STATEMENT KEBIJAKAN MONETER

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN KEBIJAKAN MONETER

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

1. Tinjauan Umum

PERKEMBANGAN EKONOMI TERKINI, PROSPEK DAN RISIKO

LAPORAN KEBIJAKAN MONETER

STATEMENT KEBIJAKAN MONETER

Ekonomi, Moneter dan Keuangan

LAPORAN KEBIJAKAN MONETER

Kinerja CARLISYA PRO MIXED

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

Kinerja CARLISYA PRO SAFE

TINJAUAN KEBIJAKAN MONETER

ANALISIS TRIWULANAN:

STATEMENT KEBIJAKAN MONETER

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

STATEMENT KEBIJAKAN MONETER

STATEMENT KEBIJAKAN MONETER

STATEMENT KEBIJAKAN MONETER

Kinerja CENTURY PRO FIXED

Juni Tinjauan. Ekonomi, Moneter, dan Keuangan. Jln. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Indonesia w w w.bi.go.id

ANALISIS TRIWULANAN:

STATEMENT KEBIJAKAN MONETER

Kinerja CARLISYA PRO FIXED

LAPORAN KEBIJAKAN MONETER

LAPORAN KEBIJAKAN MONETER

Kondisi Perekonomian Indonesia

Analisis Triwulanan Perkembangan Moneter, Perbankan Dan Sistem Pembayaran Triwulan III 2015 ANALISIS TRIWULANAN

LAPORAN KEBIJAKAN MONETER

Juni Tinjauan. Ekonomi, Moneter, dan Keuangan. Jln. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Indonesia w w w.bi.go.id

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Maret Tinjauan. Ekonomi, Moneter, dan Keuangan

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

PERKEMBANGAN TERKINI, TANTANGAN, DAN PROSPEK EKONOMI INDONESIA

LAPORAN KEBIJAKAN MONETER

CENTURY PRO MIXED Dana Investasi Campuran

Perkembangan Terkini Perekonomian Global dan Nasional serta Tantangan, dan Prospek Ekonomi ke Depan. Kantor Perwakilan BI Provinsi Kalimantan Timur

STATEMENT KEBIJAKAN MONETER

STATEMENT KEBIJAKAN MONETER

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

Kinerja CARLISYA PRO SAFE

STATEMENT KEBIJAKAN MONETER

LAPORAN EKONOMI MAKRO KUARTAL III-2014

CARLISYA PRO FIXED Dana Investasi Syariah Pendapatan Tetap

TINJAUAN KEBIJAKAN MONETER

Februari 2017 RESEARCH TEAM

Kebijakan. Ekonomi, Moneter, dan Keuangan

Tinjauan Kebijakan Moneter Maret 2013

CARLISYA PRO SAFE Dana Investasi Syariah Pasar Uang

CENTURY PRO FIXED Dana Investasi Pendapatan Tetap

April Tinjauan. Ekonomi, Moneter, dan Keuangan

Tinjauan Kebijakan Moneter Februari 2013

CENTURY PRO MIXED Dana Investasi Campuran

STATEMENT KEBIJAKAN MONETER

Tinjauan Kebijakan Moneter Februari 2012

STATEMENT KEBIJAKAN MONETER

Juni 2017 RESEARCH TEAM

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN

Tinjauan Kebijakan Moneter September 2012

Inflasi IHK 2015 Berada dalam Sasaran Inflasi Bank Indonesia

Monthly Market Update

CARLINK PRO SAFE Dana Investasi Pasar Uang

DAMPAK KRISIS EKONOMI GLOBAL TERHADAP KONDISI PERBANKAN DAN SEKTOR RIIL DI WILAYAH KERJA KBI KUPANG

Tinjauan Kebijakan Moneter Januari 2013

PERKEMBANGAN DAN PROFIL RISIKO INDUSTRI JASA KEUANGAN FEBRUARI 2015

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I ANALISIS TRIWULANAN

LAPORAN KINERJA BULANAN - PANIN Rp CASH FUND

Tinjauan Kebijakan Moneter November 2012

BAB I PENDAHULUAN. Pencerminan tingkat inflasi merupakan persentasi kecepatan naiknya harga-harga

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

Tinjauan Kebijakan Moneter Juni 2011

LAPORAN KEBIJAKAN MONETER

MEDIA BRIEFING Pusat HUMAS Departemen Perdagangan Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta Tel: /Fax:

BAB I KONDISI EKONOMI MAKRO TAHUN 2004

LAPORAN KINERJA BULANAN - PANIN Rp CASH FUND

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

Laporan. Kebijakan Moneter Ekonomi, Moneter, dan Keuangan

LAPORAN KEBIJAKAN MONETER

STATEMENT KEBIJAKAN MONETER

TPI dan Pokjanas TPID. Analisis Inflasi. Analisis Inflasi Januari 2016 TPI dan Pokjanas TPID 1. Inflasi Januari 2016 Melambat dan Terkendali

ANALISA PERUBAHAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA DALAM RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran

SEBERAPA JAUH RUPIAH MELEMAH?

ASUMSI NILAI TUKAR, INFLASI DAN SUKU BUNGA SBI/SPN APBN 2012

Realisasi Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBNP 2015

LAPORAN KINERJA BULANAN - PANIN Rp CASH FUND

RELEASE NOTE INFLASI AGUSTUS 2017

BAB I PERKEMBANGAN EKONOMI SEMESTER I DAN PROGNOSIS SEMESTER II TAHUN 2009

4. Outlook Perekonomian

LAPORAN KEBIJAKAN MONETER

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2003

Kinerja CARLISYA PRO MIXED

PERKEMBANGAN DAN PROFIL RISIKO INDUSTRI JASA KEUANGAN FEBRUARI 2015

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

Tinjauan Kebijakan Moneter Maret Dewan Gubernur

RELEASE NOTE INFLASI DESEMBER 2017

Transkripsi:

