Model Pengembangan Lahan Gambut Berkelanjutan 1

dokumen-dokumen yang mirip
Bangunan Pengatur Elevasi Muka Air

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PERTANIAN. Dedi Kusnadi Kalsim

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Latar Belakang. Gambar 1. Lahan gambut yang terbakar. pada lanskap lahan gambut. Di lahan gambut, ini berarti bahwa semua drainase

Bab IV DRAINASE BERWAWASAN LINGKUNGAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KONDISI UMUM LOKASI

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring. berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan

Oleh Dedi Kusnadi Kalsim 1

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Laporan Tugas Akhir (SI 40Z1) 1.1. UMUM

Restorasi Gambut Harus Berpihak Kepada Ajas Manfaat

Tabel Posisi titik acuan (BM, dalam meter) di lokasi MIFEE

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

Topik C2 Hidrologi lahan gambut Indonesia

BAB III METODOLOGI. Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Tugas Akhir

SEBARAN KEBUN KELAPA SAWIT AKTUAL DAN POTENSI PENGEMBANGANNYA DI LAHAN BERGAMBUT DI PULAU SUMATERA

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Bagaimana Caranya Memadamkan Api Kebakaran di Lahan Gambut?

Rawa pasang surut adalah rawa yang terletak di pantai atau dekat pantai, di muara atau dekat muara sungai sehingga dipengaruhi oleh pasang surutnya

BAB I PENDAHULUAN. di antara dua sungai besar. Ekosistem tersebut mempunyai peran yang besar dan

1.5. Potensi Sumber Air Tawar

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGEMBANGAN DAN KONSERVASI LAHAN GAMBUT

TEKNIK REHABILITASI (REVEGETASI) LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Sumbangsih Pengalaman dan Pembelajaran Restorasi Gambut dari Sumatera Selatan dan Jambi

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN - 1 -

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Pada saat ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunan

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

IMPLEMENTASI PP 57/2016

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TEMANGGUNG TAHUN

LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI SRI NURYANI HIDAYAH UTAMI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT

Kata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, kondisi hidrologi, gelam

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 376/KPTS-II/1998 TENTANG KRITERIA PENYEDIAAN AREAL HUTAN UNTUK PERKEBUNAN BUDIDAYA KELAPA SAWIT

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

BAB V RENCANA PENANGANAN

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Rawa pasang surut adalah rawa yang terletak di pantai atau dekat pantai, di muara atau dekat muara sungai sehingga dipengaruhi oleh pasang surutnya

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel).

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

Setitik Harapan dari Ajamu

VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

PENDAHULUAN Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

KAJIAN PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN AIR HUJAN

TATA PENGELOLAAN BANJIR PADA DAERAH REKLAMASI RAWA (STUDI KASUS: KAWASAN JAKABARING KOTA PALEMBANG)

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

AMDAL. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan By Salmani, ST, MS, MT.

ABSTRAK Faris Afif.O,

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Hutan adalah salah satu sumber daya alam yang memiliki manfaat

BAB I PENDAHULUAN. alam tidak dapat ditentang begitu pula dengan bencana (Nandi, 2007)

PENATAAN HIDROLOGI LAHAN GAMBUT DALAM KERANGKA MENGURANGI KEBAKARAN DAN KABUT ASAP

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN,

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN RAWA PASANG SURUT UNTUK TAMBAK. SITI YULIAWATI DOSEN KOPERTIS WILAYAH I Dpk UNIVERSITAS DHARMAWANGSA MEDAN

KAJIAN KORELASI KARAKTERISTIK AGROEKOLOGI TERHADAP PRODUKSI KELAPA SAWIT DAN KARET DI PROVINSI LAMPUNG

ANALISIS DUGAAN SUBSIDEN (subsidence) DI PULAU PADANG KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI, PROVINSI RIAU

ULASAN KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

Pemantauan Pembakaran Hutan dan Lahan di Perkebunan PT Bertuah Aneka Yasa Oktober 2015

19 Oktober Ema Umilia

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 14/Permentan/PL.110/2/2009 TENTANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan gambut yang terdapat di daerah tropika diperkirakan mencapai juta hektar atau sekitar 10-12% dari luas

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

I. PENDAHULUAN. Kata kunci : Air Baku, Spillway, Embung.

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

Transkripsi:

