KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

dokumen-dokumen yang mirip
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

KEWENANGAN PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

TUMPANG TINDIH KEWENANGAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI. Oleh : Sulistyo Utomo, SH* *

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1961 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 16/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. pembahasan di atas, dapat ditarik tiga kesimpulan sebagai berikut:

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

2011, No b. bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa, namun dalam pelaksan

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 120 TAHUN 1987 SERI : D

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLlK INDONESIA JAKARTA

RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2000 TENTANG

PUTUSAN Nomor 81/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Tesis Fakultas Hukum Indonesia:1999) hal.3.

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

HAK JAKSA MENGAJUKAN PK DAN BATASANNYA. OLEH: Paustinus Siburian, SH., MH. ABSTRAK

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RAHASIA BANK. Vegitya Ramadhani Putri, SH, S.Ant, MA, LLM

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Mencermati Peradilan di Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 010/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 13 Juni 2006

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

PUTUSAN Nomor 80/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. Habiburokhman, S.H.

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. diperiksa oleh hakim mengenai kasus yang dialami oleh terdakwa. Apabila

LAMPIRAN II : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 600/PRT/M/2005 Tanggal : 23 Desember 2005

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PP 2/2002, TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN DAN SAKSI DALAM PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. Oleh : PROF.DR.H.M. SAID KARIM, SH. MH. M.Si. CLA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N

IMPLEMENTASI PERADILAN KONEKSITAS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan No. 2478/Pid.B/Kon/2006/PN.Jak.

Transkripsi:

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI Sigit Budi Santosa 1 Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang Jl. Danau Sentani 99 Kota Malang Abstraksi: Korupsi sampai saat ini merupakan pekerjaan rumah bagi para penegak hukum termasuk Kejaksaan. Upaya penindakan telah dilakukan, dilengkapi dengan aparat penegak hukumnya, namun akan sulit pelaksanaannya ketika dibenturkan dengan beberapa regulasi yang saling tumpang tidih dengan yang lain yang mengatur mengenai tugas, fungsi dan wewenang masingmasing penegak hukum, dalam hal ini Kejaksaan salah satunya. Fungsi jaksa dalam penindakan tindak pidana korupsi dipertanyakan, ketika didalam KUHAP memisahkan antara fungsi penyidikan dengan fungsi penuntutan. Apakah kejaksaan juga memiliki wewenang sebagai penyidik dalam tindak pidana korupsi atau tidak? Problema ini muncul ketika isi satu aturan menyatakan bahwa kejaksaan tidak memiliki kewenangan sebagai penyidik,, dan aturan lain jaksa dapat saja melakukan penyidikan tindak pidana tertentu, asalkan berdasarkan undang-undang khusus, atau ada undang-undang khusus yang memberikan kewenangan untuk itu. Kepastian hukum mengenai tugas, fungsi dan wewenang Kejaksaan harus ada, dengan demikian diharapkan tidak ada lagi kerancuan maupun kebingungan mengenai kewenangan Kejaksaan dalam tindak pidana korupsi. Kata kunci : Tindak Pidana Korupsi,Kejaksaan,dan wewenang Alamat 1 Korespondensi: sigitbudi20@gmail.com

78 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal. 77-90 A. Pendahuluan Sebagaimana terjadi dalam praktik, penyidikan kasus korupsi dilakukan oleh Polri (Kepolisian Republik Indonesia), Kejaksaan, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disebut KPK). Untuk Polri dan KPK, dasar hukum kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi sudah jelas, yaitu Polri berdasarkan Undangundang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) serta Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan KPK berdasarkan pada Undangundang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK No. 30 Tahun 2002). Namun untuk jaksa, ada banyak undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan jaksa dalam penyidikan tindak pidana korupsi, sehingga dapat dan telah menimbulkan kebingungan di masyarakat. Atas dasar hal tersebut, makalah ini akan memfokuskan untuk membahas kewenangan jaksa sebagai penyidik tindak pidana korupsi. Apakah sebenarnya jaksa memiliki kewenangan sebagai penyidik tindak pidana korupsi ataukah tidak? B. Pembahasan Kewenangan Jaksa sebagai Penyidik Tindak Pidana Korupsi Hingga sekarang, banyak kasus korupsi yang penyidikannya dilakukan oleh jaksa. Namun, tidak sedikit juga terjadi silang pendapat tentang apakah jaksa sesungguhnya berwenang sebagai penyidik tindak pidana korupsi ataukah tidak. Jauh sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lahir, tepatnya beberapa waktu setelah diundangkannya KUHAP silang pendapat itu sudah ada, dan terus berlanjut sampai sekarang. Penulis termasuk yang berpendapat bahwa sejatinya jaksa tidak lagi memiliki kewenangan sebagai penyidik tindak pidana korupsi. Mengapa demikian? Uraian berikut akan menjelaskan dasar pemikiran dan pendapat penulis, dengan mendasarkan pada berbagai undangundang yang berkaitan dengan kewenangan kejaksaan sebagai penyidik tindak pidana korupsi. Produk undang-undang kejaksaan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia pertama kali setelah merdeka adalah Undang-undang No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kejaksaan No. 15 Tahun 1961). Berkaitan dengan tugas jaksa sebagai penyidik, diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Kejaksaan No. 15 Tahun 1961 yang menyatakan:

Santosa, Kewenangan Kejaksaan Sebagai Penyidik Tindak Pidana Korupsi 79 Dalam melaksanakan ketentuanketentuan dalam pasal 1, Kejaksaan mempunyai tugas: mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan Negara. Hukum Acara Pidana yang berlaku pada saat itu adalah Herziene Inlandsch Reglement (selanjutnya disebut HIR) (S.1941-44), yang di dalam Pasal 39 HIR disebutkan bahwa: Pejabat yang diberikan kewenangan untuk menyidik antara lain: Kepala desa serta pegawai polisi desa; kepala distrik (wedana) dan kepala onderdistrik (Asisten wedana atau camat) juga menteri polisi yang dibantukan kepadanya; pegawai dan pejabat polisi umum (polisi negara); jaksa dan pengadilan negeri; mereka yang dengan peraturan itu atau supaya peraturan itu diturut orang dan yang disuruh mencari perbuatan yang dapat dihukum yang dimaksud di dalam peraturan itu; dan Pegawai polisi yang tidak digaji. Keweangan kejaksaan sebagai penyidik juga diatur dalam Undangundang No. 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor No. 24/Prp/1960). Hal ini dapat dilihat misalnya dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 7 UU Tipikor No. 24/Prp/1960. Pasal 2 UU Tipikor No. 24/Prp/1960 menyatakan: (1) Aturan-aturan mengenai pengusutan dan penuntutan menurut peraturan biasa berlaku bagi perkara korupsi, sekedar tidak ditentukan lain dalam peraturan ini. ( peraturan biasa yang dimaksud adalah HIR yang masih berlaku penulis.) (2) Perkara korupsi didahulukan untuk diusut dan dituntut. Pasal 7 UU Tipikor No. 24/Prp/1960 menyatakan: Jaksa berhak membuka, memeriksa dan menyita surat-surat dan kiriman-kiriman yang melalui Jawatan Pos, Telegrap dan Telepon, yang dapat disangka mempunyai hubungan perkara pidana korupsi, yang sedang diusut atau dituntut. Dengan demikian, berdasarkan HIR, UU Tipikor No. 24/Prp/1960, dan UU Kejaksaan No. 15 Tahun 1961, kejaksaan memiliki kewenangan sebagai penyidik, termasuk penyidik tindak pidana korupsi. Dalam perjalanan waktu selanjutnya, UU Tipikor No. 24/Prp/1960 tersebut diganti dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor No. 3 Tahun 1971). Dalam UU Tipikor No. 3 Tahun 1971

80 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal. 77-90 jaksa juga masih memiliki kewenangan sebagai penyidik tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 3. Pasal 3 UU Tipikor No. 3 Tahun 1971 menyatakan: Penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dijalankan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku, sekedar tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. ( ketentuan-ketentuan yang berlaku yang dimaksud adalah HIR dan UU Kejaksaan No. 15 Tahun 1961 penulis) Dengan demikian, berdasarkan HIR, UU Kejaksaan No. 15 Tahun 1961, dan UU Tipikor No. 3 Tahun 1971, kejaksaan masih memiliki kewenangan sebagai penyidik, termasuk penyidik tindak pidana korupsi. Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1981 diundangkanlah KUHAP yang menyatakan tidak berlakunya ketentuanketentuan dalam HIR sepanjang menyangkut hukum acara pidana. Di samping itu, KUHAP memisahkan secara tegas antara fungsi penyidikan yang dijalankan oleh pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pegawai negeri sipil tertentu, dengan fungsi penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim yang dijalankan oleh jaksa, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 6 KUHAP. Pasal 1 angka 1 KUHAP menyatakan: Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang- undang untuk melakukan penyidikan. Pasal 1 angka 6 KUHAP menyatakan: a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Dengan demikian, jelaslah bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan angka 6 KUHAP, jaksa tidak memiliki kewenangan lagi sebagai penyidik, karena KUHAP menghendaki pemisahan yang tegas antara fungsi penyidikan dengan fungsi penuntutan. Akan tetapi jaksa masih dapat melakukan penyidikan secara kondisional (dengan syarat), yaitu dalam hal sebagaimana diatur dalam ketentuan peralihan Pasal 284 ayat (2) KUHAP. Pasal 284 ayat (2) KUHAP menyatakan: Dalam waktu dua tahun setelah undangundang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian

Santosa, Kewenangan Kejaksaan Sebagai Penyidik Tindak Pidana Korupsi 81 untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Penjelasan Pasal 284 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa: a. Yang dimaksud dengan semua perkara adalah perkara yang telah dilimpahkan ke pengadilan. b. Yang dimaksud dengan ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu ialah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada, antara lain: 1. Undang-undang tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi (Undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955); 2. Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (Undang-undang nomor 3 Tahun 1971); dengan catatan bahwa semua ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Dengan demikian, apabila ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP dikaitkan dengan UU Kejaksaan No. 15 Tahun 1961 dan UU Tipikor No. 3 Tahun 1971 yang pada saat itu masih berlaku, maka jaksa masih memiliki kewenangan sebagai penyidik tindak pidana korupsi, sampai ada peninjauan kembali, pengubahan atau pencabutan terhadap UU Kejakasaan No. 15 Tahun 1961 dan UU Tipikor No. 3 Tahun 1971 tersebut. Kemudian pada tahun 1991 diundangkanlah Undang-undang Kejaksaan yang baru, yaitu Undangundang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kejaksaan No. 5 Tahun 1991) yang menggantikan Undang-undang Kejaksaan yang lama, yaitu UU Kejaksaan No. 15 Tahun 1961. UU Kejaksaan No. 5 Tahun 1991 menegaskan fungsi jaksa sama seperti fungsi jaksa dalam KUHAP, yaitu sebagai Penuntut Umum. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 dan angka 2 serta Pasal 27 ayat (1) UU Kejaksaan No. 5 Tahun 1991. Pasal 1 angka 1 UU Kejaksaan No. 5 Tahun 1991 menegaskan: Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 1 angka 2 UU Kejaksaan No. 5 Tahun 1991 menegaskan: Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk

82 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal. 77-90 melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Pasal 27 ayat (1) UU Kejaksaan No. 5 Tahun 1991 menegaskan: Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. melakukan penuntutan dalam perkara pidana; b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan; c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat; d. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikordinasikan dengan penyidik. Dengan demikian, berdasarkan Undangundang Kejaksaan yang baru, yaitu UU Kejaksaan No. 5 Tahun 1991, jaksa tidak lagi memiliki kewenangan sebagai penyidik, dan oleh karenanya kewenangan jaksa sebagai penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Kejaksaan No. 3 Tahun 1971 haruslah dianggap tidak ada lagi. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan kewenangan jaksa sebagai penyidik tindak pidana korupsi dalam UU Kejaksaan No. 3 Tahun 1971 bersumber dari ketentuan hukum acara pidana HIR yang sudah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh KUHAP, dan juga berasal dari ketentuan UU Kejaksaan lama yaitu UU Kejaksaan No. 15 Tahun 1961 yang sudah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh UU Kejaksaan yang baru yaitu UU No. 5 Tahun 1991. Hal ini juga sesuai dengan asas perundang-undangan lex posteriore derogat lex priori (Undang-undang yang baru mengesampingkan undang-undang yang lama). Menyusul kemudian pada tahun 1999 diundangkan Undang-undang Tipikor baru, yaitu UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru (selanjutnya disebut UU Tipikor No. 31 Tahun 1999). UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 sesungguhnya sudah menegaskan bahwa jaksa tidak lagi memiliki kewenangan sebagai penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999. Pasal 26 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 menegaskan: Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undangundang ini. Hukum acara pidana yang berlaku adalah KUHAP. Sebagaimana telah diuraikan di bagian sebelumnya, KUHAP memisahkan secara tegas antara fungsi