TINJAUAN KEBIJAKAN MONETER 1 STATEMENT KEBIJAKAN MONETER Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 11 Desember 2014 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,75%, dengan suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility masing-masing tetap pada level 8,00% dan 5,75%. Tingkat suku bunga tersebut masih konsisten untuk memastikan tekanan inflasi jangka pendek pasca kebijakan realokasi subsidi BBM yang ditempuh Pemerintah akan tetap terkendali dan temporer sehingga akan kembali menuju ke sasaran 4±1% pada 2015. Kebijakan tersebut juga sejalan dengan langkah-langkah stabilisasi yang ditempuh selama ini untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat. Bank Indonesia terus memperkuat bauran kebijakan untuk memastikan stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan tetap terjaga. Kebijakan moneter yang cenderung ketat tetap dilanjutkan untuk mengendalikan inflasi dan defisit transaksi berjalan, sementara kebijakan makroprudensial yang akomodatif ditempuh agar pengetatan moneter tersebut tidak menimbulkan risiko terhadap stabilitas sistem keuangan. Kebijakan sistem pembayaran diarahkan untuk mendukung penyaluran program sosial Pemerintah dan memperluas Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT). Selain itu, koordinasi kebijakan antara Bank Indonesia dan Pemerintah juga terus diintensifkan untuk menjaga stabilitas makroekonomi, khususnya dalam mengendalikan tekanan inflasi pasca kebijakan realokasi subsidi BBM dan defisit transaksi berjalan, serta mempercepat kebijakan reformasi struktural untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan. Di sisi global, pemulihan ekonomi dunia terus berlanjut meski tidak merata dan cenderung lambat. Perekonomian AS, yang menjadi motor pemulihan ekonomi global, terus menunjukkan perbaikan dan berada dalam siklus yang meningkat. Sejalan dengan itu, normalisasi kebijakan moneter the Fed terus berlangsung dengan kemungkinan kenaikan Fed Fund Rate (FFR) mulai triwulan II-2015 sehingga mendorong apresiasi dolar AS yang kuat terhadap hampir seluruh mata uang dunia dan meningkatkan risiko pembalikan modal asing dari emerging markets, termasuk Indonesia. Sebaliknya, perekonomian Eropa dan Jepang masih mengalami tekanan meskipun terus dilakukan stimulus dari sisi moneter. Perlambatan ekonomi Tiongkok juga terus berlangsung akibat proses rebalancing ekonomi yang ditempuhnya. Perkembangan ini telah mendorong harga komoditas global khususnya komoditas mineral dan pertanian menurun lebih besar dari yang diperkirakan. Pola pertumbuhan ekonomi dunia dan penurunan harga komoditas tersebut berpengaruh terhadap struktur ekspor Indonesia dengan meningkatnya ekspor manufaktur dan masih tertekannya ekspor komoditas primer. Sementara itu, harga minyak dunia menurun drastis dan diperkirakan akan berlanjut di tahun 2015 seiring dengan pasokan yang meningkat dari AS di tengah permintaan dunia yang melambat. Secara keseluruhan, sebagai negara yang net importer dalam minyak, penurunan harga minyak dunia akan berpengaruh positif terhadap perekonomian Indonesia, baik dari sisi fiskal, neraca pembayaran maupun pertumbuhan ekonomi. Di sisi domestik, pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV-2014 diperkirakan masih melambat meskipun akan mulai kembali membaik di triwulan I-2015. Konsumsi diperkirakan sedikit melambat pada triwulan IV-2014, terutama didorong oleh masih 1

melambatnya konsumsi pemerintah sejalan dengan program penghematan dan melambatnya konsumsi rumah tangga sebagai dampak dari kenaikan inflasi. Konsumsi akan kembali meningkat lebih tinggi pada triwulan I-2015 didorong oleh kenaikan konsumsi Pemerintah seiring dengan membesarnya ruang fiskal. Meningkatnya pertumbuhan konsumsi tersebut akan mendorong kenaikan investasi baik bangunan maupun non-bangunan. Dari sisi eksternal, meskipun terjadi peningkatan ekspor manufaktur, secara keseluruhan pertumbuhan ekspor masih terbatas akibat masih tertekannya ekspor komoditas sejalan dengan melambatnya permintaan negara emerging market. Untuk keseluruhan tahun 2014, pertumbuhan ekonomi diperkirakan mendekati batas bawah kisaran 5,1-5,5%, namun kembali meningkat di triwulan I-2015 dan diperkirakan akan mencapai kisaran 5,4-5,8% pada 2015. Kinerja neraca pembayaran semakin sehat dengan menurunnya defisit transaksi berjalan dan besarnya surplus neraca modal. Neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus 0,02 miliar dolar AS pada Oktober 2014 setelah pada bulan sebelumnya mengalami defisit sebesar 0,26 miliar dolar AS. Kinerja positif tersebut didukung oleh surplus neraca perdagangan nonmigas yang meningkat seiring kenaikan ekspor manufaktur, seperti ekspor produk otomotif. Sementara itu, dari neraca finansial, aliran masuk modal asing tetap besar didorong oleh persepsi positif terhadap prospek perekonomian domestik. Secara akumulatif hingga November 2014, aliran masuk portofolio asing ke pasar keuangan Indonesia telah mencapai 17,75 miliar dolar AS. Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa Indonesia pada akhir November 2014 menjadi 111,1 miliar dolar AS, setara 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah. Kuatnya apresiasi mata uang dolar AS sejalan dengan normalisasi kebijakan Fed memberikan tekanan pelemahan terhadap hampir semua mata uang dunia, termasuk Rupiah. Pada November 2014, rupiah secara rata-rata melemah sebesar 0,21% (mtm) ke level Rp12.167 per dolar AS, sejalan dengan melemahnya hampir semua mata uang dunia. Perbaikan neraca perdagangan dan terkendalinya inflasi pada bukan Oktober 2014 kurang mampu mengimbangi kuatnya tekanan terhadap Rupiah dari apresiasi dolar AS tersebut. Tekanan terhadap Rupiah tertahan oleh optimisme terhadap perekonomian ke depan pasca kebijakan reformasi subsidi yang dilakukan oleh Pemerintah. Dibandingkan dengan mata uang negara-negara lain, tingkat depresiasi Rupiah termasuk yang relatif rendah. Bank Indonesia akan terus menjaga stabilitas nilai tukar sesuai dengan fundamentalnya. Inflasi yang terkendali dan rendah hingga Oktober 2014 kembali meningkat pada November 2014, terutama didorong oleh dampak kenaikan harga BBM. Inflasi IHK mencapai 6,23% (yoy), meningkat dari 4,83% (yoy) pada bulan Oktober 2014. Inflasi administered prices meningkat terutama didorong oleh kenaikan harga BBM bersubsidi, tarif angkutan darat dan tarif tenaga listrik (TTL). Sementara itu, inflasi volatile food juga meningkat didorong kenaikan harga aneka cabai yang tinggi. Sebaliknya, inflasi inti relatif terjaga sebesar 4,21% (yoy). Bank Indonesia memperkirakan dampak kenaikan harga BBM akan berlangsung secara terkendali dan temporer sekitar tiga bulan, dengan puncaknya pada bulan Desember 2014. Menghadapi hal itu, langkah-langkah koordinasi dengan Pemerintah diperkuat, khususnya dalam meminimalkan dampak lanjutan (second round effect) kenaikan harga BBM bersubsidi, khususnya terkait tarif transportasi. Selain itu, koordinasi juga perlu difokuskan pada upaya memperkuat pasokan bahan pangan agar tidak memberikan tambahan tekanan kenaikan harga. Dengan langkah-langkah tersebut inflasi pada akhir tahun 2015 diperkirakan terkendali dalam kisaran 4 ± 1%. 2

Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga ditopang oleh ketahanan sistem perbankan dan relatif terjaganya kinerja pasar keuangan. Ketahanan industri perbankan tetap kuat dengan risiko kredit, likuiditas dan pasar yang cukup terjaga, serta dukungan modal yang kuat. Pada Oktober 2014, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) masih tinggi, sebesar 19,6%, jauh di atas ketentuan minimum 8%, sedangkan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah dan stabil di kisaran 2,0%. Sementara itu, pertumbuhan kredit melambat menjadi 12,62% (yoy) pada Oktober 2014, lebih rendah dari pertumbuhan bulan sebelumnya 13,16%(yoy). Pertumbuhan DPK pada Oktober 2014 tercatat sebesar 13,93% (yoy) meningkat dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 13,32% (yoy). Perbankan cenderung masih selektif dalam menyalurkan kredit baru namun penolakan terhadap permohonan kredit baru cenderung menurun. Rasio Undisbursed Loan (UL) yang cenderung stabil juga menunjukkan bahwa korporasi masih bersikap wait and see terhadap prospek pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, kondisi likuiditas perbankan relatif terjaga dan membaik seiring dengan operasi keuangan pemerintah yang lebih ekspansif. Kedepan, pertumbuhan DPK dan kredit diperkirakan akan meningkat sehingga mencapai, masing-masing, sebesar 14-16% dan 15-17%. Sementara itu, kinerja pasar modal juga membaik, tercermin pada IHSG yang berada dalam tren meningkat. 3

2 PERKEMBANGAN EKONOMI DAN KEBIJAKAN MONETER Perkembangan Ekonomi Global Pemulihan ekonomi dunia terus berlanjut meskipun masih tidak merata dan cenderung lambat. Perekonomian AS, yang menjadi motor pemulihan ekonomi global, terus menunjukkan perbaikan dan berada dalam siklus yang meningkat. Sebaliknya, perekonomian Eropa dan Jepang masih mengalami tekanan meskipun terus dilakukan stimulus dari sisi moneter. Membaiknya ekonomi AS didukung oleh meningkatnya permintaan domestik, terindikasi dari meningkatnya pertumbuhan belanja personal (personal expenditure) dan tabungan rumah tangga (household savings). Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi AS didukung oleh meningkatnya output, tercermin dari indeks produksi dan utilisasi kapasitas yang berada dalam tren meningkat serta tren penurunan business inventory sejalan dengan meningkatnya penjualan. Meningkatnya sisi permintaan dan output didukung oleh membaiknya sektor tenaga kerja, tercermin dari menurunnya tingkat pengangguran sejalan dengan pertumbuhan job openings yang terus meningkat. Di sisi lain, perekonomian Eropa masih mengalami tekanan, dipengaruhi oleh pertumbuhan investasi yang masih terkontraksi, sementara pertumbuhan konsumsi masih terbatas. Tingkat inflasi berada dalam tren menurun. Defisit anggaran di negara-negara Eropa yang masih besar membatasi peningkatan permintaan. Pertumbuhan ekspor dan impor Eropa juga menurun dipengaruhi oleh menurunnya pertumbuhan ekonomi negara-negara EM, dan ketegangan geopolitik di Rusia. Sementara itu, perekonomian Jepang juga masih mengalami tekanan, bahkan pada tahun 2014, ekonomi Jepang memasuki zona resesi. Kebijakan 3 panah Abenomics yang bertujuan meningkatkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di tengah besarnya tekanan defisit fiskal tidak berdampak seperti yang diharapkan terhadap ekonomi Jepang. Depresiasi Yen belum dimanfaatkan untuk meningkatkan ekspor, namun dimanfaatkan untuk mengambil margin lebih tinggi. Di sisi lain, ketidakefisienan memicu perusahaan Jepang untuk semakin melakukan outsourcing manufakturnya ke luar negeri. Kondisi ini berdampak pada menurunnya job hiring, terbatasnya pertumbuhan gaji dan menurunnya investasi swasta. Sementara itu, pada negara-negara berkembang, pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan. Perlambatan ekonomi Tiongkok juga terus berlangsung akibat proses rebalancing ekonomi yang ditempuhnya. Penurunan pertumbuhan tersebut disebabkan oleh menurunnya investasi khususnya sektor perumahan dan infrastruktur. Sementara itu, pertumbuhan konsumsi belum dapat mengimbangi dampak yang disebabkan oleh penurunan investasi. Tingkat inflasi di tahun 2014 juga berada dalam tren menurun, sejalan dengan berkurangnya permintaan riil dan menurunnya harga makanan, serta rumah di Tiongkok. Selain itu, dampak peningkatan permintaan eksternal akibat perbaikan ekonomi di AS diperkirakan semakin terbatas, yang tercermin dari tren penurunan impor AS dari Tiongkok. Untuk menahan perlambatan ekonomi dan penurunan inflasi, Otoritas Tiongkok menurunkan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps untuk suku bunga deposito 1 tahun (menjadi 2,75%) dan sebesar 40 bps untuk suku bunga kredit 1 tahun (menjadi 5,6%). Selain itu, batas atas suku bunga deposito dinaikkan menjadi 1,2 kali dari suku bunga acuan (sebelumnya 1,1 kali), sedangkan suku bunga kredit diliberalisasi. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi India berada dalam tren 4

