Page 1 of 5 Model Pengembangan Lahan Gambut Berkelanjutan 1 Oleh: Dedi Kusnadi Kalsim 2 Abstrak Akhir-akhir ini diberitakan sedang terjadi polemik antara Polisi (Polda Riau) dengan Departemen Kehutanan tentang kasus illegal loging dan perusakan lingkungan terhadap beberapa perusahaan yang termasuk dalam dua perusahaan besar industri pulp & paper di provinsi Riau. Salah satu hal yang dipersoalkan adalah mengenai kawasan bergambut yang harus dilindungi berkaitan dengan fungsi lindungnya seperti yang tercantum pada Keppres no 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung. Kriteria kawasan bergambut yang mempunyai fungsi perlindungan hidrologi terhadap kawasan di bawahnya adalah tanah bergambut dengan ketebalan sama atau lebih dari 3 meter dan terletak di hulu sungai atau rawa. Tulisan ini mengajukan suatu model pengembangan lahan gambut untuk tanaman perkebunan dan HTI yang merupakan kajian tentang kawasan bergambut yang berfungsi sebagai kawasan lindung dan kawasan yang dapat dibudidayakan, dikaitkan dengan pembangunan berkelanjutan. 1. Pembangunan Berkelanjutan Pada proses pembangunan di negara berkembang seperti Indonesia dikenal istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang pada prinsipnya dapat digambarkan dengan segi-tiga sama sisi antara pembangunan/pertumbuhan (development), lingkungan (stabilitas), dan sosial-budaya (pemerataan) seperti pada Gambar 1. Ketiga sisi tersebut harus dikembangkan secara berimbang sehingga akan tercipta pembangunan yang berkelanjutan. Dulu pada masa orde baru, konsep ini disebut dengan Tri-logi pembangunan. EKONOMI Pertumbuhan Gambar 1. Segi-tiga sama sisi pembangunan berkelanjutan 2. Peranan industri perkebunan sawit dan HTI akasia untuk pulp dan kertas Tak dapat dipungkiri bahwa pembangunan perkebunan sawit dan HTI pulp dan kertas banyak memberikan kontribusi pada pendapatan nasional dan terutama LINGKUNGAN SOS-BUD dalam penyediaan lapangan Stabilitas Pemerataan pekerjaan bagi rakyat Indonesia. Akan tetapi perlu diwaspadai bahwa dengan selalu terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut pada musim kemarau yang sudah merupakan isu internasional, 1 Paper disajikan pada Seminar Nasional Ketahanan Pangan. Dis elenggarakan oleh: Ferteta Cabang Lampung, Pemprov. Lampung, dan Universitas Lampung. Bandar Lampung 15~17 November 2007. 2 Ir, M.Eng., Dip.HE, Lektor Kepala pada Bagian Teknik Tanah dan Air, Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Email: dedkus@telkom.net. Fax: 0251-627739
Page 2 of 5 bukan tidak mungkin suatu ketika negara Eropah dan Amerika memboikot produk pulp dan kertas sebagai produksi yang tidak ramah lingkungan, seperti yang sudah terjadi pada komoditas udang. 3. Kawasan Lindung Gambut Kawasan bergambut yang mempunyai fungsi perlindungan (kawasan lindung gambut) selama ini merujuk pada Keppres no 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung. Kawasan yang memberikan perlindungan pada kawasan bawahannya terdiri dari: (a) kawasan hutan lindung, (b) kawasan bergambut, dan (c) kawasan resapan air. Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah. Kawasan bergambut adalah kawasan yang unsur pembentuk tanahnya sebagian besar berupa sisasisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu yang lama. Kawasan resapan air adalah daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian airbumi (akifer) yang berguna sebagai sumber airtanah. Kriteria kawasan bergambut (yang harus dilindungi) adalah tanah bergambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa. Faktanya banyak kawasan bergambut dengan ketebalan lebih dari 3 m telah dibuka dan berhasil untuk perkebunan kelapa hibrida, nenas, kelapa sawit, dan HTI akasia. Kasus sejuta hektar juga merupakan hal yang sama, tetapi gagal karena diperuntukan tanaman pangan. Akhir-akhir ini banyak