BAB 7 ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN PERIKANAN ARTISANAL

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN

3 METODOLOGI PENELITIAN

8 KEBIJAKAN STRATEGIS PENGEMBANGAN PERIKANAN

TEKNIK INTERPRETATIVE STRUCTURAL MODELING (ISM) UNTUK STRATEGI IMPLEMENTASI MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN

5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN

V. ANALISIS KEBIJAKAN

VI KEBIJAKAN PENGELOLAAN KOLABORATIF DI DANAU RAWA PENING

VIII. STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK. Kata kunci: Selat Rupat, pencemaran minyak, pengendalian pencemaran.

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2013

RANCANGAN: PENDEKATAN SINERGI PERENCANAAN BERBASIS PRIORITAS PEMBANGUNAN PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2017

INDIKATOR KINERJA MINAPOLITAN, INDUSTRIALISASI KP DAN BLUE ECONOMY SUNOTO, MES, PHD PENASEHAT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN BATAM, 22 SEPTEMBER 2014

BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KERJA

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

III. METODE PENELITIAN

STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK DI SELAT RUPAT. Syahril Nedi 1)

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia

RINGKASAN EKSEKUTIF. vii. LAKIP 2015 Dinas Kelautan dan Perikanan

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

4.2 Strategi dan Kebijakan Pembangunan Daerah

KATA PENGANTAR. Salam Sejahtera,

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi saat ini telah banyak perubahan dalam berbagai bidang

BAHAN MENTERI DALAM NEGERI PADA ACARA MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) REGIONAL KALIMANTAN TAHUN 2015

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENERAPAN TEKNIK INTERPRETIVE STRUCTURAL MODELING (ISM) DAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)

BAB 6 PENUTUP. A. Simpulan

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Kepulauan Riau ARAH PRIORITAS PEMBANGUNAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN 2016

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH (RPJPD) KOTA BATAM BATAM, 8 DESEMBER 2011

Anggaran (Sebelum Perubahan) , , ,00 98, , ,

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya perikanan di Kabupaten Gorontalo Utara meliputi perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BAB III METODA PENELITIAN

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

PERSEN TASE (%) Dinas Kelautan dan Perikanan ,81 JUMLAH ,81

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

ANDRI HELMI M, SE., MM. SISTEM EKONOMI INDONESIA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

RAPAT TEKNIS TINDAK LANJUT RENCANA AKSI PEMERINTAH PROVINSI SEKTOR KELAUTAN. [Gorontalo Sulawesi Utara Sulawesi Barat Maluku Utara] Ir.

5.1. VISI MEWUJUDKAN KARAKTERISTIK KABUPATEN ENDE DENGAN MEMBANGUN DARI DESA DAN KELURAHAN MENUJU MASYARAKAT YANG MANDIRI, SEJAHTERA DAN BERKEADILAN

GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBER DAYA ALAM INDONESIA SEKTOR KELAUTAN ARAHAN UMUM MKP

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Pengarahan KISI-KISI PROGRAM PEMBANGUNAN KABUPATEN TEMANGGUNG TAHUN 2014

KATA PENGANTAR. Pekanbaru, Oktober Penulis

BAB II GAMBARAN UMUM DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KOTA SEMARANG. 2.1 Profil Singkat Dinas Kelautan Dan Perikanan Kota Semarang

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana Kerja Tahunan

URUSAN KELAUTAN DAN PERIKANAN YANG MERUPAKAN KEWENANGAN DAERAH PROVINSI Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Paparan Walikota Bengkulu

PEMAHAMAN PENINJUAN KEMBALI RTRW KABUPATEN. Bab 2.1 KEDUDUKAN PENINJAUAN KEMBALI DALAM SISTEM PENATAAN RUANG

KRITERIA TIPOLOGI PENINJAUAN KEMBALI

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

BAB VIII STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH

CC. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

X. ANALISIS KEBIJAKAN

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445 Tahun 1991);

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RENCANA KERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2018

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 94 TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

MATRIKS RANCANGAN PRIORITAS RKPD PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2017

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

10. Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan daerah.

