POLA INTERAKSI GURU DAN SISWA TUNANETRA SMPLB A BINA INSANI BANDAR LAMPUNG

dokumen-dokumen yang mirip
Pola Interaksi Guru dan Siswa Tunanetra. Rany Widyastuti IAIN Raden Intan; Abstract

POLA PENERIMAAN SISWA TUNANETRA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SMPLB. Keywords: reception pattern, blind students, mathematics learning

KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA TUNARUNGU DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DIDASARKAN PADA TEORI SCHOENFELD

BAB I PENDAHULUAN. luas, pendidikan diartikan sebagai tindakan atau pengalaman yang mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

Siti Khoiriyah 1, Imam Sujadi 2, Pangadi 3

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat.

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS

BAB I PENDAHULUAN. terarah dan mencapai tujuannya. Seperti, pada fase kanak-kanak orang harus

BAB I PENDAHULUAN. anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata rata. Tuna

PENDIDIKAN KHUSUS & PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Putri Shalsa Novita, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah

Bagaimana? Apa? Mengapa?

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Diajukan Oleh : INDAH DWI IRIANDANY A

IDENTIFIKASI PROSES BERPIKIR BERDASARKAN ASIMILASI DAN AKOMODASI DALAM MEMECAHKAN MASALAH GEOMETRI PADA SISWA SMP PENYANDANG TUNANETRA

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sejak dilahirkan mempunyai fitrah sebagai makhluk yang. berguna bagi agama, berbangsa dan bernegara.

BAB I PENDAHULUAN. paling dasar. Di tingkat ini, dasar-dasar ilmu pengetahuan, watak, kepribadian,

Profil Kemampuan Matematis Siswa SLB di Jawa Tengah Berdasarkan Hasil Ujian Nasional Matematika

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki perilaku, sikap dan mengkokohkan kepribadian. Dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERSIAPAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI ADAPTIF SISWA SDLB NEGERI 40 KABUPATEN SOLOK

BAB I PENDAHULUAN. Kelancaran proses pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia kearah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sri Hani Widiyanty, 2013

BAB I PENDAHULUAN. dalam fungsi motorik, afektif maupun kognitifnya. Orang-orang yang fungsi. kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga

BAB I PENDAHULUAN. Hakikat semua manusia yang ada dimuka bumi ini adalah sama. Semua manusia

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. hitung penjumlahan siswa tunagrahita ringan. Peningkatan kemampuan operasi

NIM. K BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

WALIKOTA PROBOLINGGO

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. 1. Sistem Pendidikan Nasional pasal 32 disebutkan bahwa:

METODE PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH LUAR BIASA TUNARUNGU (SLB/B) MELALUI ALAT PERAGA UNTUK PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. memanfaatkan segala potensi yang dimilikinya, Maka sangatlah wajar apabila

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Gilang Angga Gumelar, 2015

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. teknologi informasi dan komunikasi, telah membawa dampak luas dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Kegiatan memajukan pendidikan di Indonesia telah dilakukan antara lain

Partisipasi Penyandang Cacat dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

BAB I PENDAHULUAN. belajarnya. Segala bentuk kebiasaan yang terjadi pada proses belajar harus. terhadap kemajuan dalam bidang pendidikan mendatang.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Seminar Tugas Akhir BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakat. Pendidikan juga merupakan usaha sadar untuk menyiapkan

LAPORAN OBSERVASI SLB-A-YKAB SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Galih Wiguna, 2014

I. PENDAHULUAN. selalu berhubungan dengan tema tema kemanusiaan, artinya pendidikan

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KETERAMPILAN TATA BUSANA PADA ANAK TUNARUNGU KELAS VII SMPLB DI SLB-B PRIMA BHAKTI MULIA KOTA CIMAHI

BAB I PENDAHULUAN. tercantum dalam pasal 31 UUD 1945 (Amandemen 4) bahwa setiap warga negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat saling mengisi dan saling membantu satu dengan yang lain.

