KONSUMSI BBM UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK DI INDONESIA; KECENDERUNGAN, PERMASALAHAN DAN SOLUSINYA Zainal Arifin Divisi Perencanaan Pengadaan Strategis, Enjiniring dan Teknologi PT PLN (Persero) zainal.arifin22@pln.co.id S A R I Seiring dengan laju pertumbuhan nasional, konsumsi listrik di Indonesia meningkat signifikan ratarata 7,6% per tahun. Biaya bahan bakar memegang porsi pengeluaran terbesar dalam komponen biaya produksi listrik rata-rata sebesar 70% dari total Biaya Pokok Penyediaan (BPP). Walaupun pembangkit BBM hanya memproduksi 16% dari total produksi listrik tapi biayanya mencapai 53,8% dari total biaya bahan bakar. Meskipun kebijakan bauran energi telah berhasil mengurangi porsi BBM sebesar rata-rata 16,25% per tahun namun BPP tenaga listrik tetap relatif tinggi yaitu Rp 1.177,94 per kwh dan cenderung meningkat rata-rata sebesar 5% per tahun. Turunnya porsi BBM yang tidak diimbangi dengan turunnya BPP diakibatkan oleh kenaikan harga BBM yang melonjak tajam. Persentase penggunaan BBM dalam produksi listrik akan sangat mempengaruhi BPP yang selanjutnya menentukan besarnya subsidi listrik oleh Pemerintah. Karenanya diperlukan berbagai terobosan untuk mengurangi porsi konsumsi BBM tersebut melalui 3 skenario solusi; apa adanya, gasifikasi serta energi baru dan terbarukan. Diperlukan studi lanjutan untuk memetakan skenario penurunan porsi BBM secara empiris-kuantitatif. Kata kunci : bahan bakar minyak, bauran energi, diesel 1. PENDAHULUAN Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang mengesankan sebesar 5-7% per tahun dalam lima tahun terakhir, konsumsi listrik nasional juga meningkat signifikan sebesar 8,3% per tahun dan laju pemakaian listrik di kawasan Indonesia timur mencapai 10,6% per tahun. Secara nasional, pada tahun 2008 tercacat konsumsi listrik total sebesar 129 TWh kemudian meningkat menjadi 187,5 TWh pada akhir tahun 2013 atau tumbuh rata-rata 7,6% per tahun. Sedangkan jumlah pelanggan PLN bertambah rata-rata 7,9% per tahun dari 38,6 juta di tahun 2008 menjadi 54 juta pada tahun 2013. Dengan jumlah pelanggan listrik pintar mencapai 13 juta atau sekitar 25% dari total pelanggan maka Indonesia saat ini tercatat sebagai negara terbesar pengguna sistem meter pra bayar (PLN, 2015). Produksi energi listrik tersebut diproses melalui suatu mata rantai yang terbagi dalam tiga proses bisnis utama: pembangkitan, transmisi dan distribusi. Sejalan dengan UU No 30 tahun 2009, PLN tak lagi memonopoli bisnis ketenagalistrikan. Dari total 41.944 MW kapasitas terpasang pembangkit di Indonesia, PLN hanya memiliki 84% (35.232 MW) sedangkan sisanya sebesar 6.711 MW atau 16% adalah aset swasta (IPP). Pada sisi transmisi, seluruh aset dimiliki dan dioperasikan PLN yang terdiri atas 40.070 kms jaringan transmisi (SUTT 75-150 kv dan SUTET 500 kv) dengan trafo daya berkapasitas total 81.835 MVA. Demikian juga di sisi distribusi, seluruh aset yang terdiri atas 833.902 kms jaringan distribusi SUTM 20 kv dan trafo distirbusi dengan kapasitas 45.024 MVA dioperasikan oleh PLN. Total ada 6 sistem jaringan kelistrikan yang sudah terintekoneksi (SUTT dan SUTET) dan 85
200-an sistem terisolasi 20 KV di seluruh penjuru Indonesia. Meskipun sektor ketenagalistrikan sudah dibuka untuk semua pelaku bisnis namun sampai saat ini baru PLN satu-satunya perusahaan ketenagalistrikan yang bisnisnya terintegrasi mulai dari hulu (pembangkitan) sampai hilir (ritel) (PLN, 2014). 