BAB VI STRATEGI DAN PERANCANGAN PROGRAM

dokumen-dokumen yang mirip
K U E S I O N E R. Intensitas Pentingnya

BAB III METODE KAJIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG

EVALUASI SISTEM PENGANGKUTAN SAMPAH DI KOTA MALANG

BAB VIII STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN

KATA PENGANTAR. Laporan Akhir PENYUSUNAN LAYANAN PERSAMPAHAN KOTA BOGOR

BAB II DESKRIPSI BADAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA PROBOLINGGO Sejarah Singkat Badan Lingkungan Hidup Kota Probolinggo

III. METODOLOGI PENELITIAN

Rute Pengangkutan Eksisting Kendaraan Arm Roll Truck

EVALUASI SISTEM PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH DI KOTA TRENGGALEK

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Sampah merupakan limbah yang dihasilkan dari adanya aktivitas manusia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sampah sebagai material sisa aktivitas manusia maupun proses alam

EVALUASI UNTUK PENGEMBANGAN SISTEM PENGELOLAAN PERSAMPAHAN DI KOTA MARTAPURA DARI SEGI PENGUMPULAN DAN PENGANGKUTAN

BAB VII ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN UPS MUTU ELOK. Jumlah Timbulan Sampah dan Kapasitas Pengelolaan Sampah

l. PENDAHULUAN Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan yang terbuang atau

STRATEGI PENGELOLAAN ASET SISTEM PERSAMPAHAN DI KOTA POSO

BANTAENG, 30 JANUARI (Prof. DR. H.M. NURDIN ABDULLAH, M.Agr)

B A B V PROGRAM DAN KEGIATAN

BAB I PENDAHULUAN. kurang tepat serta keterbatasan kapasitas dan sumber dana meningkatkan dampak

ASPEK MANAJEMEN (INSTITUSI, PERATURAN DAN PEMBIAYAAN)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kebutuhan akan transportasi dan merangsang perkembangan suatu wilayah atau

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BAB III STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI. 3.1 Tujuan, Sasaran, dan Strategi Pengembangan Air Limbah Domestik

BAB III PERAN DINAS LINGKUNGAN HIDUP KOTA CIREBON DALAM PENGOLAHAN SAMPAH TAHUN 2016

KAJIAN PENGANGKUTAN SAMPAH DI KECAMATAN MATARAM

Lampiran A. Kerangka Kerja Logis Air Limbah

I. PENDAHULUAN. Bandar Lampung yang dikategorikan sebagai kota yang sedang berkembang,

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI

LAMPIRAN II HASIL ANALISA SWOT

BAB V IMPLEMENTASI PROGRAM KOMPOSTING RUMAH TANGGA

BAB VI PENGELOLAAN SAMPAH 3R BERBASIS MASYARAKAT DI PERUMAHAN CIPINANG ELOK. menjadi tiga macam. Pertama, menggunakan plastik kemudian

STUDI KINERJA TEKNIK OPERASIONAL DALAM MANAJEMEN PERSAMPAHAN DI KOTA MARTAPURA KABUPATEN BANJAR KALIMANTAN SELATAN TUGAS AKHIR

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Manfaat Batasan Masalah...

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk yang tinggi dengan pertumbuhan cepat di kota bila

PERINGATAN HARI LINGKUNGAN HIDUP

BAB I PENDAHULUAN. diikuti oleh peningkatan perpindahan sebagian rakyat pedesaan ke kota dengan

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN

Konsep penanganan sampah dengan sistem koperasi. Oleh Kelompok 9

POTENSI PEMANFATAN SAMPAH DI PASAR LEUWILIANG, CIGUDEG DAN JASINGA KABUPATEN BOGOR MELALUI PENGOLAHAN SAMPAH TERPADU

ISI TABEL... GAMBAR... BAB I PENDAHULUAN... 1

PENGEMBANGAN PELATIHAN SUMBER DAYA MANUSIA DI DINAS PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN DAN KOPERASI KABUPATEN X KALIMANTAN TENGAH

BUPATI BANJAR PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI BANJAR NOMOR 68 TAHUN 2016 TENTANG

V. PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM PENGELOLAAN KEBERSIHAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN KOTA BANDAR LAMPUNG. Abstrak

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 116 TAHUN 2016 T E N T A N G

V ANALISIS HASIL STUDI AHP

BAB I PENDAHULUAN. adalah terjadi perubahan mendasar terhadap tatanan pemerintahan. Yaitu dengan

1.2 Telah Terbentuknya Pokja AMPL Kabupaten Lombok Barat Adanya KSM sebagai pengelola IPAL Komunal yang ada di 6 lokasi

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Program penyusunan Masterplan. Tersedianya Master Plan sistem pengelolaan air limbah domestik tahun Penyusunan Master Plan skala kabupaten

PEMERINTAH KABUPATEN MURUNG RAYA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN MURUNG RAYA.