Tahap awal. Tahap proses pelaksnaan. Tahap akhir pelaporan

BAB I PENDAHULUAN. 1 SLB Golongan A di Jimbaran. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS. DRS. MUHDAR MAHMUD.M.Pd

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan untuk penguasaan konsep sepanjang kehidupan mereka. Semua indera yang

2014 MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA SISWA TUNANETRA

PEMBINAAN DISIPLIN ANAK TUNA GRAHITA DI SEKOLAH. (Studi Kasus di SLB Pelita Bangsa Kesamben Jombang) SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan membaca yang diperoleh pada tahap membaca permulaan akan

I. PENDAHULUAN. Anak tunagrahita merupakan bagian dari anak berkebutuhan khusus, anak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu sistem yang telah diatur dalam undang-undang. Tujuan pendidikan nasional

BAB I PENDAHULUAN. Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. Sebagaimana yang diamanatkan Undang-

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENGGUNAAN ALAT PERAGA LANGSUNG PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MATERI PECAHAN SEDERHANA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA

BAB I PENDAHULUAN. realitas diri dengan mengoptimalkan semua potensi kemanusiaan. (educational for all) yang tidak diskriminatif.

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperoleh pendidikan dan yang ditegaskan dalam Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Luar Biasa PKK Propinsi Lampung sebagai salah satu sekolah centara

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 157 TAHUN 2014 TENTANG KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan selalu berhubungan dengan tema-tema kemanusiaan.artinya

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan dengan berbagai kesempurnaan.

PROFIL PELAKSANAAN PEMBELAJARAN IPA BAGI ANAK TUNARUNGU DI SLB KABUPATEN SUKOHARJO

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

Transkripsi:

POLA INTERAKSI URU DAN SISWA TUNANETRA SMPLB A BINA INSANI BANDAR LAMPUN Rany Widyastuti IAIN Raden Intan, Lampung, Indonesia Email: rany_2302@yahoo.com Abstrak Siswa tunanetra merupakan siswa yang memiliki keterbatasan dalam penglihatannya. Pada siswa tunanetra, komunikasi yang baik yang dilakukan guru di kelas sangat menentukan keberhasilan suatu pembelajaran. Dengan adanya komunikasi berarti akan terjadi interaksi antara guru dan siswa di kelas. Interaksi dalam pembelajaran berisi tentang percakapan antara guru dan siswa, yang disebut gerak tutur. erak tutur dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu gerak tutur beri informasi (BIn), gerak tutur unjuk informasi (UIn), dan gerak tutur tunda informasi (TIn). Pola interaksi antara guru dan siswa terdiri dari 4 pola, yaitu pola interaksi satu arah, pola interaksi dua arah, pola interaksi dua arah disertai interaksi antar siswa, dan pola interaksi multi arah. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pola interaksi antara guru dengan siswa dan antara siswa dengan siswa yang lainnya pada pembelajaran Matematika kelas VII SMPLB A Bina Insani Bandar Lampung. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Subjek penelitian ini adalah satu orang guru dan seluruh siswa kelas VII SMPLB A Bina Insani Bandar Lampung yang berjumlah 5 orang dimana 1 orang siswa buta ringan (low vision) dan 4 orang siswa buta total. Teknik validitas data yang digunakan adalah dengan triangulasi waktu, yaitu dengan melihat data interaksi antara guru dengan siswa dan antar siswanya pada dua observasi yang dilakukan pada hari yang berbeda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola interaksi guru dan siswa tunanetra dalam pembelajaran Matematika kelas VII SMPLB A Bina Insani Bandar Lampung adalah interaksi dua arah tetapi tanpa disertai interaksi antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya, baik pada kategori beri informasi (BIn), unjuk informasi (UIn), maupun tunda informasi (TIn). Kata Kunci : Pola Interaksi, Siswa Tunanetra PENDAHULUAN Berdasarkan Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 5 ayat 2 mengatakan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, mental, emosional, intelektual dan/atau sosial berhak me mnbvmperoleh pendidikan khusus. UU tersebut menjelaskan bahwa semua warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak meskipun mereka memiliki kelainan khusus, seperti tunanetra (gangguan pada indera penglihatan), tunarungu (gangguan pada indera pendengaran), tunagrahita (keterbelakangan mental), tunawicara (hambatan dalam dalam berbicara), tunalaras (hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol 174

