Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan versi publikasi akhir. 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung
Proyeksi Hujan Ekstrem untuk Analisis Potensi Banjir di DKI Jakarta DANNI UTOMO Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung ABSTRAK Banjir di DKI Jakarta adalah salah satu masalah yang belum terpecahkan hingga saat ini. Data historis yang terekam, kejadian banjir yang terburuk di DKI Jakarta adalah pada tahun 1996, 2002, dan 2007. Banjir tersebut disebabkan oleh terjadinya hujan ekstrem, oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan proyeksi kejadian hujan ekstrem di DKI Jakarta dalam jangka waktu tahun 2011 sampai tahun 2035, sehingga potensi banjir dapat diperkirakan dan menjadi pertimbangan pemerintah DKI Jakarta untuk membuat kebijakan langkah adaptasi. Pada penelitian ini digunakan LARS-WG untuk mensimulasikan curah hujan harian pada masa kini dan masa depan. Stasiun BMKG Tanjung Priok dan stasiun BMKG DKI Jakarta Observatorium memiliki data yang cukup lengkap dan baik sehingga dua stasiun tersebut yang dipilih sebagai stasiun pengamatan yang mewakili daerah DKI Jakarta pada penelitian ini. Kondisi hujan ekstrem di DKI Jakarta cenderung fluktuatif dibandingkan dengan data baseline dan puncaknya terdapat pada periode 2011 sampai 2015. Probabilitas banjir tertinggi terdapat pada periode kedua yaitu tahun 2016 hingga tahun 2020, dengan kondisi curah hujan ada di sekitar 180 mm. Kata kunci: curah hujan, hujan ekstrem, metode downscaling stochastic, DKI Jakarta, LARS-WG 1. Pendahuluan Perubahan iklim merupakan salah satu penyebab terjadinya perubahan pola iklim mikro dan ini menyebabkan sering terjadinya cuaca ekstrem. Fenomena ini disebabkan oleh semakin tingginya penggunaan teknologi berbahan bakar fosil di era globalisasi dan ini menyebabkan semakin meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Perubahan temperatur global ini sedikit banyak memberikan pengaruh pada pola presipitasi), termasuk semakin meningkatnya kejadian hujan ekstrem yang terjadi dan sering berakibat banjir. Fenomena cuaca ekstrem ini terjadi hampir di seluruh belahan dunia, cuaca ekstrem ini dapat mengakibatkan kerugian besar dan bahkan mengakibatkan kelumpuhan sementara terhadap sebuah sistem suatu wilayah. Ibukota DKI Jakarta merupakan pusat pemerintahan negara Indonesia, kota terbesar dan terpadat di Indonesia. Banjir adalah salah satu permasalahan di kota DKI Jakarta yang sampai saat ini masih belum dapat diselesaikan. Beberapa kasus terburuk dari kejadian banjir di DKI Jakarta, yaitu tahun 1996 dan 2002. Hal tersebut terjadi kembali pada 2 Februari 2007 dimana banjir besar terulang, yang diakibatkan oleh besarnya curah hujan di wilayah DKI Jakarta Barat, DKI Jakarta Pusat dan DKI Jakarta Utara (Gernowo dan Yulianto, 2010). Historis banjir DKI Jakarta dari catatan sejarah perkembangan kota, banjir besar dimulai tahun 1621, 1654, 1918, 1976, 1996, 2002 dan 2007 (BPBD, 2013). Hujan ekstrem di DKI Jakarta merupakan salah satu penyebab utama banjir, maka dibutuhkan sebuah proyeksi untuk melihat probabilitas terjadinya hujan ekstrem di DKI Jakarta sebagai dasar acuan untuk melihat potensi banjir di masa mendatang. Keluaran model yang yang cukup baik dalam mensimulasikan ENSO-Monsun ada empat model yaitu: (1) ECHAM5 (Jerman), (2) MRI (Jepang), (3) GFDL2.0 dan (4) GFDL2.1 (Amerika Serikat), Model-model tersebut menyediakan data proyeksi iklim (curah hujan dan temperatur bulanan) untuk tahun 2001-2100 (Annamalai dalam Pratopo, 2012). Metode downscaling dibutuhkan untuk mendapatkan proyeksi nilai curah hujan harian. Penelitian Wetterhall dkk. (2007), melakukan pengujian terhadap 3 jenis metode downscaling dengan 4 jenis model, di negara Swedia yaitu analogue method (PCA, TWS), weather-patternclasification method (MOFRBC) dan stochastic method (SDSM). Hasil pengujian menunjukkan bahwa metode weather-pattern-clasification dan stochastic method berhasil mensimulasikannya dengan baik. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan sebuah proyeksi kejadian hujan ekstrem di DKI Jakarta dalam beberapa tahun kedepan menggunakan metode stochastic downscaling hasil proyeksi. Sehingga potensi banjir dapat diperkirakan dan diambil sebuah langkah adaptasi oleh pemerintah DKI Jakarta. 1