2. JENIS PEMBANGKIT LISTRIK Pada akhir Desember 2013, total kapasitas terpasang dan jumlah unit pembangkit PLN (holding dan anak perusahaan) mencapai 34.206 MW dari 4.925 unit, dimana 26.768 MW (78,26%) berada di Jawa. Total kapasitas terpasang meningkat 3,96% dibandingkan tahun lalu. Sedangkan dalam rentang tahun 2008-2013 kenaikan rata-rata kapasitas pembangkit adalah 5,4% per tahun. Berdasarkan bahan bakarnya, pembangkit listrik dibedakan menjadi dua tipe yaitu pembangkit fosil (PLTD, PLTG, PLTU, PLTGU, PLTMG) dan pembangkit energi terbarukan (PLTA, PLTP, PLTS, PLTU Bayu). Persentase kapasitas terpasang per jenis pembangkit di tahun 2013 adalah sebagai berikut (Tabel 1) : PLTU 15.554 MW (45,47%), PLTGU 8.814 MW (25,77%), PLTD 2.848 MW (8,33%), PLTA 3.520 MW (10.29%), PLTG 2.894 MW (8,46%), PLTP 568 MW (1,67%), PLTS dan PLT Bayu 8,37 MW (0,02%). Dari Tabel 1, terlihat fenomena yang menarik dimana rata-rata pertumbuhan terbesar terjadi pada PLTS dengan 24,41% per tahun -meskipun baru mulai pada tahun 2010- disusul oleh PLTU yang mencapai 15,53% per tahun sejak 2008. Selain berdasarkan jenis bahan bakarnya, secara operasional pembangkit listrik dibedakan sesuai perannya dalam memasok tenaga listrik pada sistem. Memperhatikan kurva beban harian tipikal di Indonesia pada Gambar 1, maka pembangkit listrik terbagi atas jenis "base load" yang beroperasi kontinyu 24 jam dengan beban relatif tetap; "load follower" yang beroperasi konstan mengikuti fluktuasi beban pada sistem dan "peaker" yang beroperasi hanya pada saat beban puncak (di Indonesia umumnya terjadi Tabel 1. Kapasitas jenis pembangkit listrik tahun 2008-2013 (PLN, 2014) Jenis Pembangkit Energi Fosil: 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Ratarata/ tahun (%) PLTU 5.657,07 7.608,16 7.748,73 7.406,12 7.976,65 8.652,01 10.844,21 12.910,75 13.563,65 15,53 PLTG 2.829,11 2.323,48 2.455,87 2.173,79 2.236,69 2.792,87 2.357,43 2.342,40 2.543,84 (1,12) PLTGU 5.854,39 6.439,77 6.165,33 6.399,79 6.340,60 6.139,72 6.817,82 7.288,33 7.300,91 2,75 PLTD 1.754,82 1.925,67 1.873,66 1.796,63 1.669,11 2.071,90 1.555,20 1.597,24 1.827,73 0,46 PLTMG 11,60 11,60 11,90 11,90 10,50 34,50 10,00 (1,97) Energi Terbarukan: PLTA 3.079,53 3.283,24 3.409,12 3.397,87 3.419,05 3.433,78 3.430,11 3.435,98 3.220,90 0,51 PLTP 339,86 373,71 388,00 394,00 394,00 415,80 434,00 506,50 546,73 6,76 PLT Surya 0,17 1,15 4,66 7,24 24,41 PLT Bayu 0,26 1,06 (16,67) Total 19.526,38 21.965,63 22.052,61 21.580,36 22.047,66 23.540,75 25.449,92 28.085,86 29.011,00 5,40 86
Gambar 1. Tipikal kurva beban harian (Arifin, 2014) pada pukul 18.00-22.00). Mempertimbangkan bahwa masing-masing jenis pembangkit akan optimal beroperasi sesuai dengan kemampuannya untuk mengikuti fluktuasi beban, maka dalam sistem ketenagalistrikan terdapat variasi jenis pembangkit. Pembangkit beban dasar biaya produksinya paling murah tapi kurang mampu mengatasi fluktuasi beban seperti PLTU dan PLTP sehingga dioperasionalkan terus menerus. Berikutnya adalah pembangkit yang biaya produksinya lebih tinggi tapi kemampuan mengikuti beban juga relatif tinggi seperti PLTGU. Dan yang terakhir adalah pembangkit yang biaya produksinya paling mahal tapi fleksibilitas terhadap beban juga paling baik misalnya: PLTD, PLTG, PLTMG. Sedangkan tipe operasional beberapa jenis pembangkit lain tergantung dari aspek lokasi geografis dan kondisi sistem seperti : PLTA, PLTS, PLT Bayu. Karakteristik berbagai teknologi pembangkit secara detail bisa dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik pembangkit listrik (PLN Technomapia, 2015) No Parameters PLTU PLTG PLTGU PLTD PLTMG PLTA PLTP PLTS PLTBayu 1 Energy price L M L H M L M H H 2 Capital cost H H H M M H H L L 3 Fixed O&M cost L M M H M L M L L 4 Variable O&M cost L M M H H L M L L 5 Efficiency M H H M M H M L L 6 Life time M L L L L H M L L 7 Capacity factor H L M L L H M L L 8 Load respond L H M H H H M L L 9 Construction time L M L M M L L H H 10 Environmental effects H M M M M L M L L Keterangan: Keterangan: - L = Low -- M L = Medium = Low -- H M = High = Medium - H = High 87