sosial), tunadaksa (cacat tubuh), dan mereka yang memiliki gangguan perilaku. Mereka yang memiliki kelainan khusus ini berhak untuk mendapatkan pendidikan khusus. Salah satu upaya yang sudah dilakukan pemerintah untuk menanggapi pernyataan tersebut adalah dengan mendirikan Sekolah Luar Biasa (SLB). SLB merupakan lembaga pendidikan formal yang diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kebutuhan khusus atau penyandang cacat. SLB memiliki berbagai jenisnya sesuai dengan fungsi dan kebutuhannya, salah satunya adalah SLB bagian A (SLB A). SLB A merupakan sekolah luar biasa yang diperuntukkan bagi siswa yang memiliki gangguan pada indera penglihatannya atau tidak berfungsinya indera penglihatan seseorang. Siswa tunanetra merupakan siswa yang memiliki gangguan terhadap indera penglihatannya. Menurut Brieland (dalam Mohammad Efendi 2009) terdapat beberapa perbedaan kemampuan bicara antaran siswa tunanetra dengan siswa awas, yaitu sebagai berikut: 1. Siswa tunanetra memiliki lebih sedikit variasi vokal dibandingkan siswa awas. 2. Siswa tunanetra berbicara dengan intonasi yang keras 3. Siswa tunanetra cenderung berbicara lambat 4. Siswa tunanetra kurang efektif dalam menggunakan gerak tubuh dan mimik Menurut Ormrod (2008), siswa tunanetra dikategorikan dalam 2 kategori, yaitu siswa dengan buta total dan low vision. Siswa dengan kategori buta total hanya mampu melihat pola-pola gelap dan terang yang kabur. Siswa dengan kategori low vision memiliki medan penglihatan yang terbatas yang membuatnya melihat pada area yang sangat kecil. Siswa dengan kedua kategori tersebut berhak untuk mendapatkan pendidikan dengan jalur khusus sesuai dengan kebutuhan dan karakteristiknya. Pada penelitian ini, siswa tunanetra yang digunakan adalah siswa dengan kategori buta total dan low vision. Pada siswa normal, mereka menggunakan indera penglihatan mereka untuk membaca, sedangkan pada siswa tunanetra, mereka menggunakan cara khusus untuk membaca. Menurut Mohammad Efendi (2009), siswa tunanetra belajar membaca dengan menggunakan huruf Brille. Cara ini ditemukan oleh seorang ilmuwan yang bernama Braille. Huruf Brille terdiri dari enam buah titik timbul, dua titik dalam posisi vertikal dan tiga titik dalam posisi horizontal. Siswa membaca huruf Brille tersebut dengan cara meraba menggunakan jari-jari tangannya dan biasanya lebih efisien 175