2. Metodologi Pada penelitian ini data yang digunakan adalah curah hujan harian historis dan proyeksi curah hujan bulanan. Sementara metode pada penelitian ini terbagi menjadi 4 bagian utama yaitu analisis data observasi dan data proyeksi bulanan untuk mendapat gambaran kondisi hujan ekstrem masa lampau dan juga masa kini, selain itu memastikan data yang digunakan dalam penelitian ini cukup baik, kemudian mengenerate curah hujan harian pada masa kini dan masa depan dengan menggunakan LARS-WG, setelah itu memverifikasi data curah hujan harian hasil model LARS-WG terhadap data observasi pada masa kini (2001-2010) dan diakhiri dengan analisis hujan ekstrem dengan melihat baseline tahun tahun kejadian banjir. Secara garis besar metodologi dalam penlitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Diagram alir penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua jenis yaitu data utama dan data pendukung. Data utama merupakan data yang digunakan sebagai masukan untuk menjalankan model LARS-WG, data tersebut adalah data curah hujan harian untuk wilayah DKI Jakarta dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG), data GSOD 1 untuk melengkapi data curah hujan, dan data hasil proyeksi curah hujan bulanan untuk wilayah DKI Jakarta (Pratopo, 2012). Sebagai data pendukung untuk analisis kejadian banjir diperlukan data kejadian banjir yang terjadi di DKI Jakarta sebagai data pendukung. Penelitian ini diawali dengan analisis kondisi iklim masa lalu dan masa kini ini ada dengan tujuan untuk melihat kondsi iklim dan kemungkinan adanya cuaca ekstrem dan peningkatan curah hujan yang dapat menyebabkan banjir di wilayah DKI Jakarta. Selain data curah hujan, pada analisis ini digunakan juga data-data tahun kejadian banjir. Data tahun 1 Global Summary Of the Day, yang di-update secara harian: GSOD tahun 1980 hingga 2010. Dipublikasikan oleh National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA), dapat diunduh di ftp://ftp.ncdc.noaa.gov/pub/data/gsod/ terjadinya kejadian banjir di DKI Jakarta ini dijadikan sebuah dasar baseline untuk analisis hujan ekstrem. Pada analisis tahap pertama ini, penulis menggunakan analisis Cumulative distribution functions (CDF) untuk mengetahui peluang terjadinya curah hujan ekstrem pada tahun 1980 hingga 2010 dan pengklasifikasian kondisi hujan ekstrem (5% teratas) yang didefinisikan oleh grafik CDF. Cumulative distribution function (CDF) dilakukan untuk menghitung probabilitas dari kejadian (Abiseno, 2013). Jika F adalah CDF dan x dan y adalah hasil, maka Persamaan CDF dapat ditulis seperti pada pada Persamaan (2.1)....(2.1)...(2.2)...