UU Nomor 16 Tahun 2006 Tentang SISTEM PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (SP3K)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I P E N D A H U L U A N Latar Belakang RTRW Kabupaten Serdang Bedagai

RENCANA KERJA (RENJA) TAHUN ANGGARAN 2018

BAB V ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH

III. METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi penelitian.

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG

Transkripsi:

BAB 7 ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN PERIKANAN ARTISANAL Pencapaian sasaran tujuan pembangunan sektor perikanan dan kelautan seperti peningkatan produktivitas nelayan dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan (SDI) sebagai landasan untuk menjaga keseimbangan usaha pembangunan, sering menjadi perhatian dari berbagai satuan pengambilan keputusan, terutama satuan-satuan yang saling berdaya saing. Tetapi pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pola-pola kelembagaaan yang berlaku di masyarakat maupun yang dianut oleh berbagai tingkatan pengambilan keputusan-keputusan seperti berbagai instansi pemerintah yang berkewajiban mewakili kepentingan masyarakat umum mulai dari pusat sampai daerah dan lokal. Kelembagaan tersebut ternyata kebanyakan belum mampu mewujudkan pola-pola pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Tetapi dalam pelaksanaan selanjutnya yang lebih terperinci terutama apabila menyangkut realokasi sumberdaya perikanan dan pembagian manfaatnya sering menimbulkan benturan-benturan (konflik) diantara lapisan masyarakat maupun individu sebagai anggota masyarakat yang bersaing dalam memanfaatkan sumberdaya yang sama. Terjadinya konflik kepentingan antara stakeholders menimbulkan berbagai kemandekan dalam pelaksanaan program pengelolaan perikanan. Oleh karena itu peranan kelembagaan dalam pengelolaan perikanan artisanal sangat penting, sehingga pada bagian ini dikhususkan mengkaji kelembagaan pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang. Anwar (1987) berpendapat bahwa meskipun tiap ahli dapat menyusun pembagian terhadap pengertian kelembagaan (institusi) secara sendiri-sendiri, tetapi secara umum dari sudut ekonomi, pengertian kelembagaan merupakan suatu sistem pengambilan keputusan (SPK) yang dianut oleh masyarakat dan melahirkan aturan permainan yang menyangkut alokasi sumberdaya dan caracara pemanfataannya guna meningkatkan kesejehteraan masyarakat. Sedangkan Ruttan (1978) diacu dalam Taryoto (199) mendefinisikan kelembagaan sebagai perangkat aturan main yang mengendalikan pola-pola penentuan tindakan dan hubungan serta organisasi pengambilan keputusan yang melaksanakan penguasaan dan alokasi sumberdaya. Adapun analisis suatu sistem kelembagaan, Eriyatno (1999) mendefinisikan sebagai gugus kriteria perilaku sistem kelembagaan yang kemudian dievaluasi sebagian atau

184 semua hal yang relevan terhadap peubah-peubah yang ditetapkan (input kontrol), dan peubah rancangan yang dianggap sebagai sesuatu yang mempengaruhi kelakuan sistem keadaan lingkungan dimana sistem itu berjalan, sehingga output yang tidak diharapkan dapat dihindari. Untuk menganalisis keterkaitan elemen dan sub elemen yang terlibat dalam pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang, kecamatan Galang, Kota Batam digunakan metode ISM. Berdasarkan identifikasi dan diskusi pakar, maka terdapat delapan elemen dalam pengelolaan perikanan artisanal (Saxena, 1992 diacu dalam Eriyatno, 2003 dan Marimin, 2003). Analisis dilakukan terhadap elemen pengguna sumberdaya laut yang terpengaruh dari pengelolaan perikanan artisanal, elemen kebutuhan untuk pelaksanaan program pengelolaan perikanan artisanal, elemen kendala dalam pengelolaan perikanan artisanal, elemen perubahan yang mungkin terjadi dari pengelolaan perikanan artisanal, elemen tujuan dari program pengelolaan perikanan artisanal, elemen keberhasilan pengelolaan perikanan artisanal, elemen aktivitas pengelolaan perikanan artisanal, dan elemen pelaku pengelolaan perikanan artisanal. 7.1 Elemen Pengguna Sumberdaya Laut Berdasarkan hasil analisis dengan metode ISM, maka elemen pengguna terdiri dari 9 sub elemen, dapat digambarkan dalam bentuk hirarki dan dibagi dalam empat sektor dalam grafik Driver Power-Dependence (Gambar 21). Dari diagram model struktural elemen pengguna (Gambar 20) diketahui bahwa elemen pengguna terbagi dalam tiga level. Adapun sub elemen yang menjadi peubah penentu yang mempengaruhi secara signifikan dari elemen pengguna adalah nelayan kecil (artisanal) (E1). Hasil tersebut menunjukkan bahwa nelayan kecil (artisanal) merupakan pengguna yang memiliki peran yang lebih besar dari pada pengguna lain dalam pengelolaan perikanan artisanal. Peran nelayan kecil (artisanal) menunjukkan tindakan atau kebijakan yang dapat diputuskan dapat mempengaruhi dan memberikan dorongan besar bagi pengelolaan perikanan artisanal. Peran nelayan kecil (artisanal) tersebut harus diarahkan kepada pencapaian tujuan pengelolaan perikanan artisanal, yaitu pengelolaan perikanan artisanal yang berkelanjutan. Peran nelayan kecil (artisanal) selanjutnya akan mendorong pengguna lain yang berada pada level 1 dan 2 yaitu penebang hutan bakau atau mangrove (E9), pelayaran laut (kapal angkutan) (E), pelancong wisata bahari (E6), pedagang pengumpul (tauke) (E2), pengolah ikan (E3),