menggunakan jari kanan dengan yang lebih dominan digunakan adalah jari tengah dan jari telunjuk. Dalam menuliskan lambang dan simbol Matematika, siswa tunanetra menggunakan buku dan alat tulis khusus yang disebut dengan slate dan stilus. Slate merupakan penggaris berlubang yang digunakan untuk menjepit kertas. Stilus merupakan pena dengan ujung tumpul yang digunakan untuk membentuk huruf-huruf timbul. Salah satu SLB bagian A yang ada di Bandar Lampung adalah SLB A Bina Insani. SLB A Bina Insani terdiri dari beberapa jenjang pendidikan, salah satunya adalah SMPLB A. uru yang mengajar di SMPLB A Bina Insani adalah guru khusus yang memang dipersiapkan dalam pendidikan khusus. Dalam pembelajarannya, baik dari segi mata pelajarannya maupun isi materinya, SMPLB A Bina Insani mengacu pada Kurikulum 2013 seperti sekolah yang lainnya, hanya saja dalam materi-materi tertentu standar pencapaian keberhasilannya tidak setinggi sekolah dengan siswa normal. Salah satu contohnya adalah pada mata pelajaran Matematika. Materi Matematika yang dipelajari di SMPLB A Bina Insani sama dengan materi Matematika di sekolah umum, tetapi standar pencapaian keberhasilannya dibuat lebih rendah dari sekolah umum. Matematika merupakan suatu mata pelajaran yang terstruktur, terorganisasi, dan berjenjang, yang artinya antara materi yang satu dengan materi yang lainnya saling berhubungan atau berkaitan. Seperti yang sering kita dengar bahwa di sekolah umum sebagian besar siswa mengalami kesulitan, bahkan takut pada mata pelajaran Matematika. Hal ini juga yang terjadi pada siswa tunanetra di SMPLB A Bina Insani Bandar Lampung. Pada siswa normal, mereka dapat menggunakan indera penglihatannya sebagai media utama mereka untuk belajar. Sedangkan pada siswa tunanetra, mereka menggunakan indera peraba dan pendengaran sebagai media utama mereka untuk belajar di kelas. Dalam pembelajaran Matematika biasanya siswa akan merasa lebih mudah memahami suatu materi jika menggunakan alat peraga atau media Matematika dalam pembelajarannya. Hal ini yang membuat siswa tunanetra mengalami kesulitan yang lebih tinggi daripada siswa normal karena siswa harus meraba alat peraga atau media yang akan digunakannya dan membayangkan bentuk alat peraga tersebut seperti 176

apa. Untuk melakukan itu semua, peran guru sangat penting diperlukan selama pembelajaran berlangsung, terutama peran guru dalam berkomunikasi dengan siswanya. Slameto (2010) berpendapat bahwa belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa belajar akan terjadi jika terdapat interaksi di dalamnya, terutama pada saat pembelajaran di kelas. Interaksi merupakan sesuatu yang sangat penting bagi pembentukan dan pengembangan pribadi serta untuk berkomunikasi dengan orang lain. Interaksi antara guru dan siswa di dalam kelas bisa menjadi salah satu faktor pendorong untuk keberhasilan siswa. Bagi siswa tunanetra, interaksi dengan guru merupakan sesuatu yang penting selama pembelajaran berlangsung. Dengan adanya interaksi berarti akan terjadi komunikasi antara siswa dengan guru. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa salah satu media utama bagi siswa tunanetra dalam pembelajaran adalah dari indera pendengarannya sehingga komunikasi yang baik sangat diperlukan untuk siswa tunanetra. Dengan komunikasi yang baik dari guru secara otomatis akan berdampak pada hasil belajar yang baik pula bagi siswa tersebut, begitu juga sebaliknya. Berdasarkan pendapat dari Didi Suherdi (2012) bahwa pendidikan pada dasarnya adalah dialog antara siswa dan guru. Selain itu, suatu proses pembelajaran akan disebut sebagai proses kegiatan interaksi yang meliputi dua unsur, yaitu siswa sebagai pihak yang belajar dan guru sebagai pihak yang mengajar, dengan siswa sebagai subjek pokoknya. Menurut Edi Suardi (dalam Sardiman, 2011), interaksi dalam proses pembelajaran memiliki ciri-ciri, yaitu memiliki tujuan, terdapat prosedur (jalannya interaksi), ditandai dengan satu penggarapan materi yang khusus, adanya aktivitas siswa, guru sebagai pembimbing, dan adanya kedisiplinan dalam pembelajaran. Menurut Flenders, ada beberapa komponen pola interaksi antara guru dengan siswa, yaitu sebagai berikut. Tabel 1 Komponen Pola Interaksi uru dan Siswa Komunikator Efek Interaksi Komponen Interaksi uru berbicara Pengaruh langsung 1. Menyajikan pelajaran. 2. Memberikan pengarahan kepada siswa. 3. Mengadakan kritik, saran dan bimbingan kepada siswa. 177