Page 1 of 5 Model Pengembangan Lahan Gambut Berkelanjutan 1 Oleh: Dedi Kusnadi Kalsim 2 Abstrak Akhir-akhir ini diberitakan sedang terjadi polemik antara Polisi (Polda Riau) dengan Departemen Kehutanan tentang kasus illegal loging dan perusakan lingkungan terhadap beberapa perusahaan yang termasuk dalam dua perusahaan besar industri pulp & paper di provinsi Riau. Salah satu hal yang dipersoalkan adalah mengenai kawasan bergambut yang harus dilindungi berkaitan dengan fungsi lindungnya seperti yang tercantum pada Keppres no 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung. Kriteria kawasan bergambut yang mempunyai fungsi perlindungan hidrologi terhadap kawasan di bawahnya adalah tanah bergambut dengan ketebalan sama atau lebih dari 3 meter dan terletak di hulu sungai atau rawa. Tulisan ini mengajukan suatu model pengembangan lahan gambut untuk tanaman perkebunan dan HTI yang merupakan kajian tentang kawasan bergambut yang berfungsi sebagai kawasan lindung dan kawasan yang dapat dibudidayakan, dikaitkan dengan pembangunan berkelanjutan. 1. Pembangunan Berkelanjutan Pada proses pembangunan di negara berkembang seperti Indonesia dikenal istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang pada prinsipnya dapat digambarkan dengan segi-tiga sama sisi antara pembangunan/pertumbuhan (development), lingkungan (stabilitas), dan sosial-budaya (pemerataan) seperti pada Gambar 1. Ketiga sisi tersebut harus dikembangkan secara berimbang sehingga akan tercipta pembangunan yang berkelanjutan. Dulu pada masa orde baru, konsep ini disebut dengan Tri-logi pembangunan. EKONOMI Pertumbuhan Gambar 1. Segi-tiga sama sisi pembangunan berkelanjutan 2. Peranan industri perkebunan sawit dan HTI akasia untuk pulp dan kertas Tak dapat dipungkiri bahwa pembangunan perkebunan sawit dan HTI pulp dan kertas banyak memberikan kontribusi pada pendapatan nasional dan terutama LINGKUNGAN SOS-BUD dalam penyediaan lapangan Stabilitas Pemerataan pekerjaan bagi rakyat Indonesia. Akan tetapi perlu diwaspadai bahwa dengan selalu terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut pada musim kemarau yang sudah merupakan isu internasional, 1 Paper disajikan pada Seminar Nasional Ketahanan Pangan. Dis elenggarakan oleh: Ferteta Cabang Lampung, Pemprov. Lampung, dan Universitas Lampung. Bandar Lampung 15~17 November 2007. 2 Ir, M.Eng., Dip.HE, Lektor Kepala pada Bagian Teknik Tanah dan Air, Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Email: dedkus@telkom.net. Fax: 0251-627739