(2.3) Setelah data baseline dan output proyeksi bulanan untuk daerah DKI Jakarta yang dilakukan Pratopo (2012) di verifikasi, selanjutnya data tersebut akan dituangkan sebagai inputan dalam model LARS- WG, yang digunakan adalah LARS-WG versi 5. Secara umum terdapat 3 proses utama yang ada dalam model LARS-WG, tahapan pertama adalah site analysis dimana pada tahapan ini data curah hujan baseline akan dikalibrasi dan dianalisis untuk melihat pola atau karakteristiknya. Pada tahap ini LARS-WG menghasilkan dua buah produk yaitu, File parameter (.wg) yang berisikan parameter kondisi baseline pada wilayah tersebut, file statistik (*.sta) dimana produk ini berisikan karakteristik stasiun tersebut dan distribusi frekuensi hari basah dan kering yang digunakan dalam proses QTest. Selama proses kalibrasi, LARS-WG menggunakan metode Cumulative Probability Distributions (CPDs) atau Cumulative distribution function untuk setiap parameter iklim untuk melihat karakteristik statistik dari data tersebut (Semenov dkk., 1998). Proses analisis ini menggunakan distribusi semi-empiris, yaitu distribusi frekuensi dihitung dari data yang diamati, untuk durasi seri basah dan kering, jumlah curah hujan dan radiasi matahari. Persamaan distribusi empiris dapat dilihat pada Persamaan 2.4 dan 2.5....(2.4)...(2.5) Dimana Emp merupakan sebuah fungsi distribusi empiris, sedangkan ai-1<ai, dan hi menunjukkan jumlah peristiwa dari data yang diamati dalam interval i. Setelah melewati proses kalibrasi tahap kedua pada model ini adalah QTEST. Proses ini berfungsi untuk memastikan bahwa distribusi probabilitas data simulasi pada suatu stasiun cukup baik dan dekat dengan data baseline, sebagai acuan untuk melakukan simulasi curah hujan harian jangka panjang. 2
Proses terakhkir adalah mensimulasikan curah hujan sintetis GENERATOR dengan mengumpulkan hasil data yang telah di verifikasi dan mensimulasikan data tersebut untuk menjadi sebuah data sintetis harian dengan menggunakan skenario dan random seed yang telah ditentukan. Seluruh proses ini dapat di lihat Gambar 2.2. 3.1.2. Analisis Masa Kini dan Hasil Proyeksi Analisis kondisi iklim saat ini untuk mverifikasi adanya curah hujan ekstrem tahun 2002 dan 2007. Gambar 3.2 memperlihatkan grafik curah hujan maksimum bulanan periode tahun 2001-2010, dapat dilihat bahwa terjadi puncak puncak curah hujan harian mencapa angka 168 mm untuk bulan Februari 2002 dan 235 mm pada bulan Februari 2007. Gambar 3.2 Grafik curah hujan maksimum setiap bulan dari tahun 2001 hingga 2010, pada stasiun BMKG Pusat/ Observatorium dan BMKG Tanjung Priok Gambar 2.2 Diagram alir LARS WG Hasil dari model ini akan diverifikasi pada tahun 2001 hingga 2010 untuk menentukan random seed mana yang akurasinya paling tinggi. Setelah didapatkan akurasi yang paling tinggi maka, analisis kejadian hujan ekstrem dilakukan meggunakan metode CDF untuk membandingkan hasil proyeksi dengan data baseline untuk didapatkan acuan probabilitas hujan ekstrem. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Analisis DKI Jakarta Masa Lampau dan Masa Kini 3.1.1. Analisis Masa Lampau DKI Jakarta Hasil ini memperkuat penelitian Pratopo (2012) dimana curah hujan ekstrem ini terjadi di seluruh wilayah DKI Jakarta pada bulan Februari periode 1960-2007 adalah sebesar 354 mm meningkat menjadi sebesar 678 mm pada tahun 2007. Dalam penelitian tersebut proyeksi untuk wilayah DKI Jakarta untuk curah hujan, kecocokan komposit paling baik didapatkan dari rata-rata model CSIRO, GFDCL CM2.0 dan GFDLCM2.1 (Pratopo, 2012). Pada Gambar 3.3 grafik antara komposit curah hujan bulanan dengan hasil proyeksi bulana pratopo(2012) dari tahun 2001 hingga 2007, menunjukkan angka korelasi yang cukup tinggi yaitu 0,90. Berdasarkan hasil analisis data historis dari Stasiun BMKG Pusat/Observatorium dan Stasiun BMKG Tanjung Priok, pada Gambar 3.1 terlihat bahwa curah hujan maksimum wilayah tersebut memiliki fluktuasi yang semakin tinggi dan semakin sering terjadi. Gambar 3.3 Grafik komposit bulanan hasil proyeksi (Pratopo, 2012) dan Observasi DKI Jakarta tahun 2007 3.1.3. Analisis Banjir Masa Lampau Gambar 3.1 Grafik curah hujan maksimum setiap bulan dari tahun 1980 hingga 2000, pada stasiun BMKG Pusat/ Observatorium dan BMKG Tanjung Priok. Selain itu periode 1980 hingga 2000 puncak curah