18 nelayan modern atau trawl (E4), pembudidaya laut (E7) dan penambang pasir (E8) sebagai pengguna langsung sumberdaya laut. Dari Gambar 20 terlihat bahwa pengguna seperti pedagang atau pengumpul (tauke) (E2), pengolah ikan (E3), nelayan modern atau trawl (E4), pelancong wisata bahari (E6) dan pembudidaya laut (E7) termasuk peubah linkages (pengait) dari sistem. Setiap tindakan pengguna yang diberikan perhatian akan menghasilkan sukses dalam sistem pengelolaan sumberdaya perikanan artisanal di Barelang, sebaliknya lemahnya perhatian terhadap pengguna-pengguna tersebut akan menyebabkan kegagalan pengelolaan. Hasil klasifikasi yang digambarkan pada grafik Driver Power-Dependence Elemen Pengguna (Gambar 21) menunjukkan bahwa nelayan kecil (artisanal) (E1) menempati sektor IV (independent) dan memiliki nilai Driver Power (DP) yang tertinggi (9). Hal ini berarti nelayan kecil (artisanal) (E1) merupakan peubah bebas dan dalam hal ini berarti memiliki kekuatan penggerak (driver power) yang besar untuk mempengaruhi pengguna lain, juga sekaligus memiliki daya dorong tertinggi bagi pengelolaan perikanan artisanal, namun punya sedikit ketergantungan terhadap program. Adapun sub elemen pengguna lainnya termasuk kategori peubah (dependent), yang diartikan lebih sebagai akibat dari tindakan pengguna lainnya. Gambar 20 Hirarki elemen pengguna sumberdaya laut-perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang

186 MATRIKS DRIVER POWER DEPENDENCE ELEMEN PENGGUNA DRIVER POWER Sektor IV 9 (1) 8 7 (2,3,4,6,7) 6 0 1 2 3 4 4 3 6 7 8 9 Sektor I 2 (,8,9) 1 Sektor II 0 DEPENDENCE Sektor III Gambar 21 Grafik driver power-dependence pengguna pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang Keterangan: (1) Nelayan kecil (Artisanal) (2) Pedagang pengumpul (Tauke) (3) Pengolah ikan (4) Nelayan modern (Pukat/Trawl) () Pelayaran laut (Kapal angkutan) (6) Pelancong wisata bahari (7) Pembudidaya laut (8) Penambang pasir (9) Penebang hutan bakau/mangrove 7.2 Elemen Kebutuhan untuk Pelaksanaan Program Sub elemen yang menyusun hirarki kebutuhan terdiri dari 7 sub elemen, dengan hasil analisis ISM terbagi dalam 3 level (Gambar 22). Sub elemen suasana kondusif dan aman (E1) merupakan peubah penentu yang mempengaruhi secara signifikan yang menempati level 3. Hasil tersebut memberi pengertian bahwa jaminan keabsahan merupakan kebutuhan yang harus terpenuhi untuk mendorong pengelolaan sumberdaya artisanal. Sub elemen tersebut juga dapat diartikan sebagai pilar utama yang dapat menjamin keberlanjutan pengelolaan perikanan artisanal. Level 1 yang terdiri dari sub elemen kemudahan birokrasi (izin) (E2), pelaksanaan hukum dan peraturan perikanan (E6) dan ketersediaan sarana prasarana (E7) merupakan jenis kebutuhan lanjutan yang dibutuhkan bagi pengelolaan perikanan artisanal. Kebutuhan berikutnya adalah sub elemen stabilitas politik dan moneter (E3), anggaran pembiayaan (dana) pengelolaan

