REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (P.K.P.S)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III LANDASAN TEORI Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin. Singapura dengan Douglas Aircraft D2/F6 perusahaan KNILM (Koninklijke

BAB 1 PENDAHULUAN. itu keselamatan menjadi prioritas utama dalam operasi penerbangan.

REPUBLIK INDONESIA MENTERI PERHUBUNGAN

KEBIJAKAN ALKOHOL DAN OBAT TERLARANG PT BENING TUNGGAL MANDIRI

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP / 39 / III / 2010 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 578 TAHUN 2015 TENTANG

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

Seseorang dapat mengajukan Perancangan Prosedur Penerbangan

mengenai kewenangan Inspektur Navigasi Penerbangan dalam melaksanakan pengawasan; bahwa dalam melaksanaan pengawasan sebagaimana

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : KP 247 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN DAN STANDAR BAGIAN (MANUAL OF STANDARD

Manajemen Risiko Kelelahan: Preskriptif versus Pendekatan Berbasis Risiko

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM MANAJEMEN FASILITAS DAN KEGIATAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR

BAHAN PAPARAN. Disampaikan pada : BIMBINGAN TEKNIS AUDIT

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

J udul Dokumen : R IWAYAT REVISI MANUAL SISTEM MANAJEMEN K3 MANUAL K3 M - SPS - P2K3. Perubahan Dokumen : Revisi ke Tanggal Halaman Perubahan

PERATURAN BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG TATA KELOLA TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2015, No Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 9, Tambahan

Sistem manajemen mutu Persyaratan

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TENTANG PETUNJUK DAN TATA CARA PENGAWASAN KEAMANAN PENERBANGAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA,

PENINGKATAN FUNGSI PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 93 TAHUN 2016 TENTANG PROGRAM KESELAMATAN PENERBANGAN NASIONAL

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 25 TAHUN 2014 TENTANG

3. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pencarian dan Pertolongan adalah segala usaha dan

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 182 TAHUN 2017 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2012 TENTANG PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

2016, No Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4075); 3. Peraturan Presiden Nomor 47

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2011

1. Jelaskan tujuan dari sistem manajemen K3. Jawab : Sebagai alat untuk mencapai derajat kesehatan tenaga kerja yang setinggi-tingginya,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Inspektur Penerbangan. Kewenangan. Perubahan.

ZAKIYAH Badan Standardisasi Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum Bandung, 13 Juni 2007

2015, No Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahu

MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERl PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PM 44 TAHUN 2015 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 522 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR MINIMAL RUANG KERJA DAN PERALATAN PENUNJANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 077 TAHUN 2018 TENTANG STANDAR TEKNIS DAN OPERASI (MANUAL OF STANDARD CASR PART

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR : PER. 05/MEN/1996 TENTANG SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

Q # Pertanyaan Audit Bukti Audit 4 Konteks Organisasi 4.1 Memahami Organisasi dan Konteksnya

Kepemimpinan & Komitmen

Memmbang. a. perhubungan NomQr KM 21 Tahun 2009 tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 173

Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention)

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 81 TAHUN 2014 TENTANG

#10 MANAJEMEN RISIKO K3

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

(SAFETY (ADVISORY DEPARTEMEN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP / 42 / III / 2010 TENTANG

1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998)

II. PERAN DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI

KOMITMEN DAN KEBIJAKAN DALAM MEMBANGUN K3 PERTEMUAN #4 TKT TAUFIQUR RACHMAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA INDUSTRI

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 82 TAHUN 2015 TENTANG

PERSYARATAN ISO 9001 REVISI 2008 HANYA DIGUNAKAN UNTUK PELATIHAN

PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2015 TENTANG PENYEDIAAN TRANSPORTASI UDARA BAGI JEMAAH HAJI REGULER

b. bahwa dalam rangka memberikan pedoman terhadap tata

2 Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956); 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi,

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 313 ayat 3

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

BAB III ANALISIS METODOLOGI

#11 MANAJEMEN RISIKO K3

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

-1- DOKUMEN STANDAR MANAJEMEN MUTU

ISO/DIS 9001:2015 Pengenalan Revisi dan Transisi

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2013 TENTANG

Standar Audit SA 620. Penggunaan Pekerjaan Pakar Auditor

BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1 KUESIONER PENELITIAN (Berdasarkan PP 50 Tahun 2012) Nama : Alamat : Jabatan : Lama Bekerja : NO Isi pertanyaan Kel.

