Gambar 1. Peta DAS penelitian

dokumen-dokumen yang mirip
Paramukti Murwibowo Totok Gunawan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ABSTRAK PENDAHULUAN. Desi Etika Sari 1, Sigit Heru Murti 2 1 D3 PJ dan SIG Fakultas Geografi UGM.

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DAERAH ALIRAN SUNGAI

ANALISIS LIMPASAN PERMUKAAN (RUNOFF) PADA SUB-SUB DAS RIAM KIWA MENGGUNAKAN METODE COOK

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy

BAB I PENDAHULUAN. secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan

dalam ilmu Geographic Information (Geomatics) menjadi dua teknologi yang

MODEL HIDROGRAF BANJIR NRCS CN MODIFIKASI

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pemodelan Hidrologi Untuk Identifikasi Daerah Rawan Banjir Di Sebagian Wilayah Surakarta Menggunakan SIG

BAB III METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

III. METODE PENELITIAN

PENDAHULUAN. tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan menjadi aliran sungai yang

BAB V FORMULASI MODEL KOMPUTER

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

Surface Runoff Flow Kuliah -3

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012

PENGARUH PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP DEBIT PUNCAK PADA SUBDAS BEDOG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. R. Muhammad Isa

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

ESTIMASI DEBIT PUNCAK UNTUK IDENTIFIKASI POTENSI BANJIR PADA DAS JANGKOK MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SIG

Pemanfaatan Citra Landsat ETM+ dan Sistem Informasi Geografis untuk Pendugaan Limpasan Permukaan di DAS Jene berang Hulu Provinsi Sulawesi Selatan

REVIEW JURNAL INTERNASIONAL TENTANG PENGINDRAAN JAUH (REMOTE SENSING)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

IV. METODE PENELITIAN

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENGGUNAAN CITRA LANDSAT 8 DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ESTIMASI DEBIT PUNCAK DI DAERAH ALIRAN SUNGAI UNDA PROVINSI BALI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Nilai Koefisien Limpasan di DAS Krueng Meureudu Provinsi Aceh

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

BAB I PENDAHULUAN. penduduk akan berdampak secara spasial (keruangan). Menurut Yunus (2005),

Aspek Perubahan Lahan terhadap Kondisi Tata Air Sub DAS Cisangkuy-DAS Citarum

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

BIOFISIK DAS. LIMPASAN PERMUKAAN dan SUNGAI

Baseflow SebagaiVariabelHidrologis Daerah Aliran Sungai, Studi Kasus 30 DAS di Pulau Bali

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Aplikasi Teknik Penginderaan Jauh Untuk Mengkaji Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Debit Puncak Di Sub DAS Garang ( Kreo Basin ) Semarang

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

METODE PENELITIAN Lokasi dan waktu Bahan dan Alat

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SKRIPSI PEMODELAN SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI BANJIR GENANGAN DI WILAYAH KOTA SURAKARTA DENGAN PENDEKATAN METODE RASIONAL (RATIONAL RUNOFF METHOD)

BAB III METODE PENELITIAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN

PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH MULTITEMPORAL UNTUK KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (Kasus di Sub DAS Karang Mumus, Kalimantan Timur)

III. BAHAN DAN METODE

MODEL SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ESTIMASI KOEFISIEN ALIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN TUTUPAN LAHAN DI DAS RIAM KANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SKRIPSI. Oleh : MUHAMMAD TAUFIQ

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

ESTIMASI DEBIT ALIRAN BERDASARKAN DATA CURAH HUJAN DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (STUDI KASUS : WILAYAH SUNGAI POLEANG RORAYA)

Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. penelitian dengan baik dan benar, metode penelitian juga merupakan suatu cara

Penggunaan SIG Untuk Pendeteksian Konsentrasi Aliran Permukaan Di DAS Citarum Hulu

BAB I PENDAHULUAN. Gabungan antara karakteristik hujan dan karakteristik daerah aliran sungai

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB III METODE PENELITIAN

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIUNTUK PENGHITUNGAN KOEFISIEN ALIRAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)CILIWUNG

ANALISA BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI DARI DATA ASTER GDEM TERHADAP DATA BPDAS (STUDI KASUS : SUB DAS BUNGBUNTU DAS TAROKAM)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar 1. Lokasi Penelitian

KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

ESTIMASI STOK KARBON MENGGUNAKAN CITRA ALOS AVNIR-2 DI HUTAN WANAGAMA KABUPATEN GUNUNGKIDUL. Agus Aryandi

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Daftar Lampiran...