187 (E4) dan komitmen masyarakat nelayan (E) yang berada pada level 2. Untuk suasana kondusif dan aman merupakan kebutuhan yang terletak pada level 3. Gambar 22 Hirarki elemen kebutuhan untuk pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang Hasil pengelompokan elemen kebutuhan dalam grafik Driver Power- Dependence Elemen Kebutuhan (Gambar 23) menunjukkkan bahwa jaminan suasana kondusif dan aman (E1) berada dalam sektor IV (independent) atau peubah bebas. Hasil ini menunjukkan bahwa peubah tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar dengan nilai DP tertinggi (7), tetapi memiliki ketergantungan terhadap pengelolaan perikanan artisanal. Sub elemen stabilitas politik dan moneter (E3), anggaran pembiayaan (dana) pengelolaan (E4), komitmen masyarakat nelayan (E), pelaksanaan hukum dan peraturan perikanan (E6) serta ketersediaan sarana prasarana (E7) berada dalam sektor III (linkage) menunjukkan bahwa sub elemen tersebut memiliki daya dorong yang besar dan akan saling mempengaruhi dalam pengelolaan perikanan artisanal. Kemudahan birokrasi (E2) berada dalam sektor II (dependent). Dengan posisi tersebut berarti sub elemen (E2) tersebut mempunyai daya dorong relatif kecil dan tergantung pada peubah-peubah lainnya.

188 MATRIKS DRIVER POWER DEPENDENCE ELEMEN KEBUTUHAN DRIVER POWER Sektor IV (1) 7 Sektor III (6,7) 6 (3,4,) 4 0 1 2 3 3 4 6 7 2 (2) Sektor I 1 0 DEPENDENCE Sektor II Gambar 23 Grafik driver power-dependence kebutuhan untuk pelaksanaan program pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang Keterangan: (1) Suasana kondusif dan aman (sosial dan budaya) (2) Kemudahan birokrasi (izin) (3) Stabilitas politik dan moneter (4) Anggaran pembiayaan (dana) pengelolaan perikanan artisanal () Komitmen masyarakat nelayan (6) Pelaksanaan hukum dan peraturan perikanan (7) Ketersediaan sarana dan prasarana 7.3 Elemen Kendala Pengelolaan Hirarki elemen kendala disusun dari sub elemen yang terbagi dalam 3 level (Gambar 24). Hambatan kelembagaan atau birokrasi (E2), rendahnya kualitas SDM di Barelang (E3) dan keterbatasan sarana dan prasarana (E4) merupakan sub elemen dari elemen kendala yang menempati level 2 dan 3 yang sekaligus merupakan peubah penentu yang mempengaruhi secara signifikan, artinya sub elemen ini harus mendapat prioritas penyelesaian dalam pengelolaan perikanan artisanal. Dalam posisinya sebagai peubah penentu, penyelesaian kendala ini akan mendorong penyelesaian kendala lain yang dapat menghambat upaya pengelolaan perikanan artisanal. Apabila kendala hambatan kelembagaan atau birokrasi, rendahnya kualitas SDM dan keterbatasan sarana dan prasarana dapat diatasi, maka kendala keterbatasan dana (E1) dan keterbatasan potensi sumberdaya ikan (E) pada level 1 diharapkan juga dapat diselesaikan, karena