3. BIAYA PRODUKSI DAN BAHAN BAKAR Dalam sistem ketenagalistrikan nasional biaya produksi energi listrik di antaranya terdiri atas: bahan bakar, pemeliharaan, pembelian listrik swasta, sewa diesel, kepegawaian, depresiasi. dan lain-lain. Berdasarkan statistik keuangan PLN tahun 2008-2013 (Gambar 2) terlihat bahwa bahan bakar memegang porsi pengeluaran terbesar dengan rata-rata 70% dari total BPP, disusul pembelian listrik swasta 10%, pemeliharaan 8%, kepegawaian 7%, sewa diesel 3%, depresiasi 1% dan biaya lain-lain 1%. Komposisi biaya produksi tenaga listrik ini dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan secara signifikan. Secara terinci biaya terbesar yaitu bahan bakar terbagi atas 53,8% BBM (solar dan MFO), 24,5% batu bara, 17,8% gas alam, 3% geothermal dan lain-lainnya. Kecenderungan porsi biaya bahan bakar untuk produksi listrik periode 2009-2014 dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Proporsi biaya perjenis bahan bakar (PLN, 2014) terakhir PLTU yang hanya Rp 350 per kwh. Ironisnya, biaya produksi PLTD tersebut juga terus mengalami kenaikan pesat sebesar ratarata 18% per tahun, di samping PLTG/PLTMG yang naik rata-rata 25% per tahun. Sedangkan biaya produksi PLTP dan PLTU tidak mengalami fluktuasi yang berarti. Gambar 2. Komponen biaya produksi listrik (PLN, 2014) Berdasarkan jenis bahan bakarnya bisa diperhitungkan biaya produksi per jenis pembangkit (Gambar 4). Jelas terlihat bahwa biaya produksi rata-rata nasional PLTD adalah yang paling mahal, di mana pada semester 1 tahun 2014 mencapai Rp 2.862 per kwh, jauh di atas pembangkit berbahan bahar gas (PLTG atau PLTMG) yang besarnya Rp 833 per kwh kemudian PLTP sebesar Rp 641 per kwh dan Gambar 4. Perbandingan biaya produksi perjenis pembangkit (PLN, 2014) Pada tahun 2013 jumlah pendapatan operasi PLN mencapai Rp 257.404.581 juta yang terdiri dari pendapatan penjualan tenaga listrik sebesar Rp 153.485.606 juta (59,63%), subsidi pemerintah Rp 101.207.859 juta (39,32%) dan pendapatan operasi lainnya sebesar Rp 2.711.116 juta (1,05%). Pendapatan PLN terus tumbuh rata-rata 12,87% per tahun selama periode lima tahun terakhir. Angka tersebut lebih besar 88
dari naiknya biaya operasi rata-rata sebesar 6,26% per tahun dan BPP 5% per tahun pada periode waktu yang sama. Di satu sisi, besarnya subsidi pemerintah terus meningkat tajam dari sebesar Rp 79.000.000 juta di tahun 2008 menjadi Rp 101.200.000 juta pada tahun 2014 atau naik rata-rata 17,69% per tahun. Di sisi lain, harga jual atau tarif dasar listrik yang ditetapkan pemerintah hanya naik rata-rata sebesar 4,28% per tahun dari Rp 590,91 per kwh pada 2005 menjadi sebesar Rp 818,41 per kwh pada 2013. Ketidak-sesuaian antara biaya operasi, pendapatan, BPP dan subsidi pada rentang waktu ini selain karena faktor tarif tenaga listrik juga ada faktor-faktor lain yang ikut berkontribusi terhadap aspek keekonomian tenaga listrik antara lain fluktuasi kurs mata uang asing khususnya dolar Amerika, kenaikan bahan bakar (BBM, gas, batu bara), pekerjaan/proyek dalam pelaksanaan (PDP) dan sebagainya. Meskipun beberapa faktor penentu tidak bisa dikendalikan namun pola kecenderungan fluktuasi besarnya subsidi sesuai dengan fluktuasi BPP seperti yang diperkirakan meskipun tidak cocok dengan kecenderungan produksi kwh (Gambar 5). mengeluarkan kebijakan nasional "Fuel Mix" (bauran energi) di mana konsumsi BBM diharapkan akan terus mengecil porsinya diganti dengan bahan bakar lain yang lebih berkelanjutan keberadaannya terutama energi baru dan terbarukan. Diharapkan pada tahun 2025 porsi BBM dalam produksi tenaga listrik bisa ditekan sampai hanya 5%. Dalam tataran praktis operasional PLN sebagai BUMN telah berupaya melakukan