ABSTRAK. Hubungan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum dengan Belanja Modal di Jawa Barat. Oleh : Ikin Solikin, SE., MSi. Ak.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. ini mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power,

DAFTAR PUSTAKA. Abdullah, Sukriy dan Abdul Halim Studi atas Belanja Modal Anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah menegaskan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

PENGARUH BELANJA MODAL DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP PENDAPATAN PER KAPITA

DAFTAR PUSTAKA. Abdul Halim. (2004). Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit UPP AMP YKPN.

BAB I PENDAHULUAN. mengurus daerahnya sendiri, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009).

DAFTAR PUSTAKA. Abdul Halim Manajemen Keuangan Daerah.Yogyakarta: (UPP) AMP YKPN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. merupakan salah satu unsur belanja langsung. Belanja modal merupakan

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kunci bagi keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Berapapun besarnya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

ANALISIS RASIO KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PURWOREJO PERIODE

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dampak yang dialami oleh

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB V PENUTUP. adalah tersedianya sumber sumber pembiayaan, sumber pembiayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. sesungguhnya. Seperti dikemukakan oleh Menteri Keuangan Boediono (Sidik et

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BOYOLALI APBD

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

ANALISIS KONTRIBUSI RETRIBUSI JASA UMUM TERHADAP PENERIMAAN PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN SAROLANGUN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Disahkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan. merata berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar negara republik

BAB 1 PENDAHULUAN. No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara. Pemerintah Pusat dan Daerah yang menyebabkan perubahan mendasar

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan hasil kesimpulan dapat disimpulkan bahwa : 2. Pengeluaran (belanja) Kabupaten Manggarai tahun anggaran 2010-

Analisis Kinerja Belanja Pemerintah daerah Kotamobagu dan Bolaang Mongondow Timur tahun Herman Karamoy

BAB V PENUTUP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB I PENDAHULUAN. MPR No.IV/MPR/1973 tentang pemberian otonomi kepada Daerah. Pemberian

JURNAL SKRIPSI EVALUASI POTENSI PENDAPATAN PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH DI KABUPATEN WONOGIRI

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

DAFTAR PUSTAKA. Darwanto & Yulia Yustikasari Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

Abstrak. Kata kunci: Kinerja Keuangan, Dana Alokasi Umum, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Belanja Modal.

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. (Maryati, Ulfi dan Endrawati, 2010).

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

LANDASAN TEORI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2011 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

M. Wahyudi Dosen Jurusan Akuntansi Fak. Ekonomi UNISKA Kediri

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB I PENDAHULUAN. titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

DAFTAR PUSTAKA. Abdullah, Syukriy dan Halim, Abdul Pengaruh Dana Alokasi Umum

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

ANALISIS PEMETAAN KINERJA KEUANGAN KABUPATEN/KOTA PROPINSI JAMBI. Selamet Rahmadi

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah

BAB V PENUTUP. terhadap alokasi belanja modal. PAD diukur dengan indikator retribusi daerah,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

DAFTAR PUSTAKA. Abdul Halim Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi Keempat. Jakarta: Salemba Empat.

PENGARUH ANGGARAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang mulai

BAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

Transkripsi:

ABSTRAK Hubungan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum dengan Belanja Modal di Jawa Barat Oleh : Ikin Solikin, SE., MSi. Ak. Belanja modal dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) untuk pengadaan asset daerah sebagai investasi, dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi hal ini belum terpenuhi seutuhnya apabila melihat pada besarnya alokasi belanja modal yang belum terlalu tinggi dibandingkan dengan belanja lainnya, padahal semakin banyak belanja modal maka semakin tinggi pula produktivitas perekonomian, karena belanja modal berupa infrastruktur jelas berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Dalam konteks pengelolaan keuangan daerah, APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan (belanja modal) dan kemampuan pendapatan daerah (PAD dan DAU). Sehingga akan didapat suatu hubungan antara PAD dan DAU dengan belanja modal. Berdasarkan hal tersebut, penyusun melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan PAD dan DAU dengan belanja modal. Penelitian sebelumnya, yaitu dilakukan pada Kabupaten dan Kota se- Jawa Bali dengan periode 2001-2005. Penelitian ini bertujuan ingin meneliti kembali apakah hasil penelitian sebelumnya memiliki kesamaan dengan penelitian untuk wilayah Kab/Kota se Jawa Barat pada tahun 2007. Hasil penelitian menggunakan korelasi product moment pearson menunjukkan bahwa PAD memiliki hubungan positif yang kuat dengan belanja modal sebesar 0.612. DAU juga memiliki hubungan positif yang kuat dengan belanja modal sebesar 0.630. Hal ini berarti hipotesis penelitian diterima. Artinya semakin tinggi PAD atau DAU yang diterima maka semakin tinggi pula belanja modal yang dikeluarkan. Selain itu, dengan menggunakan korelasi berganda didapatkan hasil bahwa PAD dan DAU memiliki hubungan positif yang kuat dengan belanja modal sebesar 0.734. Hal ini juga berarti bahwa apabila PAD dan DAU meningkat maka belanja modal pun akan meningkat. Kata Kunci: Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Belanja Modal, Keuangan Daerah 1