189 penyelesaian masalah tersebut banyak diantaranya terkait dengan peubah penentu. Gambar 24 Hirarki elemen kendala dalam pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang Matriks Driver Power-Dependence Elemen Kendala DRIVER POWER Sektor IV (2) (3,4) 4 Sektor III (1) 3 0 1 2 2 3 4 () 1 Sektor I Sektor II 0 DEPENDENCE Gambar 2 Grafik driver power-dependence kendala dalam pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang Keterangan: (1) Keterbatasan dana (2) Hambatan kelembagaan atau birokrasi (3) Rendahnya kualitas SDM (4) Keterbatasan sarana dan prasarana () Keterbatasan potensi sumberdaya ikan Berdasarkan plot pada grafik Driver Power-Dependence Elemen Kendala (Gambar 2) terlihat bahwa sub elemen kendala yang memiliki daya dorong kuat

190 dan saling mempengaruhi terhadap sub elemen lain adalah keterbatasan dana (E1), hambatan kelembagaan atau birokrasi (E2), rendahnya kualitas SDM di Barelang (E3) dan keterbatasan sarana dan prasarana (E4), yang berada dalam sektor III (linkage), sehingga diperlukan kehati-hatian menangani kendala tersebut. Dalam sektor II (peubah terkait atau dependent) terdapat kendala keterbatasan potensi sumberdaya ikan (E) dengan nilai DP (), yang berarti kendala tersebut memiliki daya dorong yang cukup lemah dan dipengaruhi oleh sub elemen yang lain. 7.4 Elemen Perubahan Kemungkinan Terjadi Berdasarkan hasil analisis ISM, elemen tolok ukur untuk penilaian perubahan yang mungkin terjadi terdiri dari 11 sub elemen yang terbagi dalam 4 level (Gambar 26). Penataan ruang laut (E11) merupakan sub elemen dari elemen perubahan yang menempati level 3 yang sekaligus merupakan peubah penentu yang mempengaruhi secara signifikan, artinya sub elemen ini harus mendapat prioritas penyelesaian dalam pengelolaan perikanan artisanal. Dalam posisinya sebagai peubah penentu, penyelesaian perubahan ini akan mendorong penyelesaian perubahan lain yang dapat menghambat upaya pengelolaan perikanan artisanal. Apabila perubahan penataan ruang laut bisa diatasi, maka perubahan sub elemen lainnya yang berada pada level 1, 2, dan 3 diharapkan juga bisa berjalan dengan baik. Gambar 26 Hirarki elemen perubahan dalam pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang

191 MATRIKS DRIVER POWER DEPENDENCE ELEMEN PERUBAHAN DRIVER POWER 11 (2,3,4,,7,8,9) (11) 10 (10) 9 Sektor III Sektor IV 8 (6) 7 6 0 1 2 3 4 4 6 7 8 9 10 11 3 (1) Sektor I 2 1 Sektor II 0 DEPENDENCE Gambar 27 Grafik driver power-dependence perubahan dalam pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang Keterangan: (1) Peningkatan jumlah nelayan (2) Peningkatan pendapatan nelayan (3) Peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) (4) Optimalisasi pemanfaatan potensi sumberdaya ikan () Keterjaminan pasar produk perikanan (6) Peningkatan motorisasi dan pengembangan teknologi alat tangkap (7) Pengembangan teknologi pengolahan hasil perikanan (8) Peningkatan investasi (9) Pengembangan daerah/ekonomi wilayah (10) Pengembangan daerah perlindungan laut (MPA) (11) Penataan ruang laut Berdasarkan plot pada grafik Driver Power-Dependence Elemen Perubahan (Gambar 27) terlihat bahwa penataan ruang laut (E11) dan pengembangan daerah perlindungan laut (marine protected area) berada dalam sektor IV (peubah bebas atau (independent), yang berarti bahwa peubah ini mempunyai daya dorong kuat dengan nilai DP (11), tetapi memiliki sedikit ketergantungan bagi pengelolaan perikanan artisanal di kawasan ini. Sub elemen perubahan yang memiliki daya dorong kuat dan saling mempengaruhi terhadap sub elemen lain adalah peningkatan pendapatan nelayan (E2), peningkatan PAD (E3), optimalisasi pemanfaatan potensi sumberdaya ikan (E4), keterjaminan pasar produk perikanan (E), peningkatan motorisasi dan pengembangan teknologi alat tangkap (E6), pengembangan teknologi pengolahan hasil perikanan (E7), peningkatan investasi (E8) dan pengembangan daerah atau ekonomi wilayah (E9) yang berada dalam sektor III

