TIDAK DAPAT MENJALANKAN KEWAJIBAN HUBUNGAN INTIM SUAMI ISTRI MENYEBABKAN PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM 1 Oleh : Nabila Basalama ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah konsep gugatan cerai menurut Islam dan apakah tidak dapat menjalankan kewajiban hubungan intim suami istri dapat dijadikan alasan perceraian menurut Hukum Islam. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Hadits Rasululllah Saw, Sesungguhnya perbuatan mubah tapi dibenci Allah adalah talak (cerai). Namun, bila kondisinya darurat (terpaksa), maka jalan tersebut (cerai) diperbolehkan. Ada beberapa kemungkinan dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian. Salah satunya adalah adanya nusyuz yang bermakna kedurhakaan. Kemungkinan nusyuz tidak hanya datang dari istri, tetapi dapat juga datang dari suami. Selama ini sering dipahami, nusyuz hanya datang dari pihak istri. Kemungkinan suami nusyuz dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi kewajibannya pada istri, baik nafkah lahir maupun nafkah batin, termasuk soal ketidakpuasan hubungan intim. 2. Gugat cerai atau khulu adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri, dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suami. Secara tekstual dalam Al-Qur an, istilah gugat-cerai tidak ditemukan. Namun, QS. An-Nisa /4: 128 di atas dipahami oleh sebagian ulama dibolehkan untuk melakukan gugat-cerai terhadap suami jika berorientasikan pada kebaikan (mashlahat). Berdasarkan alasan perceraian dalam 1 Artikel skripsi. hukum positif di Indonesia,terlihat bahwa ketidakpuasan hubungan intim tidak termasuk alasan perceraian dalam ketentuan hukum. Untuk itu hal demikian inilah yang perlu dipertimbangkan dalam upaya lebih mengkaji lagi serta perlunya interpretasi masa kini. Khulu maupun fasakh adalah dua bentuk talak yang dikategorikan atas inisiatif isteri, dan tak ada perbedaan yang jelas. Ini sebagai bukti bahwa Islam tetap mengakomodasi hak-hak wanita (isteri), walaupun hak dasar talak ada pada suami, namun dalam keadaan tertentu, isteri juga mempunyai hak yang sama, yaitu dapat melakukan gugatan cerai terhadap suaminya melalui khulu maupun fasakh. Kata kunci: perceraian, hukum Islam A.PENDAHULUAN Dalam sebuah keluarga, suami wajib melindungi dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuanya dan isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaikbaiknya, karena suami adalah kepala keluarga dan tugas isteri adalah sebagai ibu rumah tangga dalam keluarga. 2 Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Pembagian peran sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 31 ayat 3 dan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa hak dan kedudukan laki-laki dan perempuan adalah seimbang. Pembagian tugas sebagaimana diatur secara jelas dalam undang-undang tersebut nampaknya memang mengkekalkan apa yang selama ini dianut oleh sebagian besar masyarakat dan justru pembagian tugas 2 Bambang Suuggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan I, 1994, hal. 1. 65
inilah yang sedang mengalami proses pertimbangan dalam lingkup yang luas. Banyak rumah tangga sekarang ini suami bukan satu-satunya pencari nafkah, isteri bekerja dan karena itu mempunyai waktu lebih sedikit atau bahkan tidak punya waktu sama sekali untuk mengurus rumah tangga. Beragamnya kepentingan antar manusia dapat terpenuhi secara damai, tetapi juga menimbulkan konflik jika tata cara pemenuhan kepentingan tersebut dilakukan tanpa ada keseimbangan sehingga akan melanggar hak-hak orang lain. 3 Tujuan perkawinan yang mulia ternyata tidak sepenuhnya bisa dilakukan oleh semua orang yang menikah, hal tersebut ditandai masih banyaknya perceraian yang terjadi di Indonesia, dan fenomena yang terjadi saat ini dari banyaknya kasus perceraian, cerai gugat atau cerai dengan istri sebagai penggugat lebih banyak dilakukan daripada cerai talak atau cerai dengan gugatan dari suami. Trend baru akhir-akhir ini adalah istri gugat cerai suami. Dalam periode Januari hingga Desember 2012, angka penggugat cerai di Manado didominasi oleh pihak istri (70%). Alasan perceraian itu, menurut Panitera Bidang Hukum Pengadilan Agama Kota Manado, Drs. Azil Makatita, disebabkan faktor ekonomi, kurangnya rasa tanggung jawab suami, tidak harmonisnya hubungan suami isteri, adanya gangguan pihak ke tiga. 4 Bahwa para istri yang menggugat cerai tersebut merasakan kurang terpenuhinya kebutuhan yang seharusnya dirinya dapatkan dari pasangan, kekurangan tersebut dimulai dari materi, seksualitas yang menjadi tidak nyaman hingga 3 SP. Wasis, Pengantar Ilmu Hukum, UMM Press, Malang, Cetakan I, 2002, hal. 7. 