2 I. PENDAHULUAN Belanja modal sebagai bentuk perubahan yang cukup fundamental di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) telah mulai dilakukan pasca reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah terutama UU No 22/1999, UU No 25/1999, PP No 105/2000, dan PP No 108/2000 (Halim, 2002:18). Sebelumnya di dalam APBD, pengalokasian untuk jenis belanja berupa investasi, diklasifikasikan ke dalam belanja pembangunan. Layaknya belanja pembangunan, belanja modal dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) untuk pengadaan asset daerah sebagai investasi, dalam rangka membiayai pelaksanaan otonomi daerah yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Armayani (dalam Halim, 2004:237) menyatakan bahwa peran pemerintah di dalam pembangunan adalah sebagai katalisator dan fasilitator, karena pihak pemerintahlah yang lebih mengetahui sasaran tujuan pembangunan yang akan dicapai. Sebagai pihak katalisator dan fasilitator maka pemerintah daerah memerlukan sarana dan fasilitas pendukung yang direalisasikan melalui belanja modal guna meningkatkan pelayanan publik. Berdasarkan sumber hasil audit BPK, gambaran belanja modal pada pada 25 Kab/Kota di Jawa Barat tahun 2007. Rata-rata belanja modal adalah 21,69% dari keseluruhan belanja daerah, dengan rincian 10 pemda telah melakukan belanja modal diatas rata-rata dan sisanya yaitu 15 pemda yang melakukan belanja modal dibawah rata-rata. Alokasi belanja modal harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana baik untuk kelancaran tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik (Halim dan Abdullah, 2006:19). Menurut Halim (2002:72), dengan melakukan belanja modal akan menimbulkan konsekuensi berupa penambahan biaya yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan. Akan tetapi berdasarkan hasil audit BPK Pemda lebih banyak mengalokasikan belanjanya pada sektor-sektor yang kurang diperlukan dan lebih banyak digunakan untuk belanja rutin yang kurang produktif dibandingkan untuk meningkatkan pelayanan publik, sebab dari 100% belanja daerah rata-rata hanya 21,69% yang digunakan untuk belanja modal

3 dalam rangka pengadaan asset untuk investasi dalam rangka meningkatkan pelayan publik. Berkaitan dengan pelayanan publik, alokasi belanja modal merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan karena akan meningkatkan produktivitas perekonomian daerah. Semakin banyak belanja modal maka semakin tinggi pula produktivitas perekonomian karena belanja modal berupa infrastruktur jelas berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja (Media Indonesia, 2008). Senada dengan hal tersebut Hariyanto dan Hari Adi (2006) menjelaskan bahwa tersedianya infrastruktur yang baik diharapkan dapat menciptakan efisiensi dan efektifitas di berbagai sektor, produktifitas masyarakat diharapkan semakin tinggi dan pada gilirannya terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi dengan melihat fenomena yang terjadi, sepertinya alokasi belanja modal belum sepenuhnya dapat terlaksana bagi pemenuhan kesejahteraan publik, sebab pengelolaan belanja daerah terutama belanja modal masih belum terorientasi pada publik. Salah satunya disebabkan oleh pengelolaan belanja yang terbentur dengan kepentingan golongan semata. Keefer dan Khemani (dalam Halim dan Abdullah, 2006:18) menyatakan bahwa adanya kepentingan politik dari lembaga legislatif yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran menyebabkan alokasi belanja modal terdistorsi dan sering tidak efektif dalam memecahkan masalah di masyarakat. Padahal menurut Pasal 66 UU No. 33 Tahun 2004 menyatakan bahwa: Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatuhan, dan manfaat untuk masyarakat. UU tersebut mengisyaratkan kepada Pemda untuk mengelola keuangan daerah terutama belanja modal secara efektif, efisien, dan ekonomis dengan tujuan akhir untuk meningkatkan pelayanan masyarakat. Pernyataan ini sesuai dengan konsep multi-term expenditure framework (MTEF) yang disampaikan oleh Allen dan Tommasi (dalam Halim dan Abdullah, 2006:18) yang menyatakan bahwa kebijakan belanja modal harus memperhatikan kemanfaatan (usefulness) dan kemampuan keuangan pemerintah daerah (budget capability)

