BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Definisi Rumah Sakit Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan dengan memberdayakan berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Siregar, 2004; Standar Pelayanan Farmasi, 2004). Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI No 983/Menkes/SK/XI/1992 tentang pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum, maka rumah sakit adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar, spesialistik, dan subspesialistik. Pelayanan medis spesialistik dasar adalah pelayanan spesialistik penyakit dalam, kebidanan dan penyakit kandungan, bedah dan kesehatan anak. Pelayanan medis spesialistik luas adalah pelayanan medis spesialistik dasar ditambah dengan pelayanan spesialistik telinga, hidung dan tenggorokan, mata, syaraf, jiwa,
kulit, dan kelamin, jantung, paru, radiologi, anestesi, rehabilitasi medis, patologi anatomi. Pelayanan medis subspesialistik luas adalah pelayanan subspesialistik di setiap spesialissi yang ada. Contoh: Endokrinologi, gastrohepatologi, nefrologi, geriatri, dan lain-lain. 2.1.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit Berdasarkan pedoman organisasi rumah sakit umum, maka rumah sakit umum mempunyai tugas melaksanakan upaya kesehatan, dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi secara terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanankan upaya rujukan. Untuk melaksanakan tugas tersebut, rumah sakit umum berdasarkan SK MenKes RI No: 983/Menkes/SK/XI/1992 mempunyai fungsi: a. menyelenggarakan pelayanan medis b. menyelenggarakan pelayanan penunjang medis dan non medis c. menyelenggarakan pelayanan dan asuhan keperawatan d. menyelenggarakan pelayanan rujukan e. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan f. menyelenggarakan penelitian dan pengembangan g. menyelenggarakan administrasi umum dan keuangan 2.1.3 Klasifikasi Rumah Sakit 2.1.3.1 Klasifikasi Rumah Sakit Secara Umum Rumah sakit dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria sebagai berikut (Siregar, 2004): 1. berdasarkan kepemilikan a. rumah sakit pemerintah, terdiri dari:
1) rumah sakit yang langsung dikelola oleh Departemen Kesehatan. 2) rumah sakit pemerintah daerah. 3) rumah sakit militer 4) rumah sakit BUMN b. rumah sakit swasta yang dikelola oleh masyarakat. 2. berdasarkan jenis pelayanan Berdasarkan jenis pelayanannya, rumah sakit terdiri atas: a. rumah sakit umum, memberi pelayanan kesehatan kepada pasien dengan beragam penyakit. b. rumah sakit khusus, memberi pelayanan pengobatan untuk pasien dengan kondisi medik tertentu baik bedah maupun non bedah. Contoh: rumah sakit kanker, rumah sakit bersalin. 3. berdasarkan afiliasi pendidikan Terdiri atas 2 jenis, yaitu: a. rumah sakit pendidikan, yaitu rumah sakit yang menyelenggarakan program latihan untuk berbagai profesi b. rumah sakit non pendidikan, yaitu rumah sakit yang tidak memiliki hubungan kerjasama dengan universitas. 4. berdasarkan lama tinggal dirumah sakit Berdasarkan lama tinggalnya di rumah sakit, rumah sakit dibagi atas: a. rumah sakit perawatan jangka pendek yang merawat penderita kurang dari 30 hari b. rumah sakit perawatan jangka panjang yang merawat penderita dalam waktu rata-rata 30 hari atau lebih.