Santosa, Kewenangan Kejaksaan Sebagai Penyidik Tindak Pidana Korupsi 83 Penyidikan yang dijalankan oleh pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pegawai negeri sipil tertentu, dengan fungsi penuntutan yang dijalankan oleh jaksa. Dengan kata lain, Pasal 26 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 sesungguhnya lebih menegaskan lagi, di samping UU Kejaksaan No. 5 Tahun 1991 sendiri telah menegaskan, bahwa jaksa tidak memiliki kewenangan lagi sebagai penyidik tindak pidana korupsi. Dengan demikian, sudah terang benderang lah, bahwa baik berdasarkan KUHAP, UU Kejaksaan No. 5 Tahun 1991, maupun UU Tipikor No. 31 Tahun 1999, jaksa sudah tidak lagi memiliki kewenangan sebagai penyidik tindak pidana korupsi. Namun persoalan kewenangan ini ternyata menjadi rancu kembali dengan adanya ketentuan Pasal 27 dan Pasal 39 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999, karena dari kedua pasal ini lah sebagian orang menafsirkan bahwa jaksa masih memiliki kewenangan sebagai penyidik tindak pidana korupsi. Pasal 27 UU No. 31 Tahun 1999 menyatakan: Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung. Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 menyatakan: Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer. Dari frasa Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan itulah sebagian orang menafsirkan bahwa jaksa masih memiliki kewenangan sebagai penyidik tindak pidana korupsi. Padahal pengertian mengkoordinasikan penyidikan tidaklah sama dengan melakukan penyidikan itu sendiri, demikian juga pengertian mengendalikan penyidikan juga tidak sama dengan melakukan penyidikan itu sendiri. Andai maksud pembentuk undang-undang menyamakan pengertian mengkoordinasikan/mengendalikan sama dengan pengertian melakukan, pastilah pembentuk undang-undang akan langsung menggunakan frasa melakukan penyidikan ketimbang menggunakan frasa lain yang dapat menimbulkan penafsiran berbeda. Untuk itu perlu dilihat penjelasan kedua Pasal tersebut. Penjelasan Pasal 27 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 menyatakan: Yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya antara lain tindak pidana korupsi di bidang perbankan, perpajakan, pasar modal,

84 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal. 77-90 perdagangan dan industri, komoditi berjangka, atau di bidang moneter dan keuangan yang: a. bersifat lintas sektoral; b. dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih; atau c. dilakukan oleh tersangka/terdakwa yang berstatus sebagai Penyelenggara Negara sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dari penjelasan Pasal 27 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 tersebut nampak bahwa kasus korupsi yang secara teknis lebih rumit/sulit, atau subyek hukumnya merupakan Penyelenggara Negara, sehingga jika dipandang perlu dapat dibentuk tim gabungan dalam penanganan kasus tersebut yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung. Mengkoordinasikan di sini sesuai arti kata asalnya adalah mengatur secara baik agar lebih terarah, namun tidak melakukan penyidikan itu sendiri. Penjelasan Pasal 39 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 menyatakan: Yang dimaksud dengan mengkoordinasikan adalah kewenangan Jaksa Agung sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undangundang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan. Menurut ketentuan Pasal 32 UU Kejaksaan No. 5 Tahun 1991, mengkoordinasikan ini merupakan salah satu fungsi khusus dari Jaksa Agung (dalam arti hanya dimiliki oleh Jaksa Agung, dan bukan jaksa selain Jaksa Agung - penulis), yang selengkapnya menyebutkan: Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: a. menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan; b. mengkoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu, dengan instansi terkait berdasarkan undangundang yang pelaksanaan koordinasinya ditetapkan oleh Presiden; c. menyampingkan perkara demi kepentingan umum; d. mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara; e. mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana; f. menyampaikan pertimbangan kepada Presiden mengenai permohonan grasi dalam hal pidana mati; g. mencegah atau melarang orang-orang tertentu untuk masuk ke dalam atau meninggalkan wilayah kekuasaan