meningkat, sejalan dengan prakiraan sebelumnya, didukung oleh meningkatnya permintaan domestik. Konsumsi swasta meningkat, terindikasi dari pertumbuhan penjualan mobil dan meningkatnya indeks keyakinan konsumen. Peningkatan investasi tercermin pada meningkatnya indikator machine orders seiring meningkatnya indeks produksi dan kapasitas produksi. Ke depan, pertumbuhan ekonomi India diperkirakan masih meningkat sejalan dengan hasil survei terhadap ekspektasi kondisi ekonomi yang juga masih dalam tren meningkat. Perkembangan perlambatan ekonomi Tiongkok telah mendorong harga komoditas global khususnya komoditas mineral dan pertanian menurun lebih besar dari yang diperkirakan. Harga batubara terus menurun didorong oleh melimpahnya pasokan dan melemahnya permintaan terutama dari Tiongkok, sedangkan menurunnya harga karet dipicu oleh berlanjutnya penurunan harga minyak dunia dan melemahnya permintaan terutama dari Jepang dan Tiongkok. Selain itu, harga logam seperti nikel dan timah juga menurun, didorong oleh menurunnya permintaan seiring melambatnya investasi Tiongkok. Sementara itu, harga minyak dunia menurun drastis dan diperkirakan akan berlanjut di tahun 2015 seiring dengan pasokan yang meningkat dari AS di tengah permintaan dunia yang melambat. Penurunan harga komoditas di beberapa tahun terakhir mengindikasikan berakhirnya siklus kenaikan harga komoditas global. Ke depan, harga komoditas global diperkirakan masih menghadapi tekanan seiring dengan perekonomian Tiongkok yang cenderung melambat. Ke depan, risiko terkait dengan normalisasi kebijakan the Fed dan perlambatan ekonomi Tiongkok perlu terus diwaspadai. Sejalan dengan realisasi tingkat pengangguran yang terus menurun dan membaiknya perkembangan indikator makro lainnya di AS, normalisasi kebijakan moneter the Fed terus berlangsung dengan kemungkinan kenaikan Fed Fund Rate (FFR) mulai triwulan II-2015 sehingga mendorong apresiasi dolar AS yang kuat terhadap hampir seluruh mata uang dunia dan meningkatkan risiko pembalikan modal asing dari emerging markets, termasuk Indonesia. Sementara itu, pelemahan ekonomi Tiongkok mendorong berlanjutnya penurunan harga komoditas di pasar internasional. Pertumbuhan Ekonomi Di sisi domestik, pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV 2014 diperkirakan masih melambat meskipun akan mulai kembali membaik di triwulan I 2015. Konsumsi diperkirakan sedikit melambat pada triwulan IV 2014, terutama didorong oleh masih melambatnya konsumsi pemerintah sejalan dengan program penghematan dan melambatnya konsumsi rumah tangga sebagai dampak dari kenaikan inflasi. Konsumsi akan kembali meningkat lebih tinggi pada triwulan I 2015 didorong oleh kenaikan konsumsi Pemerintah seiring dengan membesarnya ruang fiskal. Meningkatnya pertumbuhan konsumsi tersebut akan mendorong kenaikan investasi baik bangunan maupun nonbangunan. Dari sisi eksternal, meskipun terjadi peningkatan ekspor manufaktur, secara keseluruhan pertumbuhan ekspor masih terbatas akibat masih tertekannya ekspor komoditas sejalan dengan melambatnya permintaan negara emerging market. Untuk keseluruhan tahun 2014, pertumbuhan ekonomi diperkirakan mendekati batas bawah kisaran 5,1-5,5%, namun kembali meningkat di triwulan I 2015 dan diperkirakan akan mencapai kisaran 5,4-5,8% pada 2015. 5

Konsumsi rumah tangga diprakirakan tumbuh melambat pada triwulan IV 2014 sebagai dampak dari kenaikan inflasi. Inflasi yang lebih tinggi, terutama didorong dampak kenaikan harga BBM bersubsidi, menurunkan daya beli masyarakat. Kondisi tersebut tercermin pada pertumbuhan upah buruh tani riil dan upah buruh bangunan riil yang tumbuh melambat, begitu pula nilai tukar petani. Survei konsumen Bank Indonesia turut mendukung prakiraan perlambatan konsumsi tumah tangga, sebagaimana tercermin pada indeks ekspektasi pendapatan (Grafik 2.1) dan tingkat keyakinan konsumen (Grafik 2.2) yang menurun hingga triwulan IV 2014. Selain itu, indeks penjualan eceran pada triwulan IV (Oktober) 2014 terpantau turun tajam, seiring kontraksi penjualan kelompok bahan makanan dan peralatan rumah tangga (Grafik 2.3). Penjualan mobil juga masih melambat hingga Oktober 2014. Grafik 2.1. Indeks Ekspektasi Pendapatan Grafik 2.2. Indeks Keyakinan Konsumen Grafik 2.3. Indeks Penjualan Eceran Pada triwulan IV 2014, investasi diprakirakan sedikit meningkat, didorong oleh kinerja investasi bangunan yang membaik. Investasi bangunan diprakirakan membaik pada triwulan IV 2014, terindikasi dari peningkatan penjualan semen (Grafik 2.4). Prakiraan tersebut sejalan dengan pola historis dimana investasi bangunan akan meningkat setelah Pemilu. Sementara itu, investasi nonbangunan diprakirakan masih lemah, terindikasi dari impor barang modal yang masih mengalami kontraksi. Perkembangan ini terkait dengan pelemahan sektor pertambangan yang mendorong turunnya penjualan alat berat domestik pada triwulan IV 2014 (Grafik 2.5). Selain itu, penurunan investasi nonbangunan juga dipengaruhi oleh minimnya insentif pelaku usaha untuk berinvestasi sebagaimana terindikasi pada penurunan tingkat kapasitas produksi industri pada triwulan III 2014 dan indeks tendensi bisnis BPS pada triwulan IV 2014. 6