BAB I PENDAHULUAN I-1

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal.

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN

Transkripsi:

Gambar 1. Peta DAS penelitian 1

1.1. Proses Penentuan Model Kemiringan Lereng Kemiringan lereng ditentukan berdasarkan informasi ketinggian dan jarak pada data DEM yang berbasis raster (piksel). Besarnya nilai kemiringan lereng diperoleh dengan menghitung perbedaan tinggi dan jarak antara satu piksel dengan piksel tetangganya. Nilai kemiringan lereng ini adalah dalam bentuk persentase dimana persentase kemiringan lereng adalah rasio antara perbedaan tinggi dan jarak dikali dengan 100%. Hasil penentuan model kemiringan lereng ini menghasilkan nilai persentase kemiringan lereng pada setiap pikselnya dengan resolusi spasial 30x30 m. Selanjutnya nilai persentase kemiringan lereng tersebut diklasifikasikan menurut Metode Cook yang dimodifikasi SCDT (2011) untuk memperoleh skor koefisien limpasan permukaan (C) (Tabel 1). Untuk itu, model kemiringan lereng dikonversi sehingga menghasilkan data skor koefisien C untuk kemiringan lereng. Tabel 1. Skor Koefisien C untuk Kemiringan Lereng dalam Metode Cook Kemiringan Lereng Skor Koefisien C 0-5 % 0,08 - < 0,14 > 5-10 % 0,14 - < 0,20 > 10-30 % 0,20 - < 0,28 > 30 % 0,28-0,35 Sumber: Meijerink (1970), Gunawan (1991), dan SCDT (2011) dengan modifikasi 1.2. Proses Penentuan Model Infiltrasi Tanah Penentuan infiltrasi dalam penelitian ini adalah dalam bentuk kapasitas infiltrasi. Penentuan infiltasi melalui kapasitas infiltrasi dilakukan dengan pendekatan satuan lahan dengan asumsi bahwa tiap satuan lahan memiliki kecepatan infiltrasi yang sama. Penyusunan satuan lahan ditentukan berdasarkan faktor-faktor tutupan lahan yang mempengaruhi kecepatan infiltrasi. Menurut Hadisusanto (2010), faktor-faktor tutupan lahan yang mempengaruhi kecepatan infiltrasi adalah kondisi permukaan tanah dan karakteristik tanah. Kondisi permukaan tanah untuk jenis tutupannya direpresentasikan sebagai penutupan lahan, sedangkan untuk karakteristik tanah direpresentasikan sebagai jenis tanah. Kedua aspek tersebut kemudian dijadikan dasar untuk menyusun satuan lahan untuk penentuan infiltrasi tanah. Suatu area dengan jenis tanah dan penutup lahan tertentu memiliki kapasitas/kecepatan infiltrasi yang berbeda dengan area dengan jenis tanah dan penutup lahan lainnya. Masing-masing satuan lahan kemudian memiliki nilai kapasitas infiltrasi tanah yang diketahui dengan pengukuran sebenarnya di lapangan. 2