Santosa, Kewenangan Kejaksaan Sebagai Penyidik Tindak Pidana Korupsi 85 Negara Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana. Penjelasan Pasal 32 huruf b UU Kejaksaan No. 5 Tahun 1991 menyebutkan: 1) Yang dimaksud dengan perkara pidana tertentu adalah perkara-perkara pidana yang dapat meresahkan masyarakat luas, dan/atau dapat membahayakan keselamatan negara, dan/atau dapat merugikan perekonomian negara; 2) Yang dimaksud dengan instansi terkait adalah instansi yang secara fungsional terkait dengan penanganan perkara pidana tertentu, baik badan penegak hukum maupun instansi pemerintah lainnya, dalam hal ini tidak termasuk badan peradilan; 3) Penetapan oleh Presiden tentang pelaksanaan koordinasi sama sekali tidak mengurangi asas kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 (sekarang UU No. 48 Tahun 2009 penulis) dan tetap memperhatikan asas-asas hukum yang berlaku demi kepastian hukum. Berdasarkan Penjelasan Pasal 39 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 dikaitkan dengan Pasal 32 UU Kejaksaan No. 5 Tahun 1991 dan Penjelasan Pasal 32 huruf b UU Kejaksaan No. 5 Tahun 1991, semakin nampak jelas bahwa maksud mengkoordinasikan dan mengendalikan adalah mengatur dan memimpin secara baik agar lebih terarah (pada tujuan tertentu-penulis) tanpa melakukan penyidikan itu sendiri. Guna semakin memperjelas tentang persoalan mengkoordinasikan ini perlu penulis tambahkan Penjelasan Umum UU Tipikor No. 31 Tahun 1999, Paragraf 10, yang selengkapnya menyatakan: Hal baru lainnya adalah dalam hal terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dibentuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung, sedangkan proses penyidikan dan penuntutan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan efisiensi waktu penanganan tindak pidana korupsi dan sekaligus perlindungan hak asasi manusia dari tersangka atau terdakwa. Selanjutnya, pada tahun 2002 diundangkanlah UU KPK No. 30 Tahun 2002. Pada salah satu Pasal di bagian Ketentuan Penutup, yaitu Pasal 71 ayat (1) UU KPK No. 30 Tahun 2002 menyebutkan: Dengan berlakunya Undang-undang ini, Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara

86 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal. 77-90 Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian, salah satu Pasal yang oleh sebagian orang ditafsirkan sebagai dasar hukum bahwa jaksa masih memiliki kewenangan sebagai penyidik tindak pidana korupsi telah dinyatakan tidak berlaku oleh UU KPK No. 30 Tahun 2002. Lantas bagaimana dengan Pasal yang satunya (Pasal 39 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999)? Untuk menjawab hal itu penulis kutipkan ketentuan Pasal 42 UU KPK No. 30 Tahun 2002, yang selengkapnya menyatakan: Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum. Dengan tidak dinyatakan secara tegas oleh UU KPK No. 30 Tahun 2002, bahwa Pasal 39 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 tidak berlaku, maka seolah-olah ada dua norma yang saling bertentangan, yaitu Pasal 39 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 berhadapan dengan Pasal 42 UU KPK No. 30 Tahun 2002. Kedua norma yang berlaku ini dapat menimbulkan kebingungan tentang siapakah sebenarnya yang berperan sebagai koordinator dan pengendali dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum? Untuk menjawab persoalan tersebut asas lex posteriore derogat lex priori (Undang-undang yang baru mengesampingkan undang-undang yang lama) merupakan solusi yang tepat. Dengan demikian, berdasarkan asas lex posteriore derogat lex priori ketentuan Pasal 39 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 harus dipandang tidak berlaku lagi. Atau dapat juga tetap berlaku, namun harus dikaitkan dengan perbedaan kriteria sasaran penanganan kasus korupsi, sehingga berdasarkan teori residu maka yang dikoordinasikan dan dikendalikan Jaksa Agung adalah residu dari kasus yang menjadi sasaran penananganan oleh KPK. Akan tetapi pelaksanaannya tetap harus diingat dan dikaitkan dengan penjelasan tentang frasa mengkoordinasikan/mengendalikan sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya makalah ini.