percepatan diversifikasi energi, peningkatan efisiensi serta optimalisasi ketersediaan daya unit pembangkit non BBM. Terlihat bahwa persentase BBM untuk produksi listrik PLN cenderung mengalami penurunan dari 26% pada 2009 menjadi 16% pada semester 1 tahun 2014 (Gambar 6). Konsumsi BBM PLN mengalami penurunan rata-rata 16,26% per tahun dalam rentang waktu 6 tahun. Turunnya porsi BBM digantikan secara signifikan oleh batu bara yang pada 2009 hanya 36% melonjak menjadi 46% tahun 2014 atau naik rata-rata 5,6% per tahun. Gambar 6. Bauran energi produksi tenaga listrik (PLN, 2014) Gambar 5. Kecenderungan produksi, subsidi dan BPP energi listrik (PLN, 2013) 4. KEBIJAKAN "FUEL MIX" Memperhatikan bahwa bahan bakar merupakan komponen vital yang menentukan besarnya Biaya Pokok Penyediaan (BPP) serta mahalnya biaya BBM yang polanya juga terus melonjak tajam beberapa tahun terakhir maka Pemerintah Secara keseluruhan, PLN cukup efektif melakukan bauran energi sehingga mengurangi ketergantungan pada BBM. Bauran energi total dari produksi sendiri, ditambah sewa dan beli, yang berasal dari non-bbm terus dominan mencapai 84%, sedangkan dari BBM sebesar 16%. Meskipun demikian tetap perlu diwaspadai adanya lonjakan seperti yang terjadi pada tahun 2011 dimana produksi tenaga listrik yang berasal dari pembangkit BBM mengalami kenaikan sebesar 10% dari tahun 2010, sedangkan dari 89
non-bbm (seperti batu bara, gas alam, tenaga air, panas bumi, serta surya dan angin) hanya naik 3% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, produksi tenaga listrik tahun 2011 dari pembangkit sewa yang mayoritas berbahan bakar minyak, meningkat sebesar 69% dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh keterlambatan pengoperasian pembangkit proyek PLTU 10.000 MW yang berbahan bakar batu bara serta berkurangnya pasokan gas pada pembangkit yang berbahan bakar gas alam, sehingga banyak pembangkit yang akhirnya dioperasikan dengan menggunakan BBM sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik dan mencegah terjadinya pemadaman. Bauran energi BBM sampai dengan Desember 2014 termasuk swasta (IPP) sebesar 11,37%. Bila dibandingkan dengan target fuel mix sebesar 9,35%, angka tersebut masih belum memuaskan. Sedangkan porsi gas melebihi target sebesar 24,58% dari target 22,35% (Gambar 7). Demikian pula batu bara juga masih belum mencapai target, yaitu 52,59% dari target 55,47%. Target pemakaian BBM selama 2014 adalah 6,4 juta KL, sedangkan realisasi pemakaian BBM hingga Desember 2014 membengkak menjadi 7,2 juta KL. Target konsumsi gas setahun sebesar 431 MMBTUD dimana realisasinya sampai Desember 2014 sebesar 450,19 MMBTUD. Sedangkan target setahun batu bara sebesar 55,41 juta ton, realisasi sampai dengan Desember 2014 sebesar 44,6 juta ton. Penyebab utama tidak tercapainya fuel mix adalah karena sering terjadinya gangguan operasi sejumlah PLTU (existing) dan terlambatnya (realisasi COD) proyek PLTU terutama di luar Jawa-Bali. Di Sumatera, pembangkit yang sering mengalami gangguan adalah PLTU Labuhan Angin, PLTU Ombilin, PLTU Bukit Asam dan PLTU Tarahan. Sedangkan di Indonesia Timur diantaranya adalah PLTU Amurang, PLTU Barru dan PLTU Kendari (PLN Fokus, 2015). 5. PERANAN PLTD DALAM SISTEM KETENAGALISTRIKAN Pemakaian BBM untuk produksi listrik terutama oleh PLTD baik milik PLN maupun swasta (rental) dan sebagian kecil PLTG. Jumlah PLTD milik PLN tercacat 4.422 unit yang sebagian besar ada di luar Jawa (4.388 unit) dan sisanya di Jawa yaitu 54 unit. Kapasitas terpasang PLTD seluruh Indonesia sebesar 2.847,25 MW atau 8,33% dari kapasitas pembangkit listrik PLN. Berdasarkan karakteristik teknologi dan operasinya, PLTD sebenarnya dirancang sebagai pembangkit "peaker" sehingga Capacity factor-nya relatif rendah (di bawah 25%). Namun jam operasi PLTD bisa meningkat signifikan pada beberapa kondisi. Pertama, sistem kecil yang terisolir, yaitu tidak ada potensi sumber energi primer lain dan sulitnya pasokan Air 6,6% (target 6%) Panas Bumi 4,4% (target 4,5%) BBM 11,4% (target 9,4%) Nabati 0,3% (target 2,3%) Gas 24,6% (target 22,4%) Batubara 52,6% (target 55,5%) Gambar 7. Bauran energi pembangkit listrik PLN 2014 (PLN Fokus, 2016) 90