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh kota-kota di Indonesia adalah

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. manusia yang beragam jenisnya maupun proses alam yang belum memiliki nilai

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

PERENCANAAN SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH DI KECAMATAN CANDISARI KOTA SEMARANG

5.1 PROGRAM DAN KEGIATAN SEKTOR & ASPEK UTAMA

KAJIAN PEMBIAYAAN SAMPAH DALAM MENDUKUNG PENGELOLAAN SAMPAH DI PASAR JOHAR KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: Andrik F. C. A.

VI.1. Gambaran Umum Pemantauan Dan Evaluasi Sanitasi

PENGELOLAAN SAMPAH 3R BERBASIS PEMBERDAYAN MASYARAKAT MELALUI KOMBINASI BANK SAMPAH DAN TPS 3R

BUPATI GRESIK PROVINSI JAWA TIMUR

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

III. BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKATIF DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN KABUPATEN BOGOR TAHUN

Pengelolaan Sampah Terpadu. Berbasis Masyarakat Kelurahan Karang Anyar

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan Kota

I. PENDAHULUAN. Pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia menuntut Pemerintah Daerah untuk

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 77 TAHUN 2016 TENTANG

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN KONSEP PERENCANAAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) KALIORI SEBAGAI WISATA EDUKASI

KERANGKA KERJA LOGIS KABUPATEN TANAH DATAR 2015

VI. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEBAGAI MITRA PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN KEBERSIHAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN KOTA BANDAR LAMPUNG.

PENGOLAHAN SAMPAH DENGAN SISTEM 3R (REDUCE, REUSE, RECYCLE)

B A B I I I ISU STRATEGIS DAN TANTANGAN LAYANAN SANITASI KOTA

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di KUB Hurip Mandiri Kecamatan Cisolok,

NOTULENSI KOORDINASI DAN PENDATAAN PENGELOLAAN SAMPAH DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA (PPS) BELAWAN NO SUMBER INFORMASI HASIL KOORDINASI

VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

PERENCANAAN PENGELOLAAN SAMPAH KAWASAN KECAMATAN JEKULO-KUDUS

EVALUASI SISTEM PEMROSESAN AKHIR SAMPAH DI TPA LADANG LAWEH KABUPATEN PADANG PARIAMAN MENUJU CONTROLLED LANDFILL

DAFTAR TABEL. Halaman

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Volume sampah setiap harinya terus bertambah banyak sampah begitu saja di

PENGELOLAAN SAMPAH PERMUKIMAN DI KAWASAN PERDESAAN KABUPATEN PONOROGO ( STUDI KASUS KECAMATAN BUNGKAL )

Uraian secara lengkap setiap aspek dan kriteria yang menjadi bahan. pertimbangan dalam penentuan teknologi pengolahan sampah di Jakarta Timur

STRATEGI PENGELOLAAN ASET SISTEM PERSAMPAHAN DI KOTA POSO

BAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN SANITASI

BAB I Permasalahan Umum Persampahan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, pemerintah daerah

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH SPESIFIK

BAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN SANITASI

BAB I PENDAHULUAN. open dumping atau penimbunan terbuka, incenerator atau di bakar, sanitary landfill

IbM PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA SEBAGAI UPAYA MENCIPTAKAN KAMPUNG PRO IKLIM (PROKLIM)

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di lembaga-lembaga pendidikan dan pemerintah di

Lampiran IA Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 12/SE/M/2011 Tanggal : 31 Oktober 2011

VII ANALISIS KETERKAITAN HASIL AHP DENGAN CVM

Transkripsi:

99 BAB VI STRATEGI DAN PERANCANGAN PROGRAM 6.1 Perumusan Alternatif Strategi dan Program Untuk dapat merumuskan alternatif strategi dan program peningkatan pelayanan sampah perumahan pada kajian ini digunakan metode AHP (Analytical Hierarchy Process). Responden dalam penelitian ini diberikan suatu daftar pertanyaan terstruktur dalam bentuk kuesioner. Model kuesioner dapat dilihat pada Lampiran 1. Struktur hirarki yang digunakan untuk menggambarkan elemenelemen yang diprioritaskan untuk dikembangkan terdiri dari 4 hirarki (level). Hirarki pertama adalah tujuan yaitu meningkatkan cakupan pelayanan sampah perumahan di Kabupaten Bogor. Hirarki kedua adalah kebijakan strategis yang potensial dapat dilakukan yang dirumuskan menjadi :1) Peningkatan Sarana Pelayanan, 2) Peningkatan Kerjasama dengan Dunia Usaha, 3) Peningkatan peran Masyarakat. Hirarki ketiga faktor-faktor yang mendukung dalam alternatif strategi tersebut, dan hirarki keempat adalah prioritas langkah strategis/program yang bisa dikembangkan dan ditingkatkan. Kebijakan strategis Peningkatan Sarana Pelayanan perlu ditingkatkan karena dalam pelaksanaan pelayanan persampahan masih banyak kekurangan dalam hal aspek peralatan angkutan dan pembuangan sampah. Kebijakan strategis Peningkatan Kerjasama dengan Dunia Usaha diperlukan karena produk-produk dari industri ikut serta dalam meningkatkan jumlah dan jenis sampah terutama sampah kemasan. Pihak pengembang perumahan juga perlu diikutkan dalam pengelolaan sampah sehingga dapat mengurangi volume sampah yang harus dikelola oleh pemerintah daerah. Sedangkan kebijakan strategis Peningkatan Peran Masyarakat juga diperlukan karena pemerintah daerah masih menghadapi kendala dalam hal sarana dan anggaran, sehingga dibutuhkan peran serta masyarakat untuk mengurangi sampah dari sumbernya dan pembayaran retribusi sampah. Struktur Hirarki yang digunakan untuk menggambarkan elemen-elemen yang diprioritaskan dalam peningkatan cakupan pelayanan sampah perumahan dapat dilihat pada Tabel 22. Dalam pemilihan prioritasnya, setiap elemen pada

100 kebijakan strategis memiliki prioritasnya masing-masing. Sehingga prioritas yang akan dihasilkan pun dapat mempengaruhi prioritas sub kriteria di bawahnya dan pada akhirnya mempengaruhi prioritas langkah strategis yang penting untuk ditingkatkan. Tabel 22. Struktur Hirarki Peningkatan Cakupan Pelayanan Sampah Perumahan di Kabupaten Bogor Level 1 Level 2 Level 3 Level 4 Tujuan Kebijakan Faktor Pendukung Langkah Strategis Strategis Peningkatan Cakupan Pelayanan Sampah Perumahan Peningkatan Sarana Pelayanan Peningkatan Kerjasama dengan dunia Usaha Peningkatan Peran Masyarakat Penambahan/ Perbaikan Sarana Operasional Optimalisasi TPA Eksisting Penyediaan TPA Alternatif Industri Pengembang Penerapan 3R Ketaatan Pembayaran Retribusi Penambahan Kendaraan Angkutan Perbaikan Kendaraan Angkutan Penambahan Alat Berat di TPA Peningkatan Teknis Pembuangan Penerapan Pengelolaan sampah TPA disetiap Wilayah TPA di Lokasi Strategis untuk semua wilayah Industri yang mengolah sampah produknya sendiri Industri Pengolah Sampah ( Sampah sebagai bahan produksi/bahan bakar) Penyediaan Sarana Pewadahan/Pengumpulan Penyediaan Organisasi Pengolah sampah Sosialisasi dan Edukasi Bantuan Sarana dan Pendampingan Insentif dan Disinsentif Ketaatan Besaran Tarif Retribusi Sampah Ketaatan Waktu Pembayaran 6.2. Analisis Prioritas Pengembangan Kebijakan Berdasarkan pendapat enam orang orang responden, maka diperoleh matriks persepsi dari masing-masing responden sebagaimana Lampiran 2. Responden dipilih secara sengaja yang terdiri dari unsur pemerintah sebanyak lima orang yaitu berasal dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Bappeda dan Badan Lingkungan Hidup serta satu orang dari wakil masyarakat. Alasan pemilihan responden yang berasal dari unsur pemerintah karena sebagai pemegang dan penentu arah kebijakan pembangunan khususnya mengenai pelayanan dan pengelolaan sampah serta juga sebagai pihak yang mengetahui mengenai permasalahan persampahan di Kabupaten Bogor, sedangkan alasan pemilihan responden yang berasal dari wakil masyarakat karena responden