192 (linkage), sehingga diperlukan prinsip kehati-hatian dalam menangani perubahan tersebut. Dalam sektor II (peubah terikat atau dependent) terdapat perubahan peningkatan jumlah nelayan (E1) yang berarti perubahan tersebut memiliki daya dorong yang cukup lemah dan dipengaruhi oleh elemen yang lain. 7. Elemen Tujuan Program Berdasarkan hasil analisis ISM, elemen tolok ukur untuk penilaian tujuan terdiri dari 10 sub elemen yang terbagi dalam 4 level (Gambar 28). Pada level 4 terdapat pelestarian sumberdaya ikan yang merupakan peubah penentu yang mempengaruhi secara signifikan sebagai tolok ukur dalam pencapaian tujuan pengelolaan perikanan artisanal dikawasan ini. Keberhasilan pencapaian tujuan tersebut akan mendorong keterjaminan pasar produk perikanan (E4) pada level 1, peningkatan PAD (E2) dan optimalisasi potensi sumberdaya ikan dan pelestarian sumberdaya ikan (E3) pada level 2, pengembangan teknologi pengolahan hasil perikanan (E6) dan peningkatan investasi (E7) pada level 2 serta sub elemen pada level 3 seperti peningkatan jumlah nelayan dan pendapatan nelayan (E1), peningkatan motorisasi dan pengembangan teknologi alat tangkap (E), pengembangan daerah atau wilayah (E8) dan pemanfaatan peta ruang laut (E9) untuk terus ditingkatkan. Jika dilihat dari hubungan Driver Power-Dependence Elemen Tujuan yang diplotkan (Gambar 29), maka peningkatan jumlah nelayan dan pendapatan nelayan (E1), optimalisasi potensi sumberdaya ikan dan pelestarian sumberdaya ikan (E3), peningkatan motorisasi dan pengembangan teknologi alat tangkap (E), pengembangan teknologi pengolahan hasil perikanan (E6), peningkatan investasi (E7), pengembangan daerah atau wilayah (E8), pemanfaatan peta ruang laut (E9) dan pelestarian sumberdaya ikan (E10) memiliki daya dorong yang kuat dengan nilai DP (10), serta bersifat linkage (sektor III) yang berarti saling berpengaruh dengan sub elemen lain. Peningkatan PAD (E2) dan keterjaminan pasar produk perikanan (E4) merupakan sub elemen yang berada di sektor II (peubah terikat atau dependent) yang berarti tolok ukur tersebut berdaya dorong rendah dan dipengaruhi oleh sub elemen lain. Hal ini juga dapat diartikan apabila tolok ukur di sektor lain tercapai, maka akan mendorong tercapainya sub elemen di sektor II ini.

193 Gambar 28 Hirarki elemen tolok ukur untuk pencapaian tujuan pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang MATRIKS DRIVER POWER DEPENDENCE ELEMEN TUJUAN DRIVER POWER 10 (10) (7) 9 (8) Sektor IV 8 Sektor III (6) 7 (9) 6 (3) 0 1 2 3 4 4 6 7 8 9 10 3 (2) (4) 2 1 Sektor I Sektor II 0 DEPENDENCE (1,) Gambar 29 Grafik driver power-dependence tolok ukur untuk pencapaian tujuan pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang. Keterangan: (1) Peningkatan jumlah nelayan dan pendapatan nelayan (2) Peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) (3) Optimalisasi dalam pemanfaatan potensi sumberdaya ikan dan pelestarian sumberdaya ikan (4) Keterjaminan pasar produk perikanan () Peningkatan motorisasi dan pengembangan teknologi alat tangkap (6) Pengembangan teknologi pengolahan hasil perikanan (7) Peningkatan investasi (8) Pengembangan daerah atau wilayah (9) Pemanfaatan peta ruang laut (10) Pelestarian sumberdaya ikan