dipermasalahkan oleh LSM lingkungan yang menyatakan bahwa pembukaan lahan gambut tersebut telah melanggar Keppres no 32 tahun 1990 tersebut di atas. Jika dikaji semangat dari Keppres tersebut, ada dua hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan trilogi pembangunan tersebut di atas. Pertama, fungsi perlindungan yakni mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah. Pengelolaan air pada prinsipnya adalah menyimpan air pada musim hujan sehingga mampu mengendalikan banjir, dan melepasnya perlahan-lahan pada musim kemarau sehingga mencegah terjadinya kekeringan/kebakaran lahan gambut. Kedua, ketebalan gambut sama atau lebih dari 3 meter. Kemungkinan pada waktu itu sudah diketahui bahwa pada ketebalan gambut tersebut tidak layak untuk tanaman pangan, tetapi belum diketahui bahwa ternyata sekarang layak untuk tanaman perkebunan dan HTI. Pengertian kriteria kawasan bergambut (yang harus dilindungi) adalah tanah bergambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa. Berarti bahwa kawasan lindung gambut ini berada pada topografi/elevasi yang relatif lebih tinggi (hulu sungai) dan melindungi kawasan gambut (atau bukan gambut) di bagian bawahnya di sebelah hilir sungai dengan elevasi lahan yang lebih rendah. Dengan demikian ada kawasan lindung gambut (di bagian atas) dan ada kawasan gambut yang dapat dikembangkan untuk perkebunan/hti di bagian bawahnya. Bagian atas dari kawasan gambut ini disebut sebagai bagian atas kubah gambut (peat dome), sedangkan bagian hilirnya disebut dengan bagian kaki kubah gambut. Bagaimana menghitung lebar kubah gambut yang harus dilindungi dan lebar kaki gambut yang boleh diusahakan?. Dengan sederhana hal itu dapat dihitung dengan pendekatan imbangan air (water ballance) antara kelebihan (surplus) air pada musim hujan (MH) yang harus mampu disimpan di kawasan lindung, dengan kekurangan (deficit) air pada musim kemarau (MK) di bagian hilir yang harus dipasok airnya dari bagian kawasan lindung gambut. Secara skhematis hal tersebut digambarkan seperti pada Gambar 2.
Page 3 of 5 Gambar 2. Skhematisasi kubah gambut dua dimensi Keterangan: L: Lebar kubah gambut yang dilindungi; X 1 dan X 2 : lebar lahan gambut pada kaki kubah gambut yang dibudidayakan; E 1 : Elevasi puncak kubah gambut; E 2 : Elevasi muka air di kanal tertinggi pada lahan HTI/Perkebunan. Jumlah air yang disimpan di areal lindung pada MH dan dilepas pada MK, harus sama atau lebih besar daripada jumlah defisit air pada MK di areal yang dibuka seperti pada persamaan /1/. (X1 + X2) Defisit air pada MK (E1 E2) FB L n FD.../1/ Dimana, FB: faktor bentuk (0,6); n: total porositas tanah gambut (0,8~0,9); FD: faktor deplesi (sekitar 0,5) yakni bagian dari dari total simpanan air yang didrainasekan secara gravitasi. Defisit air pada MK dihitung secara kumulatif setiap bulan dimana hujan bulanan (dengan peluang terlewati tertentu) lebih kecil daripada Evapotranspirasi potensial tanaman (ETc). Nilai total porositas tanah menggambarkan jumlah air yang mampu disimpan, sedangkan faktor deplesi menggambarkan jumlah air yang dilepas drainase gravitasi alami pada MK. Air yang mampu dipegang atau ditahan pada tanah gambut adalah (1 - FD) x total porositas. Nilai n dan FD tergantung pada tingkat kematangan tanah gambut. Jika menggunakan nilai rerata di atas, maka persamaan /1/ menjadi /2/. (X1 + X2) Defisit air pada MK (E1 E2) L 0,255.../ 2/ Defisit air pada MK L ( E1 E2 ) 0,255 ( X1 + X 2 ).../ 3 / Pada persamaan /3/ di atas digunakan tanda = jika sistem pengelolaan air di lokasi lahan yang dibuka cukup baik, dan digunakan tanda < jika pengelolaan airnya kurang baik. Persamaan di atas menghitung besarnya perbandingan antara L dengan (X 1 + X 2 ) yang