2.1.3.2 Klasifikasi Rumah Sakit Umum Pemerintah Rumah Sakit Umum Pemerintah pusat dan daerah diklasifikasikan menjadi Rumah sakit kelas A, B, C, dan D. Klasifikasi tersebut didasarkan pada unsur pelayanan, ketenagaan, fisik dan peralatan. 1. rumah sakit umum kelas A, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik luas dan subspesialistik luas. 2. rumah sakit umum kelas B, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik sekurang-kurangnya sebelas spesialistik dan subspesialistik terbatas. 3. rumah sakit umum kelas C, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dasar. 4. rumah sakit umum kelas D, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik dasar. 2.1.4 Misi dan Visi Rumah Sakit Misi rumah sakit merupakan pernyataan mengenai mengapa sebuah rumah sakit didirikan, apa tugasnya dan untuk siapa rumah sakit tersebut melakukan kegiatan. Visi rumah sakit adalah gambaran keadaan rumah sakit di masa mendatang dalam menjalankan misinya. Isi pernyataan visi tidak hanya berupa gagasan-gagasan kosong, visi merupakan gambaran mengenai keadaan lembaga di masa depan yang berpijak dari masa sekarang. Adapun pernyataan misi dan visi merupakan hasil pemikiran bersama dan disepakati oleh seluruh anggota rumah sakit. Misi dan visi bersama ini memberikan fokus dan energi untuk pengembangan organisasi.
Rumah sakit umum mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Trisnantoro, 2005). 2.1.5 Indikator Pelayanan Rumah Sakit Program akreditasi rumah sakit yang dilaksanakan sejak tahun 1995 diawali dengan 5 jenis pelayanan yaitu pelayanan medis, pelayanan keperawatan, rekam medis, administrasi dan manajemen dan pelayanan gawat darurat. Pada tahun 1997, program diperluas menjadi 12 pelayanan yaitu kamar operasi, pelayanan perinata resiko tinggi, pelayanan radiologi, pelayanan farmasi, pelayanan laboratorium, pengendalian infeksi dan kecelakaan keselamatan serta kewaspadaan bencana. Pada tahun 2000 dikembangkan instrumen 16 bidang pelayanan di rumah sakit. Pelatihan akreditasi rumah sakit oleh Balai Pelatihan Kesehatan dilakukan untuk membantu proses persiapan akreditasi (Siregar, 2004). Beberapa indikator pelayanan di rumah sakit antara lain adalah (Siregar, 2004): 1. Bed Occupancy Rate (BOR): angka penggunaan tempat tidur BOR digunakan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan tempat tidur rumah sakit. Angka BOR yang rendah menunjukkan kurangnya pemanfaatan fasilias perawatan rumah sakit oleh masyarakat. Angka BOR yang tinggi (lebih dari 85%) menunjukkan tingkat pemanfaatan tempat tidur yang tinggi sehingga perlu pengembangan rumah sakit atau penambahan tempat tidur. 2. Length Of Stay (LOS); lamanya dirawat
LOS digunakan untuk mengukur efisiensi pelayanan rumah sakit yang tidak dapat dilakukan sendiri tetapi harus bersama dengan interpretasi BTO dan TOI. 3. Bed Turn Over (BTO): frekuensi penggunaan tempat tidur Bersama-sama indikator TOI dan LOS dapat digunakan untuk mengetahui tingkat efisiensi penggunaan tempat tidur rumah sakit. 4. Turn Over Internal (TOI); interval penggunaan tempat tidur Bersama-sama dengan LOS merupakan indikator tentang efisiensi penggunaan tempat tidur. Semakin besar TOI maka efisiensi penggunaan tempat tidur semakin jelek. 2.1.6 Indikator Mutu Pelayanan Rumah Sakit Kinerja rumah sakit merupakan suatu dimensi utama dari mutu pelayanan rumah sakit. Untuk menilai kinerja rumah sakit diperlukan indikator, terutama untuk mengukur outcome. Evaluasi mutu rumah sakit dilakukan melalui sistem akreditasi rumah sakit (Nico A. Lumenta, 2008). Manfaat penerapan indikator mutu pelayanan rumah sakit adalah (Nico A. Lumenta, 2008): 1. dengan indikator mutu pelayanan rumah sakit penilaian objektif dan akurat atas kinerja rumah sakit karena bersifat kuantitatif dan berdasarkan pengukuran outcome berdasarkan outcome 2. pengukuran bersifat spesifik: klinik dan operasional 3. mendorong pengorganisasian data base 4. mendorong pengambilan keputusan berdasarkan fakta / data