bahan bakar. Kedua, kurangnya pasokan listrik karena adanya gangguan pada unit pembangkit beban dasar. Ketiga, adanya krisis pasokan listrik akibat keterlambatan proyek pembangkit non-bbm. BBM yang digunakan dalam proses produksi listrik terdiri atas HSD, IDO dan MFO. Masingmasing mempunyai karakteristik dan harga yang berbeda namun yang banyak penggunanya adalah jenis HSD (solar). Meskipun konsumsi BBM cenderung menurun signifikan yaitu 6,14% per tahun sehingga tinggal 7.474.492 ton per tahun serta porsi bauran energi BBM mengecil jadi 16% namun produksi listrik yang dihasilkan tetaplah relatif besar yaitu total sebesar 22.957 GWh (gabungan PLTD PLN dan sewa diesel). Besarnya jumlah kwh sewa sangatlah tajam yaitu 60,25 per tahun dibandingkan produksi sendiri PLN yang hanya tumbuh 4,27% per tahun atau pembelian listrik IPP yang naik ratarata 11,73% per tahun dalam 5 tahun terakhir. Hal itu patut dicermati mengingat semua PLTD sewa memakai BBM dan masa kontraknya sudah melebihi rencana sewa semula. 6. KENDALA DAN TANTANGAN Upaya pengurangan konsumsi BBM untuk produksi listrik yang merupakan faktor penentu besarnya BPP dan selanjutnya subsidi listrik, menghadapi berbagai kendala dan tantangan baik yang bersifat teknis, ekonomis maupun politis. a. Ratio Elektrifikasi Perkembangan rasio elektrifikasi secara nasional dari tahun ke tahun mengalami kenaikan, yaitu dari 65% pada tahun 2009 menjadi 80,4% pada tahun 2013. Namun demikian dalam rangka menunjang pencapaian rasio elektrifikasi menjadi 80% di tahun 2014 dan 99,4% di tahun 2024 yang telah ditetapkan pemerintah, PLN akan membangun pembangkit-pembangkit baru yang bisa dipastikan hampir semuanya PLTD di tempat-tempat terpencil dan terisolir. Tahun 2015 misalnya, PLN akan membangun PLTD di daerah-daerah terpencil, pulau terluar dan daerah perbatasan yang tersebar di 47 lokasi dengan kapasitas total 59 MW. Pembangkitpembangkit tersebut akan dibangun di daerah terpencil/ perbatasan/pulau terluar di wilayah Aceh, Sumut, Kep. Riau, Kalbar, Kalut, Sulut, Maluku, Maluku Utara, Papua dan NTT. Bertambahnya kapasitas dan produksi kwh PLTD ini tentunya akan meningkatkan konsumsi BBM di sektor ketenagalistrikan. b. Keterbatasan Teknologi Alternatif Sampai saat ini keberadaan PLTD sebagai pembangkit listrik masih sangat strategis mengingat beberapa keunggulannya yaitu kemampuan fluktuasi beban yang tinggi, start up yang cepat, ukuran yang praktis/ kompak, cepat pemasangannya, mudah Tabel 2. Kecenderungan konsumsi dan harga BBM serta produksi kwh PLTD (PLN, 2014) 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Produksi kwh PLTD (x 1.000) 5.733,28 5.704,52 6.093,74 5.096,98 4.010,94 3.484,45 3.212,13 Produksi kwh Sewa (x 1.000) 3.257,27 4.706,94 5.194,53 8.233,21 13.885,67 18.070,82 19.745,72 Konsumsi BBM (KL) 10.688.975 11.320.489 9.408.905 9.324.934 11.466.850 8.214.795 7.474.492 Harga BBM (Rp/L) 4.881,43 7.906,23 5.186,76 5.815,65 8.188,09 8.629,80 9.127,05 91