Page 4 of 5 sangat tergantung pada data spesifik lokal di daerah kajian yakni E 1, E 2 (topografi), kumulatif defisit air pada MK (iklim), dan tingkat kematangan tanah gambut (n, FD). 4. Pengelolaan Air Pengelolaan air (water management) merupakan kunci keberhasilan pengelolaan lahan gambut. Pengelolaan air yang baik harus mampu mengatur elevasi muka air di saluran drainase sesuai dengan keinginan berbagai kepentingan. Ini yang disebut dengan sistim drainase terkendali (controlled drainage). Pada prinsipnya elevasi muka air di saluran drainase harus dirancang setinggi mungkin (water level should be designed as high as possible), tetapi kedalaman airtanah di lahan cukup rendah sesuai dengan yang diperlukan tanaman (but as low as required). Dengan kata lain jika tanaman Akasia tumbuh optimum pada kedalaman airtanah 0,5 ~ 0,8 meter dari permukaan tanah (tergantung pada umur tanaman). Maka elevasi muka air di saluran drainase harus dioperasikan sehingga kedalaman air tanah di lahan sekitar 0,5 ~ 0,8 meter, tidak perlu (jangan) lebih rendah dari kondisi tersebut. Pengaturan kedalaman airtanah di lahan kebun merupakan cara yang ampuh untuk mencegah dan mengendalikan kebakaran lahan gambut pada musim kemarau. Pengalaman di lapangan memperlihatkan bahwa kedalaman airtanah kurang dari 0,8 meter memudahkan untuk mencegah dan atau mengendalikan kebakaran tanah gambut. Jumlah air yang diperlukan untuk memadamkan kebakaran lahan gambut setebal 42 cm adalah 2.000 ~ 4.000 m 3 air per hektar (Suwido Limin, 2007). Jika kumulatif defisit air MK pada tahun kering menyebabkan selisih penurunan airtanah kumulatif sekitar 0,4 m, maka pada awal MK atau ahir MH kedalaman airtanah harus diatur sekitar 0,8 0,4 = 0,4 meter dari permukaan tanah. Untuk itu perlu dikaji apakah jenis Akasia yang ditanam masih mampu berproduksi optimum pada kedalaman airtanah yang lebih kecil daripada kedalaman akar efektifnya selama 1~2 bulan?. Tata-letak saluran utama seyogyanya sejajar dengan garis kontour dilengkapi bangunan pelimpah samping (side spillway) yang mengalirkan kelebihan air pada saluran konektor memotong garis kontour. Saluran konektor dilengkapi dengan bangunan kontrol pengendali elevasi muka air di beberapa ruas saluran. Tipe bangunan kontrol yang cocok berupa aliran overflow dengan model weir atau skot balok. Beda elevasi muka air hulu/hilir di bangunan kontrol dirancang sekitar 0,5 m. Pengaturan elevasi airtanah setinggi mungkin (kedalaman airtanah sekecil mungkin, tapi optimum untuk pertumbuhan tanaman) juga bertujuan untuk mengendalikan proses penurunan permukaan tanah (subsidence) sekecil mungkin dengan laju menurun secara gradual. Penurunan permukaan tanah di tanah gambut merupakan suatu kenyataan yang pasti terjadi dan harga yang harus dibayar pada pengelolaan lahan gambut. Permasalahannya adalah bagaimana mengendalikannya sehingga dampak negatifnya dapat diminimalkan 5. Penutup Model perhitungan perbandingan antara areal lindung gambut (L) dengan areal lahan gambut diusahakan (X 1 + X 2 ) ini, semoga dapat digunakan untuk mencari jalan keluar implementasi pembangunan yang berkelanjutan di lahan gambut. Polemik mengenai perusakan lingkungan akibat pembangunan hutan tanaman/perkebunan di lahan gambut dapat didudukan secara akademik pada persoalan yang sebenarnya dan dicari solusinya. Dengan demikian pemerintah Indonesia yang masih memerlukan pembangunan ekonomi untuk memakmurkan rakyatnya, tidak disudutkan pada isu perusakan lingkungan yang sengaja dihembuskan oleh pesaing luar negeri. Hal yang sangat penting adalah harus dibuktikan kepada dunia bahwa dengan cara pengelolaan air yang baik (drainase
Page 5 of 5 terkendali), maka jumlah titik panas (hot spot) yang terrekam oleh citra satelit setiap tahun pada MK di lahan gambut yang dikelola secara baik harus berkurang signifikan, bukan sebaliknya. Hanya dengan cara yang cerdik dan kerja keras kita dapat melakukan pembangunan berwawasan lingkungan.