PEDOMAN PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN (SMK3)

IDENTIFIKASI BAHAYA, PENILAIAN RESIKO DAN TINDAKAN PENGENDALIAN

PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2013

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2012 TENTANG PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 596 TAHUN 2015 TENTANG

MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR : PER. 05/MEN/1996 TENTANG

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tamb

BAB V PENUTUP. 1. Implementasi Sistem Manajemen K3 pada PT.Merpati terbagi menjadi tiga

Kebijakan Manajemen Risiko PT Semen Indonesia (Persero) Tbk.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2017 TENTANG OPERASI PENCARIAN DAN PERTOLONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2018, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transa

JUDUL UNIT : Melakukan Komunikasi Di Tempat Kerja

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PM 36 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR

BAB V SISTEM MANAJEMEN LINGKUNGAN

2016, No Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012); 3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Indikator yang dihasilkan adalah 19 variabel seperti yang dapat dilihat pada tabel

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR: PER.05/MEN/1996 TENTANG SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA MENTERI TENAGA KERJA

DOKUMENTASI SMK3 PERTEMUAN #7 TKT TAUFIQUR RACHMAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA INDUSTRI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

Total Quality Purchasing

Komite Akreditasi Nasional

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Persyaratan Umum Lembaga Sertifikasi Ekolabel

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI dan BUPATI BANYUWANGI MEMUTUSKAN:

7.1.Project Control. Schedule kunjungan ke lapangan dan partisipasi audit. Meninjau ulang temuan audit dan pelaporan perbaikan

MANUAL PROSEDUR AUDIT MUTU AKADEMIK INTERNAL

BAB II PROSES BISNIS PT. INDONESIA POWER UBP KAMOJANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Bantuan logistik. Pedoman. Perubahan.

Transkripsi:

REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (P.K.P.S) SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 20 TAHUN 2009 TANGGAL : 17 FEBRUARI 2009 SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN 1. Landasan Hukum Peraturan ini diumumkan secara resmi di bawah kewenangan Undang-undang No.1/2009 tentang Penerbangan, Bab XIII Keselamatan Penerbangan, Bagian Keempat Sistem Manajemen Keselamatan Penyedia Jasa Penerbangan. 2. Ruang Lingkup dan Penerapan a. Ruang lingkup (1) Peraturan ini menguraikan persyaratan untuk suatu penyedia layanan Safety Management System (SMS) yang beroperasi sesuai dengan ICAO Annex 6 Operation of Aircraft, ICAO Annex 11 Air Traffic Services, dan ICAO Annex 14 Aerodromes. (2) Di dalam konteks peraturan ini, istilah Penyedia Layanan harus dipahami dengan merujuk pada suatu organisasi yang berkaitan dengan penyediaan layanan penerbangan. (3) Peraturan ini lebih memperhatikan proses dan aktifitas yang berkaitan dengan keselamatan daripada jabatan keselamatan, perlindungan lingkungan, atau kualitas layanan pelanggan. (4) Penyedia layanan bertanggung jawab untuk layanan keselamatan atau produk yang disewa atau dibeli dari organisasi lain. (5) Peraturan ini menetapkan persyaratan minimum yang dapat diterima; penyedia layanan dapat menetapkan persyaratan yang lebih ketat. b. Penerapan dan penerimaan Penyedia layanan harus mulai menerapkan Safety Management System (SMS) yang dapat diterima oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara pada : (1) Operator pesawat atau penyedia layanan lainnya : 1 Januari 2009. (2) Operator Bandara Internasional : 1 Januari 2010. (3) Operator Bandara Domestik ; 1 Januari 2011. Mengandung sedikitnya : (1) mengenali ancaman keselamatan dan penilaian dan mengurangi resiko; (2) memastikan tindakan perbaikan diperlukan untuk mempertahankan suatu tingkat keselamatan yang dapat diterima dapat dilaksanakan;