4 dalam pengelolaan asset tersebut dalam jangka panjang. Hal ini berarti bahwa dalam pengelolaan asset terkait dengan belanja pemeliharaan, dan sumber pendapatan. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini untuk mengetahui bagaimana PAD, DAU, dan belanja modal di Kabupaten/Kota di Jawa Barat TA 2007, bagaimana hubungan PAD dengan belanja modal di Kabupaten/Kota Di Jawa Barat TA 2007, bagaimana hubungan DAU dengan belanja modal di Kabupaten/Kota Di Jawa Barat TA 2007, dan bagaimana hubungan PAD dan DAU dengan belanja modal di Kabupaten/Kota Di Jawa Barat TA 2007. II. PEMBAHASAN 1. Gambaran PAD Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa secara umum PAD yang diperoleh 25 Kabupaten dan Kota di Jawa Barat pada tahun 2007 ini didominasi dari sektor retribusi, kemudian disusul dari sektor pajak, lain-lain PAD yang sah, dan terakhir dari kekayaan daerah yang dipisahkan. Total yang diperoleh 25 Kab/Kota tersebut adalah Rp. 2.321.285.549.735,79, dengan rata-rata Rp. 92.851.421.989,43. Dari hasil penelitian menggambarkan bahwa daerah yang memiliki PAD tertinggi adalah Kota Bandung yaitu sebesar Rp. 287.249.534.045,00 dengan selisih diatas rata-rata keseluruhan sebesar Rp. 194.398.112.055,57. PAD ini terutama berasal dari sektor pajak, lalu retribusi, lain-lain PAD, serta kekayaan daerah yang dipisahkan. Sebagai kota metropolitan yang sekaligus menjadi ibu kota dari Jawa Barat ini, Kota Bandung sangat memungkinkan untuk menggali PAD-nya dari sektor pajak sebab melihat kondisi Kota Bandung sebagai pusat berkumpulnya aktivitas perdagangan, industri, dan jasa bagi daerah-daerah disekitarnya, sehingga keadaan seperti ini menjadi peluang bagi Kota Bandung untuk menggali pajak daerah terutama dari pajak hotel dan restoran, hiburan, reklame, dan sebagainya. Akan tetapi tidak semua Pemda melakukan hal yang sama untuk daerahnya. Terdapat perbedaan setiap daerah dalam mengandalkan sumber pendapatan bagi daerahnya. Hal tersebut dapat disebabkan karena kondisi

5 geografis yang berbeda, jumlah penduduk, keadaan demografi yang beragam, dan sebagainya. Berbeda dengan kota Bandung, Kota Banjar yang memiliki PAD terendah dibandingkan Kab dan Kota lainnya. Kota Banjar lebih mengandalkan sektor retribusi di dalam PAD-nya, dengan jumlah PAD sebesar Rp. 23.615.908.225,45 atau selisih Rp. 69.235.513.763,98 dibawah rata-rata daerah lainnya. Sebagai kota yang baru yaitu sejak 21 Februari 2003, memang tidak terlalu mengherankan apabila Kota Banjar belum optimal dalam menggali kemampuan daerahnya, akan tetapi melihat perkembangan Kota Banjar yang semakin hari semakin pesat serta dengan adanya peluang letak Kota Banjar yang berada dijalur lintas jalan nasional yang menghubungkan jalur lalu lintas Jawa Barat dengan Jawa Tengah (www.banjar-jabar.go.id), maka hal ini dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan baru untuk menggali PAD lebih dalam, baik melalui sektor perdagangan maupun jasa. 2. Gambaran DAU Pada 25 Kabupaten dan Kota di Jawa Barat pada tahun 2007, total DAU mencapai Rp. 14.819.448.223.000,00 dengan rata-rata Rp. 592.777.928.920,00. Jumlah ini bila dibandingkan dengan PAD maka akan diperoleh selisih yang cukup tinggi. Pemda terutama masih mengandalkan bantuan DAU ini untuk membiayai pelaksanaan desentralisasi. Kondisi ini sebenarnya tidak baik mengingat bahwa semakin tinggi DAU maka tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat akan semakin besar. Pada populasi ini, Pemda yang mendapatkan DAU tertinggi adalah Kab Bandung dengan jumlah DAU Rp. 1.351.912.000.000,00. Tingginya DAU ini disebabkan oleh celah fiskal yang terjadi karena kebutuhan fiskal daerah melebihi kemampuan fiskal sehingga Pemda membutuhkan bantuan lain berupa DAU. Semakin tinggi celah yang ada maka akan semakin tinggi DAU yang diterima. Sebenarnya Pemda dapat meminimalisir celah tersebut apabila Pemda dapat meningkatkan kemampuan fiskalnya yang salah satunya dapat dilakukan melalui penggalian PAD yang lebih besar. Seperti pada Kab Bandung yang sebenarnya