4 Faktor-faktor terjadinya perceraian pada Pengadilan Agama Mando tahun 2012 keadaan psikologis yang merasa tertekan dengan sikap dan tindakan pasangan. Dalam penulisan Skripsi ini penulis akan membahas penyebab perceraian yang dilakukan oleh suami isteri karena kewajiban menjalankan hubungan intim yang tidak terpenuhi. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah konsep gugatan cerai menurut Islam? 2. Apakah tidak dapat menjalankan kewajiban hubungan intim suami istri dapat dijadikan alasan perceraian menurut Hukum Islam? C. PEMBAHASAN 1. Konsep Gugat Cerai Menurut Islam Putus perkawinan adalah ikatan perkawinan antara seorang pria dan wanita sudah putus. Putus ikatan yang dimaksud bisa berarti salah seorang di antara keduanya meninggal dunia, bisa juga berarti pria dan wanita sudah bercerai, dan bisa juga berarti salah seorang di antara keduanya pergi ke tempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal dunia. Berdasarkan semua itu dapat berarti ikatan perkawinan di antara suami istri sudah putus atau bercerainya antara seorang pria dan wanita yang diikat oleh tali perkawinan. Mengenai persoalan putusnya perkawinan atau perceraian diatur dalam Pasal 38 sampai Pasal 41 Undang-Undang perkawinan. - Pasal 38 UU Perkawinan : Perkawinan dapat putus karena : a. kematian b. perceraian c. atas keputusan pengadilan. - Pasal 39 UU Perkawinan : 66
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. (3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam perundang- undangan tersendiri. - Pasal 40 UU Perkawinan: (1) Gugatan perceraian di ajukan kepada pengadilan. (2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam perundangundangan tersendiri. Adapun pengertian dari cerai gugat yaitu isteri menggugat suaminya untuk bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan dimaksud sehingga putus hubungan penggugat (isteri) dengan tergugat. 5 Berdasarkan hadits nabi Muhammad saw, 6 sebagai berikut: Dasar hukum cerai gugat mengacu pada PP No. 09 tahun 1975 5 Zainuddin Ali, S.HI, MA, Hukum Perdata Islam Indonesia (Palu: Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, 2002), hlm. 906. 6 Hadits Nabi saw. yang artinya Seorang perempuan berkata kepada Rasulullah saw. Wahai Rasulullah, saya sedang mengandung anak ini, air susuku diminumnya, dan dibalikku tempat kumpulnya (bersamaku) ayahnya telah menceraikanku dan ia ingin memisahkannya dariku. Maka Rasulullah bersabda Kamu lebih berhak memeliharanya, selama kamu tidak menikah (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Hakim mensahihkannya. pasal 156 mengatur mengenai putusnya perkawinan sebagai akibat (cerai gugat). 2. Tidak Dapat Menjalankan Kewajiban Hubungan Intim Suami Istri Menyebabkan Perceraian Menurut Hukum Islam Sejak lahir manusia telah dilengkapi Allah dengan kecenderungan seks (libidoseksual), oleh karena itu untuk menghindari terjadinya perbuatan keji pada diri manusia, maka Allah telah menyediakan wadah yang sudah sesuai dengan ajaran Islam demi terselenggaranya penyaluran tersebut sesuai dengan derajat manusia yakni melalui perkawinan. Akan tetapi perkawinan bukanlah semata-mata untuk menunaikan hasrat biologis saja atau dengan kata lain untuk sekadar memenuhi kebutuhan reproduksi saja. Melainkan perkawinan dalam Islam mempunyai multi aspek yang menyiratkan banyak hikmah didalamnya, salah satunya adalah untuk melahirkan ketentraman dan kebahagiaan hidup yang penuh dengan mawaddah warahmah. Dalam pandangan KH.Ahmad Azhar Basyir, MA, bahwa yang dikatakan menggauli istri yang ma ruf adalah: 1) Sikap menghargai, menghormati, dan perlakuan-perlakuan yang baik, serta meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama, akhlak, dan ilmu pengetahuan yang diperlukan. 2) Melindungi dan menjaga nama baik istri 3) Memenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis istri. Hajat biologis adalah pembawa hidup. Oleh karena itu, suami wajib memperhatikan hak istri dalam hal ini. Ketentraman dan keserasian hidup perkawinan antara lain ditentukan oleh faktor hajat biologis ini. Kekecewaan yang dialami dalam masalah ini dapat 67
menimbulkan keretakan dalam perkawinan, bahkan tidak jarang terjadi penyelewengan istri disebabkan perasaan kecewa dalam hal ini. Hukum positif Indonesia telah menentukan bahwa nafkah atau pemenuhan hidup keluarga menjadi kewajiban suami. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa suami berkewajiban memberi segala keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Kemudian ketentuan tersebut dipertegas oleh Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor 1 Tahun 1991) yang menyebutkan, sesuai dengan penghasilannya suami menanggung 1) Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri dan anak. 2) Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak. 3) Biaya pendidikan bagi anak. Sedangkan perceraian adalah jalan terakhir yang ditempuh antara suami dan istri, karena dalam berumah tangga sudah tidak ada keharmonisan lagi. Kepuasan perkawinan merupakan faktor yang penting dalan kehidupan perkawinan, selain itu kepuasan perkawinan juga menjadi salah satu kriteria dalam mengukur keberhasilan perkawinan. Kepuasan perkawinan secara konseptual memiliki pengertian sebagai suatu pengalaman subjektif, suatu perasaan yang berlaku dan suatu sikap, di mana semua itu didasarkan pada faktor dalam diri individu yang mempengaruhi kualitas yang dirasakan dari interaksi dalam perkawinan. 