(3) menyediakan pengamatan yang berkelanjutan dan penilaian tingkat keselamatan yang teratur dapat dicapai; dan (4) suatu tujuan untuk membuat peningkatan tingkat keselamatan secara menyeluruh. 3. Referensi ICAO Annex 6 Operation of Aircraft, ICAO Annex 11- Air Traffic Services dan ICAO Annex 14 Aerodromes, dan The ICAO Safety Management Manual (Doc 9859). 4. Definisi Untuk tujuan dari Peraturan Menteri ini, istilah : Acceptable Level of Safety berarti kinerja keselamatan minimum dari penyedia layanan yang harus dicapai ketika melaksanakan fungsi kegiatan inti, yang dinyatakan dengan angka dari indikator kinerja keselamatan dan target kinerja keselamatan. Accountability berarti kewajiban atau kemauan untuk bertanggungjawab atas suatu tindakan seseorang. Consequence berarti hasil potensial dari suatu ancaman. Hazard berarti suatu keadaan, obyek atau kegiatan dengan potensi menyebabkan luka terhadap orang, kerusakan terhadap peralatan atau struktur, kehilangan materi, atau pengurangan kemampuan untuk melaksanakan fungsi yang telah ditetapkan. Mitigation berarti suatu tindakan terhadap ancaman potensial atau untuk mengurangi resiko kemungkinan atau keparahan. Predictive berarti suatu metode yang menangkap kinerja suatu sistem sebagaimana terjadi dalam operasi normal sebenarnya. Probability berarti kemungkinan suatu keadaan atau kejadian tidak aman dapat terjadi. Reactive berarti adopsi dari suatu pendekatan dimana tindakan pengamanan adalah suatu tanggapan terhadap suatu kejadian yang telah terjadi, seperti insiden dan kecelakaan. Risk berarti penilaian, yang dinyatakan dengan istilah kemungkinan yang telah diperkirakan dan keparahannya, dari akibat ancaman yang diambil sebagai rujukan dari situasi terburuk yang dapat diramalkan.

