KEJAKSAAN AGUNG REPUBLlK INDONESIA JAKARTA
|
|
- Susanto Hermanto
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 KEJAKSAAN AGUNG REPUBLlK INDONESIA JAKARTA Nomor Sifat Lampiran : Perihal R-045a/ F/2./ 2001 Rahasia 1 (satu berkas Kewenangan jaksa sebagai Penyidik berdasarkan UU No 31 Tahun 1999 Jakarta, 16 Februari 2001 KEPADA KEPALA KEJAKSAAN TINGGI 01- SELURUH INDONESIA Sehubungan dengan adanya pertanyaan dari beberapa Kajati tentang kewnangan Jaksa untuk melakukan penyidikan berdasarkan Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tmdak Pidana Korupsi, dengan ini disampaikan hal - hal sebagai berijrut : 1. Jiwa dari era Refonnasi agar pembangunan dapat berdaya guna dan berhasil guna adalah Ketetapan MPR - RI Nomor XII MPRI 1998 ten tang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 2. Mengacu kepada amanat MPR - RI tersebut, maka Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR - RI) bersama dengan Presiden RI telah berhasil mengundangkan beberapa undang - undang yang merupakan penjabarannya, yaitu antara lain Undang - undang Nomor 28 Tahun 1999 tanggal 19 Mei 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan disusul kemudian dengan undang - undang Nomor 31 Tahun 1999 ten tang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 3. Diantara ketentuan - ketentuan yang ada didalam undang - undang Nomor 28 Tahun 1999 yang erat kaitannya dengan kewenangan Jaksa sebagai penyidik dalam tindak pidana korupsi ialah pasal- pasal 1, 12, 17, 18,20, 2 J, dan 22 beserta penjelasannya. 4. Beberapa hal yang perju dicennati dari isi pasal 17 dan 18 UU No 28 Tahun 1999 beserta penjelasannya adalah sebagai berikut : 129
2 4.1. Pada pasal 17 digariskan tentang kewenangan Komisi Pemeriksa hanya sebatas melakukan penyelidikan yang tertera secara eksplisit pada ayat (2) huruf c dan d; 4.2. Sebagai kelanjutannya, pada pasal 18 ayat (3) dinyatakan pula secara tegas bahwa apabila hasil pemeriksaan yang dilakukan Kornisi Pemeriksa menemukan petunjuk adanya perbuatan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme maka hasilnya akan diserahkan kepada Instansi yang berwenag. untuk ditindak lanjuti. "Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mempertegas atau menegaskan perbedaan yang mendasar antara tugas Komisi Pemeriksa selaku pemeriksa harta kekayaan Penyelenggara Negara dan ~ Kepolisian dan Kejaksaan". Yang perlu mendapat perhatian dari penjelasan ini adalah ditegaskannya perbedaan yang mendasar antara tugas Komisi Pemeriksa yang tidak bersifat 'pro yutitia' dengan fungsi Kepolisian dan Kejaksaan sebagai penyidik yang bersifat "pro yustitia" atau "Untuk Keadilan". Dari rangkaian kalimat yang tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa menurut VU No. 28 Tahun Jaksa adalah sebagai penyidik, khususnya dalam pekara tindak pidana korupsi. Yang dimaksud dengan "Instansi yang berwenang" menurut penjelasan pasal18 ayat (3) adalah Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan. Kejaksaan Agung, Kepolisian. Dalarn hubungan itu, apabila Kornisi Pemeriksa menyerahkan hasil penyelidikannya kepada Kejaksaan Agung, pertanyaan yang timbul adalah dalam kapasitas apa kejaksaan Agung menerima hasil penyelidikan tersebut, apakah sebagai penyidik, penuntut umum atau sebagai eksekutor? Sudah pasti bukan sebagai eksekutor karena hasil penyelidikan dari Kornisi Pemeriksa itu belum pernah diputus/ disidangkan oleh Pengadilan. Demikian halnya juga bukan sebagai Penuntut Umum, karena hasil penyelidikan dari Komisi Pemeriksa itu tidak dibuat secara "Pro Justia" (untuk Keadilan), dan Komisi Pemeriksa bukanlah aparat penyidik yang diatur oleh KUHAP. Apabila hasil penyelidikan oleh Komisi Pemeriksa tersebut oleh Penuntut umum langsung dilimpahkan ke Pengadilan, maka sudah pasti akan ditolak oleh pengadilan sehingga supaya hasil penyelidikan komisi pemeriksa dapat diterima oleh Pengadilan maka harus dilakukan penyidikan dahulu oleh aparat yang berwenang. Jika demikian halnya, maka hasil penyelidikan dari Komisi Pemeriksa yang diterima oleh Kejaksaan Agung terse but adalah dalam kapasitasnya sebagai penyidik, dengan tujuan untuk ditindak lanjuiti What pasal 18 (3), Yaitu untuk dilakukan penyidikan dengan bertitik tolak dari hasil penyelidikan Komisi Pemeriksa tersebut Penjelasan pasal 18 (3) alinea pertama selengakapnya berbunyi sebagai berikut: Pasal26 Undang - undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan : "Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang - undang ini". Sebagian orang berpendapat bahwa pasal ini adalah merupakan "titik lemah" bagi Kejaksaan yang terdapat didalam UU No. 31 Tahun 1999, sehingga legitimasi Jaksa sebagai penyidik harus dipertanyakan. Dasar