Page 2 of 5 bukan tidak mungkin suatu ketika negara Eropah dan Amerika memboikot produk pulp dan kertas sebagai produksi yang tidak ramah lingkungan, seperti yang sudah terjadi pada komoditas udang. 3. Kawasan Lindung Gambut Kawasan bergambut yang mempunyai fungsi perlindungan (kawasan lindung gambut) selama ini merujuk pada Keppres no 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung. Kawasan yang memberikan perlindungan pada kawasan bawahannya terdiri dari: (a) kawasan hutan lindung, (b) kawasan bergambut, dan (c) kawasan resapan air. Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah. Kawasan bergambut adalah kawasan yang unsur pembentuk tanahnya sebagian besar berupa sisasisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu yang lama. Kawasan resapan air adalah daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian airbumi (akifer) yang berguna sebagai sumber airtanah. Kriteria kawasan bergambut (yang harus dilindungi) adalah tanah bergambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa. Faktanya banyak kawasan bergambut dengan ketebalan lebih dari 3 m telah dibuka dan berhasil untuk perkebunan kelapa hibrida, nenas, kelapa sawit, dan HTI akasia. Kasus sejuta hektar juga merupakan hal yang sama, tetapi gagal karena diperuntukan tanaman pangan. Akhir-akhir ini banyak dipermasalahkan oleh LSM lingkungan yang menyatakan bahwa pembukaan lahan gambut tersebut telah melanggar Keppres no 32 tahun 1990 tersebut di atas. Jika dikaji semangat dari Keppres tersebut, ada dua hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan trilogi pembangunan tersebut di atas. Pertama, fungsi perlindungan yakni mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah. Pengelolaan air pada prinsipnya adalah menyimpan air pada musim hujan sehingga mampu mengendalikan banjir, dan melepasnya perlahan-lahan pada musim kemarau sehingga mencegah terjadinya kekeringan/kebakaran lahan gambut. Kedua, ketebalan gambut sama atau lebih dari 3 meter. Kemungkinan pada waktu itu sudah diketahui bahwa pada ketebalan gambut tersebut tidak layak untuk tanaman pangan, tetapi belum diketahui bahwa ternyata sekarang layak untuk tanaman perkebunan dan HTI. Pengertian kriteria kawasan bergambut (yang harus dilindungi) adalah tanah bergambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa. Berarti bahwa kawasan lindung gambut ini berada pada topografi/elevasi yang relatif lebih tinggi (hulu sungai) dan melindungi kawasan gambut (atau bukan gambut) di bagian bawahnya di sebelah hilir sungai dengan elevasi lahan yang lebih rendah. Dengan demikian ada kawasan lindung gambut (di bagian atas) dan ada kawasan gambut yang dapat dikembangkan untuk perkebunan/hti di bagian bawahnya. Bagian atas dari kawasan gambut ini disebut sebagai bagian atas kubah gambut (peat dome), sedangkan bagian hilirnya disebut dengan bagian kaki kubah gambut. Bagaimana menghitung lebar kubah gambut yang harus dilindungi dan lebar kaki gambut yang boleh diusahakan?. Dengan sederhana hal itu dapat dihitung dengan pendekatan imbangan air (water ballance) antara kelebihan (surplus) air pada musim hujan (MH) yang harus mampu disimpan di kawasan lindung, dengan kekurangan (deficit) air pada musim kemarau (MK) di bagian hilir yang harus dipasok airnya dari bagian kawasan lindung gambut. Secara skhematis hal tersebut digambarkan seperti pada Gambar 2.

Page 3 of 5 Gambar 2. Skhematisasi kubah gambut dua dimensi Keterangan: L: Lebar kubah gambut yang dilindungi; X 1 dan X 2 : lebar lahan gambut pada kaki kubah gambut yang dibudidayakan; E 1 : Elevasi puncak kubah gambut; E 2 : Elevasi muka air di kanal tertinggi pada lahan HTI/Perkebunan. Jumlah air yang disimpan di areal lindung pada MH dan dilepas pada MK, harus sama atau lebih besar daripada jumlah defisit air pada MK di areal yang dibuka seperti pada persamaan /1/. (X1 + X2) Defisit air pada MK (E1 E2) FB L n FD.../1/ Dimana, FB: faktor bentuk (0,6); n: total porositas tanah gambut (0,8~0,9); FD: faktor deplesi (sekitar 0,5) yakni bagian dari dari total simpanan air yang didrainasekan secara gravitasi. Defisit air pada MK dihitung secara kumulatif setiap bulan dimana hujan bulanan (dengan peluang terlewati tertentu) lebih kecil daripada Evapotranspirasi potensial tanaman (ETc). Nilai total porositas tanah menggambarkan jumlah air yang mampu disimpan, sedangkan faktor deplesi menggambarkan jumlah air yang dilepas drainase gravitasi alami pada MK. Air yang mampu dipegang atau ditahan pada tanah gambut adalah (1 - FD) x total porositas. Nilai n dan FD tergantung pada tingkat kematangan tanah gambut. Jika menggunakan nilai rerata di atas, maka persamaan /1/ menjadi /2/. (X1 + X2) Defisit air pada MK (E1 E2) L 0,255.../ 2/ Defisit air pada MK L ( E1 E2 ) 0,255 ( X1 + X 2 ).../ 3 / Pada persamaan /3/ di atas digunakan tanda = jika sistem pengelolaan air di lokasi lahan yang dibuka cukup baik, dan digunakan tanda < jika pengelolaan airnya kurang baik. Persamaan di atas menghitung besarnya perbandingan antara L dengan (X 1 + X 2 ) yang