5. mendorong partisipasi tenaga medis yang lebih besar dalam mutu pelayanan rumah sakit, termasuk proses audit medis 6. penilaian digunakan secara internal untuk perbandingan kinerja antar periode waktu dan secara eksternal untuk perbandingan terhadap ukuran regional nasional 7. peningkatan kinerja lebih mudah karena lebih spesifik Indikator Kinerja RS: 1. Kepuasan pasien: kepuasan dari end user 2. Kualitas pelayanan medis: indikator klinik 3. Efisiensi: Indikator utama : Rentabilitas, Likuiditas Indikator tambahan : profit margin, rasio operasi, produktivitas produktivitas (BOR, ALOS, TOI, Through put) 4. Kepuasan Karyawan 5. Kualitas limbah cair rumah sakit Kualitas pelayanan medis: 1. Angka Kematian Kasar : 3-4 % 2. Angka Kematian Pasca Bedah : 1-2 % 3. Angka Kematian Anestesi : < 1 per 5000 operasi 4. Angka kematian Persalinan : 1-2 permil 5. Angka kematian Bayi : 15-20 permil 6. Angka Konsultasi : 15-20 % 7. Angka Komplikasi : 3-4 % 8. Angka Infeksi Luka Operasi : 1-2 %
9. Angka Bedah Kaisar : 3-5 % 10. Angka Lama Rawat : 11 hari (Soejadi, 1996) Indikator Mutu Pelayanan Mutu Rumah Sakit menurut WHO Depkes (2001) I. Indikator Pelayanan Non Bedah 1. angka pasien dengan dekubitus 2. angka kejadian dengan jarum infus 3. angka kejadian penyulit/infeksi karena transfusi darah 4. angka ketidaklengkapan pengisian catatan medik 5. angka keterlambatan pelayanan pertama gawat darurat II. Indikator Pelayanan Bedah 6. angka infeksi luka operasi 7. angka komplikasi pasca bedah 8. angka tunggu sebelum operasi elektif 9. angka apendik normal III. Indikator Pelayanan Ibu Bersalin dan Bayi 10. angka kematian ibu karena eklampsia 11. angka kematian ibu karena perdarahan 12. angka kematian ibu karena sepsis 13. angka perpanjangan waktu rawat inap ibu melahirkan 14. angka kematian bayi dengan BB lahir 2000 gram 15. angka seksio sesaria IV. Indikator Tambahan Kasus rujukan atau bukan rujukan 16. angka kematian ibu karena eklampsia
17. angka kematian ibu karena perdarahan 18. angka kematian ibu karena sepsis 19. angka perpanjangan waktu rawat inap ibu melahirkan 20. angka kematian bayi dengan BB lahir 2000 gram 2.2 Rekam Medik Rekam medik adalah sejarah ringkas, jelas dan akurat dari kehidupan dan kesakitan penderita, ditulis dari sudut pandang medik. Setiap rumah sakit dipersyaratkan mengadakan dan memelihara rekam medik yang memadai dari setiap pasien, baik untuk pasien rawat inap maupun pasien rawat jalan. Suatu rekam medik yang lengkap mencakup data identifikasi dan sosiologi, sejarah famili pribadi, sejarah kesakitan yang sekarang, pemeriksaan fisik, pemeriksaan khusus, seperti konsultasi, data laboratorium klinis, pemeriksaan sinar X dan pemeriksaan lain, diagnosa kerja, penanganan medik atau bedah, patologi mikroskopik dan nyata, kondisi pada waktu pembebasan, tindak lanjut, dan temuan otopsi (Siregar, 2004). Kegunaan rekam medik: 1. digunakan sebagai dasar perencanaan dan keberlanjutan perawatan penderita. 2. merupakan suatu sarana komunikasi antara dokter dan setiap profesional yang berkontribusi pada perawatan penderita. 3. melengkapi bukti dokumen terjadinya/penyebab penyakit penderita dan penanganan/pengobatan selama dirawat di rumah sakit.