pemikiran dari kelompok ini adalah bertumpu kepada anak kalimat : "dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku", yang berarti seolah-olah dasar dilakukannya penyidikan dalam VU No. 31 Tahun 1999 ini hanyalah Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, sehingga yang berwenang melakukan penyidik hanyalah penyidik Polri dan Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 KUHAP. Sesungguhnya pengertian anak kalimat "dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku" adalah tidak hanya terbatas pada VU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP saja, tetapi juga hukum acara pidana yang diatur didalam undang - undang lain selain KUHAP sepanjang mengatur ten tang tindak pidana korupsi, sebab pada anak kalimat itu juga hanya ditentukan "hukum acara pidana". Tidak menunjuk secara langsung kepada Undang - undang tertentu. Kini pertanyaan berikutnya adalah adakah "hukum acara pidana" yang lain selain dari pada yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981? Jawabannya ialah Ada, yaitu antara lain UU No. 28 Tahun 1999 tentang 131
3 Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan didalam UU No. 31 Tabun 1999 sendiri serta pp No. 19 Tabun Berdasarkan doctrine! ilmu pengetabuan hukum pidana, "pengertian "hukum acara pidana" adalah cara bagaimana hukum pidana materiil dilaksanakan, sehingga beranjak dari pengertian tersebut, didalam UU No. 28 Tabun 1999 telah tersurat dan tersirat ketentuan - ketentuan hukum acara pidana sebagai berikut : Pasal12 (1) : "Komisi Pemeriksa mempunyai fungsi untuk mencegah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dalam penyelenggaraan negara" Korupsi, kolusi dan nepotisme berdasarkan VU No. 28 tahun 1999 adalab sebagai hukum pidana materiil, hal mana dapat dilihat dalam pasal 1 ayat (3), (4), (5) jo pasal20 ayat (2) jo pasal 21 jo pasal22 VU No. 28 Tabun Korupsi: Pasal 1 angka 3 : "Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang - undangan yang mengatur ten tang tindak pidana korupsi" (UU Nomor 31 Tahun 1999). Kolusi: Pasal 1 angka 4 "Kolusi adalah pemufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara" (Hukum Pidana Materiil). Nepotisme: Pasal 1 angka 5 "Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara" (Hukum Pidana M ateriil). Sanksi: Pasal 20 ayat (2) "~etiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 angka 4 atau 7 dikenakan sanksi pidana dan atau sanksi perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang _ undangan yang berlaku" (Hukum Pidana Materiil). Pasal21 "Setiap Penyelenggara Negara atau anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan Kolusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp (satu milyar rupiah)" (Hukum Pidana Materiil) Pasal22 "Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan Nepotisme sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp (satu milyar rupiah]" (Hukum Pidana Materiil) Kembali pada pengertian Hukum Acara Pidana, siapakah yang mempunyai tugas dan wewenang dan cara bagaimana menegakkanl melaksanakan hukum pidana materiil sebagaimana diatur dalam ketentuan pasall ayat (3), (4). dan (5) jo, pasal20 ayat (2) jo, pasal21 jo, pasal 22 tersebut. Kiranya perlu dicermatil diperhatikan bahwa deliet (hukum pidana materiil) sebagaimana disebutkan diatas, adalah sebagai "lex specialis"dalam pengertian yang khusus dilakukan hanya oleh "Penyelenggara Negara dan Anggota Komisi Pemeriksa" Karena itu siapa yang mempunyai tugas dan wewenang serta cara bagaimana melakukan tindakan hukum terhadap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan tersebut, dengan kata lain dimana dan bagaimana hukum acaranya, dapat kita lihat pada pasal 17, 18 dan 19 VU No. 28 Tahun 1999, sebagai berikut: Pasal17 : (1) Komisi pemeriksa mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan Penyelenggara Negara. (2) Thgas dan wewenang Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (I) adalab : a. Melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta kekayaan Penyelenggara Negara
