ANALISIS SEKUENS D-LOOP DNA MITOKONDRIA SAPI BALI DAN BANTENG DIBANDINGKAN DENGAN BANGSA SAPI LAIN DI DUNIA

dokumen-dokumen yang mirip
MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth

3. METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7

The Origin of Madura Cattle

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Daerah D-loop M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (-)

PRAKATA. Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. BAHAN DAN METODE. Betina BEST BB NB RB. Nirwana BN NN RN. Red NIFI BR NR RR

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel

4.1. Alat dan Bahan Penelitian a. Alat Penelitian. No. URAIAN ALAT. A. Pengambilan sampel

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan No. Bangsa Sapi Jenis Kelamin

BAB III METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

MATERI DAN METODE. Materi

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut:

HASIL DAN PEMBAHASAN. DNA Genom

BAB III METODE PENELITIAN

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

3 Metodologi Penelitian

PENDAHULUAN. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2

II. BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

BAB III METODE PENELITIAN. amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan teknik PCR;

BAB III METODE PENELITIAN

II. MATERI DAN METODE. Tempat pengambilan sampel daun jati (Tectona grandis Linn. f.) dilakukan di

1. Kualitas DNA total Udang Jari (Metapenaeus elegans De Man, 1907) Hasil. Tangkapan dari Laguna Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah dengan

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Sapi Perah FH

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Sampel Pengambilan Sampel Ekstraksi DNA Primer

BAB 4. METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang bertujuan untuk

III. MATERI DAN METODE. Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim

III. Bahan dan Metode

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode

BAB III BAHAN DAN METODE

PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA

BAB III METODE PENELITIAN

BIO306. Prinsip Bioteknologi

4 Hasil dan Pembahasan

Lampiran 1 Ekstraksi dan isolasi DNA dengan metode GeneAid

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

MATERI DAN METODE. Materi

BAB III METODE PENELITIAN

III. MATERI DAN METODE A.

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian dasar yang. dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1998).

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

Deteksi DNA Seara Visual Dengan Teknik Elektroforesis

BAB III METODE PENELITIAN

Asam Asetat Glacial = 5,7 ml EDTA 0,5 M ph 8.0 = 10 ml Aquades ditambahkan hingga volume larutan 100 ml

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknik-teknik Dasar Bioteknologi

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup dari penelitian ini meliputi bidang ilmu sitogenetika.

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA

KERAGAMAN GENETIK KAMBING BOER BERDASARKAN ANALISIS SEKUEN DNA MITOKONDRIA BAGIAN D-LOOP. Skripsi

Hubungan Kekerabatan Sapi Aceh dengan Menggunakan Daerah Displacement-loop

METODE. Materi. Tabel 1. Jumlah Sampel DNA yang Digunakan dan Asal Pengambilan Sampel Darah.

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tubuh manusia tersusun atas sel yang membentuk jaringan, organ, hingga

BAB III METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein

ANALISIS VARIASI NUKLEOTIDA DAERAH D-LOOP DNA MITOKONDRIA PADA SATU INDIVIDU SUKU BALI NORMAL

Polimorfisme Lokus Mikrosatelit RM185 Sapi Bali di Nusa Penida

KATAPENGANTAR. Pekanbaru, Desember2008. Penulis

Materi Dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Bahan dan Alat

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia

LAMPIRAN. Lampiran 1. Deskripsi Pembuatan Larutan Stok dan Buffer

BABm METODE PENELITIAN

Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri. Isolasi DNA kromosom bakteri. Kloning DNA

BAHAN DAN METODE. Analisis Kekerabatan Rayap Tanah M. gilvus dengan Pendekatan Perilaku

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif untuk mengetahui

BAB III METODE PENELITIAN

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK MUTAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) HASIL PERLAKUAN MUTAGEN KOLKISIN BERDASARKAN PENANDA MOLEKULER RAPD

POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

ANALISIS JARAK GENETIK DAN FILOGENETIK KAMBING JAWA RANDU MELALUI SEKUEN DAERAH DISPLACEMENT LOOP (D-LOOP) DNA MITOKONDRIA.