Siswa Berbicara Pengaruh tidak langsung 1. Siswa merespon terhadap pelajaran yang disajikan. 2. Inisiatif siswa 3. Diam dan ragu (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007b) Nana Sudjana dan Moh. Uzer Usman (dalam Syaiful Bahri Djamarah, 2010) mengemukakan bahwa dalam interaksi pembelajaran ada 4 pola interaksi yang mungkin saja terjadi, yaitu: 1. Pola interaksi satu arah yang menempatkan guru sebagai pemberi aksi dan siswa sebagai penerima aksi, dimana guru yang aktif dan siswa yang pasif. Mengajar dipandang sebagai kegiatan menyampaikan bahan pelajaran. S1 S5 S2 S4 S3 ambar 1. Pola Interaksi Satu Arah 2. Pola interaksi dua arah yang menempatkan guru sebagai pemberi aksi atau penerima aksi. Demikian juga siswa, bisa sebagai penerima aksi bisa pula sebagai pemberi aksi. Antara guru dengan siswa akan terjadi dialog, tidak ada interaksi antar siswa. S1 S5 S2 S3 S4 ambar 2. Pola Interaksi Dua Arah 178

3. Pola interaksi dua arah yang disertai dengan interaksi antar siswa, dalam hal ini interaksi tidak hanya guru dan siswa tetapi juga interaksi terjadi antara siswa dengan siswa yang lainnya. S1 S5 S2 S3 S4 ambar 3. Pola Interaksi Dua Arah Disertai Interaksi Antar Siswa 4. Pola Interaksi multi arah (optimal), dalam hal ini interaksi bebas tanpa batas antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa yang lainnya. S1 S5 S2 S3 S4 ambar 4. Pola Interaksi Multi Arah Interaksi antara guru dan siswa tunanetra menggunakan komunikasi verbal yang berisi percakapan antara guru dan siswa. Percakapan tersebut disebut dengan gerak tutur. Data pada penelitian ini yaitu dengan memberikan label pada setiap gerak tutur yang dilakukan, yang selanjutnya akan ditentukan struktur baku tuturnya. erak tutur pada penelitian ini akan dikategorikan menjadi 3, yaitu: a. Beri Informasi (BIn) Beri informasi merupakan gerak tutur yang berupa pemberian informasi yang dilakukan oleh guru atau penilaian atas informasi yang diberikan oleh siswa. 179

b. Unjuk Informasi (UIn) Unjuk informasi merupakan gerak tutur yang berupa jawaban siswa terhadap pertanyaan dari guru, atau pertanyaan dari siswa kepada guru. Kedua-duanya menunjukkan derajat pengetahuan siswa mengenai sebuah informasi. c. Tunda Informasi (TIn) Tunda informasi merupakan gerak tutur berupa pertanyaan yang sifatnya menguji, biasanya diajukan oleh guru kepada siswanya. Pertanyaan tersebut merupakan pemberian informasi yang sengaja ditunda untuk menguji sejauh mana siswa telah memiliki pengetahuan mengenai informasi tersebut. (Didi Suherdi, 2009) Berdasarkan penjelasan tersebut maka penulis ingin melihat bagaimanakah pola interaksi antara guru dan siswa tunanetra kelas VII SMPLB A Bina Insani Bandar Lampung, khususnya pada mata pelajaran Matematika. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah guru Matematika dan seluruh siswa kelas VII SMPLB A Bina Insani Bandar Lampung. Seluruh siswa di kelas VII tersebut berjumlah 5 orang siswa, yang terdiri dari 1 orang siswa buta ringan (low vision) dan 4 orang siswa buta total. Data dalam penelitian ini adalah interaksi guru mata pelajaran Matematika dan siswa tunanetra yang diperoleh dari hasil transkripsi rekaman saat proses pembelajaran di kelas terjadi. Uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian dilakukan dengan cara meningkatkan ketekunan pengamatan dan triangulasi waktu. Meningkatkan ketekunan pengamatan merupakan suatu cara melakukan pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan untuk mendapatkan kepastian data dan urutan peristiwa agar dapat direkam secara pasti dan sistematis. Rekaman pada saat proses pembelajaran dilakukan dua kali pada hari yang berbeda untuk subjek yang sama. Teknik analisis data yang digunakan adalah menggunakan konsep Miles dan Huberman, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. (Sugiyono, 2011). Dari hasil rekaman yang telah dilakukan, selanjutnya membuat transkripsi dari hasil dua rekaman tersebut. Dari hasil transkripsi tersebut, dilakukan reduksi data terhadap data-data yang tidak diperlukan pada penelitian ini. Selanjutnya melakukan pemberian label gerak tutur dan baku tutur pada masing-masing percakapan yang terdiri 180