Grafik 2.4. Indikator Investasi Bangunan Grafik 2.5. Indikator Investasi Nonbangunan Pertumbuhan ekspor masih terbatas akibat masih tertekannya ekspor komoditas. Tertekannya ekspor komoditas tersebut sejalan dengan melambatnya permintaan negara emerging market. Ekspor komoditas pertambangan diprakirakan menurun pada triwulan IV 2014 (Grafik 2.6), sejalan dengan penurunan ekspor batubara yang memiliki pangsa terbesar di pertambangan. Penurunan tersebut didorong oleh rendahnya harga komoditas dan melemahnya permintaan khususnya dari Tiongkok. Ekspor barang tambang lainnya, seperti tembaga, diperkirakan mencatat pertumbuhan yang rendah. Hal ini terkait dengan realisasi ekspor pada triwulan IV 2013 yang sangat tinggi, sehingga secara tahunan akan mencatat pertumbuhan yang rendah (base effect). Pada periode tahun lalu, eksportir menggenjot produksi dan ekspor sebelum pemberlakuan pembatasan ekspor mineral yang mulai berlaku pada Januari 2014. Meskipun belum mampu mendorong kinerja ekspor secara keseluruhan, ekspor manufaktur menunjukkan tren peningkatan. Komoditas ekspor manufaktur yang meningkat antara lain pada sektor otomotif, TPT, kimia organik, dan alas kaki. Ekspor road vehicles diprakirakan tumbuh tinggi pada triwulan IV 2014, didominasi oleh mobil penumpang dan suku cadang (Grafik 2.7). Tujuan ekspor otomotif Indonesia cukup terdiversifikasi dimana sebagian besar ekspor ditujukan ke negara berkembang. Ekspor mobil Indonesia di 2014 sebagian besar ditujukan ke ASEAN (41,4%), Saudi Arabia (22,1%), dan negara Asia lainnya (17,6%). Sementara itu, eskpor TPT cenderung tumbuh stabil meskipun rendah. Grafik 2.6. Pertumbuhan Ekspor Nonmigas Riil Grafik 2.7. Komposisi Ekspor Road Vehicles Merespons kinerja investasi nonbangunan dan ekspor yang tumbuh terbatas, impor masih berada dalam teritori negatif pada triwulan IV 2014. Masih rendahnya impor didorong oleh kontraksi impor barang modal, meskipun sudah dalam tren membaik 7

(Grafik 2.8). Sinyalemen ini sejalan dengan investasi nonbangunan yang masih lemah, sehingga mengurangi insentif untuk melakukan impor barang modal. Impor barang konsumsi juga terkontraksi lebih dalam pada Oktober 2014, disebabkan oleh berkurangnya impor mobil penumpang. Sementara itu, impor suku cadang untuk mesin, bagian dari impor bahan baku masih turun sejalan dengan masih terbatasnya impor mesin. Di sisi sektoral, perlambatan ekonomi pada triwulan IV 2014 terutama terjadi pada sektor manufaktur dan PHR. Pelemahan kinerja sektor manufaktur terindikasi dari indeks PMI HSBC November yang terus menunjukkan penurunan, bahkan paling rendah selama 44 bulan terakhir sejak survei dilakukan (Grafik 2.9). Perkembangan terkini terkait kebijakan kenaikan harga BBM turut mendorong pelemahan sektor manufaktur sehingga konsumsi diprakirakan turun dalam jangka pendek. Sektor PHR juga tumbuh melambat sejalan dengan pelemahan kinerja perdagangan. Aktivitas perekonomian yang melambat juga menyebabkan lebih rendahnya kinerja sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor jasa lainnya. Sebaliknya, kinerja sektor bangunan meningkat, terindikasi dari peningkatan pre sale properti. Perkembangan ini sejalan dengan meningkatnya kinerja investasi bangunan. Di sisi lain, sektor pertambangan tumbuh meningkat seiring dengan mulai terealisasinya ekspor mineral. Grafik 2.8. Pertumbuhan Impor Nonmigas Riil Grafik 2.9. Indeks Output PMI HSBC Ke depan, pertumbuhan ekonomi triwulan I 2015 diprakirakan tumbuh membaik. Konsumsi diprakirakan kembali meningkat lebih tinggi didorong oleh kenaikan konsumsi pemerintah seiring dengan membesarnya ruang fiskal. Meningkatnya pertumbuhan konsumsi tersebut akan mendorong kenaikan investasi baik bangunan maupun nonbangunan. Dari sisi eksternal, kinerja ekspor diprakirakan membaik sejalan dengan perkembangan perbaikan permintaan negara maju. Neraca Pembayaran Indonesia Pemulihan keseimbangan eksternal terus berlanjut, tercermin dari kinerja neraca perdagangan yang membaik pada Oktober 2014. Neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus 0,02 miliar dolar AS pada Oktober 2014 setelah pada bulan sebelumnya mengalami defisit sebesar 0,26 miliar dolar AS (Grafik 2.10). Kinerja positif tersebut terutama didukung oleh surplus neraca perdagangan nonmigas yang meningkat dari 0,77 miliar dolar AS pada September menjadi 1,13 miliar pada Oktober. 8

Peningkatan surplus neraca nonmigas terutama didukung oleh kenaikan ekspor nonmigas. Peningkatan ekspor nonmigas didorong oleh kenaikan ekspor lemak dan minyak hewan/nabati seiring kenaikan ekspor manufaktur, seperti ekspor produk otomotif, mesin/peralatan listrik, mesin-mesin/pesawat mekanik serta perhiasan/permata. Menurut negara tujuan, peningkatan ekspor nonmigas bulan Oktober terutama terjadi ke negara Jepang, India, Singapura, Malaysia, dan Australia. Peningkatan surplus neraca perdagangan tersebut juga dipengaruhi oleh turunnya impor nonmigas, seiring dengan melambatnya permintaan domestik. Impor nonmigas tercatat menurun dari 11,89 miliar dolar AS pada September menjadi 11,75 miliar dolar AS pada Oktober, terutama karena turunnya impor mesin dan peralatan mekanik, mesin dan peralatan listrik, dan kendaraan bermotor dan bagiannya. Perbaikan neraca perdagangan tertahan oleh meningkatnya defisit neraca migas. Defisit neraca migas mengalami peningkatan menjadi sebesar 1,11 miliar dolar AS pada Oktober dari 1,03 miliar dolar AS di September 2014, terutama karena turunnya ekspor minyak mentah. Penurunan ekspor minyak tersebut sejalan dengan menyusutnya lifting minyak nasional di Oktober 2014 menjadi 712 ribu barel per hari (bph) dari 895 ribu bph. Sementara itu, dari neraca finansial, aliran masuk modal asing tetap besar didorong oleh persepsi positif terhadap prospek perekonomian domestik. Secara akumulatif hingga November 2014, aliran masuk portofolio asing ke pasar keuangan Indonesia telah mencapai 17,75 miliar dolar AS. Pada bulan laporan, investor asing mencatat total net beli pada SBI, SUN, dan saham sebesar 2,29 miliar dolar AS melanjutkan net beli 0,83 miliar dolar AS pada Oktober 2014. Pembelian tersebut terutama dilakukan investor asing pada instrumen SUN dengan net beli sebesar 1,70 miliar dolar AS (Grafik 2.11). Sementara itu, kepemilikan asing di bursa saham dan SBI juga meningkat masingmasing sebesar 0,43 miliar dolar AS dan 0,16 miliar dolar AS. Grafik 2.10. Neraca Perdagangan Grafik 2.11. Aliran Dana Nonresiden Pada Aset Rupiah Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa Indonesia pada akhir November 2014 menjadi 111,1 miliar dolar AS. Posisi cadangan devisa per akhir November 2014 tersebut dapat membiayai 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Level cadangan devisa tersebut dinilai mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan. Perkembangan neraca perdagangan sampai dengan Oktober 2014 ini akan berkontribusi positif dalam mendukung perbaikan kinerja transaksi berjalan triwulan IV-2014 dan keseluruhan 2014. Perbaikan kinerja neraca perdagangan ke depan diperkirakan akan didukung oleh peningkatan aktivitas ekspor seiring dengan 9