Risk Management berarti identifikasi, analisis dan eliminasi, dan atau pencegahan pada suatu tingkat resiko yang dapat diterima yang mengancam kemampuan dari suatu organisasi. Safety berarti suatu keadaan dimana resiko luka terhadap orang atau kerusakan harta benda dikurangi sampai pada, dan dipertahankan di bawah, suatu tingkat yang dapat diterima melalui suatu proses berkelanjutan dari identifikasi ancaman dan manajemen resiko yang berkelanjutan. Safety Assesment berarti suatu analisis sistematis dari perubahan peralatan atau prosedur yang diajukan untuk mengenali dan mencegah kelemahan sebelum perubahan tersebut dilaksanakan. Safety Assurance berarti suatu tindakan yang diambil oleh penyedia layanan berkaitan dengan pengamatan kinerja keselamatan dan tindakan yang diambil. Safety Audit berarti tindakan yang dilaksanakan oleh Otoritas Penerbangan Sipil berkaitan dengan program keselamatan, dan tindakan yang diambil oleh penyedia layanan berkaitan dengan SMS. Safety Management System berarti suatu pendekatan sistematis untuk mengelola keselamatan, termasuk struktur organisasi yang diperlukan, kewajiban,kebijakan dan prosedur. Safety Manager berarti seseorang yang bertanggungjawab memberikan panduan dan arahan untuk sistem manjemen keselamatan organisasi. Safety Oversight berarti suatu kegiatan Otoritas Penerbangan Sipil sebagai bagian dari program keselamatan, dilaksanakan dengan memperhatikan penyedia layanan SMS, untuk mengkonfirmasikan pemenuhan terhadap kebijakan keselamatan perusahaan, tujuan, sasaran, dan standar secara berkelanjutan. Safety Performance Indicator berarti sasaran yang telah ditentukan oleh penyedia layanan, berkaitan dengan komponen utama penyedia layanan SMS, dan dinyatakan dalam angka-angka. Safety Performance Monitoring berarti kegiatan dari penyedia layanan sebagai bagian dari SMS, untuk mengkonfirmasikan pemenuhan kebijakan keselamatan perusahaan, tujuan, sasaran dan standar secara berkelanjutan. Safety Performace Target berarti sasaran jangka menengah atau panjang dari penyedia layanan SMS, yang ditentukan dengan menimbang antara yang diinginkan dan yang tercapai pada setiap individu penyedia layanan, dan dinyatakan dalam angka-angka. Safety Policy berarti suatu pernyataan yang mencerminkan manajemen keselamatan organisasi dan menjadi landasan dimana organisasi SMS dibangun. Kebijakan keselamatan menggariskan metode dan proses yang akan digunakan oleh organisasi untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Safety Programme berarti suatu rangkaian peraturan dan kegiatan yang diarahkan untuk peningkatan keselamatan. Safety Requirement berarti prosedur operasi,teknologi, sistem dan program dimana ukuran kehandalan, ketersediaan, kinerja dan atau ketepatan dapat ditetapkan untuk mencapai indikator kinerja dan target kinerja. Severity berarti akibat yang mungkin akibat dari kejadian atau kondisi tidak aman, dengan merujuk pada situasi paling buruk yang dapat diramalkan. Sistem berarti serangkaian proses dan prosedur yang diorganisasikan. Sistematic berarti bahwa kegiatan manajemen keselamatan akan dilaksanakan sesuai rencana yang telah ditetapkan dan berlaku dengan cara yang konsisten pada keseluruhan organisasi. 5. Umum Penyedia layanan harus menetapkan,mempertahankan, dan berpegang pada Safety Management System (SMS) yang sesuai dengan ukuran, sifat, dan tingkat kerumitan operasi yang diizinkan untuk dilaksanakan pada Spesifikasi Operasi dan ancaman keselamatan dan resiko yang berkaitan dengan operasi. 6. Kebijakan keselamatan dan Sasaran a. Persyaratan Umum (1) Penyedia layanan harus menyatakan kebijakan keselamatan organisasi. (2) Kebijakan keselamatan harus ditandatangani oleh Accountable Executive perusahaan. (3) Kebijakan keselamatan harus sesuai dengan persyaratan hukum yang berlaku dan standar internasional, praktek industri terbaik dan mencerminkan komitmen organisasi berkaitan dengan keselamatan. (4) Kebijakan keselamatan harus dikomunikasikan, dengan pengesahan yang dapat dilaksanakan, terhadap keseluruhan perusahaan. (5) Kebijakan keselamatan harus memasukan pernyataan secara jelas tentang ketentuan sumber daya manusia dan keuangan yang diperlukan dalam pelaksanaannya. (6) Kebijakan keselamatan harus, antara lain memasukan sasaran berikut: (a) komitmen untuk melaksanakan suatu SMS; (b) komitmen untuk peningkatan berkelanjutan dari tingkat keselamatan;