dipindahkan, pasokan bahan bakar relatif mudah, kebutuhan lahan yang relatif kecil serta kapasitas daya yang sangat bervariasi (10-an kw sampai 18 MW). Hal ini menyebabkan PLTD sebagai "distributed power generation" atau pembangkit skala kecil yang andal meskipun mahal biaya produksinya. Secara teknis dan operasional, keunggulan-keunggulan PLTD ini tidak dimiliki oleh teknologi pembangkit skala kecil lainnya seperti: PLTM/MH, PLTS, PLT biomassa atau PLT Surya. Tetapi PLTMG (gas engine) mempunyai kapabilitas yang setara dengan PLTD hanya terkendala dalam kontinyuitas pasokan bahan bakar gasnya. Sedangkan PLTS bisa bersaing dengan PLTD pada kondisi geografis dan pola operasional tertentu saja (Arifin, 2014). c. Keterbatasan Ketersediaan Energi Primer Setempat Secara umum pemilihan lokasi pembangkit diupayakan untuk memenuhi prinsip regional balance yaitu kebutuhan listrik suatu daerah dipenuhi sebagian besar oleh pembangkit yang berada di daerah tersebut dan tidak banyak bergantung kepada transfer daya dari wilayah lain melalui saluran distribusi atau transmisi interkoneksi. Dengan demikian diperlukan ketersediaan energi primer di daerah tersebut yang memadai untuk keperluan pembangkit listrik non BBM. Faktanya sumber energi non-bbm seperti hydro power, gas, batu bara, geothermal dsb. tidak selalu tersedia di lokasi pembangkit atau pusat beban. Contohnya untuk kondisi di Sulawesi, dimana letak sumber energi primer hidro terbesar terletak di sekitar perbatasan Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat dengan pusat beban yang sangat jauh yaitu di Makassar dan Sulawesi Tenggara. Akhirnya beberapa proyek PLTA kapasitas besar di lokasi tersebut harus disambung dengan jaringan transmisi 275 kv untuk menyalurkan daya ke pusat beban di Makassar dan Sulawesi Tenggara. d. Ketidakandalan Pasokan Bahan bakar Non-BBM Dibandingkan mata rantai pasokan BBM yang relatif tersebar, andal dan mudah dijangkau, pasokan batu bara dan gas lebih kompleks dan beresiko. Jumlah dan sebaran konsumen yang terbatas membuat kontinyuitas pasokan batu bara sangat berpotensi mengalami hambatan. Meskipun kemungkinan terjadinya risiko ini "kecil", tetapi dampak risikonya "sangat signifikan" yaitu produksi pembangkit PLTU berkurang sehingga berakibat pada kenaikan pemakaian BBM, target fuelmix tidak tercapai, peningkatan BPP dan overrun subsidi serta terjadinya pemadaman. Begitu juga hambatan pada kontinyuitas pasokan gas kemungkinan terjadinya risiko ini juga "kecil", tetapi dampak risikonya "sangat signifikan" sama dengan hambatan pasokan batu bara. 7. SKENARIO SOLUSI Berdasarkan analisis data secara longitudinal, pemetaan mitigasi risiko dan roadmap sistem ketenagalistrikan, dapat dikemukakan beberapa tahapan skenario solusi untuk mengurangi persentase BBM secara signifikan pada sektor ketenagalistrikan di Indonesia. a. Skenario Apa Adanya (as it is) Solusinya berupa pengembangan sistem kelistrikan melalui perluasan jaringan (grid extension) baik Jaringan Tegangan Menengah (JTM), kabel bawah laut (alternating current/ac) atau bahkan High Voltage Direct Current (HVDC), untuk skala besar. Dengan skenario ini sistem kelistrikan berkembang ibarat jaringan yang menjalar makin luas menjangkau dan menyambung dengan sistem-sistem off grid (isolated) yang masih dilayani PLTD BBM. Dengan demikian PLTD akan berhenti beroperasi dan pasokan listrik mengandalkan pembangkit- 92
pembangkit non BBM skala besar seperti PLTU, PLTA ataupun PLTGU. Ekspansi jaringan melalui kabel bawah laut 20 kv dari Lombok ke Pulau 3 Gili di NTB misalnya, telah mematikan operasi PLTD di pulaupulau tersebut tahun 2013 yang lalu. Sedangkan interkoneksi Batam-Bintan 150 kv melalui kabel bawah laut juga akan mematikan PLTD-PLTD "mahal" di pulau Bintan. Skenario ini menyebabkan sistem interkoneksi (on grid) menjadi makin besar dengan "mematikan" sistem-sistem off-grid atau isolated sehingga operasi PLTD tidak lagi dominan, stand by atau malah berhenti total. b. Skenario Gasifikasi Pembangkit BBM Mempertimbangkan ketersediaannya yang lebih melimpah dibanding BBM serta aspek