6 dapat lebih meminimalisir DAU dengan meningkatkan PAD melalui penggalian PAD baik dari sektor pajak, retribusi maupun kekayaan yang dipisahkan dan lain PAD yang sah. Apalagi melihat potensi Kab Bandung yang kaya akan kekayaan alam serta letaknya yang strategis bagi perekonomian yang didukung dengan jumlah penduduk yang banyak dan luas wilayah yang cukup besar (www.bandungkab.go.id) yang dari satu sisi dapat meningkatkan pendapatan dan disisi lainnya justru menambah kebutuhan daerah. Sedangkan untuk daerah yang menerima DAU terendah adalah Kota Cimahi dengan jumlah DAU yaitu Rp. 270,848,000,000.00. Dilihat dari fungsi kota dan letak geografis yang berbatasan langsung dengan Kota dan Kab. Bandung, Kota Cimahi memiliki peran dan posisi yang cukup strategis, sehingga dapat memberikan peluang untuk menggali pendapatan asli daerahnya. Selain itu dengan luas dan jumlah penduduk yang tidak terlalu besar (seperti dalam tabel 4.1) maka hal ini membantu Kota Cimahi untuk mengurangi kebutuhan daerah, sehingga dalam membiayai pelaksanaan otonomi ini Kota Cimahi tidak menerima DAU yang terlalu tinggi. 3. Gambaran Belanja Modal Belanja modal dialokasikan berdasarkan kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana daerah, selain itu untuk mendapatkan asset tetap daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 25 Kabupaten dan Kota di Jawa Barat telah melakukan belanja modal dengan rata-rata Rp. 194.799.343.968,58 dari total belanja modal seluruh daerah populasi sebesar Rp. 4.869.983.599.214,55. Belanja modal tertinggi dilakukan oleh Kab Bekasi dengan total belanja modal sebesar Rp. 416.359.175.178,00. Hal tersebut menunjukkan bahwa Kab Bekasi lebih banyak mengalokasikan belanjanya pada belanja modal dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya, seperti tampak pada grafik 4.3. Tingginya belanja modal ini terutama disebabkan Kab Bekasi sebagai penyangga Ibukota Negara yang mengalami pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana yang ada. Dan untuk mewujudkan hal tersebut, maka Pemda perlu menambah belanjanya terutama