4 b. c. d. Meneliti laporan atau pengaduan masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, atau Instansi Pemerintah tentang dugaan adanya korupsi, kolusi dan nepotisme dari para Penyelenggara Negara ; Melakukan penyidikan atas inisiatif sendiri mengenai harta kekayaan Penyelenggara Negara berdasarkan petunjuk adanya korupsi, kolusi dan nepotisme terhadap Penyelenggara Negara yang bersangkutan ; Mencari dan memperoleh bukti - bukti menghadirkan saksi -saksi untuk penyelidikan Penyelenggara Negara yang diduga melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau meminta dokumen - dokumen dari pihak pihak yang terkait dengan penyelidikan harta kekayaan Penyelenggara Negara; e. Jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepernilikan sebagian atau seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari korupsi, kolusi dan nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan terse but sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan yang berlaku. (3) Pemeriksa kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sebelum, selama, dan setelah yang bersangkutan menjabat. (4) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal18 : ( 1) Hasil pemeriksaan Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 disampaikan kepada Presiden. Dewan Perwakilan Rakyat, dan Badan Pemeriksa Keuangan. (2) Khusus hasil pemeriksaan atas kekayaan Penyelenggara Negara yang dilakukan oleh Sub Kornisi Yudikatif, juga disampaikan kepada Mahkamah Agung. (3) Apabila dalam hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayar (1) ditemukan petunjuk adanya korupsi, kolusi, atau nepotisme, maka hasil pemeriksaan tersebut disampaikan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku, untuk ditindaklanjuti. 134 PasaI19 : (1) Pemantauan dan evaluasi atau pelaksana tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa dilakukan oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Ketentuan mengenai tata cara pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dari ketentuan tersebut yang perlu dicatat adalah selain merupakan "lex specialis" hukum acara diluar KUHAP", adalah juga lex specialis dalam substansinya. Dalam hal ini dapat dikemukakan bahwa "mekanisme" penyelidikan dalam KUHAP sebagai sub sistem dari penyidikan, kewenangan penyelidik dibatasi yaiut bahwa dalam melakukan penyelidikan tidak sampai melakukanupaya paksa; akan tetapi penyelidik (khusus) dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 diberi kewenangan melakukan upaya paksa, sebagaimana terdapat dalam : (a) PasaI17 ayat (2)huruf d : Tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah "mencari dan memperoleh bukti - bukti, menghadirkan saksi - saksi, untuk penyelidikan Penyelenggara Negara yang diduga melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme atau meminta dokumen dokumen dari pihak - pihak yang terkait dengan penyelidikan harta kekayaan Penyelenggara Negara yang bersangkutan". Note: Tindakan menghadirkan dan meminta diserahkannya dokumen dokumen dari pihak terkait adalah sebagai upaya paksa. (b) Pasal 17 ayat (2)huruf e : Tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah "jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari korupsi, kolusi, dan nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku : Setelah dari hasil penyelidikan diperoleh alat bukti pemeriksaan yang cukup, selanjutnya peyelidik menyerahkannya kepada Pejabat yang berwenang khususnya bagi Kejaksaan untuk ditindak lanjuti dengan penyidikan sebagaimana telah dikupas pada butir 4.2 Dengan demikian menurut Undang - undang Nomor 28 Tahun 1999, secara tegas dinyatakan bahwa jaksa adalah penyidik, khususnya yang 135
5 dilakukan oleh Penyelenggara Negara. Sudah barang tentu hukum acara tersebut tidak diberlakukan untuk penyelidik diluar Undang - undang Nomor 28 Tahun 1999, karena bagi penyelidik diluar Undang - undang Nomor 28 Tahun 1999 tetap berlaku KUHAP. Dengan demikian sebenarnya pasal 26 UU Nomor 31 Tahun 1999 bukanlah merupakan "titik lemah" bagi keabsahan kewenangan Kejaksaan sebagai penyidik, tetapijustru sebaliknya adalah merupakan pasal yang wajar, hanya sebagian orang dalam mengartikannya terpaku pada KUHAP saja, tanpa mengindahkan hukum acara pidana yang ada diluar KUHAP. 6. Pasal 27 Undang - undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan : "Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sul it pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa Agung." Selanjutnya penjelasan pasal27 mengemukakan, yang dimaksud dengan "tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya". Antara lain tindak pidana korupsi dibidang perbankan, perpajakan, pasar modal, perdagangan, dan industri, komoditi berjangka atau dbidang moneter dan keuangan yang : a. Bersifat lintas sektoral; b. Dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih, atau ; c. Dilakukan oleh tersangka/ terdakwa yang berstatus sebagai Penyelenggara Negara sebagaimana ditentukan dalam Undangundang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi. Dengan mengacu kepada penjelasan pasal27, khususnya huruf c yang menunjuk kepada eksistensi Undang - undang Nomor 28 Tahun 1999 terhadap Undang - undang Nomor 31 Tahun sehingga dengan demikian memberlakukan dan menjadikan UU Nomor 28 Tahun 1999 sebagai dasar hukum terhadap UU Nomor 31 Tahun 1999, maka kesimpulan bahwa Jaksa dalah sebagai penyidik sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999telah mempunyai dasar hukum untuk diberlakukan pada UU nomor 31 Tahun Dengan demikian tugas yang dibebankan oleh pasal 27 kepada Jaksa Agung adalah merupakan "tugas khusus" dalam kapasitasnya sebagai penyidik, yaitu khusus terhadap perkara korupsi yang sulit pembuktiannya. 