1.2.1. Interpretasi Penutupan Lahan dari Citra Landsat 7 ETM+ Peta penutupan lahan diperoleh dari interpretasi penutupan lahan yang dilakukan secara digital pada citra Landsat 7 ETM+ dengan interpretasi visual. Citra Landsat 7 ETM+ disusun secara komposit untuk memudahkan identifikasi perbedaan antar obyek. Interpretasi visual dilakukan menggunakan kunci-kunci interpretasi dan local knowledge yang dimiliki penulis. Klasifikasi penutupan lahan didasarkan pada tipe penutup suatu lahan, seperti lahan terbangun, lahan terbuka, pertanian lahan kering, pertanian lahan basah, semak belukar, hutan, rawa, dan tubuh air. Interpretasi penutupan lahan ini menghasilkan peta penutupan lahan. 1.2.2. Penentuan Data Satuan Lahan Peta satuan lahan disusun menggunakan masukan dua peta, yaitu peta penutupan lahan dan peta jenis tanah. Penyatuan kedua peta dilakukan dengan cara tumpangsusun (overlay), seperti yang dijelaskan pada Gambar 2. Peta Penggunaan Lahan Peta Jenis Tanah overlay Peta Satuan Lahan Gambar 2. Skema Proses Pembuatan Peta Satuan Lahan untuk Penentuan Infiltrasi Tanah Peta satuan lahan yang dihasilkan memiliki pasangan informasi jenis tanah dan penutup lahan. Masing-masing pasangan informasi tersebut kemudian dikonversi menjadi satu informasi kapasitas infiltrasinya. 1.2.3. Penentuan Data Kapasitas Infiltrasi Tanah Kapasitas infiltrasi ditentukan menggunakan Metode Horton. Metode Horton memiliki tingkat ketepatan model terbaik bila dibandingkan dengan metode infiltrasi lainnya, selain itu modifikasi infiltrasi metode ini dapat dipergunakan untuk menggambarkan hubungan antara infiltrasi dengan curah hujan yang selanjutnya bermanfaat untuk memprediksi limpasan permukaan (Hadisusanto, 2010). Persamaan Metode Horton untuk perhitungan infiltrasi adalah sebagai berikut. Ft = fc + (fo fc). e K.t...... (1) Ft = Kapasitas infiltrasi ( mm / jam ) fc = Kecepatan infiltrasi konstan ( mm / jam ) fo = Kecepatan infiltrasi awal ( mm / jam ) e = 2,71828 K = Konduktivitas hidraulik jenuh tanah ( mm / jam ) t = Waktu (jam) 3

Kecepatan infiltrasi awal dan konstan diperoleh dengan cara pengukuran langsung di lapangan. Konduktivitas hidraulik jenuh tanah ditentukan menggunakan software Soil Water Characteristics yang disusun oleh USDA dan Washington State University. Penentuan konduktivitas hidraulik jenuh tanah tersebut menggunakan informasi persentase fraksi tekstur tanah dari analisis laboratorium. Hasil penentuan model infiltrasi tanah ini menghasilkan nilai kapasitas infiltrasi tanah pada setiap satuan lahan (data vektor). Data vektor tersebut kemudian diubah menjadi data raster (piksel) dengan resolusi spasial 30x30 m. Selanjutnya nilai kapasitas infiltrasi tanah tersebut diklasifikasikan menurut Metode Cook yang dimodifikasi SCDT (2011) untuk memperoleh skor koefisien limpasan permukaan (C) (Tabel 2). Untuk itu, model infiltrasi tanah dikonversi sehingga menghasilkan data skor koefisien C untuk infiltrasi tanah. Tabel 2. Skor Koefisien C untuk Infiltrasi Tanah dalam Metode Cook Infiltrasi Tanah Skor Koefisien C 0-2,5 mm / jam 0,16-0,12 > 2,5-15 mm / jam < 0,12-0,08 > 15-28 mm / jam < 0,08-0,06 > 28-53 mm / jam < 0,06-0,04 > 53 mm / jam < 0,04-0,02 Sumber: Rickard & Cossens (1965) dalam ILRI (1974), Meijerink (1970), Gunawan (1991), dan SCDT (2011) dengan modifikasi 1.3. Proses Penentuan Model Tutupan Vegetasi Penentuan tutupan vegetasi dalam penelitian ini adalah dalam bentuk persentase tutupan vegetasi. Persentase tutupan vegetasi ditentukan berdasarkan informasi indeks vegetasi yang diekstraksi dari citra Landsat 7 ETM+. Adanya korelasi antara indeks vegetasi dan persentase tutupan vegetasi sebenarnya di lapangan dijadikan dasar untuk penentuan model tutupan vegetasi. 1.3.1. Penentuan Indeks Vegetasi (NDVI) Indeks vegetasi merupakan transformasi matematis yang diterapkan terhadap citra saluran multispektral (melibatkan beberapa saluran sekaligus) untuk menghasilkan informasi baru yang menonjolkan aspek kerapatan vegetasi ataupun aspek lain yang berkaitan dengan kerapatan, misalnya biomassa, indeks area vegetasi (Leaf Area Index/LAI), konsentrasi klorofil, dan lainnya. NDVI (Normalized Difference Vegetation Indices) adalah indeks vegetasi yang paling umum digunakan. Ekstraksi indeks vegetasi yang menggunakan nilai reflektansi spektral pada citra Landsat 7 ETM+ menggunakan persamaan NDVI berikut. 4