(c) komitmen untuk manajemen resiko keselamatan; (d) komitmen untuk mendorong pekerja untuk melaporkan isu keselamatan; (e) pembentukan standar secara jelas untuk tingkah laku yang dapat diterima; (f) identifikasi tanggung jawab dari manajemen dan pekerja dalam kaitannya dengan kinerja keselamatan. (7) Kebijakan keselamatan harus ditinjau ulang secara berkala untuk memastikan bahwa hal tersebut masih relevan dan sesuai dengan organisasi. (8) Penyedia layanan harus menetapkan sasaran keselamatan untuk SMS. (9) Sasaran keselamatan harus dikaitkan pada indikator kinerja keselamatan, target kinerja keselamatan dan persyaratan keselamatan dari penyedia layanan SMS. b. Struktur Organisasi dan tanggung jawab (1) Suatu penyedia layanan harus menunjuk seorang Accountable Executive yang bertanggung jawab dan dapat dimintai tanggung jawab atas nama penyedia layanan untuk memenuhi persyaratan sesuai peraturan dan harus memberitahu Ditjen Perhubungan Udara tentang nama dari orang tersebut. (2) Accountable Executive harus seseorang, orang yang dapat dikenali, tanpa memandang fungsi lain, harus memiliki tanggung jawab utama untuk pelaksanaan dan merpertahankan SMS. (3) Accountable Executive harus memiliki: (a) kendali penuh atas sumberdaya manusia yang dibutuhkan untuk operasi yang ijinkan pada Sertifikat Operasi ; (b) kendali penuh atas sumber daya keuangan yang diperlukan untuk operasi yang diijinkan pada sertifikat operasi; (c) wewenang akhir atas operasi yang dijinkan untuk dilaksanakan pada sertifikat operasi; (d) bertanggunng jawab langsung atas urusan organisasi; dan (e) bertanggung jawab akhir dari segala urusan keselamatan. c. Rencana Pelaksanaan SMS (1) Suatu penyedia layanan harus mengembangkan dan mempertahankan suatu rencana pelaksanaan SMS. (2) Pelaksanaan SMS harus merupakan ketetapan organisasi yang akan mengadopsi dalam pengelolaan keselamatan dalam suatu cara yang akan memenuhi kebutuhan keselamatan organisasi.

(3) Rencana pelaksanaan SMS harus memasukan berikut ini; (a) sasaran dan kebijakan keselamatan; (b) rencana keselamatan; (c) uraian sistem; (d) analisis kesenjangan; (e) komponen SMS; (f) tanggungjawab dan peran SMS; (g) kebijakan pelaporan keselamatan; (h) cara pelibatan pekerja; (i) pelatihan keselamatan; (j) komunikasi keselamatan; (k) pengukuran kinerja keselamatan; (l) peninjauan ulang oleh manjemen atas kinerja keselamatan. (4) Rencana pelaksanaan SMS harus diikuti oleh manajemen senior organisasi. (5) Penyedia layanan harus, sebagai bagian dari rencana pengembangan SMS, melengkapi uraian sistem. (6) Uraian sistem harus memasukkan : (a) interaksi sistem dengan sistem lain dalam sistem transportasi udara; (b) fungsi sistem; (c) pertimbangan kinerja manusia yang dibutuhkan dalam operasi sistem; (d) komponen perangkat keras dari sistem; (e) komponen perangkat lunak dari sistem; (f) prosedur yang berkaitan dalam menentukan panduan operasi dan penggunaan sistem; (g) lingkungan operasi; dan (h) penyewaan dan pembelian produk dan layanan. (7) Suatu penyedia layanan harus, sebagai bagian dari pengembangan rencana pelaksanaan, melengkapi analisis kesenjangan, untuk : (a) Identifikasi pengaturan keselamatan dan struktur yang dapat ada di keseluruhan organisasi; (b) Menentukan pengaturan keselamatan tambahan yang diperlukan untuk melaksanakan dan mempertahankan SMS organisasi; dan (c) Rencana pelaksanaan SMS harus secara nyata menekankan koodinasi antara SMS penyedia layanan dan SMS dari organisasi lain yang harus disediakan selama penyediaan layanan. d. Koordinasi rencana tanggap darurat Suatu penyedia layanan harus mengembangkan dan mempertahankan, atau mengkoordinasikan, dengan sesuai, suatu rencana tanggap darurat yang harus memastikan :