dari 3 kategori, yaitu baku tutur yang diawali dengan gerak tutur beri informasi (BIn), baku tutur yang diawali dengan gerak tutur unjuk informasi (UIn), dan baku tutur yang diawali dengan gerak tutur tunda informasi (TIn). Setelah dilakukan pelabelan gerak tutur, data tersebut dianalisis untuk mengetahui bagaimana interaksi yang terjadi antara guru dan siswa tunanetra, yang hasil akhirnya nanti dapat digunakan untuk menggambarkan pola interaksi yang terjadi di sekolah tersebut. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis data diperoleh hasil data interaksi guru dan siswa tunanetra pada observasi pertama yang terdiri dari 192 gerak tutur dan pada observasi kedua terdiri dari 354 gerak tutur. Pada gerak tutur tersebut dikategorikan menjadi 3 kategori, yaitu baku tutur yang diawali dengan gerak tutur beri informasi (BIn), baku tutur yang diawali dengan gerak tutur unjuk informasi (UIn), dan baku tutur yang diawali dengan gerak tutur tunda informasi (TIn). Interaksi uru dan Siswa pada Kategori BIn Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dari dua observasi pada kategori beri informasi (BIn) diperoleh data interaktor yang saling berinteraksi antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa yang lainnya adalah sebagai berikut. Tabel 2. Data Interaksi uru dan Siswa pada Kategori BIn No Data Interaksi Observasi Pertama 1. Terjadi interaksi antara guru dengan seluruh siswa 2. Tidak terjadi interaksi antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya Data Interaksi Observasi Kedua Terjadi interaksi antara guru dengan seluruh siswa Tidak terjadi interaksi antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa data interaksi antara observasi pertama dan observasi kedua sama. Pada kategori BIn terjadi interaksi antara guru dengan seluruh siswa, baik siswa S1, S2, S3, S4, maupun S5. Interaksi tersebut tidak hanya terjadi antara guru dengan seluruh siswa saja, tertapi juga terjadi interaksi antara seluruh siswa dengan guru. Pada Tabel 2 juga dapat diketahui bahwa tidak terjadi interaksi antar siswanya, siswa S1 tidak melakukan interaksi dengan siswa S2, S3, S4, S5; siswa S2 181