NDVI = ssssssssssssss iiiiiiiiiiiiiiiiiiii dddddddddd ssssssssssssss mmmmmmmmmm..... (2) ssssssssssssss iiiiiiiiiiiiiiiiiiii dddddddddd + ssssssssssssss mmmmmmmmmm Saluran inframerah dekat = Saluran 4 pada citra Landsat 7 ETM+ Saluran merah = Saluran 3 pada citra Landsat 7 ETM+ Hasil dari ektraksi NDVI adalah informasi indeks vegetasi pada setiap piksel dengan nilai -1 hingga 1. Nilai yang mendekati -1 menunjukkan area memiliki vegetasi yang sangat jarang hingga tidak ada vegetasi, dan sebaliknya nilai yang mendekati 1 menunjukkan area memiliki vegetasi yang sangat rapat. Nilai ini belum dapat diturunkan menjadi persentase tutupan vegetasi, namun dapat diturunkan dengan cara membandingkannya dengan persentase tutupan vegetasi di lapangan. 1.3.2. Penentuan Persentase Tutupan Vegetasi dari Citra GeoEye Persentase tutupan vegetasi cukup sulit diketahui di lapangan dikarenakan beberapa area memiliki kondisi tutupan vegetasi yang sangat rapat. Persentase tutupan vegetasi dapat diketahui dengan cara interpretasi visual citra GeoEye. Citra ini memiliki resolusi spasial yang sangat tinggi, yaitu 40 cm sehingga kenampakan tutupan vegetasi terlihat memiliki batas yang cukup jelas. Pengukuran persentase tutupan vegetasi dilakukan pada beberapa sampel area dengan luas 90 m x 90 m (ukuran 3x3 piksel data indeks vegetasi). Pengukuran dilakukan dengan interpretasi visual pada skala observasi/interpretasi 1:1000. Persamaan yang digunakan untuk menghitung persentase tutupan vegetasi adalah sebagai berikut. Vc = CC x 100%..... (3) AA Vc = Persentase tutupan vegetasi C = Luas area tutupan vegetasi A = Total luas area sampel 1.3.3. Penentuan Data Tutupan Vegetasi Data tutupan vegetasi ditentukan berdasarkan persamaan regresi yang dihasilkan dari perbandingan nilai persentase tutupan vegetasi dari citra GeoEye dengan nilai indeks vegetasi dari citra Landsat 7 ETM+. Persamaan regresi dari perbandingan kedua data tersebut dapat mengkonversi nilai indeks vegetasi menjadi model tutupan vegetasi yang memiliki informasi persentase tutupan vegetasi. Persamaan analisis regresi sendiri adalah gambaran respon variabel terikat (Y) oleh adanya perubahan variabel bebas (X). Variabel terikat (Y) dalam hal ini adalah data indeks vegetasi hasil ekstraksi citra Landsat 7 ETM+, sedangkan variabel bebas (X) adalah data hasil pengukuran persentase 5