101 tersebut sebagai ketua RW sekaligus ketua kelompok pengelolaan 3R di Perumahan Puspa Raya, sehingga mengetahui langsung permasalahan pengelolaan 3R di masyarakat. Metode yang digunakan dalam pengisian keputusan AHP dilakukan secara terpisah melalui wawancara dan kuisioner yang kemudian dilakukan perhitungan pendapat gabungan dengan rata-rata penilaian dari semua responden dengan menggunakan metode rata-rata ukur/rata-rata geometris. Hasil perhitungan pendapat gabungan juga dapat dilihat pada Lampiran 2 dan hasil pengolahan AHP menggunakan Expert Choice 2000 dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan hasil olahan data menggunakan Expert Choice 2000, terlihat bahwa untuk mencapai tujuan peningkatan cakupan pelayanan sampah perumahan di Kabupaten Bogor, elemen kebijakan strategis Peningkatan Sarana Pelayanan memiliki bobot 0,450, Peningkatan Kerjasama dengan Dunia Usaha memiliki bobot 0,215 dan Peningkatan Peran Masyarakat memiliki bobot 0,335. Dengan demikian urutan prioritas yang lebih diutamakan dalam peningkatan cakupan pelayanan persampahan perumahan adalah Peningkatan Sarana Pelayanan dan berikutnya Peningkatan Peran Masyarakat. Bobot persepsi gabungan responden dalam pohon hirarki peningkatan cakupan pelayanan sampah perumahan di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 4.

Peningkatan Cakupan Pelayanan Sampah Perumahan (Kajian di Kabupaten Bogor) (1,00) 84 Peningkatan Sarana Pelayanan (0,450) Peningkatan Kerjasama dengan dunia usaha/swasta (0,215) Peningkatan Peran Masyarakat (0,335) Penambahan /Perbaikan Sarana Operasional (0,246) Optimalisasi TPA Eksisting (0,104) Penyediaan TPA Alternatif (0,100) Industri (0,106) Pengembang (0,110) Penerapan 3R (0, 271) Ketaatan Pembayaran Retribusi Sampah (0,064) Penambahan Kendaraan Angkutan (0,169) Perbaikan Kendaraan Angkutan (0,038) Penambahan Alat Berat di TPA (0,039) Peningkatan Teknis Pembuangan (0,059) Penerapan Pengelolaan Sampah (0,045) TPA di setiap wilayah (Barat,Tengah dan Timur) (0,062) TPA di Lokasi Strategis untuk Semua Wilayah (0, 038) Industri yang mengelola sampah produknya sendiri (0,032) Industri Pengolah Sampah (Sampah sebagai bahan produksi/bahan bakar) (0,074) Penyediaan sarana pewadahan/ pemilahan ( 0,063) Penyediaan organisasi pengelola sampah di lingkungan perumahan (0,047) Sosialisasi dan Edukasi (0,127) Bantuan Sarana dan pendampingan (0,094) Insentif dan Disinsentif (0,051) Ketaatan sesuai besaran tarif retribusi (0,037) Ketaatan waktu pembayaran (0,027) Gambar 4. Bobot Persepsi Gabungan Responden dalam Peningkatan Cakupan Pelayanan Sampah Perumahan

85 6.2.1 Peningkatan Sarana Pelayanan Pada kebijakan Peningkatan Sarana Pelayanan, sub kriteria yang memiliki bobot tertinggi adalah Penambahan/Perbaikan Sarana Operasional dengan nilai bobot 0,548, kemudian berikutnya Optimalisasi TPA Eksisting dengan nilai bobot 0,230, dan Penyediaan TPA Alternatif dengan nilai bobot 0,222 (Gambar 5). Penambahan/Perbaikan Sarana Operasional dinilai sebagai aspek utama dalam keberhasilan peningkatan cakupan pelayanan sampah karena berhubungan langsung dengan operasional di masyarakat. Sumber : Data Olah AHP dengan Expert Choice 2000 Gambar 5. Grafik Prioritas Aspek yang Dipertimbangkan pada Kebijakan Peningkatan Sarana Pelayanan Pada aspek Penambahan/Perbaikan Sarana Operasional, rata-rata responden lebih memilih memprioritaskan langkah strategis Penambahan Kendaraan Pengangkut Sampah (bobot 0,687) kemudian berikutnya adalah Penambahan Alat Berat (bobot 0,157) dan Perbaikan Kendaraan Pengangkut Sampah (bobot 0,156). Urutan prioritas langkah-langkah strategis pada kriteria Penambahan/Perbaikan Sarana Pelayanan ditunjukkan pada Gambar 6.