194 7.6 Elemen Keberhasilan Pengelolaan Berdasarkan hasil analisis dengan metode ISM, maka elemen keberhasilan terdiri dari 9 sub elemen (Gambar 30). Pada diagram model struktural dari elemen keberhasilan (Gambar 31) diketahui bahwa elemen keberhasilan pengelolaan perikanan artisanal terbagi 6 level. Adapun sub elemen yang menjadi peubah penentu yang mempengaruhi secara signifikan adalah peningkatan pendapatan nelayan (E2) pada level dengan nilai tertinggi DP (9). Hasil tersebut menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan nelayan merupakan keberhasilan yang memiliki peran lebih besar daripada keberhasilan lain dalam pengelolaan perikanan artisanal. Sub elemen tersebut juga dapat diartikan sebagai pilar utama yang dapat menjamin keberhasilan pengelolaan perikanan artisanal. Keberhasilan peningkatan pendapatan nelayan akan mendorong keberhasilan lain yang berada pada level 1, 2, 3, 4 dan 6 sebagai keberhasilan langsung dalam kegiatan pengelolaan perikanan artisanal. Hasil klasifikasi yang digambarkan dalam grafik Driver Power- Dependence Elemen Keberhasilan (Gambar 31) menunjukkan bahwa kelestarian sumberdaya ikan (E9) menempati sektor IV (independent) dan memiliki nilai DP tertinggi (8). Hal ini berarti kelestarian sumberdaya ikan merupakan peubah bebas yang berperan besar untuk mempengaruhi keberhasilan lain, sekaligus memiliki daya dorong tertinggi bagi pengelolaan perikanan artisanal. Sub elemen penurunan angka kemiskinan dan pengangguran (E1), peningkatan pendapatan nelayan (E2), peningkatan PAD (E3), peningkatan harga ikan (E4), dan peningkatan pangsa pasar (E6) yang berada pada sektor III (linkage) menunjukkan bahwa sub elemen tersebut memiliki daya dukung yang besar dan akan saling mempengaruhi dalam pengelolaan perikanan artisanal. Peningkatan volume dan nilai produksi (E) dan peningkatan investasi (E8) berada dalam sektor peubah tidak bebas atau dependent (sektor II). Dengan posisi tersebut berarti kedua sub elemen mempunyai daya dorong relatif kecil dan tergantung pada peubah-peubah lainnya.

19 Gambar 30 Hirarki elemen keberhasilan pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang Matriks Driver Power-Dependence Elemen Keberhasilan DRIVER POWER Sektor IV 10 Sektor III 9 (2) 8 (9) 7 (1) (3,4) (6) 6 0 1 2 3 44 (7) 6 7 8 9 3 () (8) 2 Sektor I 1 0 Sektor II DEPENDENCE Gambar 31 Grafik driver power-dependence keberhasilan pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang Keterangan: (1) Penurunan angka kemiskinan dan pengangguran (2) Peningkatan pendapatan nelayan (3) Peningkatan PAD dan PNBP (4) Peningkatan harga ikan () Peningkatan volume dan nilai produksi (6) Peningkatan pangsa pasar (7) Pemanfaatan sumberdaya ikan berjalan optimal (8) Peningkatan investasi (9) Kelestarian sumberdaya ikan

196 7.7 Elemen Aktivitas Pengelolaan Elemen aktivitas disusun dari 8 sub elemen dengan hirarki yang terbagi dalam 4 level (Gambar 32). Pada diagram model struktural elemen aktivitas (Gambar 33) menempatkan menciptakan iklim kondusif (E3) dalam mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan artisanal pada level 4 sekaligus sebagai peubah penentu yang mempengaruhi secara signifikan pada struktur elemen aktivitas yang akan mendorong aktivitas lain pada level 1, 2 dan 3. Gambar 32 Hirarki elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang Berdasarkan plot grafik Driver Power-Dependence Elemen Aktivitas (Gambar 33) menunjukkan bahwa ke 8 sub elemen pada elemen aktivitas berada pada sektor III (linkage) yang berarti semua sub elemen pada elemen aktivitas tersebut merupakan sub elemen yang saling terkait dengan sub elemen lain (linkage) dalam pengelolaan perikanan artisanal sehingga setiap tindakan pada aktivitas-aktivitas tersebut akan menghasilkan sukses dalam pengelolaan perikanan artisanal, kecuali (E3) menciptakan iklim kondusif dalam mendukung pengelolaan perikanan artisanal berada pada sektor IV dengan nilai DP tertinggi (8).