keekonomiannya, gas berpotensi besar menggantikan BBM. Pada sistem yang relatif besar ketika beban dasar sudah dipenuhi oleh PLTU, pembangkit gas dapat mengganti peran pembangkit BBM di beban puncak. Untuk mengakomodir penggunaan gas yang hanya dipakai sesaat ada dua alternatif teknologi penyimpanan: CNG atau LNG. PLTG dengan CNG storage yang telah beroperasi di Sumatera Selatan mulai Februari 2013 mengantikan pasokan PLTD sebesar 50 MW-an pada beban puncak, terbukti mengurangi konsumsi BBM sekaligus menurunkan BPP secara signifikan. Peluang gasifikasi ini sangat potensial dikembangkan mengingat cukup banyaknya sumber-sumber gas skala kecil, associated gas serta flare gas di industri proses yang belum diekplorasi secara komersial. c. Skenario Energi Baru dan Terbarukan Solusi ini mengandalkan pengembangan dan pemanfaatan teknologi energi baru dan terbarukan (EBT) untuk mengganti seoptimal mungkin fungsi PLTD pada semua mode operasi. Pertama, melalui pengembangan sistem hybrid. Pengembangan kelistrikan di sistem kelistrikan yang isolated dan di pulau-pulau kecil penggunaan pembangkit berbahan bakar minyak memang masih menjadi pilihan. Untuk mengurangi konsumsi BBM, maka PLTD tersebut perlu dikombinasikan dengan jenis pembangkit non BBM skala kecil lainnya atau sistem hybrid. Teknologi yang sudah beroperasi secara komersial antara lain hybrid PLTD-PLTMH, PLTD- PLTS, PLTD-PLT biomassa, PLTD-PLT bayu dan kombinasinya. Beberapa proyek hybrid yang beroperasi sejak tahun 2010 di beberapa lokasi (Gili Trawangan NTB, Bunaken Sulut, Derawan Kaltim) menunjukkan turunnya konsumsi BBM meskipun BPP belum berubah secara signifikan. Diperlukan pengembangan lebih lanjut -misalnya aplikasi smart grid islandagar sistem hybrid ini sukses mengurangi konsumsi BBM sekaligus menurunkan BPP tanpa mengorbankan keandalan pasokan listriknya. Kedua, pengembangan bahan bakar alternatif untuk PLTD. Mengantisipasi kelangkaan dan makin mahalnya BBM serta mengurangi ketergantungan impor, pengembangan bahan bakar alternatif untuk diesel menjadi salah satu alternatif strategis. Beberapa teknologi PLTD telah dirancang dan sukses secara komersial memproduksi listrik menggunakan bahan bakar nabati pada beberapa negara seperti Italia dan Jerman. Untuk kondisi Indonesia, program konversi BBM ke biofuel ini terkendala dengan aspek desain, yaitu mesin diesel yang sudah ada dibatasi spesifikasi bahan bakarnya (BBM). Akibatnya konversi tidak bisa mencapai 100% namun bisa mengurangi konsumsi BBM sampai 40% menggunakan campuran BBM-bio fuel 40%:60%, seperti yang sudah dilaksanakan di PLTD Titi Kuning, Sumut. Melimpahnya bahan baku minyak nabati di Indonesia menjadi kunci keberhasilan konversi ini meskipun masih banyak perbaikan aspek teknis dan ekonomis yang harus diatasi. 93
Ketiga, pemanfaatan teknologi energi baru untuk pembangkit listrik. Saat ini harga minyak dunia mengalami penurunan signifikan dikarenakan produksi unconventional fuel yang berhasil secara ekonomis seperti; shale gas, shale oil, CBM (Coal Bed Methane), SNG (Synthetic Natural Gas) dan sejenisnya. Eksploitasi energi baru tersebut tidak hanya mengurangi produksi dan konsumsi bahan bakar fosil konvensional (BBM dan gas alam) tapi juga membuat harga energi makin murah. Biaya produksi listrikpun ikut mengalami penurunan. Selain shale gas/shale oil, pemanfaatan teknologi energi baru khususnya coal gasification akan menghasilkan produk-produk sintesis pengganti BBM fosil seperti synthetic fuel di Afrika Selatan dan SNG di Amerika dan China. Memperhatikan banyaknya potensi batu bara kalori rendah (low rank coal) di Indonesia yang tidak bisa diekspor, maka batu bara tersebut bisa diolah untuk keperluan domestik menggunakan teknologi konversi gasifikasi menjadi SNG sehingga sangat potensial mengurangi konsumsi BBM domestik khususnya untuk pembangkit listrik. 