7. Pasal39 Undang - undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan "Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama - sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer." Pengertian "mengkoordinasikan", secara tegas menurut penjelasan pasal 39 adalah kewenangan Jaksa Agung sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang - undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Agung RI, yang berarti dilakukan bersama - sama dengan instansi lain, sedangkan pengertian "mengendalikan". Yang dihubungkan masing - masing dengan suku kata "penyelidikan" dan "penuntutan " adalah sebagai berikut : Mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, berarti Jaksa Agung memimpin, memerintah dan mengarahkan suatu kebijaksanaan dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, sehingga dengan dernikian Jaksa Agung mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam suatu perkara Tindak Pidana Korupsi. 8. Ada orang yang membandingkan antara UU Nomor 31 Tahun 1999 dengan UU Nomor 28 Tahun 1999 merupakan penerapan azas "Lex Posteriori derogat legi priori" yaitu hukum yang kemudian menyingkirkan hukum terdahulu, dalam hal ini dianggap bahwa dengan berlakunya UU Nomor 31 Tahun 1999, maka UU Nomor 28 Tahun 1999 tidak berlaku lagi, padahal dalam kenyataanya justru diantara kedua UU tersebut terjadi saling isi mengisi, apalagi kedua UU tersebut mempunyai sumber hukum yang sama yaitu Ketetapan MPR - RI Nomor XII MPRl1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sebagaimana diutarakan pada angka 1 dan angka 2. Sesungguhnya azas dimaksud baru dapat diterapkan apabila satu hal yang sama diatur oleh 2 (dua) Undang-Undang yang berbeda, sedangkan apabila mengatur tentang hal-hal yang berbeda maka azas tersebut tidak dapat diterapkan. Selain dari pada itu, perlu pula diungkapkan bahwa berdasarkan pasal 24 UU Nomor 28 Tahun 1999, dinyatakan bahwa : "Undang - undang ini mulai berlaku 6 (enam) bulan sejak tanggal diundangkan H, yang berarti mulai berlakunya UU No. 28 Tabun 1999 ini adalah pada
6 tanggaii9 Nopember 1999, sedangkan UU Nomor 31 Tahun 1999 sudah muali beriaku sejak tanggal 16 Agustus Dengan demikian, meskipun UU No. 28 Tahun 1999 terlebih dahuiu disahkan dan diundangkan yaitu tanggal 19 Mei 1999, akan tetapi muiai berlakunya secara tegas dinyatakan baru pad a tanggal 19 November 1999, yaitu 3 bulan kemudian setelah berlakunya UU No 31 Tahun Itu berarti bahwa pada saat UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah berlaku pada tanggal 16 Agustus 1999, ternyata UU No. 28 Tahun 1999 dinyatakan berlaku. Dan baru pad a tanggal 19 November 1999 dinyatakan berlaku pada tanggal 19 November 1999 tersebut sudah tennasuk di dalamnya UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagai VU yang berlakunya kemudian. 9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No. 31 Tahun 1999 ten tang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada pasall6 menyatakan secara tegas bahwa Jaksa masih tetap berstatus sebagai penyidik, yang untuk jelasnya bunyi pasal 16 tersebut adalah sebagai berikut : "Dalam hal penyidik Kepolisian Republik Indonesia atau Kejaksaan menemukan tindak pidana korupsi yang sulitpembuktiannya. maka alas persetujuan Jaksa Agung selaku koordinator maka penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tersebut dilakukan oleh Timg Gabungan" Dari bunyi pasal16 ini kiranya sangat jelas bahwa Kejaksaan masih tetap mempunyai kewenangan untuk meiakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, oieh karena makna dari pasal tersebut adaiah seteiah terlebih dahuiu diiakukan penyidikan oieh PoIri atau Kejaksaan terhadap suatu kasus tindak pidana korupsi. Barn dapat ditentukan apakah suatu kasus tennasuk suit pembuktiannya atau tidak, jika salah satu dari instansi tersebut meniiai bahwa kasus itu tennasuk tindak pidana korupsi yang mudah pembuktiannya maka penanganan tetap diianjutkan oieh instansi yang bersangkutan. Tegasnya proses penyidikan teiah terlebih dahuiu diiakukan oieh Polri atau Kejaksaan UU Nomor 28 Tahun 1999 beserta penjelasannya jo UU Nornor 31 Tahun 1999 beserta penjelasanny a; Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2(x)() beserta penjclasannya. Jaksa tetap mempunyai kewenangan untuk mel aku k arpenyelidikan dan penyidikan dalam perkara Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diancam dalam VU No. lj Tahun 1 0 9') kecuali terhadap Tindak Pidana Korupsi sebagaimana ditentukau dalam Pasal 27 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 y,lng menjadi porst atau kewenagan dari Tim Gabungan Pcmberanta-u Tindak Pidana Korupsi. 