(1) Perpindahan secara teratur dan efisien dari operasi normal ke operasi darurat; (2) Penunjukan otoritas darurat; (3) Penunjukan penanggungjawab darurat; (4) Payung koordinasi usaha darurat; (5) Kelanjutan operasi secara aman, atau mengembalikan pada operasi normal secepatnya. e. Dokumentasi (1) Penyedia jasa harus membuat dan menyimpan dokumentasi SMS, dalam bentuk kertas atau elektronik, untuk menjelaskan hal-hal berikut: (a) Kebijakan keselamatan; (b) Tujuan keselamatan; (c) Persyaratan, prosedur dan proses SMS; (d) Tanggung jawab dan kewenangan untuk prosedur dan proses; dan (e) Keluaran SMS. (2) Penyedia jasa harus, sebagai bagian dari dokumentasi SMS, membuat dan menyimpan Safety Management System Manual (SMSM), untuk menyampaikan pendekatan organisasi terhadap keselamatan ke seluruh organisasi. (3) SMSM harus mendokumentasikan semua aspek dari SMS, dan isinya harus mengikutsertakan hal-hal berikut: (a) ruang lingkup Safety Management System; (b) kebijakan dan tujuan keselamatan; (c) tanggung jawab keselamatan; (d) personel kunci keselamatan; (e) prosedur kendali dokumentasi; (f) identifikasi hazard dan skema manajemen resiko; (g) pengawasan pelaksanaan keselamatan; (h) tanggap darurat/perencanaan terhadap segala kemungkinan. (i) manajemen perubahan; dan (j) promosi keselamatan. 7. Manajemen resiko keselamatan a. Umum (1) Penyedia jasa harus membuat dan menyimpan Safety Data Collection And Processing Sistem (SDCPS) yang tersedia untuk identifikasi hazard dan analisis, penilaian dan mitigasi resiko keselamatan. (2) SDCPS penyedia jasa harus mengikutsertakan metode reaktif, proaktif dan prediktif dari koleksi data keselamatan.

b. Identifikasi hazard (1) Penyedia jasa harus membuat suatu cara formal untuk secara efektif mengumpulkan, mencatat, bertindak dan mengambil umpan balik dari hazard pada operasi, yang mengkombinasikan metode reaktif, proaktif dan prediktif dari pengumpulan data keselamatan. Cara formal dari pengumpulan data keselamatan harus mengikutsertakan sistem pelaporan wajib, sukarela dan rahasia. (2) Proses identifikasi hazard harus mengikutsertakan langkah-langkah berikut: (a) Pelaporan hazard, kejadian atau concern keselamatan; (b) Pengumpulan dan penyimpanan data keselamatan; (c) Analisis data keselamatan; dan (d) Distribusi informasi keselamatan yang telah disaring dari data keselamatan. c. Manajemen resiko (1) Penyedia jasa harus membuat dan memelihara proses manajemen resiko formal yang menjamin analisis, penilaian dan mitigasi resiko dari konsekuensi hazard sampai pada tingkatan yang dapat diterima. (2) Resiko dari konsekuensi setiap hazard yang diidentifikasi melalui proses identifikasi hazard seperti yang dijelaskan pada bagian 7.2 harus dianalisa berkenaan dengan kemungkinan dan kerumitan suatu kejadian, dan dinilai untuk mengetahui batasannya. (3) Organisasi harus mendefinisikan tingkatan manajemen dengan kewenangan untuk membuat keputusan batasan resiko keselamatan. (4) Organisasi harus mendefinisikan kendali keselamatan untuk setiap resiko yang dinilai sebagai berada didalam batasan. 8. Jaminan Keselamatan a. Umum (1) Penyedia jasa harus membuat dan mempertahankan proses jaminan keselamatan untuk menjamin bahwa kendali resiko keselamatan dikembangkan sebagai konsekuensi dari identifikasi hazard dan aktifitas manajemen resiko berdasarkan paragraf 7 dapat mencapai tujuan yang dimaksud. (2) Proses jaminan keselamatan harus memberlakukan SMS apakah kegiatan dan/atau operasi dilakukan secara internal atau outsource.