Page 4 of 5 sangat tergantung pada data spesifik lokal di daerah kajian yakni E 1, E 2 (topografi), kumulatif defisit air pada MK (iklim), dan tingkat kematangan tanah gambut (n, FD). 4. Pengelolaan Air Pengelolaan air (water management) merupakan kunci keberhasilan pengelolaan lahan gambut. Pengelolaan air yang baik harus mampu mengatur elevasi muka air di saluran drainase sesuai dengan keinginan berbagai kepentingan. Ini yang disebut dengan sistim drainase terkendali (controlled drainage). Pada prinsipnya elevasi muka air di saluran drainase harus dirancang setinggi mungkin (water level should be designed as high as possible), tetapi kedalaman airtanah di lahan cukup rendah sesuai dengan yang diperlukan tanaman (but as low as required). Dengan kata lain jika tanaman Akasia tumbuh optimum pada kedalaman airtanah 0,5 ~ 0,8 meter dari permukaan tanah (tergantung pada umur tanaman). Maka elevasi muka air di saluran drainase harus dioperasikan sehingga kedalaman air tanah di lahan sekitar 0,5 ~ 0,8 meter, tidak perlu (jangan) lebih rendah dari kondisi tersebut. Pengaturan kedalaman airtanah di lahan kebun merupakan cara yang ampuh untuk mencegah dan mengendalikan kebakaran lahan gambut pada musim kemarau. Pengalaman di lapangan memperlihatkan bahwa kedalaman airtanah kurang dari 0,8 meter memudahkan untuk mencegah dan atau mengendalikan kebakaran tanah gambut. Jumlah air yang diperlukan untuk memadamkan kebakaran lahan gambut setebal 42 cm adalah 2.000 ~ 4.000 m 3 air per hektar (Suwido Limin, 2007). Jika kumulatif defisit air MK pada tahun kering menyebabkan selisih penurunan airtanah kumulatif sekitar 0,4 m, maka pada awal MK atau ahir MH kedalaman airtanah harus diatur sekitar 0,8 0,4 = 0,4 meter dari permukaan tanah. Untuk itu perlu dikaji apakah jenis Akasia yang ditanam masih mampu berproduksi optimum pada kedalaman airtanah yang lebih kecil daripada kedalaman akar efektifnya selama 1~2 bulan?. Tata-letak saluran utama seyogyanya sejajar dengan garis kontour dilengkapi bangunan pelimpah samping (side spillway) yang mengalirkan kelebihan air pada saluran konektor memotong garis kontour. Saluran konektor dilengkapi dengan bangunan kontrol pengendali elevasi muka air di beberapa ruas saluran. Tipe bangunan kontrol yang cocok berupa aliran overflow dengan model weir atau skot balok. Beda elevasi muka air hulu/hilir di bangunan kontrol dirancang sekitar 0,5 m. Pengaturan elevasi airtanah setinggi mungkin (kedalaman airtanah sekecil mungkin, tapi optimum untuk pertumbuhan tanaman) juga bertujuan untuk mengendalikan proses penurunan permukaan tanah (subsidence) sekecil mungkin dengan laju menurun secara gradual. Penurunan permukaan tanah di tanah gambut merupakan suatu kenyataan yang pasti terjadi dan harga yang harus dibayar pada pengelolaan lahan gambut. Permasalahannya adalah bagaimana mengendalikannya sehingga dampak negatifnya dapat diminimalkan 5. Penutup Model perhitungan perbandingan antara areal lindung gambut (L) dengan areal lahan gambut diusahakan (X 1 + X 2 ) ini, semoga dapat digunakan untuk mencari jalan keluar implementasi pembangunan yang berkelanjutan di lahan gambut. Polemik mengenai perusakan lingkungan akibat pembangunan hutan tanaman/perkebunan di lahan gambut dapat didudukan secara akademik pada persoalan yang sebenarnya dan dicari solusinya. Dengan demikian pemerintah Indonesia yang masih memerlukan pembangunan ekonomi untuk memakmurkan rakyatnya, tidak disudutkan pada isu perusakan lingkungan yang sengaja dihembuskan oleh pesaing luar negeri. Hal yang sangat penting adalah harus dibuktikan kepada dunia bahwa dengan cara pengelolaan air yang baik (drainase

Page 5 of 5 terkendali), maka jumlah titik panas (hot spot) yang terrekam oleh citra satelit setiap tahun pada MK di lahan gambut yang dikelola secara baik harus berkurang signifikan, bukan sebaliknya. Hanya dengan cara yang cerdik dan kerja keras kita dapat melakukan pembangunan berwawasan lingkungan.