Santosa, Kewenangan Kejaksaan Sebagai Penyidik Tindak Pidana Korupsi 87 Pada bagian lain dari UU KPK No. 30 Tahun 2002, masih terdapat beberapa pasal yang memuat frasa atau kejaksaan dan dan/atau kejaksaan, yaitu sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 44 ayat (4) & (5), dan Pasal 50 ayat (1), (2), (3), dan (4), dan Penjelasan Umum. Hal ini dapat menimbulkan anggapan bahwa seolah-olah jaksa masih memiliki kewenangan sebagai penyidik tindak pidana korupsi, padahal sudah tidak ada dasar hukum lagi yang memberi kewenangan kepada jaksa untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Bukankah HIR, UU Kejaksaan No. 15 Tahun 1961, dan UU Tipikor No. 3 Tahun 1971 yang memberikan kewenangan kepada jaksa untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi sudah dinyatakan tidak berlaku? Oleh karena itu, adanya frasa atau kejaksaan dan dan/atau kejaksaan dalam beberapa Pasal UU KPK No. 30 Tahun 2002 tersebut haruslah dianggap sebagai kekeliruan pembentuk undang-undang yang menganggap bahwa kejaksaan masih memiliki kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, padahal berdasarkan undang-undang yang berlaku kejaksaan sudah tidak lagi memiliki kewenangan sebagai penyidik tindak pidana korupsi, serta harus dianggap tidak ada atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Belakangan, pada tahun 2004 keluar Undang-undang Kejaksaan terbaru, yaitu UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kejaksaan No. 16 Tahun 2004). Berbeda dengan UU Kejaksaan sebelumnya, yaitu UU Kejaksaan No. 5 Tahun 1991, UU Kejaksaan yang terbaru ini memberikan lagi kewenangan penyidikan kepada kejaksaan. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 30 ayat (1) UU Kejaksaan No. 16 Tahun 2004. Pasal 30 ayat (1) UU Kejaksaan No. 16 Tahun 2004 menyatakan: Di bidang pidana kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. melakukan penuntutan; b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke

88 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal. 77-90 pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan No. 16 Tahun 2004, maka jaksa dapat saja melakukan penyidikan tindak pidana tertentu, asalkan berdasarkan undang-undang khusus, atau ada undang-undang khusus yang memberikan kewenangan untuk itu. Penjelasan atas Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan No. 16 Tahun 2004, menyatakan dan memberikan contoh bahwa: Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan No. 16 Tahun 2004 ini senada dengan apa yang termuat dalam Penjelasan Umum angka 3 UU Kejaksaan No. 16 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa: Kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Benarkah demikian? Untuk menjawabnya perlu kita lihat ketentuan undang-undang yang dijadikan contoh dalam Penjelasan dan Penjelasan Umum tersebut. Ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU Pengadilan HAM No. 26 Tahun 2000), menyatakan: Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Dengan demikian, benarlah contoh yang diberikan oleh Penjelasan dan Penjelasan Umum di atas, sebab jika berdasarkan UU Pengadilan HAM No. 26 Tahun 2000 jaksa (baca: Jaksa Agung) memang memiliki kewenangan sebagai penyidik tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Santosa, Kewenangan Kejaksaan Sebagai Penyidik Tindak Pidana Korupsi 89 Bagaimana dengan UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Tipikor No. 20 Tahun 2001? Tentang ini sudah penulis uraikan di bagian sebelumnya. Sementara UU KPK No. 30 Tahun 2002, yang juga dirujuk sebagai contoh, juga tidak ada satupun ketentuan Pasal dalam UU KPK No. 30 Tahun 2002 yang memberikan kewenangan kepada jaksa untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, karena memang UU KPK No. 30 Tahun 2002 mengatur khusus tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang lebih dikenal dengan KPK. Dengan demikian, sekalipun UU Kejaksaan No. 16 Tahun 2004 (UU Kejaksaan yang terbaru) memberikan kewenangan kepada jaksa sebagai penyidik tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang, namun analisis secara yuridis normatif pada uraian-uraian sebelumnya telah membuktikan bahwa sejatinya jaksa tidak lagi memiliki kewenangan sebagai penyidik tindak pidana korupsi. C. Penutup Semangat untuk memberantas korupsi tentu perlu didukung oleh segenap komponen masyarakat. Namun demikian, kita semua sebagai bagian dari komponen masyarakat juga memiliki kewajiban hukum dan kewajiban moral untuk menjaga, agar jangan sampai semangat yang mulia tersebut justru menciderai hukum itu sendiri, dengan bertindak melampaui hukum yang berlaku, sekalipun hal itu atas nama pemberantasan korupsi, sebab jika demikian halnya bukankah penegakan hukum itu menjadi penegakan hukum yang korup? Jika penegakan hukumnya korup, otomatis penegak hukum yang ikut andil di situ menjadi penegak hukum yang korup juga. DAFTAR PUSTAKA A. Peraturan Perundang-Undangan Undang-undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

90 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal. 77-90 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.