4. digunakan sebagai dasar untuk kaji ulang studi dan evaluasi perawatan yang diberikan kepada penderita. 5. membantu perlindungan kepentingan hukum penderita, rumah sakit dan praktisi yang bertanggung jawab. 6. menyediakan data untuk digunakan dalam penelitian dan pendidikan. 7. sebagai dasar perhitungan biaya, dengan menggunakan rekam medik, bagian keuangan dapat menetapkan besarnya biaya pengobatan seorang penderita (Siregar, 2004). 2.3 Komite Medik dan Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) Komite medik adalah wadah non struktural yang keanggotaannya dipilih dari Staf Medik Fungsional (SMF) atau yang mewakili SMF yang ada di rumah sakit. Komite Medik berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Utama (Siregar, 2004). PFT adalah organisasi yang berada di bawah komite medik rumah sakit yang diketuai oleh dokter dan dibantu seorang sekretaris yaitu kepala IFRS atau apoteker lain yang ditunjuk oleh kepala IFRS. Anggota PFT terdiri dari dokter yang mewakili Staf Medik Fungsional (SMF) dan apoteker sebagai sekretaris yang mewakili farmasi serta tenaga kesehatan lainnya di rumah sakit (Siregar, 2004). PFT rumah sakit bertugas membantu direktur rumah sakit dalam menentukan kebijakan pengobatan dan penggunaan obat. PFT ini meningkatkan penggunaan obat secara rasional melalui pengembangan kebijakan dan prosedur
yang relevan untuk seleksi obat, pengadaan, penggunaan, dan melalui edukasi tentang obat bagi penderita dan staf profesional (Siregar, 2004). Fungsi dan ruang lingkup PFT adalah (Siregar, 2004): 1. menyusun formularium rumah sakit sebagai pedoman utama bagi para dokter dalam memberi terapi kepada pasien. Pemilihan obat untuk dimasukkan ke dalam formularium harus didasarkan pada evaluasi terhadap efek terapi, keamanan serta harga obat dan juga harus meminimalkan duplikasi produk obat yang sama. PFT berdasarkan kesepakatan dapat menyetujui atau menolak produk obat atau dosis obat yang diusulkan oleh SMF. 2. menetapkan pengelolaan obat yang digunakan di rumah sakit 3. melakukan tinjauan terhadap penggunaan obat di rumah sakit dengan meneliti rekam medik kemudian dibandingkan dengan standar diagnosa dan terapi. 4. mengumpulkan dan meninjau laporan mengenai efek samping obat. 5. mengembangkan ilmu pengetahuan yang menyangkut obat kepada staf medis dan perawat. 6. membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan mengenai penggunaan obat di rumah sakit sesuai dengan peraturan yang berlaku secara lokal maupun nasional. 7. membuat Pedoman Penggunaan Antibiotik PFT ini meningkatkan penggunaan obat secara rasional melalui pengembangan kebijakan dan prosedur yang relevan untuk seleksi obat,
pengadaan, penggunaan dan melalui edukasi tentang obat bagi penderita dan staf profesional. 