hujan ekstrem terlihat pada bulan Februari tahun 1996 dimana pada bulan tersebut stasiun BMKG Observatorium dan BMKG Tanjung Priok merekam adanya curah hujan harian hingga lebih dari 210 mm. Menurut data yang didapatkan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta tentang dokumentasi tahun terjadinya banjir di DKI Jakarta, banjir besar terjadi pada tahun 1621, 1654, 1918, 1976, 1996, 2002, dan 2007 (BPBD, 2013). Pada penelitian ini tahun banjir yang dijadikan acuan yaiut tahun 1996, 2002 dan 2007, dikarenakan data yang digunakan mulai dari 1980 hingga 2010. Pada tahap ini analisis CDF curah hujan maskimum tiap bulannya dari tahun 1980 hingga 2010digunakan mendapatkan sebuah baseline curah hujan ekstrem yang dapat menyebabkan banjir. 3
pada stasiun tanjung priok (b) hasil model cenderung over estimate. (a) Gambar 3.4 Grafik Cumulatif Distribution Function (CDF) dari data curah hujan maksimum bulanan dari tahun 1980 hingga 2010. Berdasarkan penelitian Bodini dan Cossu (2010), batasan (threshold) untuk penentuan nilai curah hujan ekstrem yaitu, ketinggian curah hujan harian yang berada diatas persentil 95. Sehingga peneliti mendefinisikan probabilitas terjadinya hujan ekstrem di DKI Jakarta adalah 5% dari kejadian hujan. Pada Gambar 3.4 menunjukkan kondisi sebaran data untuk curah hujan maksimum diatas 50 mm tiap bulan. Pada probabilitas 5% atas, yang didefinisikan sebagai hujan ekstrem, nilai curah hujan adalah 168,1 mm dan nilai tersebut menyebabkan banjir pada tahun 2002. 3.2. Verifikasi Hasil LARS-WG Verifikasi hasil model LARS-WG menggunakan data observasi curah hujan pada tahun 2001 hingga 2010, terdapat dua jenis verifikasi yang dilakukan pertama adalah melihat sebaran distribusi curah hujan harian kemudian melihat pola bulanannya. Tabel 3.1 memperlihatkan selisih nilai kemencengan (skewness) dan kelancipan (kurtosis) kurva distribusi terlihat pada kedua hasil model terhadap setiap stasiun pengamatan, selisih terbesar nilai skewness dan kurtosis terlihat pada stasiun BMKG Tanjung Priok, dimana pada stasiun tersebut data observasi memiliki puncak kurva distribusi dengan nilai yang lebih kecil daripada hasil model dan meiliki grafik distribusi normal yang lebih lancip dari pada hasil model. Kondisi ini menandakan banyaknya nilai 0 pada data observasi, sehingga hasil model menunjukkan nilai yang relatif over-estimate dibandingkan dengan stasiun BMKG Pusat/Observatorium. Tabel 3.1 Tabel nilai kemencengan (Skewness) dan kelancipan (Kurtosis) kurva distribusi normal pada kedua stasiun pengamatan BMKG Observatorium Model RS 2741 BMKG Tanjung Priok Model RS 3571 Skewness 5.81 6.90 7.71 5.41 Kurtosis 48.99 63.76 95.04 36.91 Gambar 3.5 memperlihatkan perbandingan sebaran data harian dengan data model dan stasiun BMKG Pusat/observatorium hasilnnya dapat mengikuti data observasi (Gambar 3.5 (a)) sedangkan (b) Gambar 3.5 Grafik Cumulative distribution function (CDF) Gambar (a) merupakan grafik CDF CH harian untuk BMKG Pusat/Observatorium dengan Random Seed model 2741 (b) merupakan grafik CDF CH harian untuk BMKG Tanjung Priok dengan Random seed model 3571 Pada penelitian ini, LARS-WG berhasil membuat data harian sintetis dari proyeksi bulanan dengan baik, dimana akurasi korelasi pola bulanannya mencapai angka 0,79 dengan random seed 3571 untuk Stasiun BMKG Tanjung Priok, korelasi model random seed 2741 dengan data observasi Stasiun BMKG Pusat/Observatorium memiliki kemiriripan pola dengan nilai korelasi 0,82. Nilai korelasi bulanan yang baik membuktikan bahwa model ini tidak hanya berhasil medekati pola bulanan dengan memiliki nilai korelasi tinggi tetapi juga dapat menggambarkan pola monsunal yang terjadi di wilayah DKI Jakarta. 