7 belanja modal untuk kepentingan pengadaan sarana prasarana daerah, yang dengan begitu akan memunculkan kawasan-kawasan industri sebagai prospek investasi sehingga Kab Bekasi dapat dikatakan sebagai salah satu sentra industri terbesar yang ada di wilayah Jawa Barat bahkan se-asia Tenggara (www.bekasikab.go.id). Selain itu melihat tingginya belanja modal di Kab Bekasi dapat diartikan bahwa Kab Bekasi lebih mendahulukan pembangunan bagi daerah yang pada akhirnya nanti dapat mensejahterakan masyarakat. Berbeda dengan Kab Bekasi, Kota Sukabumi hanya mengeluarkan Rp. 68.837.294.096,00 untuk kepentingan belanja modalnya. Hal ini bahkan belum mencapai 50% dari rata-rata Kab/Kota lainnya. Rendahnya belanja modal ini dapat terjadi dengan kemungkinan memang kebutuhan sarana dan prasarana Kota Sukabumi yang tidak terlalu besar, maupun karena adanya kekhawatiran bahwa dengan tingginya belanja modal dapat memicu pula biaya rutin lainnya seperti biaya pemeliharaan. 4. Hubungan PAD dengan Belanja Modal Selama ini PAD memiliki peran untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah guna mencapai tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah yang ingin meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah (Mardiasmo, 2002:46). Bermula dari keinginan untuk mewujudkan harapan tersebut, Pemda melakukan berbagai cara dalam meningkatkan pelayanan publik, yang salah satunya dilakukan dengan melakukan belanja untuk kepentingan investasi yang direalisasikan melalui belanja modal. Pada penelitian ini memberikan hasil bahwa terdapat hubungan positif yang kuat antara PAD dengan belanja modal. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian Daryanto dan Yustikasari (2007) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara PAD dengan belanja modal. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi PAD maka pengeluaran pemerintah atas belanja modal pun akan semakin tinggi. Selain itu, temuan tersebut juga mengindikasikan bahwa besarnya PAD menjadi salah satu faktor penentu dalam menetukan belanja modal. Hal ini sesuai dengan PP No 58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan

8 daerah yang menyatakan bahwa APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Artinya, disetiap penyusunan APBD, jika Pemda akan mengalokasikan belanja modal maka harus benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan daerah dengan mempertimbangkan PAD yang diterima. Besar kecilnya belanja modal akan ditentukan dari besar kecilnya PAD. Sehingga jika Pemda ingin meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat dengan jalan meningkatkan belanja modal, maka Pemda harus berusaha keras untuk menggali PAD yang sebesar-besarnya. 5. Hubungan DAU dengan Belanja Modal PAD sebenarnya merupakan andalan utama daerah untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan pembiayaan pembangunan (Saragih, 2003:55). Tetapi penerimaan daerah dari unsur PAD saja belum mampu memenuhi kebutuhan daerah apalagi dengan penambahan wewenang daerah jelas akan membutuhkan dana tambahan bagi daerah (Saragih, 2003:49) sehingga daerah masih tetap membutuhkan bantuan atau dana yang berasal dari pusat. Bantuan pusat ini biasa disebut dengan Dana Alokasi Umum (DAU). Hasil penelitian menunjukkan bahwa DAU memiliki hubungan positif yang kuat dengan belanja modal. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi DAU yang diterima daerah maka akan semakin tinggi pula belanja modal yang akan dibelanjakan. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian Daryanto dan Yustikasari (2007) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara DAU dengan belanja modal. Holtz-Eakin et al (dalam Hariyanto dan Hari Adi, 2005) pun menyatakan bahwa terdapat keterkaitan sangat erat antara transfer dari pemerintah pusat dengan belanja modal. Kemudian Gamkhar dan Oates (dalam Maimunah, 2006:5) juga menyatakan bahwa pengurangan jumlah transfer (cut in the federal grants) menyebabkan penurunan dalam pengeluaran daerah. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat hubungan antara pemberian dana transfer dari pemerintah pusat yaitu DAU, dengan alokasi pengeluaran daerah melalui alokasi belanja modal.

9 Hubungan positif yang kuat antara DAU dengan belanja modal ini dapat dipahami mengingat bahwa pelaksanaan otonomi daerah yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik -yang direalisasikan melalui belanja modaljuga ikut dibiayai oleh DAU tersebut. Bahkan Abdullah dan Halim (2006:26) menyatakan bahwa pendapatan dari pemerintah pusat berupa dana perimbangan di pemerintah daerah di Indonesia merupakan sumber pendapatan utama dalam APBD. Sayangnya kontribusi DAU terhadap belanja modal masih belum efektif sehingga masih banyak daerah yang belum merata pembangunannya, juga masih kurangnya pelayanan publik sehingga kesejahteraan masyarakat pun belum efektif (masih banyaknya masyarakat dibawah garis kemiskinan, belum meratanya fasilitas pendidikan dan kesehatan, sector usaha kecil masih terabaikan -contoh PKL). 6. Hubungan PAD dan DAU dengan Belanja Modal PAD dan DAU merupakan sumber pendapatan daerah yang memiliki peran utama dalam pelaksanaan otonomi daerah dalam rangka mencapai tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah yang ingin meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah (Mardiasmo, 2002:46). Berdasarkan penelitian dapat diketahui bahwa PAD dan DAU memiliki hubungan positif yang kuat dengan belanja modal. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi PAD dan DAU yang didapat daerah maka akan semakin tinggi pula belanja modal yang dikeluarkan daerah. Kedua sumber pendapatan daerah ini memang sulit untuk dipisahkan. Pemerintah daerah belum mampu mengandalkan PAD-nya sendiri untuk membiayai desentralisasi. Begitu pun dengan pemerintah pusat yang tidak mau sepenuhnya memberikan DAU karena akan menambah ketergantungan daerah kepada pusat. Kombinasi kedua sumber pendapatan ini -jika melihat kepada hasil penelitian- maka akan menghasilkan pendapatan yang lebih besar bagi daerah guna meningkatkan belanja modal. Semakin tinggi PAD disertai dengan semakin meningkatnya DAU akan meningkatkan belanja modal daerah. Sebab daerah akan