tutupan vegetasi dari citra GeoEye. Persamaan regresi yang digunakan adalah regresi linier sederhana, yaitu Y = a + bx dimana nilai a dan b merupakan koefisien regresi. Konversi data dapat dilakukan dengan cara nilai persentase tutupan vegetasi (variabel X) yang ditentukan dari nilai indeks vegetasi (variabel Y) dengan persamaan X = Y a. Hasil penentuan model tutupan vegetasi ini menghasilkan nilai persentase tutupan vegetasi pada setiap pikselnya dengan resolusi spasial 30x30 m. Selanjutnya nilai persentase tutupan vegetasi tersebut diklasifikasikan menurut Metode Cook yang dimodifikasi SCDT (2011) untuk memperoleh skor koefisien limpasan permukaan (C) (Tabel 3). Untuk itu, model tutupan vegetasi dikonversi sehingga menghasilkan data skor koefisien C untuk tutupan vegetasi. Tabel 3. Skor Koefisien C untuk Tutupan Vegetasi dalam Metode Cook Tutupan Vegetasi Skor Koefisien C 0 % 0,14 > 0-10 % 0,12-0,08 > 10-80 % < 0,08-0,06 > 80 % < 0,06-0,04 Sumber: Meijerink (1970), Gunawan (1991), dan SCDT (2011) dengan modifikasi b 1.4. Proses Penentuan Model Kerapatan Aliran Kerapatan aliran ditentukan berdasarkan informasi morfometri suatu cekungan aliran sungai. Cekungan aliran sungai ditentukan berdasarkan informasi Basin, seperti pada penentuan sub DAS dan sub sub DAS. Besarnya nilai kerapatan aliran diperoleh dengan menghitung rasio antara panjang sungai dan luas area cekungan (DAS) sungai tersebut berada. Persamaan yang digunakan untuk menghitung kerapatan aliran adalah sebagai berikut. Dd = Kerapatan aliran ( km / km 2) L = Panjang sungai (km) A = Luas area DAS (km 2 ) Dd = LL AA... (4) Hasil penentuan model kerapatan aliran ini menghasilkan nilai kerapatan aliran pada setiap basin (data vektor). Data vektor tersebut kemudian diubah menjadi data raster (piksel) dengan resolusi spasial 30x30 m. Selanjutnya nilai kerapatan aliran tersebut diklasifikasikan menurut Metode Cook yang dimodifikasi SCDT (2011) untuk memperoleh skor koefisien limpasan permukaan (C) (Tabel 4). Untuk itu, model kerapatan aliran dikonversi sehingga menghasilkan data skor koefisien C untuk kerapatan aliran. 6

Tabel 4. Skor Koefisien C untuk Kerapatan Aliran dalam Metode Cook Kerapatan Aliran Skor Koefisien C 0-1 km / km 2 0,04 - < 0,06 > 1-2 km / km 2 0,06 - < 0,08 > 2-5 km / km 2 0,08 - < 0,10 > 5 km / km 2 0,10-0,12 Sumber: Meijerink (1970), Gunawan (1991), dan SCDT (2011) dengan modifikasi 2. Pemodelan Hidrologi 3.8.1. Penentuan Model Koefisien Aliran Limpasan Permukaan Koefisien aliran limpasan permukaan (Runoff Coefficient) ditentukan berdasarkan 4 model yang telah disusun sebelumnya, yaitu model kemiringan lereng, model infiltrasi tanah, model tutupan vegetasi, dan model simpanan permukaan. Keempat model yang berbasis raster (piksel) tersebut memiliki informasi nilai skor C pada setiap pikselnya. Koefisien aliran diperoleh dari total nilai skor koefisien C pada keempat model tersebut. Total nilai skor C diperoleh dengan cara tumpangsusun (overlay) keempat model tersebut. Persamaan yang digunakan untuk menghitung koefisien aliran adalah sebagai berikut. C = C slo + C inf + C vc + C dd...... (5) C = Koefisien Aliran C slo = Skor koefisien C pada model kemiringan lereng C inf = Skor koefisien C pada model infiltrasi tanah C vc = Skor koefisien C pada model tutupan vegetasi C dd = Skor koefisien C pada model kerapatan aliran 3.8.2. Penentuan Model Limpasan Permukaan Penentuan limpasan permukaan dilakukan dengan cara pemodelan yang menggunakan persamaan model hidrologi untuk limpasan permukaan. Persamaan model hidrologi yang digunakan adalah sebagai berikut. R o = C. I............. (6) R o = Limpasan Permukaan ( mm / jam ) C = Koefisien Aliran I = Curah Hujan ( mm / jam ) Input data dalam persamaan hidrologi tersebut adalah data dengan basis raster (piksel) sehingga dihasilkan limpasan permukaan juga dalam basis raster (piksel) dengan resolusi spasial 30x30 m. Input curah hujan yang digunakan adalah curah hujan rencana pada beberapa periode ulang maka akan menghasilkan model limpasan permukaan pada beberapa periode ulang. 7

