pada subjek Grafik 3. Tingkat Positive Affect pada subjek Grafik 4. Tingkat Negative Affect pada subjek Pembahasan Diener, Lucas, & Oishi (2005) mendefinisikan subjective well-being sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang tentang hidupnya. Evaluasi ini meliputi penilaian emosional terhadap berbagai kejadian yang dialami yang sejalan dengan penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan kebutuhan. Menurut Diener (1994) kepuasan hidup dan banyaknya afek positif serta negatif dapat saling berkaitan, hal ini disebabkan oleh penilaian seseorang terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan, masalah, dan kejadiankejadian dalam hidupnya, dipengaruhi oleh banyaknya afek yang dirasakan selama melakukan penilaian (Diener dkk, 2002). Diener (1997) menguraikan bahwa individu dikatakan memiliki tingkat subjective well-being yang tinggi bila individu tersebut mengalami kepuasan dan kesenangan dalam hidup, serta jarang mengalami emosi-emosi yang tidak menyenangkan. Sedangkan individu dikatakan memiliki tingkat subjective wellbeing rendah jika individu tersebut merasa tidak puas dengan hidupnya, jarang merasakan kebahagiaan dan kasih sayang serta sering kali merasakan emosi-emosi negatif. Menurut Diener (1995) individu yang memiliki tingkat subjective well-being tinggi, ditandai dengan adanya emosi-emosi yang menyenangkan dan kemampuan menghargai serta memandang setiap peristiwa yang terjadi secara positif. Individu yang 71

memiliki tingkat subjective well-being tinggi pada umumnya memilliki sejumlah kualitas hidup yang mengagumkan, karena individu ini lebih mampu mengontrol emosinya dan menghadapi berbagai peristiwa dalam hidup dengan lebih baik (Diener, 2000). Berdasarkan hasil perhitungan, didapat bahwa prosentase jumlah subjek yang memiliki tingkat subjective well-being tinggi lebih banyak dibandingkan yang rendah, yaitu 79,16% (19 orang) memiliki tingkat subjective well-being yang tinggi, dan 20,84% (5 orang) memiliki tingkat subjective well-being yang rendah. Dengan prosentase tersebut, terlihat mayoritas istri yang memiliki pasangan tunanetra memiliki tingkat subjective well-being tinggi. Artinya, sebagian besar para subjek yang memiliki pasangan tunanetra memiliki perasaan puas dalam menjalani kehidupan pernikahannya dan mampu menerima kondisi suaminya yang tunanetra, serta memiliki banyak afek positif dan sedikit merasakan afek negatif. Sedangkan para subjek yang memiliki tingkat subjective well-being rendah pada ini, mereka memiliki tingkat life satisfaction, positive affect, dan negative affect yang tinggi. Artinya mereka memiliki kepuasan dalam hidupnya dan sering merasakan afek positif, namun mereka sering juga merasakan afek negatif. Hasil pengukuran komponen life satisfaction menunjukkan seluruh subjek dalam ini memiliki life satisfaction yang tinggi sebesar 100% (24 orang). Hal ini mengindikasikan bahwa seluruh subjek ini menikmati perannya sebagai seorang istri dan seorang ibu. Subjek menghayati bahwa mereka memiliki kehidupan yang memuaskan dan membahagiakan. Mereka merasa senang dan menikmati perannya sebagai istri walaupun kadang-kadang harus melakukan peran ganda yang berkaitan dengan tugas-tugas suaminya. Dengan demikian, subjek menilai bahwa kehidupannya, khususnya dalam area pernikahan, tidak terjadi kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan yang telah dicapai saat ini. Sedangkan pengukuran komponen positive affect menunjukkan seluruh subjek dalam ini memiliki positive affect yang tinggi sebesar 100% (24 orang). Hal ini mengindikasikan bahwa subjek sering merasakan mood atau perasaan yang menyenangkan. Afek-afek positif merefleksikan reaksi individu terhadap sejumlah peristiwa dalam hidup yang berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan. Kondisi tersebut menjelaskan atau berkaitan dengan life satisfaction yang tinggi, yaitu subjek tidak merasakan adanya kesenjangan antara standar pribadinya dengan kondisinya saat ini. Orang bereaksi dengan emosi yang menyenangkan ketika mereka menganggap sesuatu yang baik terjadi pada diri mereka. Dimensi afek ini menekankan pada pengalaman emosi menyenangkan baik yang pada saat ini sering dialami oleh seseorang ataupun hanya berdasarkan penilaiannya (Diener, 1984). Afek positif yang tinggi ini yang membuat para istri mampu menjadi dukungan (support) bagi suami dan anaknya, bersikap optimis dalam menghadapi kesulitan yang berkaitan dengan keterbatasan suaminya maupun perlakuan lingkungan yang tidak menyenangkan, dan ikhlas dalam menggantikan beberapa tugas suaminya. Pada hasil pengukuran komponen negative affect, didapatkan data 20,84% (5 orang) memiliki negative affect yang tinggi dan 79,16% (19 orang) memiliki negative affect yang rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa subjek yang memiliki negative affect yang rendah jarang merasakan hadirnya mood atau perasaan tidak menyenangkan. Sebaliknya, subjek yang memiliki negative affect tinggi sering merasakan mood atau perasaan yang tidak menyenangkan. Afek-afek negatif merefleksikan respon negatif yang dialami oleh individu sebagai reaksi yang ia berikan terhadap berbagai kondisi dan peristiwa dalam hidup mereka (Diener, 2006). Afek negatif ini terkait dengan perasaan tidak menyenangkan. Orang bereaksi dengan emosi yang tidak menyenangkan ketika menganggap sesuatu yang buruk terjadi pada mereka. Subjek dengan afek negatif yang rendah adalah pribadi yang tidak mudah marah, tidak mudah tersinggung, dan tidak mudah emosi saat menghadapi situasi yang tidak menyenangkan, karena dalam pandangan mereka hal-hal yang kurang menyenangkan dan dapat membuat dirinya mengalami perasaan tidak menyenangkan, tidak perlu menjadi beban pikiran. Mereka mampu bersabar ketika hal buruk menimpa. Sedangkan, subjek yang memiliki afek negatif tinggi adalah pribadi yang mudah marah, mudah tersinggung dengan perlakuan lingkungan yang tidak menyenangkan, sehingga mudah merasa putus asa bahkan depresi. Mereka sangat memikirkan bagaimana pendapat lingkungan mengenai dirinya. Subjek yang memiliki negative affect tinggi sering merasa bahwa mereka menjadi bahan perbincangan orangorang sekitarnya, kadang merasa malu dengan kondisi suaminya, dan merasa sedih saat anaknya diejek oleh teman-teman mereka. Berdasarkan hasil wawancara sebagai data penunjang dalam ini, para subjek yang memiliki tingkat subjective well-being tinggi adalah pribadi yang senang bergaul dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya, tertarik mengikuti berbagai macam kegiatan di lingkungan sekitar, seringkali bercerita dengan orang-orang terdekat ketika memiliki masalah, dan sering berdiskusi dengan sesama istri yang memiliki 72

pasangan tunanetra. Relasi sosial ini penting karena gaya hidup yang aktif mempengaruhi kesejahteraan subjektif seseorang. Dengan relasi sosial ini juga memberi kesempatan bagi subjek untuk membentuk hubungan positif dengan orang lain, tidak hanya teman-teman sesama istri yang memiliki pasangan tunanetra, tetapi juga dengan orang-orang di lingkungan sekitar lainnya. Penutup Istri dari suami tunanetra yang memiliki tingkat subjective well-being tinggi menilai bahwa kehidupannya memuaskan dan membahagiakan, tidak ada kesenjangan antara standar pribadinya dengan apa yang sudah ia capai dalam pernikahannya sehingga mereka mudah bereaksi dengan emosi yang menyenangkan sebab merasa bahwa banyak hal baik yang terjadi dalam hidupnya, misal suami yang penyayang dan bertanggung jawab, anak-anak yang baik dan sehat, kehidupan finansial yang cukup mapan, dan relasi intim maupun relasi sosial yang memuaskan. Sedangkan istri yang memiliki tingkat subjective well-being rendah merupakan pribadi yang sangat memikirkan bagaimana penilaian lingkungan mengenai dirinya sehingga sekalipun ia memiliki tingkat life satisfaction yang tinggi, namun penilaian negatif dari lingkungan mengenai keluarganya, khususnya suaminya, membuat dia merasa marah, tersinggung, putus asa, dan bahkan depresi. Akibatnya, mereka cenderung menghindari kontak dengan lingkungan sosial. Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. (2010). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Compton C, William. (2005). An Introduction to Positive Psychology. USA: Thomson Wadsworth. Diener., Eunkook. M.S., Richard E.L., and Heidi L.S. (1999). Psychological Bulletin. Vol. 125, No. 2. 276-302. Duvall, E & Miller, B. (1985). Marriage and Family Development. New York: Harper and Crow Publisher. Eid Michael, Larsen Randy. (2008). The Science of Subjective Well-Being. New York: The Guilford Press. Hurlock, Elizabeth, B. (1996). Psikologi Perkembangan. Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. Michael, E. & Randy J.L. (2008). The Science of Subjective Well-Being. New York: The Guilford Press. Noor, Hasanuddin. (2009). Psikometri, Aplikasi dalam penyusunan instrumen pengukuran perilaku. Bandung. Fakultas Psikologi Unisba. Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman R.D. (2001). Human Development. Boston: Mc Graw-Hill. Rahardja, Djaja. (2002). Ketunanetraan. Jurusan Pendidikan Luar Biasa. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Ryan, R.M & Deci, E.L. (2001). On Happiness And Human Potencial: A Review of Research on Hedonic and Eudaimonic Well-Being. University of Rochester. Shane, J.L & C.R. Snyder. (2003). Positive Psychological Assessment; A Handbook of Models and Measures. Washington, DC: American Psychologcial Association. William, C.C. (2005). An Introduction to Positive Psychology. America: Thomson Wadsworth 73