11. Sebagai bahan perbandingan bersama ini kami sampaikan photo CfT" be berap a putusan Pengadilan Negeri yang sejak awal mendv.ark..» penyidikannya kepada Undang - undang Nomor 31 Tahun 199Q o: _~; Jaksa setempat. Demikian agar dimaklumi dan dibarapkan keraguan - raguan alas kew cnun f!.<ili penyidik oleh Jaksa dapat dihilangkan. Tembusan: 1. Yth, Bapak Jaksa Agung RI (sebagai laporan); 2. Yth. Para Jaksa Agung Muda; 3. Yth. Ses Jam Pidsus; 4. Yth. Para Direktur Pidsus; 5. Arsip. JAKSA AGUNG MUDA TINDAK PIDANA KHUSUS Cap / ttd. B. FACHRl NASUTION, SH 10. Dengan mendasarkan kepada:
KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI
KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI Sigit Budi Santosa 1 Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang Jl. Danau Sentani 99 Kota Malang Abstraksi: Korupsi sampai saat ini merupakan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia
Lebih terperinciBAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011
BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 A. Prosedur tugas dan kewenangan Jaksa Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintahan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME
UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Penyelenggara Negara
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tindak pidana korupsi
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 75, 1999 (Penjelasan dalam Tambahan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
Lebih terperinciKEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA
KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-399/E/9/1993 Sifat : PENTING Lampiran : 1 (satu) Exp. Perihal : Tata Cara Tindakan Kepolisian Terhadap Pelabat-pejabat Tertentu Dilingkungan Badan Peradilan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi persoalan yang hangat untuk dibicarakan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan
Lebih terperinciLex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017
KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
Lebih terperinciBAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti
BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit
Lebih terperinciBerdasarkan angka 1 dan 2 diatas dan dengan pertimbangan hal-hal, antara lain: 1. Azas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan
KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-05/E/EJP/05/2001 Sifat : Biasa Lampiran : 2 (dua) lembar Perihal : Penyelesaian Perkara yang sudah dinyatakan lengkap (P-21), tapi tidak diikuti dengan
Lebih terperinciKomisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.789, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPT. Kerjasama. Penegak Hukum. Penanganan Tindak Pidana. Terorisme PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-04/K.BNPT/11/2013
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai
Lebih terperinciBAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak
BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi hal yang hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Lebih terperincib. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Lebih terperinci2015, No Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 14
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.70, 2015 KEMENLU. Pelaporan. Tindak Lanjut. Pengelolaan. Pelanggaran. PERATURAN MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N
4 Nopember 2010 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N SERI E NOMOR 3 Menimbang : PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME
UNDANG-UNDANG REPUBLK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Penyelenggara
Lebih terperinciBAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam
BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,
Jalan Ampera Raya No. 7, Jakarta Selatan 12560, Indonesia Telp. 62 21 7805851, Fax. 62 21 7810280 http://www.anri.go.id, e-mail: info@anri.go.id PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR
Lebih terperinciBAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan semua uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan mengenai pembuktian terbalik/pembalikan
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI I. Pemohon 1. Iwan Budi Santoso S.H. 2. Muhamad Zainal Arifin S.H. 3. Ardion
Lebih terperinciMenetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, DAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA TERORI