Transkripsi:

ANALISIS SEKUENS D-LOOP DNA MITOKONDRIA SAPI BALI DAN BANTENG DIBANDINGKAN DENGAN BANGSA SAPI LAIN DI DUNIA ANAK AGUNG NGURAH GEDE DWINA WISESA 1, TJOK GEDE OKA PEMAYUN 2, I GUSTI NGURAH KADE MAHARDIKA 1 1) Lab Biomedik, 2) Lab Reproduksi, Indonesian Biodiversity Research Center Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana E-mail: wisesa89@gmail.com ABSTRACT The result of this study indicates the D-loop of mtdna of bali cattle is homologous with banteng. Two haplotypes can be identified. The sequence is different from that of Bos taurus, Bos indicus, Bos javanicus, and Bos gaurus. Further research needs to be done with a representative sample for the entire population in Bali by targeting more than one locus. In addition, the effective population size of bali cattle needs to be known to improve the genetic quality of bali cattle. Key word: Bali cattle (Bos sondaicus), banteng, D-loop mitochondrial DNA, sequences. PENDAHULUAN Sapi bali (Bos sondaicus) adalah jenis sapi asli Indonesia yang diduga dari keturunan banteng yang sudah didomestikasi dan merupakan plasma nutfah ternak asli Indonesia (Wibisono, 2010). Sapi bali juga mudah beradaptasi di lingkungan yang buruk dan tidak selektif terhadap makanan. Selain itu, sapi bali cepat beranak, jinak, mudah dikendalikan dan memiliki daya cerna terhadap makanan serat yang baik (Batan, 2006). Melihat perkembangannya sapi bali akan menjadi sapi potong utama di Indonesia. 281

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli sebelumnya membuktikan bahwa sapi bali mengalami penurunan kualitas (Feradis, 2009). Fakta ini ditunjukkan dengan tidak optimalnya fungsi reproduksi sapi bali seperti calving interval yang panjang, tingginya kejadian silent heat (estrus tenang) dan estrus post partum yang panjang (Nitis et al., 1999). Dari segi lain, hubungan kekerabatan sapi bali dengan banteng mulai dipertanyakan. Dari penelitian yang dilakukan oleh Nijman et al. (2003) menyebutkan bahwa sekuens sapi bali yang ada di Malaysia hampir identik (99,5%) dengan sapi zebu. Sementara, sapi madura hampir identik (99,7%) dengan banteng. Namun Mohamad et al. (2009) mengatakan bahwa, dari 3 pulau yang berbeda di Indonesia, sapi bali asli memiliki sekuen DNA mitokondria yang sama dengan banteng. Sampai saat ini data sekuens DNA mitokondria sapi bali dan banteng masih sangat terbatas. Data keragaman genetik sapi bali sebagai sumber bibit sapi bali asli juga tidak tersedia di Genbank. Informasi genetik yang diperoleh dari sapi bali yang diternakkan saat ini dibandingkan dengan sekuens genetik banteng akan membuktikan bahwa sapi bali memang benar berasal dari banteng. Untuk memperoleh informasi genetik sapi bali, penelitian dilakukan pada fragmen DNA mitokondria (mtdna). Analisis mtdna dapat digunakan untuk mengetahui variabilitas genetik suatu populasi, karena analisis mtdna lebih sensitif dibandingkan dengan analisis protein yang sudah banyak dilakukan (Iguchi et al. dalam Suwarminiwati, 2008). Berdasarkan dari pertimbangan diatas, penelitian ini direncanakan untuk mengungkap struktur genetik sapi bali dan banteng dan hubungannya dengan breed sapi lain di dunia (Bos taurus, Bos indicus, Bos javanicus dan Bos gaurus) yang diperoleh dari Genbank. Penelitian ini dilakukan dengan cara analisis DNA mitokondria dengan teknik molekuler PCR-Sequencing. METODE DAN METODE Pengambilan Sampel Darah Sapi Bali Sampel darah sapi diambil sebanyak 4 ml. Pengambilan sampel darah sapi dilakukan pada bagian leher tepatnya di vena jugularis externa dengan menggunakan jarum dan ditampung pada tabung venoject yang mengandung lithium heparin sebagai 282