perbaikan ekonomi global dan tren penurunan harga minyak dunia yang dapat mendorong berkurangnya tekanan pada defisit neraca migas. Secara keseluruhan, sebagai negara yang net importer dalam minyak, penurunan harga minyak dunia akan berpengaruh positif terhadap neraca pembayaran. Bank Indonesia akan terus mencermati risiko global dan domestik yang dapat mempengaruhi prospek defisit transaksi berjalan dan ketahanan eksternal. Nilai Tukar Rupiah Kuatnya apresiasi mata uang dolar AS sejalan dengan normalisasi kebijakan Fed memberikan tekanan pelemahan terhadap hampir semua mata uang dunia, termasuk Rupiah. Pada November 2014, rupiah secara rata-rata melemah sebesar 0,21% (mtm) ke level Rp12.167 per dolar AS, sejalan dengan melemahnya hampir semua mata uang dunia. Secara point to point (ptp), rupiah terdepresiasi sebesar 0,98% dan ditutup pada level Rp12.204 per dolar AS (Grafik 2.12). Perbaikan neraca perdagangan dan terkendalinya inflasi pada bukan Oktober 2014 kurang mampu mengimbangi kuatnya tekanan terhadap Rupiah dari apresiasi dolar AS tersebut. Pergerakan rupiah sejalan dengan pergerakan mata uang lain di kawasan. Namun, dibandingkan dengan mata uang negara-negara lain, tingkat depresiasi Rupiah termasuk yang relatif rendah. Pelemahan rupiah lebih terbatas dibandingkan dengan Brasil, Korea Selatan, Malaysia, Thailand, India dan Filipina (Grafik 2.13). Grafik 2.12. Pergerakan Nilai Tukar Rupiah Grafik 2.13. Perbandingan Nilai Tukar Kawasan Tekanan terhadap Rupiah terutama masih dipengaruhi oleh faktor eksternal. Hal itu tampak dari pergerakan the Chicago Board Options Exchange Market Volatility Index (VIX) (Grafik 2.14) yang lebih volatile dipicu kekhawatiran terhadap normalisasi kebijakan The Fed. Kekhawatiran tersebut sejalan dengan terus berlanjutnya perbaikan ekonomi di AS, sehingga mendorong permintaan US Dollar dan menopang penguatan Dolar Indeks (Grafik 2.15). 10

Grafik 2.14. Indeks CDS Indo 5Y dan VIX Grafik 2.15. Pergerakan Dolar Indeks Namun, dari faktor domestik tekanan terhadap rupiah tertahan oleh optimisme terhadap perekonomian ke depan pasca kebijakan reformasi subsidi yang dilakukan oleh Pemerintah. Kenaikan harga BBM bersubsidi oleh pemerintah pada 18 November 2014 dan optimisme terhadap pemerintahan menjadi sentimen positif yang menahan pelemahan rupiah lebih lanjut. Faktor domestik yang relatif baik tercermin dari Credit Default Swap (CDS) yang cenderung stabil dan menurun. Volatilitas rupiah relatif lebih terjaga dibandingkan dengan volatilitas nilai tukar kawasan. Pada November 2014, volatilitas rupiah relatif terjaga, menurun dari bulan sebelumnya (Grafik 2.16). Selain itu, volatilitas nilai tukar rupiah masih lebih rendah dibandingkan dengan Ringgit Malaysia, Baht Thailand dan Won Korea Selatan (Grafik 2.17). Grafik 2.16. Volatilitas Rupiah Grafik 2.17. Volatilitas Nilai Tukar Kawasan Ke depan, Bank Indonesia akan terus menjaga stabilitas nilai tukar sesuai dengan fundamentalnya. Sejumlah faktor sentimen dari perkembangan ekonomi global dan domestik yang mempengaruhi pergerakan rupiah masih perlu dicermati. Dari eksternal, tekanan terutama berasal dari risiko normalisasi kebijakan The Fed yang lebih cepat dengan kenaikan suku bunga yang lebih besar, sehingga meningkatkan risiko pembalikan modal asing. Di sisi lain, upside risk berasal dari optimisme berlanjutnya perbaikan fundamental ekonomi domestik, berlanjutnya aliran masuk dana nonresiden seiring tersedianya ruang untuk berinvestasi (headroom) dan terjaganya persepsi investor, serta ekspektasi dipertahankannya kebijakan akomodatif oleh bank sentral utama dunia. Selain itu, ekspektasi terhadap pergerakan rupiah cenderung membaik pasca kebijakan reformasi BBM bersubsidi yang ditempuh pemerintah serta didukung optimisme terhadap kondisi perekonomian domestik ke depan. 11