8. KESIMPULAN Konsumsi listrik nasional meningkat signifikan rata-rata sebesar 8,3%/ per tahun seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5-7% per tahun dalam lima tahun terakhir. Kebutuhan listrik tersebut dipasok oleh dua tipe teknologi yaitu pembangkit fosil (PLTD, PLTG, PLTU, PLTGU, PLTMG) dan pembangkit energi terbarukan (PLTA, PLTP, PLTS, PLTU Bayu). Biaya produksi listrik paling tinggi adalah PLTD BBM yang mencapai Rp 2.862 per kwh, disusul pembangkit berbahan bakar gas (PLTG atau PLTMG) Rp 833 per kwh kemudian PLTP Rp 641 per kwh dan PLTU Rp 350/kWh. Bahan bakar adalah biaya terbesar dengan rata-rata 70% dari total BPP; porsi bahan bakar ini 53,8% adalah BBM (solar dan MFO), 24,5% batu bara, 17,8% gas alam, 3% geothermal. Bauran energi untuk produksi listrik dari PLN, ditambah sewa dan beli dari IPP, 84% dominan berasal dari non-bbm sedangkan dari BBM sebesar 16%. Pemakaian BBM tersebut terutama oleh PLTD baik milik PLN maupun swasta (rental) dan sebagian kecil PLTG. Meskipun konsumsi BBM cenderung menurun signifikan yaitu 6,14% per tahun sehingga tinggal 7.474.492 ton per tahun serta porsi bauran energi BBM mengecil jadi 16% namun produksi listrik yang dihasilkan tetaplah relatif besar yaitu total sebesar 22.957 GWh (gabungan PLTD PLN dan sewa diesel). Karena itu upaya pengurangan konsumsi BBM untuk sektor ketenagalistrikan merupakan salah satu isu strategis nasional karena merupakan faktor penentu besarnya BPP dan selanjutnya subsidi listrik oleh pemerintah. Namun dalam prakteknya upaya penurunan komsumsi BBM tersebut menghadapi berbagai kendala dan tantangan yaitu; masih rendahnya rasio elektrifikasi, keterbatasan teknologi alternatif pengganti diesel, keterbatasan ketersediaan energi primer setempat dan ketidakandalan pasokan bahan bakar non-bbm. Berdasarkan analisis data secara longitudinal, pemetaan mitigasi risiko dan roadmap sistem ketenagalistrikan, dapat disarankan beberapa tahapan skenario solusi untuk mengurangi porsi BBM secara signifikan, yaitu skenario apa adanya, gasifikasi pembangkit BBM dan energi baru dan terbarukan (EBT). Skenario apa adanya berupa pengembangan sistem kelistrikan melalui perluasan jaringan (grid extension) baik JTM, kabel bawah laut (AC) atau bahkan HVDC untuk skala besar. Skenario gasifikasi melalui optimalisasi pembangkit gas (PLTG, PLTMG) menggantikan pembangkit BBM (PLTD) terutama saat beban puncak. Untuk mengakomodir penggunaan gas yang hanya dipakai sesaat, tersedia dua pilihan teknologi penyimpanan; CNG atau LNG. Sedangkan skenario energi baru dan terbarukan (EBT) dilaksanakan melalui pertama, pengembangan sistem hybrid, kedua, pengembangan bahan bakar alternatif untuk diesel dan ketiga, pemanfaatan teknologi energi baru untuk pembangkit listrik seperti shale gas, shale oil, CBM, SNG dan sejenisnya. Mengingat 94
keterbatasan data dan lingkup pembahasan, diperlukan studi lanjutan secara empiriskuantitatif agar skenario penurunan porsi BBM menjadi lebih rinci dan aplikatif. DAFTAR PUSTAKA PT PLN (Persero), 2015, Fokus, Januari 2015, Jakarta: PT PLN (Persero). PT PLN (Persero), 2015, Fokus, Pebruari 2015, Jakarta: PT PLN (Persero). PT PLN (Persero), 2013, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2013-2022, Jakarta: PT PLN (Persero). PT PLN (Persero), 2014, Statistik PLN 2013, Jakarta: PT PLN (Persero). PT PLN (Persero), 2015, Technomapia intranet PLN", http://10.1.8.94/technomapia/ index.php. Zainal Arifin, 2014, The prospect of Renewable Energy for Replacing Diesel Power Station; Lesson Learned from PLN's Thousand Island PV Project, The 20th Conference of the Electric Power Supply Industry, Jeju - Korea. 95