antikoagulan. Pengambilan sampel darah sapi bali ini merupakan material yang akan digunakan untuk isolasi DNA. Pengambilan Sampel Hati Sapi Bali Sampel hati sapi bali diambil sebanyak 10 gram. Sampel hati yang telah diambil dimasukkan ke tabung eppendorf. Pengambilan sampel hati sapi bali ini merupakan material yang akan digunakan untuk isolasi DNA. Pengambilan Sampel Feses Banteng Sampel feses banteng diambil sebanyak 100 gram. Sampel feses banteng diambil yang paling segar. Sampel feses yang telah diambil dimasukkan ke tabung yang berisi ethanol. Pengambilan sampel feses banteng ini merupakan material yang akan digunakan untuk isolasi DNA. Pemisahan Sel Darah Putih Sapi Bali Darah sapi diambil 1 ml, dimasukkan kedalam tabung eppendorf lalu disentrifugasi dengan kecepatan 2000-3000 rpm selama 1 menit. Supernatan dibuang kemudian ditambahkan aquabidest dan dihomogenkan dengan cara mengocok membentuk angka delapan. Larutan disentrifugasi dengan kecepatan 2000-3000 rpm selama 1 menit. Supernatan dibuang, sedangkan endapannya (berupa lendir) disimpan didalam freezer untuk selanjutnya digunakan untuk isolasi DNA. Cara Ekstraksi DNA dari Sel Darah Putih dan Hati Sapi Bali dan Feses Banteng Sel darah putih yang tadi diisolasi dipanaskan pada suhu 100 0 C selama 5 menit kemudian dihomogenkan dengan mikropastel. Sedangkan untuk hati dan feses diambil 0,1 gram dan kemudian digerus dengan mikropastel. Masing-masing ditambahkan dengan 180 µl digestion buffer dan dihomogenkan kembali dengan mikropastel. Setelah homogen, 20 µl protein K ditambahkan ke dalamnya, kemudian diinkubasikan selama 1-4 jam dalam suhu 55 0 C dan sesekali divorteks lalu disentrifugasi dengan kecepatan maksimum (14.000 rpm) selama 3 menit. Supernatannya diambil dan dimasukkan ke tabung baru dan tambahkan 20 µl RNAse A, kemudian divorteks dan diinkubasi selama 2 menit. Sebanyak 200 µl binding buffer ditambahkan kedalam tabung dan kemudian divorteks. Selanjutnya, sebanyak 283

200 µl ethanol ditambahkan dan isinya dipindahkan ke spin collum. Setelah itu, spin collum disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit. Cairan yang keluar (flow) dibuang, kemudian tabung dipindahkan ke spin collum baru. Sebanyak 500 µl wash buffer 1 lalu ditambahkan ke dalam spin dan disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit. Flow dibuang dan 500 µl wash buffer 2 ditambahkan kedalamnya dan disentrifugasi dengan kecepatan maksimum (14.000 rpm) selama 3 menit. Flownya dibuang, dan dipindahkan ke tabung 1,5 ml, kemudian ditambahkan dengan 150 µl elution buffer. Campuran diinkubasikan selama 1 menit dan disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 1 menit, dan selanjutnya disimpan dalam suhu -20 0 C sampai dipergunakan lebih lanjut. PCR dan Sekuensing Teknik PCR pada penelitian ini menggunakan metode Kit invitrogen. Teknik PCR dilakukan dengan Taq DNA polimerase (invitrogen). PCR dilakukan dalam kondisi 0,2 mm dntp, 1,6 mm MgSO4, dengan buffer yang disediakan oleh produsen. Ke dalam tabung PCR dengan volume 200 µl dimasukkan 1-3 µl DNA yang telah diisolasi dan ditambahkan dengan 0,3 µm dari masing-masing primer. Setelah penambahan enzim, tabung PCR dimasukkan ke dalam Personal Thermal Cycler MJ Mini BIO-RAD. Tabung PCR dimasukkan setelah thermocycler mencapai suhu 95 0 C. Mesin penyiklus panas diprogram dengan kondisi 95 0 C selama 7 menit. Kemudian dilanjutkan dengan 40 siklus dalam kondisi 95 0 C selama 30 detik, kemudian 55 0 C selama 40 detik, sesuai dengan primer yang digunakan dan elongasi pada suhu 72 0 C selama 1,5 menit. Untuk memperoleh fragmen yang sempurna, inkubasi akhir pada 72 0 C dilakukan selama 10 menit. Setelah PCR, 25% dari volume produk ditambahkan dengan 1-2 µl loading dye (Bromphenol-blue dan Cycline Cyanol) dan selanjutnya dielektroforesis pada gel agarose 1% yang telah diisi etidium bromide dengan konsentrasi 25 µg/ml bersama dengan marker 100 bp DNA Ladder (invitrogen) dengan tegangan 100 V selama 30 menit. Visualisasi DNA dilakukan dengan UV dan didokumentasikan dengan kamera dan film Polaroid. Setiap produk PCR dianalisis menggunakan reaksi sekuensing rantai tunggal (single-stranded sequencing reaction) dan dianalisis dengan menggunakan automated cycle sequencing di Lembaga Eijkman, Jakarta. 284