Inflasi Inflasi yang terkendali dan rendah hingga Oktober 2014 kembali meningkat pada November 2014, terutama didorong oleh dampak kenaikan harga BBM. Inflasi IHK mencapai 6,23% (yoy) atau 1,50% (mtm), meningkat dari 4,83% (yoy) atau 0,27% (mtm) pada bulan Oktober 2014. Peningkatan inflasi November terutama disebabkan tekanan pada inflasi administered prices yang didorong oleh kenaikan harga BBM bersubsidi, tarif angkutan darat dan tarif tenaga listrik (TTL) serta inflasi volatile food yang didorong kenaikan harga aneka cabai yang tinggi. Sebaliknya, inflasi inti relatif terjaga sebesar 4,21% (yoy) (Grafik 2.18). Grafik 2.18. Perkembangan Inflasi Tekanan inflasi volatile food meningkat terutama didorong kenaikan harga aneka cabai. Inflasi volatile food meningkat dari sebelumnya sebesar 4,21% (yoy) atau -0,22% (mtm) menjadi sebesar 7,96% (yoy) atau 2,37% (mtm), jauh lebih tinggi dari rata-rata historisnya dalam tiga tahun terakhir (0,30%, mtm) (Grafik 2.19). Tingginya inflasi kelompok volatile food terutama disebabkan oleh kenaikan harga aneka cabai yang mencapai kisaran 40%-60%, jauh di atas historisnya dalam lima tahun terakhir sebesar 2% untuk cabai merah dan deflasi untuk cabai rawit (Tabel 2.1). Tekanan harga aneka cabai disebabkan dampak kekeringan di sejumlah sentra produksi seperti Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara, serta hambatan distribusi berupa banjir di Aceh dan longsor di Sumatera Barat. Selain faktor cuaca, gejolak harga antar waktu yang sangat tinggi pada aneka cabai disebabkan oleh pola tanam yang tidak terkelola dengan baik. Komoditas lain yang terpantau mengalami kenaikan harga antara lain adalah beras, disebabkan terbatasnya pasokan akibat kekeringan di beberapa wilayah sentra seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun demikian, tekanan inflasi pada kelompok volatile food tersebut dapat diimbangi dengan menurunnya harga beberapa komoditas pangan lainnya. Penurunan harga terutama terjadi pada daging ayam dan ikan segar. Koreksi pada harga daging ayam didorong oleh melimpahnya pasokan di tengah perlambatan permintaan. Begitu pula dengan penurunan harga ikan segar yang didukung oleh cuaca yang kondusif untuk menangkap ikan sehingga pasokan membaik. Koreksi harga terbatas (-0,02%, mtm) juga terjadi pada komoditas daging sapi seiring dengan perlambatan permintaan di tengah pasokan yang cukup melimpah. Meskipun mengalami koreksi, harga daging sapi saat ini yang mendekati Rp100.000/kg, masih jauh di atas harga referensi Kementerian Perdagangan (Rp76.000/kg) maupun harga berdasar struktur biaya sekitar Rp85.000/kg. Hal ini menunjukkan mendesaknya kebijakan untuk memperkuat pasokan daging sapi. 12

Tabel 2.1. Penyumbang Inflasi/Deflasi Kelompok Volatile Food Grafik 2.19. Pola Inflasi/Deflasi Volatile Food Sementara itu, inflasi administered prices meningkat terutama didorong oleh kenaikan harga BBM bersubsidi, tarif angkutan darat dan tarif tenaga listrik (TTL). Inflasi kelompok ini meningkat menjadi 11,39% (yoy) atau 4,20% (mtm) dari bulan sebelumnya sebesar 7,57% (yoy) atau 1,34% (mtm) (Grafik 2.20). Implementasi kenaikan harga BBM bersubsidi yang dilakukan di pekan ketiga November menyebabkan kenaikannya belum sepenuhnya tercatat pada inflasi di bulan November. Selain itu, kenaikan inflasi administered prices juga disebabkan oleh kenaikan TTL kelompok Rumah Tangga (RT) tahap ke-3 per 1 November 2014 (Tabel 2.2). Tabel 2.2. Penyumbang Inflasi Kelompok Administered Prices Grafik 2.20. Inflasi Administered Prices Inflasi inti relatif terjaga akibat tekanan eksternal yang relatif minimal. Inflasi inti tercatat sedikit meningkat dari 4,02% (yoy) atau 0,27% (mtm) pada bulan sebelumnya menjadi 4,21% (yoy) atau 0,40% (mtm). Tekanan dari eksternal relatif minimal ditopang oleh turunnya harga global. Hal ini tercermin dari melambatnya inflasi core traded dari 0,29% (mtm) menjadi 0,25% (mtm). Harga global baik pangan maupun nonpangan masih terkoreksi disertai nilai tukar yang cenderung stabil (Grafik 2.21). Tekanan eksternal yang relatif minimal tersebut mampu mengimbangi tekanan di kelompok inflasi inti yang bersumber dari faktor domestik akibat cost push kenaikan harga BBM. Hal ini tercermin dari inflasi inti nontraded yang meningkat dari 0,25% (mtm) pada bulan sebelumnya menjadi 0,52% (mtm) (Grafik 2.22). Tekanan harga dari kelompok nontraded nonfood yang utamanya dari sektor jasa juga cenderung meningkat (Grafik 2.23). 13

Grafik 2.21. Inflasi Inti Traded dan Faktor Eksternal Grafik 2.22. Inflasi Inti Nontraded Secara umum, survey ekspektasi inflasi di kelompok pedagang menunjukkan ekspektasi kenaikan inflasi yang bersifat temporer. Ekspektasi kenaikan harga pada 3 bulan yang akan datang meningkat cukup signifikan, antara lain terkait dengan mulai menguatnya kekhawatiran kenaikan harga BBM serta perkiraan kenaikan harga distributor akibat tingginya permintaan musiman akhir tahun (Natal dan Tahun Baru). Sementara itu, ekspektasi kenaikan harga pada 6 bulan mendatang masih menurun, yang menunjukkan sifat dampak BBM yang temporer (Grafik 2.24). Grafik 2.23. Inflasi Sektor Jasa Grafik 2.24. Ekspektasi Harga Pedagang Eceran Secara spasial, kenaikan inflasi tertinggi di bulan November terjadi di kawasan Sumatera dan terendah di Kawasan Timur Indonesia. Kenaikan inflasi di kawasan Sumatera tercatat sebesar 1,87% (mtm), lebih tinggi dari inflasi nasional sebesar 1,50% (mtm). Inflasi di Sumatera dipicu oleh meningkatnya harga BBM bersubsidi dan kenaikan harga beberapa komoditi pangan strategis, khususnya cabai merah. Di sisi lain, inflasi Kawasan Timur Indonesia tercatat sebesar 1,28% (mtm), lebih rendah dari inflasi nasional, didorong oleh koreksi harga pada komoditas ikan segar dan daging di beberapa daerah seperti Papua Barat, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara. Sementara itu, kenaikan inflasi di kawasan Jawa tercatat sebesar 1,46% (mtm) dan Jakarta sebesar 1,48% (mtm). Selain dipengaruhi oleh harga BBM bersubsidi dan cabai merah, inflasi Jawa juga dipengaruhi oleh kenaikan biaya administrasi transfer uang dan kartu ATM yang mulai berlaku pada awal November 2014 (Gambar 2.1). 14