7 Dalam mewujudkan adanya kepuasan dalam perkawinan yang memiliki interaksi yang kompleks, terdapat beberapa aspekaspek kepuasan perkawinan yang harus 7 Rini, Q.K.., & Retnaningsih. Keterbukaan Diri Dan kepuasan Perkawinan pada Pria Dewasa Awal. Jurnal Psiologi Volume i No. 2 pp. 2008, 152-157. terpenuhi, di antaranya kebutuhan seksual, Dengan demikian adalah beralasan kalau tidak dapat menjalankan kewajiban hubungan intim bisa dijadikan alasan isteri untuk menggugat cerai suami yang tidak dapat memberikan kepuasan seksual. D. PENUTUP 1. Hadits Rasululllah Saw, Sesungguhnya perbuatan mubah tapi dibenci Allah adalah talak (cerai). Namun, bila kondisinya darurat (terpaksa), maka jalan tersebut (cerai) diperbolehkan. Ada beberapa kemungkinan dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian. Salah satunya adalah adanya nusyuz yang bermakna kedurhakaan. Kemungkinan nusyuz tidak hanya datang dari istri, tetapi dapat juga datang dari suami. Selama ini sering dipahami, nusyuz hanya datang dari pihak istri. Kemungkinan suami nusyuz dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi kewajibannya pada istri, baik nafkah lahir maupun nafkah batin, termasuk soal ketidakpuasan hubungan intim. 2. Gugat cerai atau khulu adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri, dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suami. Secara tekstual dalam Al-Qur an, istilah gugat-cerai tidak ditemukan. Namun, QS. An-Nisa /4: 128 di atas dipahami oleh sebagian ulama dibolehkan untuk melakukan gugatcerai terhadap suami jika berorientasikan pada kebaikan (mashlahat).. Berdasarkan alasan perceraian dalam hukum positif di Indonesia,terlihat bahwa ketidakpuasan hubungan intim tidak termasuk alasan perceraian dalam 68
ketentuan hukum. Untuk itu hal demikian inilah yang perlu dipertimbangkan dalam upaya lebih mengkaji lagi serta perlunya interpretasi masa kini. Khulu maupun fasakh adalah dua bentuk talak yang dikategorikan atas inisiatif isteri, dan tak ada perbedaan yang jelas. Ini sebagai bukti bahwa Islam tetap mengakomodasi hak-hak wanita (isteri), walaupun hak dasar talak ada pada suami, namun dalam keadaan tertentu, isteri juga mempunyai hak yang sama, yaitu dapat melakukan gugatan cerai terhadap suaminya melalui khulu maupun fasakh. B.Saran 1. Perlunya mengkonstruk kajian hukum secara universal dan individual terhadap kompilasi hukum-hukum Negara Indonesia dalam bidang, hukum nikah. 2. Berdasarkan alasan penceraian dalam hukum positif di Indonesia terlihat ketidakpuasan hubungan intim menjadikan suatu pijakan dalam problem khulu, untuk itu diperlukan hukum yang menangani studi kasus tersebut. Karena pada dasarnya alasan penceraian dalam kaitannya ketidakpuasan hubungan intim belum tersedia dalam hukum yang ada di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman dan Syahrani, Riduan., Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia ( Bandung : Alumni, 1978). AI-Qodhi As-Syaikh Muhammad Ahmad Kanan, 2009, Tujuan Perkawinan dalam Islam, www.soloboys.blogspot.com Ali, Zainuddin., Hukum Perdata Islam Indonesia (Palu: Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, 2002). Faktor-faktor trjadinya perceraian pada Pengadilan Agama Manado tahun 2012 Ghazaly. Abd Rahman., Fiqh Munakahat. (Jakarta: Prenada Media, 2003). Harahap, M. Yahya., Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 (Medan : Zahir Trading Co, 1975). Hazairin, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (Jakarta: Tintamas, 1986). Putusnya Perkawinan Berdasarkan Hukum Islam, 2008, website : www.hukum Online. Ramulyo, Moh. Idris., Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta : Bumi Aksara, 2002). Rasyid, Sulaiman., Fiqh Islam (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2000). Rini, Q.K., & Retnaningsih. Keterbukaan Diri Dan Kepuasan Perkawinan Pada Pria Dewasa Awal. Jurnal Psikologi Volume i No. 2 pp. 2008. Soemiati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. (Yogyakarta : Liberty, 1999). Sunggono, Bambang., Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan I, 1994. Thalib, Sayuti., Hukum Kekeluargaan Indonesia (Jakarta: UI Press, 1974). Wasis, S.P., Pengantar Ilmu Hukum, UMM Press, Malang, Cetakan I, 2002. Yunus, Mahmud., Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung,1979). 69