Analisis Data Sekuen diurutkan (aligned) menggunakan Clustal W dalam program MEGA 5 (Tamura et al., 2011 b ). Hasil sekuen daerah mtdna D-loop setiap haplotipe dibandingkan dengan sekuen jenis sapi Bos taurus, Bos indicus, Bos javanicus dan Bos gaurus yang diunduh dari GenBank. Semua analisis genetik dilakukan dengan program MEGA 5 (Tamura et al., 2011). HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Daerah D-loop DNA Mitokondria Lima belas sampel fragmen D-loop DNA mitokondria (mtdna) dapat diekstraksi dengan baik dari sel darah putih 4 ekor sapi bali, dari hati 9 ekor sapi bali dan dari feses 2 ekor banteng. Seluruh mtdna D-loop sapi bali dan banteng yang diuji tersebut dapat diamplifikasi dengan PCR menggunakan primer BovmtFP 5 -CATCTAAAACGGTCCATTCTTTCCTC-3 dan BovmtBP 5 - ACTCATCTAGGCATTTTCAGT-3 yang didisain di Laboratorium Biomedik FKH UNUD. Panjang produk PCR yang diamplifikasi adalah sekitar 500 bp. Hasil elektroforesis produk PCR disajikan pada Gambar 4.1. Gambar 1.1 Elektroforesis Produk PCR dengan Gel Agarose 1% yang Telah Diwarnai Etidium Bromide dengan Marker 100 bp DNA Ladder (invitrogen). 285

Setelah produk PCR disekuen dihasilkan sekuen mtdna D-loop sapi bali dan banteng sepanjang 341 bp. Dari sekuen tersebut terlihat ada satu titik polimorfik (polymorphic site) dari dua haplotipe sapi bali yang diperoleh pada sekuen nomor 332 (Tabel 1.1). Haplotipe 1 memiliki sekuen C (citosin) sedangkan haplotipe 2 memiliki sekuen G (guanin) pada posisi 332. Sekuen DNA yang diperoleh dari penelitian ini telah diregistrasi di GenBank dengan nomor akses JQ 002668-JQ 002670 Tabel 1.1 Sekuens Titik Polimorfik MtDNA D-loop Sapi Bali, Banteng, Bos taurus, Bos indicus, Bos javanicus, dan Bos gaurus. Penomoran berdasarkan posisi pada panjang basa 500 bp. 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 SEKUENS 2 2 8 9 4 5 5 7 8 0 0 0 1 1 2 2 5 5 6 7 8 8 9 0 0 2 2 3 4 8 9 6 9 6 3 8 2 6 5 6 7 2 3 8 9 2 9 5 6 0 1 5 4 9 5 9 2 9274 Sobangan C C C T C G G G C T C A T A C T T T T G C G A A C T G A C 9276 Sobangan............................ G A243 RPH............................. A240 RPH............................ G 9915 Banteng............................. B. javanicus Gbk T A T.. A A A.. A T A T T C.. AA T. C T. C A.. B. taurus M382 Gbk T A T.... A. C A T A C.. C. AA. A C T. C A.. B. indicus XX8 Gbk T A T C... A. C A T A C.. C. AA. A C T. C A.. B. gaurus 410064 Gbk T A T. T. A A T.... C T.. C. A.... T. A G. Keterangan: Penomoran titik polimorfik dibaca dari atas ke bawah Konstruksi Pohon Filogeni Konstruksi pohon filogeni berfungsi untuk melihat hubungan kekerabatan antar sapi bali dengan banteng, Bos taurus, Bos indicus, Bos javanicus, dan Bos gaurus. Hasil konstruksi pohon filogeni disajikan pada Gambar 1.2 Sedangkan matriks jarak genetiknya ditampilkan dalam Tabel 1.2 Dari Gambar 1.2 dan Tabel 1.2 dapat dilihat bahwa sapi bali memiliki genetik yang sama atau hampir sama dengan banteng (jarak genetik sapi bali H1 dengan banteng adalah 0,000 sedangkan jarak genetik sapi bali H2 dengan banteng adalah 0,003). Namun sangat jauh dengan Bos taurus (jarak genetik 0,052), Bos indicus 286