2.4 Sistem Formularium Untuk kepentingan perawatan pasien yang lebih baik, rumah sakit harus mempunyai suatu program evaluasi pemilihan dan penggunaan obat yang objekif di rumah sakit. Program ini adalah dasar dari terapi obat yang tepat dan ekonomis, yang tertuang kedalam suatu pedoman yang disebut formularium rumah sakit. Formularium Rumah Sakit adalah daftar obat baku yang dipakai oleh rumah sakit yang dipilih secara rasional dan dilengkapi penjelasan, sehingga merupakan informasi obat yang lengkap untuk pelayanan medik rumah sakit, terdiri dari obat-obat yang tercantum dalam Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) dan beberapa jenis obat yang sangat diperlukan oleh rumah sakit, serta dapat ditinjau kembali sesuai dengan perkembangan bidang kefarmasian dan terapi serta keperluan rumah sakit yang bersangkutan (SK Dirjen YanMed No. 0428/ YanMed /RSKS/SK/89 tentang petunjuk pelaksanaan permenkes no. 085/Menkes/Per/I/1989). Kegunaan sistem formularium di rumah sakit (Siregar, 2004; Standar Pelayanan, 2004): 1. membantu meyakinkan mutu dan ketepatan penggunaan obat dalam rumah sakit. 2. sebagai bahan edukasi bagi staf medik tentang terapi obat yang benar. 3. memberi ratio manfaat yang tinggi dengan biaya yang minimal
2.5 Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu bagian di rumah sakit di bawah pimpinan seorang apoteker dibantu oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan merupakan tempat atau fasilitas penyelenggaraan yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) merupakan fasilitas penyelenggara pelayanan penunjang medis, kegiatan penelitian, pengembangan, pendidikan, pelatihan dan pemeliharaan sarana rumah sakit (Siregar, 2004; Standar Pelayanan, 2004). Adapun tugas seorang apoteker di rumah sakit adalah melaksanakan kegiatan kefarmasian seperti mengawasi pembuatan, pengadaan, pendistribusian obat/perbekalan farmasi serta berperan dalam program pendidikan dan penelitian, pembinaan kesehatan masyarakat melalui pemantauan keamanan, efektifitas, efisiensi biaya dan ketepatan penggunaan obat oleh pasien. Dengan demikian apoteker di rumah sakit dapat membantu tercapainya suatu pengobatan yang aman dan rasional yang berorientasi pada pasien dan bukan hanya berorientasi pada produk. 2.5.1 Pelayanan Kefarmasian Pelayanan kefarmasian dibagi menjadi 2 bagian yaitu pelayanan farmasi minimal dan pelayanan farmasi klinis. 2.5.1.1 Pelayanan Farmasi Minimal A. Perbekalan Perbekalan dilaksanakan oleh unit pelaksana Instalasi Farmasi Rumah Sakit yang meliputi pengadaan dan penyimpanan perbekalan farmasi. Pengadaan
merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan harga perbekalan farmasi. Pengadaan bertujuan untuk mendapatkan jenis dan jumlah sesuai dengan kebutuhan dan anggaran serta menghindari kekosongan obat. Pedoman perencanaan berdasarkan: 1. daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)/Formularium, standar terapi rumah sakit dan ketentuan setempat yang berlaku. 2. data catatan medik. 3. anggaran yang tersedia. 4. penetapan prioritas. 5. siklus penyakit. 6. sisa stok. 7. data pemakaian periode lalu. 8. perencanaan pengembangan. Pembelian perbekalan farmasi berpedoman pada: 1. surat pesanan yang ditanda tangani oleh Apoteker. 2. barang harus berasal dari sumber dan jalur distribusi yang resmi. 3. perjanjian pembayaran. 4. kualitas barang. Pengadaan perbekalan farmasi merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan. Penyimpanan perbekalan farmasi merupakan kegiatan pengaturan sediaan farmasi di dalam ruang penyimpanan, dengan tujuan untuk: 1. menjamin mutu tetap baik, yaitu kondisi penyimpanan disesuaikan dengan sifat obat, misalnya dalam hal suhu dan kelembaban.