197 MATRIKS DRIVER POWER DEPENDENCE ELEMEN AKTIVITAS DRIVER POWER 8 Sektor IV (3) 7 Sektor III (4) (8) 6 () (6) (2) 4 (7) (1) 0 1 2 3 3 4 6 7 8 2 Sektor I 1 0 DEPENDENCE Sektor II Gambar 33 Grafik driver power-dependence aktivitas pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang. Keterangan: (1) Koordinasi antar sektor yang terlibat pengelolaan sumberdaya perikanan artisanal (2) Perumusan perda untuk mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan artisanal (3) Menciptakan iklim kondusif dalam mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan artisanal (4) Pembinaan, pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan artisanal di Barelang () Kemudahan akses terhadap akses teknologi dan informasi (6) Sosialisasi kelayakan sistem pengelolan (7) Pelembagaan sistem pengelolaan (8) Monitoring dan evaluasi sistem pengelolaan 7.8 Elemen Pelaku Pengelolaan Berdasarkan hasil analisis dengan metode ISM, maka elemen pelaku terdiri dari 9 sub elemen pelaku dapat digambarkan dalam bentuk hirarki (Gambar 34) dan dibagi dalam 4 sektor dalam grafik Driver Power-Dependence Elemen Pelaku (Gambar 3). Dari diagram model struktural dari elemen pelaku (Gambar 34) diketahui bahwa elemen pelaku pengelolaan terbagi dalam 3 level. Adapun sub elemen yang menjadi peubah penentu yang mempengaruhi secara signifikan dari elemen pelaku pengelolaan perikanan artisanal adalah nelayan (E1) dan masyarakat adat (E2) pada level 3. Hasil tersebut menunjukkan bahwa nelayan artisanal dan masyarakat adat merupakan dua pelaku yang memiliki peran lebih besar dari pada pelaku lain dalam pengelolaan perikanan artisanal. Peran nelayan artisanal

198 dan masyarakat adat menunjukkan tindakan atau kebijakan yang diputuskan dapat mempengaruhi dan memberikan dorongan besar bagi pengelolaan perikanan artisanal. Peran kedua pelaku tersebut harus diarahkan kepada pencapaian tujuan pengelolaan perikanan artisanal di kawasan ini. Peran nelayan artisanal dan masyarakat adat selanjutnya akan mendorong pelaku lain yang berada pada level 1 dan 2, yaitu pemerintah pusat (DKP/Dirjen Perikanan Tangkap) (E), Pemprop Kepulauan Riau (E3), Pemkot Batam (E4), LSM (Laksana Samudera) (E6), HNSI (E7), perguruan tinggi (Universitas Internasional Batam) (E8), Camat Galang (E9) dan Lurah Pulau Abang (E10) sebagai pelaku langsung dalam kegiatan pengelolaan perikanan artisanal. Hasil klasifikasi yang digambarkan pada grafik Driver Power-Dependence Elemen Pelaku (Gambar 3) menunjukkan bahwa nelayan artisanal (E1) dan masyarakat adat (E2) menempati sektor IV (independent) dengan memiliki nilai DP tertinggi sebesar 10. Hal ini berarti nelayan artisanal dan masyarakat adat merupakan peubah bebas yang berperan besar untuk mempengaruhi pelaku lain yang terdapat di kawasan ini, sekaligus memiliki daya dorong (DP) tertinggi bagi pengelolaan perikanan artisanal. Pemprop (E3), Pemko Batam (E4), LSM (E6), HNSI (E7), perguruan tinggi (E8), Camat Galang (E9) dan Lurah Pulau Abang (E10) berada di sektor III (linkage), yang berarti pelaku-pelaku ini memiliki keterkaitan yang kuat dan daya dorong yang cukup besar dalam pengelolaan perikanan artisanal. Gambar 34 Hirarki elemen pelaku pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang

199 Matriks Driver Power-Dependence Elemen Pelaku DRIVER POWER 10 Sektor IV (1,2) 9 Sektor III 8 (3,4,6,7,8,9,10) 7 6 0 1 2 3 4 4 3 6 7 8 9 10 2 () 1 Sektor I Sektor II 0 DEPENDENCE Gambar 3 Grafik driver power-dependence pelaku yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang Keterangan: (1) Nelayan Artisanal (2) Masyarakat adat (3) Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (4) Pemerintah Kota Batam () Pemerintah Pusat (DKP/(Dirjen PT) (6) LSM (7) HNSI (8) Perguruan Tinggi (9) Camat Galang (10) Lurah Pulau Abang