tidak melakukan interaksi dengan siswa S1, S3, S4, S5; siswa S3 tidak melakukan interaksi dengan siswa S1, S2, S4, S5; siswa S4 tidak melakukan interaksi dengan siswa S1, S2, S3, S5; siswa S5 tidak melakukan interaksi dengan siswa S1, S2, S3, S4. Interaksi yang terjadi antar siswanya hanya interaksi biasa saja, bukan interaksi yang berisi tentang pengetahuan dalam pembelajaran Matematika. Dengan demikian dapat digambarkan pola interaksi antara guru dan siswa pada kategori BIn sebagai berikut. S1 S2 S3 S4 S5 ambar 5. Pola Interaksi uru dan Siswa pada Kategori BIn Interaksi uru dan Siswa pada Kategori UIn Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dari dua observasi pada kategori unjuk informasi (UIn) diperoleh data interaktor yang saling berinteraksi antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa yang lainnya adalah sebagai berikut. Tabel 3. Data Interaksi uru dan Siswa pada Kategori UIn No Data Interaksi Observasi Pertama Data Interaksi Observasi Kedua 1. Terjadi interaksi antara guru dengan seluruh siswa Terjadi interaksi antara guru dengan seluruh siswa 2. Tidak terjadi interaksi antara siswa yang satu dengan yang lainnya Tidak terjadi interaksi antara siswa yang satu dengan yang lainnya Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa data interaksi antara observasi pertama dan observasi kedua sama. Pada kategori UIn terjadi interaksi antara guru dengan seluruh siswa, baik siswa S1, S2, S3, S4, maupun S5. Interaksi tersebut tidak hanya terjadi antara guru dengan seluruh siswa saja, tertapi juga terjadi interaksi antara seluruh siswa dengan guru. Pada Tabel 2 juga dapat diketahui bahwa tidak terjadi interaksi antar siswanya, siswa S1 tidak melakukan interaksi dengan siswa S2, S3, S4, S5; siswa S2 tidak melakukan interaksi dengan siswa S1, S3, S4, S5; siswa S3 tidak melakukan interaksi dengan siswa S1, S2, S4, S5; siswa S4 tidak melakukan interaksi dengan siswa 182

S1, S2, S3, S5; siswa S5 tidak melakukan interaksi dengan siswa S1, S2, S3, S4. Interaksi yang terjadi antar siswanya hanya interaksi biasa saja, bukan interaksi yang berisi tentang pengetahuan dalam pembelajaran Matematika. Dengan demikian dapat digambarkan pola interaksi antara guru dan siswa pada kategori UIn sebagai berikut. S1 S2 S3 S4 S5 ambar 6. Pola Interaksi uru dan Siswa pada Kategori UIn Interaksi uru dan Siswa pada Kategori TIn Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dari dua observasi pada kategori tunda informasi (TIn) diperoleh data interaktor yang saling berinteraksi antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa yang lainnya adalah sebagai berikut. Tabel 4. Data Interaksi uru dan Siswa pada Kategori TIn No Data Interaksi Observasi Pertama Data Interaksi Observasi Kedua 1. Terjadi interaksi antara guru dengan seluruh siswa Terjadi interaksi antara guru dengan seluruh siswa 2. Tidak terjadi interaksi antara siswa yang satu dengan yang lainnya Tidak terjadi interaksi antara siswa yang satu dengan yang lainnya Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa data interaksi antara observasi pertama dan observasi kedua sama. Pada kategori TIn terjadi interaksi antara guru dengan seluruh siswa, baik siswa S1, S2, S3, S4, maupun S5. Interaksi tersebut tidak hanya terjadi antara guru dengan seluruh siswa saja, tertapi juga terjadi interaksi antara seluruh siswa dengan guru. Pada Tabel 3 juga dapat diketahui bahwa tidak terjadi interaksi antar siswanya, siswa S1 tidak melakukan interaksi dengan siswa S2, S3, S4, S5; siswa S2 tidak melakukan interaksi dengan siswa S1, S3, S4, S5; siswa S3 tidak melakukan interaksi dengan siswa S1, S2, S4, S5; siswa S4 tidak melakukan interaksi dengan siswa S1, S2, S3, S5; siswa S5 tidak melakukan interaksi dengan siswa S1, S2, S3, S4. 183