10 memiliki pendapatan yang besar sehingga belanja pun dapat ikut ditingkatkan. Meskipun pada kenyataannya peningkatan PAD tidak selalu diikuti dengan peningkatan DAU, sebab melihat bahwa penentuan DAU ikut ditentukan pula oleh besarnya PAD (PP No 55 tahun 2005 tentang dana perimbangan). III. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada Kabupaten dan Kota di Jawa Barat pada tahun 2007, dapat disimpulkan bahwa : 1. Kota Bandung memiliki PAD tertinggi yaitu sebesar Rp. 287.249.534.045,00. Hal ini dikarenakan melihat kondisi Kota Bandung sebagai pusat berkumpulnya aktivitas perdagangan, industri, dan jasa. Sedangkan untuk daerah yang memiliki PAD terendah adalah Kota Banjar yaitu Rp. 23.615.908.225,45. Hal ini dapat terjadi karena belum optimalnya Kota Banjar dalam menggali PAD, apalagi mengingat usianya yang baru berdiri sejak 2003 lalu. 2. Total DAU tertinggi diterima Kab Bandung dengan jumlah DAU Rp. 1.351.912.000.000,00. Tingginya DAU ini disebabkan oleh celah fiskal yang terjadi karena kebutuhan fiskal daerah melebihi kemampuan fiskal sehingga Pemda membutuhkan bantuan lain berupa DAU. Daerah dengan DAU terendah adalah Kota Cimahi dengan jumlah DAU yaitu Rp. 270,848,000,000.00. Kota Cimahi memiliki peran dan posisi yang cukup strategis, sehingga untuk dapat memenuhi kebutuhan daerahnya tidak terlalu bergantung kepada DAU. 3. Total belanja modal seluruh daerah populasi sebesar Rp. 4.869.983.599.214,55 dengan rata-rata Rp. 194.799.343.968,58. Kab Bekasi adalah Pemda dengan total belanja modal tertinggi sebesar Rp. 416.359.175.178,00 Tingginya belanja modal ini terutama disebabkan Kab Bekasi sebagai penyangga Ibukota Negara yang mengalami pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana yang ada. Sedangkan yang terendah adalah Kota Sukabumi dengan jumlah Rp. 68.837.294.096,00

11 Rendahnya belanja modal ini dapat terjadi dengan kemungkinan memang kebutuhan sarana dan prasarana Kota Sukabumi yang tidak terlalu besar. 4. Hubungan PAD dengan Belanja Modal pada penelitian ini memberikan hasil bahwa terdapat hubungan positif yang kuat antara PAD dengan belanja modal. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi PAD maka pengeluaran pemerintah atas belanja modal pun akan semakin tinggi. 5. Hubungan DAU dengan Belanja Modal hasil penelitian menunjukkan bahwa DAU memiliki hubungan positif yang kuat dengan belanja modal. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi DAU yang diterima daerah maka akan semakin tinggi pula belanja modal yang akan dibelanjakan. 6. Berdasarkan penelitian mengenai hubungan PAD dan DAU dengan belanja modal dapat diketahui bahwa koefisien korelasi berganda adalah 0.734. Hal ini berarti hipotesis penelitian diterima yaitu bahwa PAD dan DAU memiliki hubungan positif yang kuat dengan belanja modal. 2. Saran 1. Sebaiknya Pemda memprioritaskan anggaran untuk kepentingan publik dengan cara meningkatkan alokasi belanja modal untuk kepentingan publik. Sebab dengan meningkatnya alokasi belanja modal akan semakin meningkatkan investasi yang nantinya akan meningkatkan produktivitas masyarakat, sehingga akan kembali pada meningkatnya pendapatan daerah. Akan tetapi Pemda juga harus efektif dan efisien dalam menentukan alokasi belanja modal, sebab bisa saja dengan tingginya belanja modal tersebut akan mengakibatkan biaya rutin lainnya biaya pemeliharaan- menjadi lebih tinggi. Oleh karena itu, sebaiknya Pemda berusaha mencari titik temu yang tepat dalam mengalokasikan belanja modal dengan pendapatan yang dimiliki daerah baik dari PAD maupun DAU sehingga tidak terjadi pemborosan anggaran dan pelayanan publik pun dapat tercapai, seperti melalui riset daerah, penyurveian, dan sebagainya. 2. Sebaiknya Pemda terus meningkatkan PAD dibandingkan dengan DAU, sebab PAD merupakan tolak ukur kemandirian daerah. Salah satu cara