(jarak genetik 0,055), Bos javanicus (jarak genetik 0,058) dan Bos gaurus (jarak genetik 0,043) yang diakses melalui Genbank. Tabel 1.2 Matriks Jarak Genetik MtDNA D-Loop Sapi Bali Haplotipe 1 dan 2, Banteng, Bos taurus, Bos indicus, Bos javanicus, dan Bos gaurus. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 [1] [2] 0.003 [3] 0.000 0.003 [4] 0.003 0.000 0.003 [5] 0.000 0.003 0.000 0.003 [6] 0.058 0.061 0.058 0.061 0.058 [7] 0.052 0.055 0.052 0.055 0.052 0.027 [8] 0.055 0.058 0.055 0.058 0.055 0.030 0.003 [9] 0.043 0.046 0.043 0.046 0.043 0.049 0.052 0.055 Keterangan: [1] 9274 Sobangan, [2] 9276 Sobangan, [3] A243 RPH, [4] A240 RPH, [5] 9915 Banteng, [6] B. javanicus Genbank (Acc no: FJ 997262), [7] B. taurus M382 Genbank (Acc no. AB 117092), [8] B. indicus XX8 Genbank (Acc no. EF 524185), [9] B. gaurus 410064 Genbank (Acc no. GU 324988). Analisis jarak genetik menunjukkan seberapa besar adanya perbedaan genetik pada dua haplotipe yang berbeda. Hasil analisis menunjukkan jarak genetik yang paling dekat adalah 0,000. Nilai ini menunjukkan bahwa dari 1000 pasang basa, tidak satupun terdapat pasangan basa yang berbeda. Jarak genetik 0,000 tersebut terdapat antara nomor satu (9274 Sobangan) dengan nomor tiga (A243 RPH), nomor satu (9274 Sobangan) dengan nomor lima (9915 Banteng), nomor dua (9276 Sobangan) dengan nomor empat (A240 RPH), dan antara nomor tiga (A243 RPH) dengan nomor lima (9915 Banteng). Haplotipe yang ditemukan pada penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi dua cluster. Grup haplotipe pertama yaitu nomor satu (9274 Sobangan), nomor tiga (A243 RPH), dan nomor lima (9915 Banteng). Grup haplotipe kedua yaitu nomor dua (9276 Sobangan), nomor empat (A240 RPH). 287

Jarak genetik sapi bali dan banteng yang telah dianalisis, dibandingkan juga dengan jarak genetik Bos taurus, Bos indicus, Bos javanicus, dan Bos gaurus yang diakses melalui Genbank dan ditampilkan pada Gambar 1.2 dalam pohon asal-usul. Gambar 1.2 menunjukkan bahwa terdapat dua haplotipe yang berbeda pada sampel yang dianalisis. Grup haplotipe pertama adalah A235 RPH, A236 RPH, A238 RPH, A239 RPH, A241 RPH, A243 RPH, A244 RPH, A134 Banteng, 9915 Banteng, 9274 Sobangan, 9277 Sobangan, 9278 Sobangan. Sedangkan Grup haplotipe kedua yaitu A242 RPH, A240 RPH dan 9276 Sobangan. Dari gambar pohon filogeni, terlihat bahwa sapi bali haplotipe 1 dan banteng berada pada clade yang sama (monophyly), dengan nilai bootstrap 100%. Namun sekuens Bos javanicus yang diakses dari Genbank berada pada cluster yang berbeda. Sekuens Bos javanicus yang diakses dari Genbank memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat dengan Bos taurus dibandingkan dengan sapi bali. Dari pohon asalusul tersebut, juga dapat dilihat bahwa hubungan kekerabatan sapi bali dan banteng lebih dekat dengan Bos gaurus dibandingkan dengan Bos taurus, Bos indicus dan Bos javanicus karena terletak pada cluster yang sama dengan nilai jarak genetik yaitu 0,043. 288