Interaksi yang terjadi antar siswanya hanya interaksi biasa saja, bukan interaksi yang berisi tentang pengetahuan dalam pembelajaran Matematika.Dengan demikian dapat digambarkan pola interaksi antara guru dan siswa pada kategori TIn sebagai berikut. S1 S2 S3 S4 S5 ambar 7. Pola Interaksi uru dan Siswa pada Kategori TIn Berdasarkan ambar 1, 2, dan 3 dapat dikatakan bahwa pola interaksi guru dan siswa tunanetra kelas VII SMPLB A Bina Insani Bandar Lampung adalah pola interaksi dua arah, tanpa disertai interaksi antara siswa yang satu dengan yang lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Nana Sudjana dan Moh. Uzer Usman yang berpendapat bahwa pola interaksi dua arah terjadi jika guru bertindak sebagai pemberi atau penerima aksi dan siswa juga bisa bertindak sebagai penerima atau pemberi aksi tetapi tidak disertai dengan interaksi antar siswa. Dari pola interaksi BIn, UIn, dan TIn tersebut maka dapat digambar pola interaksi guru dan siswa tunanetra kelas VII SMPLB A Bina Insani Bandar Lampung adalah sebagai berikut. S1 S2 S3 S4 S5 ambar 8. Pola Interaksi uru dan Siswa Kelas VII SMPLB A Bina Insani 184

Keterangan gambar : : Kategori beri informasi (BIn) : Kategori unjuk informasi (UIn) : Kategori tunda informasi (TIn) Selain melihat dari hasil analisis data pada pembelajaran Matematika, peneliti juga melakukan wawancara dengan guru Matematika kelas VII SMPLB A Bina Insani Bandar Lampung. Dari hasil wawancara diketahui bahwa metode yang digunakan guru pada saat pembelajaran di kelas berlangsung adalah metode ceramah dimana guru yang lebih aktif untuk memberikan informasi. Salah satu alasan guru menggunakan metode ini karena setiap siswa di kelas VII memiliki kecerdasan dan daya tangkap yang berbeda-beda. Ini mengakibatkan guru harus menjelaskan materi dengan perlahan dan harus berulang, serta guru yang harus lebih aktif untuk memberikan informasi. Dari 5 orang siswa di kelas VII tersebut, terdapat 1 orang yang termasuk dalam kategori buta ringan (low vision). Jika dilihat dari hasil belajar Matematika di kelas VII maka dapat diketahui bahwa siswa S1 tersebut memiliki tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dari siswa yang lainnya. Dari hasil rekaman yang telah dilakukan juga terlihat bahwa siswa S1 lebih dominan selama pembelajaran berlangsung, baik untuk mengajukan pertanyaan kepada guru maupun menjawab pertanyaan dari guru. KESIMPULAN Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa pola interaksi guru dan siswa tunanetra dalam pembelajaran Matematika kelas VII SMPLB A Bina Insani Bandar Lampung adalah interaksi dua arah tetapi tanpa disertai interaksi antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya, baik pada kategori beri informasi (BIn), unjuk informasi (UIn), maupun tunda informasi (TIn). Pola interaksinya digambarkan sebagai berikut. 185

S1 S2 S3 S4 S5 ambar 8. Pola Interaksi uru dan Siswa Kelas VII SMPLB A Bina Insani Keterangan gambar : : Kategori beri informasi (BIn) : Kategori unjuk informasi (UIn) : Kategori tunda informasi (TIn) DAFTAR PUSTAKA Didi Suherdi. 2009. Mikroskop Pedagogik Alat Analisis Belajar Mengajar. Bandung: CELTICS Press. Didi Suherdi. 2012. The Use of Quality Pedagogic Language in The Teaching of Englis in Indonesian Setting. International Journal for Educational Studies. 4(2): 111-124. Mohammad Efendi. 2009. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Ormrod, J.E. 2008. Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang. Penerjemah: Amitya Kumara. Jakarta: Erlangga. Sardiman A. M. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja rafindo Persada. Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. 186

Syaiful Bahri Djamarah. 2010. uru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta. Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. 2007b. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian 4. Bandung: PT Imperial Bhakti Utama. 187