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, DAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciPP 2/2002, TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN DAN SAKSI DALAM PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT
Copyright (C) 2000 BPHN PP 2/2002, TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN DAN SAKSI DALAM PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT *39306 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 2 TAHUN 2002
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NO : 7 2001 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 11 TAHUN 2001 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BEKASI Menimbang
Lebih terperinciPENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010
Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 3.1 Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 3.1.1 Pemeriksaan oleh PPATK Pemeriksaan adalah proses identifikasi
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.790, 2014 BNPT. Perkaran Tindak Pidana Terorisme. Perlindungan. Saksi. Penyidik. Penuntut Umum. Hakim dan Keluarganya. Pedoman PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN DAN SAKSI DALAM PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang:
Lebih terperinciPENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4.1 Kewenangan KPK Segala kewenangan yang
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 8 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KUDUS NOMOR 10 TAHUN 1996 TENTANG
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciNOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciPENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)
Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) 3.5 Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) 3.5.1 Kewenangan Penyidikan oleh BNN Dalam melaksanakan
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN. pembahasan di atas, dapat ditarik tiga kesimpulan sebagai berikut:
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan masalah penelitian maupun hasil penelitian dan pembahasan di atas, dapat ditarik tiga kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan dan penegakan
Lebih terperinciPEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Menimbang : Mengingat : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciBAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Gambaran Kasus Korupsi Simulator SIM Konflik kewenangan sebagaimana yang terjadi antara KPK dan POLRI bermula dari kasus dugaan korupsi simulator SIM di Korlantas
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 24 TAHUN 2001 TENTANG SURAT IJIN USAHA PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,
PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 24 TAHUN 2001 TENTANG SURAT IJIN USAHA PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kelancaran pelayanan
Lebih terperinciPernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI
Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto,
Lebih terperinciBAB III PENUTUP. pada bab-bab sebelumnya maka dapat dijabarkan kesimpulan sebagai berikut:
50 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian dan analisi yang dilaksanakan, sebagaimana diuraikan pada bab-bab sebelumnya maka dapat dijabarkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Kewenangan yang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME
UNDANG-UNDANG REPUBLK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Penyelenggara
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciBUPATI TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG
S A L I N A N BUPATI TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN
Lebih terperinciBAB 4 ANALISA KASUS. Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta tertanggal 27 Mei 2008, No. 06/Pid/Prap/2008/PN Jkt-Sel
59 BAB 4 ANALISA KASUS 4.1 Posisi Kasus Penangkapan Dalam Hal Tertangkap Tangan Atas Al Amin Nasution Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sudah begitu parah dan meluas
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG PENJUALAN, PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN GERGAJI RANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG PENJUALAN, PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN GERGAJI RANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan hasil
Lebih terperinciKETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA f Rapat Finalisasi, 17 November 2016ANCANGAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN PERKARA PELANGGARAN LALU
Lebih terperinciCACATAN TERHADAP RUU PERLINDUNGAN SAKSI BERDASARKAN UU DAN PP TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENCUCIAN UANG