A242 RPH A240 RPH 9276 Sobangan A134 Banteng 9915 Banteng A239 RPH A236 RPH A238 RPH A241 RPH 9274 Sobangan 9277 Sobangan 9278 Sobangan A243 RPH A235 RPH A244 RPH B. gaurus 410064 Genbank B. javanicus Genbank B. taurus M382 Genbank B. taurus Heinan 4 Genbank B. indicus XX8 Genbank B. indicus var 1 Genbank H 2 H 1 Sapi Bali dan Banteng Gambar 1.2 Pohon Asal-Usul MtDNA D-Loop Sapi Bali Haplotipe 1 dan 2, Banteng, Bos taurus, Bos indicus, Bos javanicus, dan Bos gaurus. Huruf yang dicetak tebal merupakan data primer sedangkan huruf yang tidak dicetak tebal merupakan data sekunder yang diakses melalui Genbank. H1 merupakan haplotipe 1. Sedangkan H2 merupakan haplotipe 2. PEMBAHASAN Tiga belas fragmen DNA mitokondria sapi bali dan dua dari banteng dapat diamplifikasi dengan baik menggunakan teknik PCR. Panjang produk PCR yang dapat diamplifikasi sekitar 500 bp. Hasil analisis dari sekuens mtdna D-loop menunjukkan hanya ada satu titik polimorfik (polymorphic site) dari dua haplotipe sapi bali yang diperoleh. Hal ini berbeda dengan pernyataan Ratnayani et al. (2007) yang menyatakan DNA mitokondria memiliki laju mutasi yang sangat tinggi. Lebih lanjut disebutkan mtdna 289

mempunyai laju polimorfisme yang tinggi dengan laju evolusinya sekitar lima sampai sepuluh kali lebih cepat dari DNA inti. Namun demikian, laju mutasi yang cepat dengan jumlah populasi yang terbatas pada sapi bali kemungkinan telah terjadi mutasi balik ke tipe asalnya. Menurut Elrod and Stansfield (2007) perubahan sekuen nukleotida dapat kembali menjadi sekuens awalnya yang disebut dengan mutasi balik (back mutation). Situs polimorfik pada daerah D-loop tidak menyebabkan perubahan fenotipik karena D-loop merupakan daerah non-coding yang tidak terekspresikan. Daerah ini hanya berperan dalam regulasi dan inisiasi dari replikasi dan transkripsi dari mtdna (Boore, 1999). Disini juga terlihat sapi bali yang ada di Bali memiliki keragaman genetik yang sangat rendah. Hal ini dapat diketahui dari keragaman haplotipe sapi bali pada penelitian ini yang rendah. Selain itu, keragaman haplotipe yang rendah mungkin terjadi karena founder effect atau terjadi mungkin karena proses pemisahan sapi bali dari populasi awal. Founder effect terjadi karena penurunan ukuran populasi yang ekstrim (Slatkin, 2004). Dari Gambar 1.2 terlihat sapi bali haplotipe 1 memiliki gen MtDNA D-loop yang sama dengan banteng (jarak genetik 0,000) yang dipelihara di Alas Purwo dengan nilai bootstrap 100%. Sedangkan sapi bali haplotipe 2 memiliki gen MtDNA D-loop yang hampir sama dengan banteng (jarak genetik 0,003). Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Mohamad et al. (2009) yang menyatakan bahwa sapi bali memiliki gen DNA mitokondria yang sama dengan banteng. Hasil pengujian dengan metode bootstrapping yang ditampilkan dalam setiap percabangan filogeni pada Gambar 1.2 menunjukkan cabang filogeni dari sapi bali haplotipe 2 memiliki nilai bootstrap 66 yang artinya 66% dari 1000 replikasi sapi bali tersebut memiliki kekerabatan dan menunjukkan gambar yang sama. Sedangkan pada sapi bali haplotipe 1 memiliki nilai bootstrap 100%. Cabang pada pohon filogeni mewakili hubungan antar unit yang menggambarkan hubungan keturunan dengan leluhur, sedangkan panjang cabang menggambarkan jumlah perubahan evolusioner yang terjadi antara dua nodus (Li and Graur, 1991). Analisis pohon filogeni ini menunjukkan bahwa penanda molekuler MtDNA D-loop dengan primer BovmtFP yang mewakili nukleotida 500 bp dapat 290