104 Sumber : Data Olah AHP dengan Expert Choice 2000 Gambar 6. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Penambahan/Perbaikan Sarana Operasional Penambahan Kendaraan Pengangkut Sampah dinilai sangat diperlukan untuk meningkatkan cakupan pelayanan sampah perumahan, mengingat jumlah kendaraan angkutan yaitu dump truck dan arm roll tidak sebanding dengan jumlah timbulan sampah yang harus diangkut di Kabupaten Bogor. Pada aspek Optimalisasi TPA Eksisting, langkah strategis yang lebih diprioritaskan adalah Peningkatan Teknis Pembuangan (bobot 0,565) daripada penerapan pengelolaan sampah di TPA dengan bobot 0,435 (Gambar 7), karena saat ini sistem yang digunakan di TPA Galuga adalah controlled landfill sehingga perlu ditingkatkan menjadi sanitary landfill. Selain itu perlu untuk ditunjang dengan penerapan pengelolaan sampah di TPA. Sampah di Galuga yang berasal dari Kabupaten Bogor belum ada upaya penanganan lain seperti pengomposan atau pemisahan sampah. Sumber : Data Olah AHP dengan Expert Choice 2000 Gambar 7. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Optimalisasi TPA Eksisting Pada aspek Penyediaan TPA Alternatif, langkah strategis yang lebih diprioritaskan adalah penyediaan TPA disetiap wilayah barat, tengah dan timur

105 (bobot 0,622) daripada Penyediaan TPA di lokasi strategis untuk semua wilayah dengan bobot 0,378 (Gambar 8). Hal tersebut untuk mempersingkat ritasi pengangkutan sampah bagi setiap wilayah sehingga akan lebih banyak jumlah timbulan sampah yang dapat diangkut dan meningkatkan cakupan pelayanan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Sumber : Data Olah AHP dengan Expert Choice 2000 Gambar 8. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Penyediaan TPA Alternatif Berdasarkan analisis prioritas secara global menggunakan Expert Choice 2000, didapat bahwa distribusi prioritas langkah strategis yang memiliki prioritas tertinggi pada kebijakan Peningkatan Sarana Pelayanan adalah langkah-langkah strategis dalam aspek penambahan/perbaikan sarana operasional, baru kemudian aspek Optimalisasi TPA Eksisting dan Penyediaan TPA Alternatif (Tabel 23). Dengan demikian perlu dipertimbangkan untuk menambah jumlah kendaraan angkutan sampah.

106 Tabel 23. Urutan Elemen yang Diprioritaskan Secara Global dalam Peningkatan Sarana Pelayanan Urutan ELemen Level Bobot Prioritas 1 Peningkatan Sarana Pelayanan 2 0,450 1 Penambahan/Perbaikan Sarana Operasional 3 0,246 2 Optimalisasi TPA Eksisting 3 0,104 3 Penyediaan TPA Alternatif 3 0,100 1 Penambahan Kendaraan Angkutan 4 0,169 2 Penyediaan TPA di Setiap Wilayah Barat, Tengah, 4 0,062 Timur 3 Peningkatan Teknis Pembuangan 4 0,059 4 Penerapan Pengelolaan Sampah 4 0,045 5 Penambahan Alat Berat di TPA 4 0,039 6 Perbaikan Kendaraan Angkutan 4 0.038 7 Penyediaan TPA di Lokasi Strategis untuk Semua Wilayah 4 0,038 Sumber : Data Primer (diolah) 6.2.2 Peningkatan Peran Masyarakat Pada kebijakan Peningkatan Peran masyarakat, aspek yang memiliki bobot tertinggi adalah Penerapan 3R (bobot 0,809) dan berikutnya adalah Ketaatan Pembayaran Retribusi dengan bobot 0,191 (Gambar 9). Kedua kriteria ini merupakan faktor yang mempengaruhi Peran Masyarakat dalam meningkatkan pelayanan persampahan. Penerapan 3R merupakan bentuk keterlibatan langsung masyarakat dalam mengurangi sampah dari sumbernya dan Ketaatan Pembayaran Retribusi dapat membantu pemerintah daerah memperoleh anggaran untuk pelayanan dan pengelolaan sampah. Sumber : Data Olah AHP dengan Expert Choice 2000 Gambar 9. Grafik Prioritas Aspek yang Dipertimbangkan pada Kebijakan Strategi Peningkatan Peran Masyarakat Aspek Penerapan 3R sangat diperlukan dalam mendukung keberhasilan peningkatan pelayanan persampahan dan juga sudah diamanatkan dalam Undangundang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, untuk itu langkah