3.3. Analisis Proyeksi Hujan Ekstrem dan Probabilitas Banjir Pada tahap ini analsis dilakukan dengan cara melakukan pembagian menjadi 5 periode waktu atau pemotongan interval waktu, yaitu dengan interval 5 tahun. Analisis pada tahap ini menggunakan metode cumulative distribution function (CDF) untuk melihat probabilitas kejadian hujan ekstrem yang digambarkan pada Gambar 3.6. Dari kesepuluh grafik perbandingan hasil model dan baseline banjir, grafik CDF untuk hasil model LARS-WG di DKI Jakarta dari tahun 2011 hingga 2035 menggambarkan fluktuasi curah hujan yang tidak selalu diatas baseline curah hujan makimum. 4
Puncak nilai curah hujan tertinggi ada pada periode pertama yaitu tahun 2011 hingga 2015 dengan kisaran nilai curah hujan adalah 194 mm. Sementara dilihat dari seluruh periode probabilitas terjadinya banjir paling tinggi ada pada periode kedua (2016-2020), dimana dari kedua stasiun menunjukkan grafik proyeksi curah hujan ekstrem diatas nilai baseline dengan nilai curah hujan 180 mm atau dengan memiliki probabilitas sebesar 7% lebih beresiko dibandingkan dengan data baseline. Sementara pada periode lain hanya salah satu stasiun yang berada diatas grafik baseline. 2011-2015 2016-2020 2021-2025 2026-2030 2031-2035 A B C D E F G H I J Gambar 3.6 Grafik Cumulative Distribution Curve (CDF) dari tahun 2011 hingga 2035, gambar (A) sampai (E) merupakan Grafik CDF untuk BMKG Tanjung Priok sedangkan gambar (F) hingga (J) merupakan grafik CDF untuk stasiun BMKG Observatorium/Pusat. 4. Kesimpulan Dari penelitian ini penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa LARS WG berhasil membuat data harian sintetis dari proyeksi bulanan dengan baik, dimana akurasi korelasi pola bulanannya mencapai angka 0,79 untuk Stasiun BMKG Tanjung Priok dan 0,82 untuk Stasiun BMKG Pusat/Observatorium. Kondisi hujan ekstrem di DKI Jakarta cenderung fluktuatif dibandingkan dengan data baseline dan puncak curah hujan harian tertinggi terdapat pada stasiun BMKG Tanjung Priok dengan nilai 194,7 mm untuk periode tahun 2011 hingga 2015, tetapi pada stasiun BMKG Pusat/Observatorium hanya menunjukkan nilai 126,8 mm sehingga, probabilitas banjir akibat hujan ekstrem tertinggi terdapat pada periode kedua yaitu tahun 2016 hingga tahun 2020, karena kedua stasiun pengamatan menunjukkan nilai curah hujan ekstrem harian berada diatas nilai baseline yaitu 180 mm atau 7% lebih beresiko dibandingkan dengan data historis. REFERENSI Abiseno, P. (2013). Identifikasi Kejadian Hujan Ekstrem Berdasarkan Data Tropical Rainfall Measuring Mission (Trmm) Secara TemporaL (studi kasus:soreang). Bandung: ITB. Bodini, A., & Cossu, Q. (2010). Vulnerability Assessment of Central-East Sardinia 5 (Italy) to Extreme Rainfall Events. Journal of Natural Hazards and Earth System Sciences, 61-72. BPBD. (2013). Profil BPBP DKI JAKARTA. Retrieved agustus 20, 2013, from BPBP DKI JAKARTA: http://bpbd.jakarta.go.id/ Gernowo, R., & Yulianto, T. (2010). Fenomena Perubahan Iklim dan Karakteristik Curah Hujan Ekstrim di DKI Jakarta. Pertemuan ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, (hal. 13-18). Semarang. Irwin, S. E., Sarwar, R., King, L. M., & Simonovic, S. P. (2012). Assessment of Climating Vulnerability in the Upper Thames river basin: Downscaling with LARS-WG. Ontario: The University of Western Ontario. Pratopo, K. (2012). Analisis dan Proyeksi Curah Hujan dan Temperatur Implikasi Perubahan Iklim Wilayah DKI Jakarta. Bandung: ITB. Semenov, M. A., Brooks, R. J., Barrow, E. M., & Richardson, C. W. (1998). Comparison of the WGEN and LARS-WG Stochastic Weather Generator for Climates. Climate research, vol. 10: 95-107. Wetterhall, F., Halldin, S., & Xu, C. Y. (2007). Seasionality Properties of Four Statistical- Downscaling methods in Central Sweden. 87.