digunakan sebagai penanda genetik yang menunjukkan hubungan kekerabatan yang sangat dekat antara sapi bali dan banteng. Namun, perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan primer yang mengamplifikasi bagian lain dari mtdna atau menggunakan analisis DNA inti untuk menjustifikasi hasil dari penelitian ini. KESIMPULAN Sekuens D-loop DNA mitokondria sapi bali haplotipe 1 sama dengan banteng sedangkan sekuens D-loop DNA mitokondria sapi bali haplotipe 2 hampir sama dengan banteng. Sekuens D-loop DNA mitokondria sapi bali berbeda dengan sekuens D-loop DNA mitokondria Bos taurus, Bos indicus, Bos javanicus, dan Bos gaurus yang diakses melalui Genbank. SARAN Perlu dilakukannya penelitian lanjutan agar hasil yang didapat lebih lengkap dengan sampel yang representative untuk seluruh populasi di Bali dengan menargetkan lebih dari satu lokus genetik. Selain itu, jumlah populasi efektif sapi bali perlu segera diketahui. DAFTAR PUSTAKA Batan, I W. 2006. Sapi Bali dan Penyakitnya. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Denpasar. Boore, J. L. 1999. Animal mitochondrial genomes. Nucleic Acids Res 27 (8): 1767-1780. Elrod, S. and Stansfield, W. 2007. Genetika. (Damaring Tyas W. Pentj). Jakarta: Erlangga Feradis. 2009. Peranan Teknologi Inseminasi Buatan dalam Peningkatan Mutu dan Produktivitas Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau. Riau. Vol. IX No. 2. Li, W. and D. Graur. 1991. Fundamental of Moleculer Evolution. Sinauer Associates Inc. Sunderland. Mohamad, K., Olsson, M., van Tol, H.T.A., Mikko, S., Vlamings, B.H., Andersson, G., Martinez, H.R., Purwantara, B., Paling, R.W., Colenbrander, B., and Lenstra, J. A. 2009. On the Origin of Indonesia Cattle. PLoS ONE 4(5): e5490. 291

Nijman, I. J., Otsen, M., Verkaar, E. L. C., Ruijter, C. de., Hanekamp, E., Ochieng J. W., Shamshad, S., Rege, J. E. O., Hanotte, O., Barwegen, M. W., Sulawati, T., and Lenstra, J. A. 2003. Hybridization of banteng (Bos javanicus) and zebu (Bos indicus) revealed by mitochondrial DNA, satellite DNA, AFLP and microsatellites. Heredity. 90, 10-16. Nitis, I.M., Lana, K., Sukanten, W., Putra, S., Pemayun, T.G.O. 1999. Growth and Reproductive Performance of Bali Heifer in The Three Strata Forage System. Department of Nutrition and Tropical Forage Science, Udayana University, Denpasar, Bali, Indonesia. Ratnayani, K., I N. Wirajana dan A. A. I. A. M. Laksmiwati. 2007. Analisis Variasi Nukleotida Daerah D-loop DNA Mitokondria pada Satu Individu Suku Bali Normal. Jurnal Kimia 1(1):7-14 Slatkin, M. 2004. A Population-Genetic Test of Founder Effects and Implications for Ashkenazi Jewish Disease. Department of Integrative Biology, University of California Berkeley. Am. J. Hum. Genet. 75:282-293 Suwarminiwati, I G. A. A. 2008. Keragaman Genetik Abalon (Haliotis asinina) di Lokasi Pantai yang Berbeda di Bali Melalui Analisis DNA Mitokondria. Program Pascasarjana Universitas Udayana. Denpasar. Tamura, K., Peterson, D., Peterson, N., Stecher, G., Nei, M., and Kumar, S. 2011. MEGA 5: Molecular Evolutionary Genetics Analysis Using Maximum Likelihood, Evolutionary Distance, and Maximum Parsimony Methods. Mol. Biol. Evol. 10.1093/molbev/msr121. Wibisono, A.W. 2010. Sapi Bali. http://duniasapi.com/id/edufarming/43-sapibali.html. Diakses tanggal 14 April 2011. 292