107 strategis yang lebih diprioritaskan oleh responden adalah Sosialisasi dan Edukasi (bobot 0,468), disusul Bantuan Sarana dan Pendampingan (bobot 0,345) dan berikutnya Insentif dan disinsentif dengan bobot 0,187 (Gambar 10). Agar Penerapan 3R dapat berjalan baik dimasyarakat maka langkah yang diprioritaskan adalah Sosialisasi dan Edukasi, karena untuk mengubah pola pikir dan prilaku masyarakat mengenai keberadaan dan penanganan sampah bukanlah hal yang mudah karena masyarakat sudah terbiasa menganggap sampah adalah barang yang tidak bermanfaat dan harus dienyahkan dari pandangannnya. Untuk memberi pemahaman dan pengetahuan penerapan 3R maka prioritas utama adalah diberikan sosialisasi dan edukasi baik berupa seminar ataupun pelatihan-pelatihan kepada masyarakat. Setelah adanya keinginan dari warga masyarakat sendiri untuk menerapkan 3R maka barulah pemerintah daerah memberikan bantuan berupa sarana dan pendampingan. Penghargaan juga perlu diberikan atas usaha masyarakat dalam pengurangan sampah. Sumber : Data Olah AHP dengan Expert Choice 2000 Gambar 10. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Penerapan 3R Pada aspek Ketaatan Pembayaran Retribusi, peran serta masyarakat yang lebih diprioritaskan adalah Ketaatan Pembayaran Sesuai Tarif Retribusi (bobot 0,582) lalu berikutnya Ketaatan Waktu Pembayaran dengan bobot 0,418 (Gambar 11). Pembayaran retribusi sampah harus sesuai tarif yang ditetapkan dalam peraturan daerah karena ada warga masyarakat yang membayar masih di bawah tarif retribusi.

108 Sumber : Data Olah AHP dengan Expert Choice 2000 Gambar 11. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Ketaatan Pembayaran Retribusi Berdasarkan analisis prioritas secara global menggunakan Expert Choice 2000, didapat bahwa distribusi prioritas langkah strategis yang memiliki prioritas tertinggi pada kebijakan Peningkatan Peran Masyarakat adalah Sosialisasi dan Edukasi dan Bantuan Sarana dan Pendampingan (Tabel 24). Dengan demikian untuk meningkatkan peran masyarakat maka diperlukan rancangan program yang lebih berpihak pada kedua langkah tersebut. Tabel 24. Urutan Elemen yang diprioritaskan secara Global dalam Peningkatan Peran Masyarakat. Urutan Elemen Level Bobot Prioritas 2 Peningkatan Peran Masyarakat 2 0,335 1 Penerapan 3R 3 0,271 2 Ketaatan Pembayaran Retribusi Sampah 3 0,064 1 Sosialisasi dan Edukasi 4 0,127 2 Bantuan Sarana dan Pendampingan 4 0,094 3 Insentif dan Disinsentif 4 0,051 4 Ketaatan Sesuai Besaran Tarif Retribusi 4 0,037 5 Ketaatan Waktu Pembayaran 4 0,027 Sumber : Data Primer (diolah) Berdasarkan hasil analisis sensitivitas terhadap keenam-belas langkah untuk mencapai tujuan Peningkatan Cakupan Pelayanan Persampahan diperoleh bahwa Penambahan Kendaraan Angkutan sampah adalah langkah yang memiliki nilai tertingi (bobot 0,169), kemudian berikutnya adalah Sosialisasi dan Edukasi Penerapan 3R (bobot 0,127) serta Bantuan Sarana dan Pendampingan (bobot 0, 094) (Tabel 25).

109 Tabel 25. Urutan Prioritas Global Program Peningkatan Cakupan Pelayanan Sampah Perumahan di Kabupaten Bogor Urutan Langkah Strategis/Program Bobot 1 Penambahan Kendaraan Angkutan 0,169 2 Sosialisasi dan Edukasi 3R 0,127 3 Bantuan Sarana dan Pendampingan 0,094 4 Industri Pengolah Sampah 0,074 5 Penyediaan Sarana Pewadahan/Pengumpulan oleh Pengembang 0,063 6 Penyediaan TPA di Setiap Wilayah (Barat, Tengah, Timur) 0,062 7 Peningkatan Teknis Pembuangan 0,059 8 Insentif dan Disinsentif 0,051 9 Penyediaan Organisasi Pengelola Sampah 0,047 10 Penerapan Pengelolaan Sampah di TPA 0,045 11 Penambahan Alat Berat di TPA 0,039 12 Ketaatan Sesuai Tarif Retribusi 0,037 13 Perbaikan Kendaraan Angkutan 0,038 14 TPA di Lokasi Strategis Untuk Semua Wilayah 0,038 15 Industri yang Mengelola Sampah Produknya Sendiri 0,032 16 Ketaatan Waktu Pembayaran 0,027 Sumber : Data Primer (Diolah) Jumlah 1,000 Urutan prioritas di atas menggunakan modus Sintesis Distribusi (Distributive Synthesize) yaitu jika perancangan program yang akan disusun dipilih berdasarkan beberapa alternatif yang diprioritaskan. Grafik hasil sintesis menggunakan modus Sintesis Distribusi dapat dilihat pada Gambar 12.