12 meningkatkan PAD dapat dilakukan melalui ekstensifikasi dan intensifikasi pajak. Dengan tingginya PAD tersebut maka akan semakin mengurangi ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan pusat. DAFTAR PUSTAKA Abdul, Halim. (2004). Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Jogjakarta: UPP AMP YKPN Abdul, Halim. (2006). Bunga Rampai Pengelolaan Keuangan Daerah. Jogjakarta: UPP AMP YKPN Abdul, Halim. (2002). Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat Abdullah, Sukriy dan Abdul Halim. (2006). Studi atas Belanja Modal pada Anggaran Pemerintah Daerah dalam Hubungannya dengan Belanja Pemeliharaan dan Sumber Pendapatan. Jurnal Akuntansi Pemerintah. Vol.2 No.2 Hal 17-32 Arikunto, Suharsimi. (1996). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek-. Jakarta: PT. Rineka Cipta Badan Pemeriksa Keuangan. (2007). Laporan Hasil Pemeriksaan Laporan Keuangan TA 2007. Bandung: Perwakilan BPK RI Darwanto, dan Yustikasari. (2007). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Simposium Nasional Akuntansi. Juli. Makasar Editorial Media Indonesia. Menggenjot Belanja Modal. Edisi 25 Agustus 2008. [Online]. Tersedia: http://www.media-indonesia.com. Html [26 April 2009] Hariyato, dan Priyo Hari Adi. (2006). Hubungan antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah, dan Pendapatan Per Kapita. Skripsi. Salatiga: Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana Hasan, Iqbal. (2003). Pokok-Pokok Materi Statistika 1 (Statistik Deskriptif). Jakarta: PT Bumi Aksara Indriantoro, Nur.,dan Bambang Supomo. (2002). Metodologi Penelitian Bisnis. Yogyakarta: Penerbit BPFE Kaho, Josef Riwu. (2005). Prospek Otonomi Daerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada Mardiasmo. (2002). Otonomi dan Manajaemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit ANDI Mardiasmo (2004). Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Penerbit ANDI Moch. Nazir. (2003). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Mutiara, Maimunah. (2006). Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah pada

13 Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera. Simposium Nasional Akuntansi. Agustus. Padang Saragih, Juli Panglima. (2003). Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Jakarta: Ghalia Indonesia Pemprov Jawa Barat. (2009). Sekilas Jabar. [Online]. Tersedia: http://www.jabarprov.go.id. Html [10 Juni 2009] Siagian, Sondang P. (2003). Administrasi Pembangunan (Konsep, Dimensi dan Strateginya). Jakarta: PT Bumi Aksara Sudjana. (1996). Statistika Untuk Ekonomi dan Niaga I. Bandung: Tarsito (1997). Statistika Untuk Ekonomi dan Niaga II. Bandung: Tarsito Sugiyono. (2002). Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Penerbit CV Alfabeta Sugiyono. (2000). Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Penerbit CV Alfabeta Umar, Husein. (2004). Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Waluyo. dan Wirawan B Ilyas. (2003). Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat Yani, Ahmad. (2004). Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Peraturan-Peraturan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat Dan Daerah Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Perpres No. 104 tahun 2006 tentang DAU Provinsi, Kabupaten, dan Kota Tahun Tahun 2007 Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang telah diubah menjadi Permendagri No. 59 Tahun 2007