3.8.3. Penentuan Model Debit Limpasan Permukaan Data limpasan permukaan yang berupa intensitas limpasan permukaan dengan satuan mm / jam kemudian digunakan untuk menentukan debit limpasan permukaan dengan satuan m 3 / detik. Limpasan permukaan ditentukan dalam bentuk debit dikarenakan debit merupakan volume aliran pada satuan waktu tertentu dimana terkait dengan satuan kapasitas maksimum sungai yang nantinya akan dibandingkan. Persamaan penentuan debit limpasan permukaan diturunkan dari persamaan Metode Rasional. Area perhitungan debit pada penelitian adalah setiap piksel (30x30 m) yang tidak luas. Untuk itu Metode Rasional dapat digunakan dalam penelitian ini. Persamaan Metode Rasional adalah sebagai berikut. Q = 0,278. C. I. A..... (7) Q = Debit aliran (m 3 / detik ) C = Koefisien aliran I = Intensitas curah hujan ( mm / jam ) A = Luas DAS (km 2 ) C merupakan koefisien aliran permukaan yang merupakan rasio antara intensitas limpasan permukaan dan intensitas curah hujan, sedangkan I merupakan intensitas curah hujan, sehingga perhitungan C. I menghasilkan intensitas limpasan permukaan. Untuk itu persamaan Metode Rasional dapat diturunkan sebagai berikut. Q = 0,278. R o. A.... (8) Q = Debit aliran (m 3 / detik ) R o = Limpasan permukaan ( mm / jam ) A = Luas DAS (km 2 ) Metode Rasional ini diimplementasikan pada data limpasan dengan basis raster (piksel) pada ukuran 30x30 m sehingga nilai area A dalam persamaan ini sama dengan nilai area sel atau ukuran piksel, yaitu 900 m 2. 3.8.4. Penentuan Model Akumulasi Aliran Limpasan Permukaan Penentuan debit akumulasi limpasan permukaan dilakukan dengan pemodelan menggunakan akumulasi aliran (Flow Accumulation). Model Flow Accumulation dibuat menggunakan fitur GIS Surface Hydrology Tools. Seperti yang telah dijelaskan pada bab 2 mengenai GIS Surface Hydrology Tools, untuk membuat model Flow Accumulation maka perlu dilakukan Fill dan Flow Direction. Data yang dimasukan dalam pembuatan model ini adalah data DEM yang telah dibuat sebelumnya. Seluruh data dalam pemodelan ini dilakukan pada basis raster 8

(piksel) dengan resolusi spasial 30x30 m. Setelah diperoleh model Flow Direction, selanjutnya dibuat model Flow Accumulation untuk limpasan permukaan pada beberapa periode ulang. Model debit akumulasi limpasan permukaan ini menghasilkan nilai debit akumulasi limpasan permukaan pada tiap piksel (30x30 m) yang berasal dari aliran limpasan permukaan di area sekitarnya. 9

10