2. memudahkan dalam pencarian, misalnya disusun berdasarkan abjad. 3. memudahkan pengawasan persediaan/stok dan barang kadaluarsa, yaitu disusun berdasarkan FIFO (First In First Out). 4. menjamin pelayanan yang cepat dan tepat. B. Distribusi Distribusi merupakan serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran obatobatan dan alat kesehatan. Distribusi obat rumah sakit dilakukan untuk melayani: 1. pasien rawat jalan Pasien/Keluarga pasien langsung menerima obat dari Instalasi Farmasi sesuai dengan resep yang ditulis oleh dokter. Keadaan ini memungkinkan diadakannya konseling pada pasien/keluarga pasien. 2. pasien rawat inap Ada 3 sistem pendistribusian pada pasien rawat inap, yaitu: a. resep perorangan (Individual Prescription) Sistem ini memungkinkan semua resep dokter dapat dianalisis langsung oleh apoteker dan terjalin kerja sama antara dokter, apoteker, perawat dan pasien. Keuntungan sistem ini adalah: 1. resep dapat dikaji lebih dahulu oleh apoteker 2. ada interaksi antara apoteker, dokter dan perawat 3. adanya legalisasian persediaan Kelemahan sistem ini adalah: 1. bila obat berlebih maka pasien harus membayarnya
2. obat dapat terlambat ke pasien b. floor stock Pada sistem ini perbekalan farmasi diberikan kepada masing-masing unit perawatan sebagai persediaan. Sistem ini memungkinkan perbekalan farmasi tersedia bila diperlukan. Misalnya untuk persediaan obat-obat emergensi. Keuntungan sistem ini adalah: 1. obat yang dibutuhkan cepat tersedia. 2. meniadakan obat yang return. 3. pasien tidak harus membayar obat yang lebih. 4. tidak perlu tenaga yang banyak. Kelemahan sistem ini adalah: 1. sering terjadi kesalahan, seperti kesalahan peracikan oleh perawat atau adanya kesalahan penulisan etiket. 2. persediaan obat di ruangan harus banyak. 3. kemungkinan kehilangan dan kerusakan obat lebih besar. c. one day dose dispensing Didefinisikan sebagai obat-obatan yang diminta, disiapkan, digunakan dan dibayar dalam dosis perhari, yang berisi obat dalam jumlah yang telah ditetapkan untuk satu hari pemakaian. Sistem ini melibatkan kerjasama antara dokter, apoteker dan perawat. Keuntungan sistem ini adalah: 1. pasien hanya membayar obat yang dipakai.
2. tidak ada kelebihan obat atau alat yang tidak dipakai di ruangan perawat. 3. menciptakan pengawasan ganda oleh apoteker dan perawat. 4. kerusakan dan kehilangan obat hampir tidak ada. d. kombinasi dari beberapa sistem pendistribusian di atas. Semua sistem diatas dapat dilakukan dengan cara: 1. sentralisasi: semua obat dari farmasi pusat 2. desentralisasi: adanya pelayanan farmasi/depo farmasi Sistem distribusi obat harus menjamin: 1. obat yang tepat diberikan kepada pasien yang tepat 2. dosis yang tepat dan jumlah yang tepat 3. kemasan yang menjamin mutu obat C. produksi Instalasi farmasi rumah sakit memproduksi produk non steril serta pengemasan kembali produk-produk tertentu. D. administrasi Administrasi yang teratur sangat dibutuhkan untuk menjamin terselenggaranya sistem pembukuan yang baik. Oleh karena itu, tugas administrasi di Instalasi Farmasi dikoordinir oleh koordinator yang bertanggung jawab langsung kepada kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit. 2.5.1.2 Pelayanan Farmasi Klinis Pelayanan farmasi klinis adalah praktek kefarmasian yang lebih berorientasi kepada pasien daripada orientasi kepada produk dengan penerapan
pengetahuan dan keahlian farmasi dalam membantu memaksimalkan efek obat dan meminimalkan toksisitas bagi pasien secara individual. Tujuan pelayanan farmasi klinis adalah meningkatkan keuntungan terapi obat dan mengoreksi kekurangan yang terdeteksi dalam proses penggunaan obat, karena itu tujuan farmasi klinis adalah meningkatkan dan memastikan kerasionalan, kemanfaatan dan keamanan terapi obat. Menurut SK MenKes No.436/MenKes/SK/VI/1993 pelayanan farmasi klinis meliputi: 1. melakukan konseling 2. monitoring Efek Samping Obat (MESO) 3. pencampuran obat suntik secara aseptik 4. menganalisa efektivitas biaya secara farmakoekonomi 5. penentuan kadar obat dalam darah 6. penanganan obat sitostatika 7. penyiapan Total Parenteral Nutrisi (TPN) 8. pemantauan dan pengkajian penggunaan obat 9. pendidikan dan penelitian (Aslam, 2002). 2.6 Central Sterilization Supply Department (CSSD) Instalasi CSSD merupakan fasilitas untuk melaksanakan kegiatan sterilisasi yang bertujuan untuk melayani semua kebutuhan steril dan unit-unit yang membutuhkan, yaitu alat-alat medik dan alat-alat lainnya yang diperlukan untuk tindakan steril.