110 Sumber : Data Olah AHP dengan Expert Choice 2000 Gambar 12. Grafik Hasil Sintesis Menggunakan Modus Sintesis Distribusi (Distribusi Synthesize) 6.3 Perancangan Program Dari hasil AHP dan wawancara dengan sejumlah individu dan pejabat daerah yang terkait maka diperoleh rumusan strategi dan program dalam peningkatan cakupan pelayanan sampah perumahan di Kabupaten Bogor sebagai berikut : 1. Penambahan sarana operasional yaitu dengan program penambahan kendaraan angkutan sampah. Untuk UPT Wilayah Cibinong kendaraan pengangkut sampah saat ini berjumlah 33 unit sedangkan kebutuhan kendaraan adalah sebanyak 165 unit dump truck. Melalui hasil perhitungan kebutuhan biaya penambahan sarana angkutan sampah yaitu dump truck sebanyak 132 unit maka dibutuhkan biaya sebesar

111 Rp. 38.280.000.000,00. Untuk upah petugas operasional sebanyak 825 orang maka diperlukan biaya per tahun sebesar Rp. 7.821.000.000,00. Sedangkan untuk biaya pemeliharaan 165 unit kendaraan per tahun sebesar Rp. 12.622.500.000,00. Sehingga total biaya yang dibutuhkan untuk penambahan 132 unit dump truck dan operasional 165 kendaraan angkutan sampah per tahun adalah sebesar Rp.58.723.500.000,00. Biaya tersebut sangatlah besar dan pemerintah daerah akan kesulitan dalam pendanaan karena keterbatasan anggaran yang dimiliki. Untuk tahun 2009, anggaran Dinas Kebersihan dan Pertamanan yang meliputi lima UPTD untuk penambahan 16 truk sampah dan operasional 66 truk sampah hanya sebesar Rp. 11.825.000.000,00. Kendala lain yang dihadapi adalah akan sulit dilakukan pengawasan yang obyektif terhadap aparat dan sarana operasional dengan jumlah yang besar tersebut. Masyarakat juga akan tidak termotivasi untuk ikut terlibat langsung dalam pengelolaan sampah apabila pemerintah daerah masih terus melakukan sistem pengelolaan sampah secara konvensional. Hasil AHP menunjukkan bahwa pendapat responden utama memperlihatkan pandangan yang tidak sesuai dengan fakta-fakta obyektif yang ada karena apabila dilakukan penambahan kendaraan angkutan sampah maka akan terbentur pada berbagai kendala yang tersebut diatas. Cakupan pelayanan yang memungkinkan dan perlu direalisasikan untuk jangka pendek sampai dengan tahun 2013 sesuai target RPJMD yaitu sebesar 31 %, maka armada angkutan yang dibutuhkan di UPTD Wilayah Cibinong untuk mengangkut sebesar 31 % dari timbulan sampah adalah sebanyak 51 kendaraan. Untuk itu diperlukan tambahan 18 kendaraan angkutan sampah dengan total biaya sebesar Rp.11.538.900.000,00 sebagaimana disajikan dalam Tabel 26. Sisa timbulan sampah sebesar 69 % perlu penanganan atau pelayanan dari pemerintah daerah melalui alternatif penanganan, yaitu program 3R.