CACATAN TERHADAP RUU PERLINDUNGAN SAKSI BERDASARKAN UU DAN PP TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENCUCIAN UANG Definisi Saksi Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan,
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN SINTANG
1 PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINTANG NOMOR 9 TAHUN 211 TENTANG PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KABUPATEN SINTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINTANG, Menimbang
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, DAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 8 TAHUN 2015 BUPATI KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR,
PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR, Menimang : a. b. bahwa dalam upaya penegakan Peraturan Daerah
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
http://welcome.to/rgs_mitra ; rgs@cbn. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2000 TENTANG
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PERAN SERTA MASYARAKAT DAN PEMBERIAN PENGHARGAAN DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PERATURAN
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 3, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3668) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciKEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sehubungan dengan perkembangan
Lebih terperinciKEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sehubungan dengan perkembangan
Lebih terperinciSALINAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 462/KMK.09/2004 TENTANG
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 462/KMK.09/2004 TENTANG TATA CARA INVESTIGASI OLEH INSPEKTORAT BIDANG INVESTIGASI PADA INSPEKTORAT JENDERAL
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciKEJAKSAAN AGUNG REPUBLlK INDONESIA JAKARTA
KEJAKSAAN AGUNG REPUBLlK INDONESIA JAKARTA Nomor Sifat Lampiran Perihal B-58/E/Ejp/01/2004 Biasa Pola Penanganan dan Penyelesaian Perkara Narkotika Jakarta, 19 Januari 2004 Kepada Yth : SDR. KEPALA KEJAKSAAN
Lebih terperinciPERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PRESIDEN NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan peran Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, perlu
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK
Lebih terperinciKepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Menteri Perencanaan Pembangunan NasionaV Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional SALINAN PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL NOMOR 5
Lebih terperinciKAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM
KARYA ILMIAH KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM O L E H : DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. : 19580724 1987031003 KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI
Lebih terperinciNOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG PELAKSANAAN TEKNIS INSTITUSIONAL PERADILAN UMUM BAGI ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN
Lebih terperinciKEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka
Lebih terperinciTINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. Oleh : PROF.DR.H.M. SAID KARIM, SH. MH. M.Si. CLA
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Oleh : PROF.DR.H.M. SAID KARIM, SH. MH. M.Si. CLA B I O D A T A 1. Nama lengkap : Prof.DR.H.M. Said Karim, SH. MH. M.Si. CLA 2. Tempat/ Tgl Lahir : Pare-Pare, 11 Juli 1962
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG PELAKSANAAN TEKNIS INSTITUSIONAL PERADILAN UMUM BAGI ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1998/82, TLN 3790]
UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1998/82, TLN 3790] 33. Ketentuan Pasal 46 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 46 ayat (1) menjadi
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik
Lebih terperinciMENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA
SALINAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENANGANAN PENGADUAN
Lebih terperinciKEWENANGAN PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
RESUME KEWENANGAN PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I. Latar Belakang Tindak pidana korupsi maksudnya adalah memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negri atau pejabat Negara dengan maksud
Lebih terperinciKEPUTUSAN BERSAMA KETUA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA Nomor : KEP Nomor : KEP- IAIJ.
KEPUTUSAN BERSAMA KETUA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA Nomor : KEP- 1 11212005 Nomor : KEP- IAIJ.A11212005 TENTANG KERJASAMA ANTARA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DENGAN
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Lebih terperinci