Fungsi utama CSSD adalah menyiapkan alat-alat bersih dan steril untuk keperluan perawatan pasien di rumah sakit. Fungsi CSSD secara lebih rinci adalah menerima, memproses, menstrerilkan, menyimpan, serta mendistribusikan peralatan medis ke berbagai ruangan di rumah sakit untuk kepentingan perawatan pasien. Alur aktivitas fungsional CSSD dimulai dari proses pembilasan, pembersihan/dekontaminasi, pengeringan, inspeksi dan pengemasan, memberi label, sterilisasi, hingga proses distribusi ke unit-unit yang membutuhkan. Berdirinya CSSD di rumah sakit dilatarbelakangi oleh: 1. besarnya angka kematian akibat infeksi nosokomial 2. kuman mudah menyebar, mengkontaminasi benda dan menginfeksi manusia di lingkungan rumah sakit. 3. merupakan salah satu pendukung jaminan mutu pelayanan rumah sakit, maka peran dan fungsi CSSD sangat penting. Dengan adanya CSSD di rumah sakit bertujuan: 1. mengurangi infeksi nosokomial dengan menyediakan peralatan yang telah mengalami pensortiran, pencucian dan sterilisasi dengan sempurna. 2. memutuskan mata rantai penyebaran kuman di lingkungan rumah sakit. 3. menyediakan dan menjamin kualitas hasil sterilisasi terhadap produk yang dihasilkan. Adapun fungsi CSSD di rumah sakit adalah: 1. menyediakan peralatan dan bahan steril untuk tindakan medis dan penunjang medis.
2. tempat dilakukan proses desinfeksi, sterilisasi alat dan bahan habis pakai steril. 3. mendistribusikan alat dan bahan habis pakai steril. 4. mendokumentasikan semua kegiatan harian (jumlah instrument atau jumlah bahan habis pakai yang disterilkan). Rumah sakit sebagai penyedia pelayanan kesehatan berupaya untuk mencegah resiko terjadinya infeksi bagi pasien dan petugas rumah sakit. Salah satu indikator keberhasilan dalam pelayanan rumah sakit adalah rendahnya angka infeksi nosokomial di rumah sakit. Untuk mengendalikan dan mengurangi terjadinya infeksi nosokomial ini maka dibentuklah suatu pusat sterilisasi. 2.7 Pengelolaan dan Penggunaan Obat Secara Rasional (PPOSR) PPOSR adalah pengelolaan obat yang dilaksanakan secara efektif dan efisien dimana pemanfaatan atau efikasi, keamanan (safety) dan mutu (quality) obat terjamin serta penggunaan obat secara 4 T + 1 W, artinya obat harus diberikan dengan tepat pasien, tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis dan senantiasa waspada terhadap kemungkinan terjadinya efek samping obat yang tidak diinginkan. Kegiatan pengelolaan dan penggunaan obat dimulai dari: 1. pemilihan jenis obat dan alat kesehatan yang dibutuhkan 2. perencanaan untuk mengadakan obat dan alat kesehatan tersebut dalam jenis, jumlah, waktu dan tempat yang tepat 3. pengadaan berdasarkan pertimbangan dana yang tersedia dan skala prioritas untuk pengadaan yang tepat