112 Tabel 26. Skenario Perkiraan Biaya untuk Memenuhi 31% Kebutuhan Sarana Operasional Pengangkutan Sampah di UPT Wilayah Cibinong No Uraian Volume Biaya (Rp) Jumlah (Rp) ( 3 X 4 ) 1 2 3 4 5 1 Pengadaan truk sampah 7M 3 18 unit 290.000.000,00 5.220.000.000,00 2 Pemeliharaan kendaraan 51 unit 36.000.000,00 1.836.000.000,00 3 Bahan Bakar (BBM) 51 unit 40.500.000,00 2.065.500.000,00 4 Sopir 51 orang X 12 Bln 950.000,00 581.400.000,00 5 Kernet/Juru angkut sampah 204 orang X 12 Bln 750.000,00 1.836.000.000,00 Total (Rp) 11.538.900.000,00 Sumber : Keputusan Bupati Bogor No. 900/512/Kpts/Huk/2009 dan Hasil Analisis 2. Penerapan Program 3R di masyarakat dengan program : a. Pelembagaan dan Edukasi Program 3R Untuk meningkatkan cakupan pelayanan sampah di UPT Wilayah Cibinong diperlukan penambahan sarana operasional pelayanan sampah yang cukup besar sehingga dibutuhkan anggaran yang sangat besar pula, oleh karena itu diperlukan alternatif pengolahan sampah di tingkat lokal yaitu dengan pengurangan dan penganan sampah dari sumbernya melalui program penerapan 3R. Tahapan pertama yang dilakukan adalah dengan dilakukan pelembagaan dan edukasi mengenai 3R yaitu menyebarluaskan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat tentang pentingnya upaya pengurangan sampah, pengolahan sampah dan optimalisasi pemanfaatan sampah. Bentuk-bentuk kegiatan yang dapat dilakukan yaitu dengan menayangkan iklan layanan masyarakat, penyebaran brosur atau pamflet, pelatihan kader 3R ataupun seminar. Bagi warga masyarakat yang sudah mendapat pelatihan 3R harus terus diberi motivasi untuk menyebarkan informasi 3R dilingkungannya. b. Pembentukan Kelompok 3R di Masyarakat Setelah masyarakat memiliki pemahaman yang baik mengenai 3R dan memiliki keinginan kuat untuk melaksanakan 3R di lingkungannya maka agar program dapat berjalan baik dan terkoordinir maka diperlukan suatu

113 kelompok. Pembentukan kelompok ini harus berasal dari masyarakat sendiri dan akan lebih baik dilibatkan seorang tokoh yang mampu menggerakan masyarakat. Untuk penguatan peran dari kelompok ini maka diperlukan juga pelatihan manajemen organisasi bagi pengurus kelompok. c. Bantuan Sarana dan Pendampingan 3R Sarana yang diperlukan dalam program 3R antara lain adalah alat pencacah, bangunan atau rumah kompos, gerobak, tempat pengomposan, mesin daur ulang plastik dan sebagainya. Berdasarkan hasil penelitian bahwa terdapat kelompok masyarakat yang memiliki keinginan kuat untuk melaksanakan 3R namun belum dapat berjalan dengan optimal karena belum seluruh kebutuhan sarana dapat diberikan oleh pemerintah. Maka untuk pemenuhan perlengkapan sarana pengolahan 3R di masyarakat dapat dilakukan dengan bantuan dari program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) dengan melakukan kerjasama dengan dengan instansi lain yang terkait. Kegiatan 3R ini dapat menjadi usaha yang menguntungkan secara ekonomi jika dikelola dengan lebih profesional, sehingga untuk mendapatkan modal sarana dan prasarana dapat dilakukan dengan kerjasama dengan instansi lain yang memiliki program atau kegiatan pemberian dana/pinjaman lunak. Pendampingan juga harus dilakukan oleh pemerintah daerah selain untuk meningkatkan ketrampilan mengenai teknis penerapan 3R juga untuk memberikan motivasi dan semangat kepada masyarakat/kelompok masyarakat agar terus melakukan kegiatan 3R dilingkungannya. d. Bantuan Pemasaran Produk 3R Hal yang tak kalah penting dari kegiatan 3R adalah pemasaran produk hasil 3R. Untuk pemasaran kompos dapat dilakukan kerjasama dengan Dinas Pertanian dan Kehutanan, sedangkan untuk pemasaran hasil kerajinan sampah plastik atau kertas dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan Dinas Usaha Kecil Menengah, Perindustrian dan Perdagangan. Untuk memperluas pasar pupuk kompos maka diperlukan peran pemerintah daerah untuk membuat kebijakan yang meningkatkan

114 pertanian organik dan mengganti penggunaan pupuk kimia dengan pupuk kompos untuk kegiatan pertanian pangan, perkebunan dan kehutanan. 3. Pemisahan fungsi regulator dan operator dalam pengelolaan sampah Pengawasan yang lebih obyektif terhadap pengelolaan sampah masih diperlukan agar kualitas dan profesionalitas pelayanan dapat lebih terjamin, oleh karena itu perlu dilakukan pemisahan fungsi regulator (pembuat kebijakan) dan operator (pelaksana kegiatan pelayanan). Apabila dinas akan berperan sebagai operator maka diperlukan institusi pengawas yang berperan sebagai regulator. Namun apabila untuk menyelenggarakan pelayanan persampahan dikontrakkan dengan pihak ketiga, maka dinas perlu berfungsi sebagai regulator yang handal dengan tetap berkoordinasi dengan instansi terkait.