b. Pengawasan dan pengukuran pelaksanaan keselamatan (1) Penyedia jasa harus, sebagai bagian dari kegiatan jaminan keselamatan SMS, membuat dan menyimpan alat-alat yang diperlukan untuk menguji pelaksanaan keselamatan dari organisasi sebagai perbandingan dengan kebijakan dan tujuan keselamatan yang disetujui, dan untuk memvalidasi keefektifan dari kendali resiko keselamatan yang diimplementasikan. (2) Pengawasan dan pengukuran pelaksanaan keselamatan berarti harus mengikutsertakan hal-hal berikut: (a) pelaporan keselamatan; (b) audit keselamatan; (c) survei keselamatan; (d) tinjauan keselamatan; (e) pelajaran keselamatan; dan (f) investigasi keselamatan internal. (3) Prosedur pelaporan keselamatan harus membuat suatu kondisi untuk menjamin pelaporan keselamatan yang efektif, termasuk kondisi berada dibawah perlindungan tindakan disiplin/administratif harus berlaku. c. Manajemen perubahan (1) Penyedia jasa harus, sebagai bagian dari kegiatan jaminan keselamatan SMS, membuat dan menyimpan proses formal untuk manajemen perubahan. (2) Proses formal untuk manajemen perubahan harus: (a) Mengidentifikasi perubahan didalam organisasi yang dapat mempengaruhi proses dan pelayanan yang telah ada; (b) Menjabarkan rencana untuk menjamin pelaksanaan keselamatan sebelum mengimplementasikan perubahan; dan (c) Menghilangkan atau memodifikasi kendali resiko keselamatan yang tidak lagi dibutuhkan disebabkan oleh perubahan lingkungan operasional. d. Pengembangan berkelanjutan dari sistem keselamatan (1) Penyedia jasa harus, sebagai bagian dari kegiatan jaminan keselamatan SMS, membuat dan menyimpan proses formal untuk mengidentifikasi penyebab unjuk kerja yang dibawah standar dari SMS, menentukan implikasi operasinya, dan memperbaiki situasi yang menyebabkan unjuk kerja dibawah standar untuk menjamin pengembangan berkelanjutan dari SMS. (2) Pengembangan berkelanjutan dari penyedia jasa SMS harus mengikutsertakan: (a) Evaluasi proaktif dan reaktif dari fasilitas, peralatan, dokumentasi dan prosedur, untuk memeriksa keefektifan strategi untuk kendali resiko keselamatan; dan

(b) Evaluasi proaktif dari prestasi perseorangan, untuk menguji pemenuhan tanggung jawab keselamatan. 9. Promosi keselamatan a. Umum Penyedia jasa harus membuat dan menyimpan pelatihan keselamatan formal dan kegiatan komunikasi keselamatan untuk menciptakan lingkungan dimana tujuan keselamatan organisasi dapat dicapai. b. Pelatihan keselamatan (1) Penyedia jasa harus, sebagai bagian dari kegiatan promosi keselamatan, membuat dan menyimpan program pelatihan keselamatan yang menjamin bahwa personel telah dilatih dan mempunyai kompetensi untuk melaksanakan tugas-tugas SMS. (2) Ruang lingkup pelatihan keselamatan harus sesuai dengan keterbatasan perseorangan dalam SMS. (3) Accountable Executive harus mengikuti pelatihan kewaspadaan keselamatan mengenai: (a) kebijakan dan tujuan keselamatan; (b) tanggung jawab dan peranan SMS; dan (c) jaminan keselamatan c. Keselamatan Komunikasi (1) Suatu penyedia jasa akan, seperti memisahkan akitifitas promosi, mengembangkan dan memelihara alat-alat komunikasi keselamatan, untuk: (a) memastikan bahwa semua staf sadar akan SMS; (b) konvesi keselamatan informasi kritis; (c) menjelaskan mengapa tindakan keselamatan tertentu diambil; (d) menjelaskan mengapa prosedur keselamatan diperkenalkan atau diubah;dan (e) konvesi informasi keselamatan umum (2) Alat-alat komunikasi keselamatan yang formal meliputi: (a) kebijakan keselamatan dan prosedur; (b) surat kabar; dan (c) buletin. d. Kebijakan Kualitas Suatu penyedia layanan akan memastikan bahwa kebijakan mutu organisasi adalah konsisten dengan, dan mendukung pemenuhan dari SMS.