4. penyimpanan yang tepat sesuai dengan sifat masing-masing obat dan alat kesehatan 5. penyaluran kepada unit-unit pelayanan dan penunjang yang membutuhkan obat dan alat kesehatan tersebut di instalasi gawat darurat, instalasi bedah pusat, instalasi rawat jalan dan instalasi rawat inap 6. penulisan resep oleh dokter (Prescribing Process) 7. peracikan oleh farmasis (Dispensing Process) 8. pemberian oleh perawat kepada perawat (Administration Process) 9. penggunaan oleh penderita (Consuming Process) 10. pemantauan khasiat dan keamanan obat oleh dokter, perawat, farmasis dan penderita. Seluruh kegiatan pengelolaan dan penggunaan obat yang dimulai dari pertama sampai langkah ke 10 disebut Lingkar Sepuluh Kegiatan Pengelolaan Dan Penggunaan Obat Secara Rasional (LSK-PPOSR), dimana jika semua langkah dilakukan dengan tepat, maka diharapkan akan dapat mencegah timbulnya masalah-masalah yang berkaitan dalam pengelolaan dan penggunaan obat serta alat kesehatan 2.8 Instalasi Gas Medis Penggunaan gas medis pada sarana pelayanan kesehatan diatur berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 1439/Menkes/SK/XI/2002. 2.8.1 Defenisi: - gas medis adalah gas dengan spesifikasi khusus yang dipergunakan untuk pelayanan medis pada sarana kesehatan.
- instalasi pipa gas medis adalah seperangkat prasarana perpipaan beserta peralatan yang menyediakan gas medis tertentu yang dibutuhkan untuk menyalurkan gas medis ke titik outlet di ruang tindakan dan perawatan. - sentral gas medis adalah seperangkat prasarana beserta peralatan dan atau tabung gas/liquid yang menyimpan beberapa gas medis tertentu yang dapat disalurkan melalui pipa instalasi gas medis. - instalasi gas medis (IGM) adalah seperangkat sentral gas medis, instalasi pipa gas medis sampai outlet Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 1439/Menkes/SK/XI/2002 tentang penggunaan gas medis pada sarana pelayanan kesehatan antara lain: - gas Oksigen (tabung 1m 3, 2m 3, 6m 3 ) - oksigen cair (tangki) - gas N 2 O (tabung 25 kg) - gas CO 2 - udara Tekan (UT) - siklopropana (C 3 H 6 ) - helium - vaccum (suction) mixture gas yang terdiri dari: a. O 2 + N 2 b. O 2 + CO 2 c. He + O 2 d. N 2 O + O 2 + N 2
2.8.2 Penyimpanan Gas Medis 1. tabung-tabung gas medis harus disimpan berdiri, dipasang penutup kran dan dilengkapi tali pengaman untuk menghindari jatuh pada saat terjadi bencana. 2. lokasi penyimpanan harus khusus dan masing-masing gas medis dibedakan tempatnya. 3. penyimpanan tabung gas medis yang berisi dan tabung gas medis yang kosong dipisahkan untuk memudahkan pemeriksaan dan penggantian. 4. lokasi penyimpanan diusahakan jauh dari sumber panas, listrik dan oli atau sejenisnya. 5. gas medis yang sudah cukup lama disimpan, agar dilakukan uji/test kepada produsen untuk mengetahui kondisi gas medis tersebut. 2.8.3 Pendistribusian Gas Medis 1. distribusi gas medis dilayani dengan menggunakan troly yang biasanya ditempatkan dekat dengan pasien. 2. pemakaian gas diatur melalui flowmeter pada regulator. 3. regulator harus dites dan dikalibrasi. 4. penggunaan gas medis sistem tabung hanya bisa dilakukan 1 tabung untuk 1 orang. 5. tabung gas beserta troly harus bersih dan memenuhi syarat sanitasi (higienis).