e. Implementasi SMS (1) Suatu penyedia layanan jasa boleh menerapkan SMS oleh suatu pendekatan dibuat bertahap, yang meliputi empat tahap ketika diuraikan dalam sub paragraf (2) melalui / sampai sub paragraf (5) tentang paragraf ini. (2) Tahap 1 perlu menyediakan suatu rancangan bagaimana kebutuhan SMS akan dijumpai dan terintegrasi kepada aktifitas pekerjaan organisasi dan kerangka tanggung jawab untuk implementasi menyangkut SMS: (a) mengidentifikasi eksekutif yang dapat dipertanggung jawabkan dan tanggung jawab manager keselamatan; (b) mengidentifikasi orang (atau kelompok perencanaan) di dalam organisasi yang bertanggung jawab untuk menerapkan SMS; (c) menguraikan sistem (operator udara, jasa penyedia ATC, organisasi pemeliharaan yang disetujui, lapangan terbang operator yang bersertifikat); (d) melakukan suatu analisis celah menyangkut sumber daya yang meninggalkan pentas organisasi dengan nasional dan kebutuhan internasional untuk penetapan suatu SMS; (e) mengembangkan suatu rencana implementasi SMS yang menjelaskan bagaimana organisasi akan menerapkan SMS atas dasar kebutuhan nasional dan standar dan rekomendasi praktis, uraian sistem dan hasil dari analisis celah; (f) mengembangkan dokumentasi yang relevan kepada hasil sasaran dan kebijakan keselamatan; dan (g) mengembangkan dan menetapkan alat-alat komunikasi keselamatan. (3) Tahap 2 perlu melaksanakan penerapan unsur-unsur menyangkut SMS, rencana implementasi proses reaksi yang mengacu pada manajemen resiko keselamatan: (a) mengambil resiko manajemen dan identifikasi yang menggunakan proses reaktif; (b) pelatihan relevan untuk: i. komponen perencanaan implementasi SMS; dan ii. manajemen resiko keselamatan (proses reaktif). (c) dokumentasi relevan untuk : i. komponen perencanaan implementasi SMS; dan ii. manajemen resiko keselamatan (proses reaktif). (4) Tahap 3 perlu mempraktekkan unsur-unsur rencana implementasi SMS yang mengacu pada resiko keselamatan yang proaktif dan proses yang bersifat prediksi: (a) Mengambil resiko manajemen dan identifikasi proaktif dan proses bersifat prediksi. (b) Pelatihan relevan untuk: i. Komponen perencanaan implementasi SMS; dan ii Manajemen resiko keselamatan (proses proaktif dan proses bersifat prediksi).

(c) Dokumentasi relevan untuk: i. Komponen perencanaan implementasi SMS; dan ii Manajemen resiko keselamatan (proses proaktif dan proses bersifat prediksi). (5) Tahap 4 perlu mempraktekkan penerapan jaminan keselamatan operasional: (a) Pengembangan dari tingkatan penerimaan tentang keselamatan; (b) Pengembangan target dan indikator keselamatan; (c) SMS yang berkelanjutan; (d) Pelatihan relevan jaminan operasional keselamatan; dan (e) Dokumentasi relevan jaminan keselamatan operasional. MENTERI PERHUBUNGAN ttd Ir. JUSMAN SYAFII DJAMAL