Gambar 2.1 Peta Sebaran Inflasi IHK (%, mtm) Meskipun meningkat pada akhir 2014, inflasi pada 2015 diperkirakan menurun menuju kisaran sasaran 4±1%. Pasca kenaikan harga BBM bersubsidi pada 18 November 2014, inflasi pada akhir 2014 diperkirakan meningkat dan berada pada kisaran 7,7%- 8,1%. Namun, dampak kenaikan harga BBM tersebut diperkirakan akan berlangsung secara terkendali dan temporer sekitar tiga bulan, dengan puncaknya pada bulan Desember 2014. Selain dampak turunan kenaikan harga BBM pada tarif angkutan, risiko lain yang berpotensi meningkatkan tekanan inflasi bersumber dari kenaikan harga pangan seperti cabai dan beras. Menghadapi hal tersebut, langkah-langkah koordinasi dengan Pemerintah perlu diperkuat, khususnya dalam meminimalkan dampak lanjutan (second round effect) kenaikan harga BBM bersubsidi, khususnya terkait tarif transportasi. Selain itu, koordinasi juga perlu difokuskan pada upaya memperkuat pasokan bahan pangan agar tidak memberikan tambahan tekanan kenaikan harga. Dengan langkah-langkah tersebut inflasi pada akhir tahun 2015 diperkirakan terkendali dalam kisaran 4±1%. Perkembangan Moneter Perkembangan suku bunga dan besaran moneter masih sejalan dengan kebijakan yang ditempuh oleh Bank Indonesia. Selama Oktober 2014, suku bunga kredit perbankan masih mengalami peningkatan. Di sisi lain, suku bunga deposito tercatat menurun yang merupakan konfirmasi terhadap indikasi berkurangnya tekanan persaingan antar bank melalui suku bunga simpanan. Sementara itu, kredit yang merupakan bagian dari M2 juga mencatat pertumbuhan yang terus melambat sejalan dengan berlanjutnya moderasi pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian, suku bunga PUAB cenderung stabil dan likuiditas perbankan tetap terjaga. Suku bunga PUAB sepanjang November 2014 sedikit menurun dan tetap berada pada koridor bawah suku bunga. Rata-rata tertimbang (RRT) suku bunga PUAB O/N pada bulan November 2014 tercatat sebesar 5,80%, sedikit menurun dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 5,82%. Hal ini menyebabkan spread suku bunga PUAB O/N terhadap DF O/N menjadi 5 bps, sedikit menyempit dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat 7 bps. Di sisi lain, spread suku bunga PUAB O/N terhadap BI Rate sedikit melebar menjadi 180 bps dari 168 bps (Grafik 2.25). 15

Sementara itu, rata-rata total volume PUAB bulan November 2014 relatif stabil. Mkeskipun volume PUAB relatif stabil, transaksi PUAB menurun menjadi 2.401 dari 2.590. Sebaliknya, rata-rata volume DF O/N turun menjadi Rp141.8 triliun dari Rp147.2 triliun pada bulan sebelumnya (Grafik 2.26). Likuiditas perbankan membaik. Likuiditas perbankan pada bulan November membaik ditopang oleh meningkatnya suplai dari ekspansi operasi keuangan pemerintah (NCG). Ekspansi keuangan pemerintah tersebut sejalan dengan pola tahunannya. 9 8 7 6 5 4 % % rpuab O/N rlf rdf O/N rbi Rate 9 8 7 6 5 4 3 Jan 10 Apr 10 Jul 10 Oct 10 Jan 11 Apr 11 Jul 11 Oct 11 Jan 12 Apr 12 Jul 12 Oct 12 Jan 13 Apr 13 Jul 13 Oct 13 Jan 14 Apr 14 Jul 14 Oct 14 3 Grafik 2.25. Suku Bunga PUAB O/N Grafik 2.26. Suku Bunga PUAB O/N & Vol DF O/N Suku bunga kredit perbankan masih terus meningkat, sementara suku bunga deposito menurun. Pada Oktober 2014, rata-rata tertimbang suku bunga kredit meningkat 5 bps menjadi 12,92% dari 12,87%. Di sisi lain, suku bunga deposito 1 bulan turun sebesar 24 bps ke level 8,24% dari 8,48%. Hal ini merupakan konfirmasi terhadap indikasi berkurangnya tekanan persaingan suku bunga simpanan antar bank. Berdasarkan jenis penggunaannya, peningkatan suku bunga kredit terutama didorong oleh suku bunga Kredit Konsumsi (KK) dan Kredit Investasi (KI) yang masing-masing naik sebesar 5 bps menjadi menjadi 12,43% dan 12,39% (Grafik 2.25). Sementara itu, Kredit Modal Kerja (KMK) naik sebesar 4 bps menjadi 12,82%. Dengan perkembangan ini, maka spread suku bunga kredit dan deposito 1 bulan melebar menjadi 468 bps dari 439 bps (Grafik 2.26). Grafik 2.27. Suku Bunga KMK, KI dan KK Grafik 2.28. Selisih Suku Bunga Perbankan Likuiditas perekonomian dalam arti luas (M2) tumbuh lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya. Posisi M2 pada Oktober 2014 tercatat sebesar Rp4.024,2 triliun, atau tumbuh 12,5% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan September 2014 yang sebesar 11,9% (yoy). 16

Berdasarkan komponennya, peningkatan pertumbuhan tersebut terutama berasal dari komponen Uang Kuasi. Pertumbuhan komponen M1 (Uang kartal dan simpanan giro Rupiah) dan Uang Kuasi masing-masing tercatat sebesar 9,8% (yoy) dan 13,7% (yoy), meningkat dari bulan sebelumnya yang sebesar 9,4% (yoy) dan 13,1% (yoy) (Grafik 2.29). Pertumbuhan M1 sendiri utamanya didorong oleh peningkatan giro Rupiah Pemda sejalan dengan ekspansi operasi keuangan Pemerintah (Grafik 2.30). 25 20 15 10 5 0 %yoy M2 M1 Uang Kuasi Jan 11 Mar 11 May 11 Jul 11 Sep 11 Nov 11 Jan 12 Mar 12 May 12 Jul 12 Sep 12 Nov 12 Jan 13 Mar 13 May 13 Jul 13 Sep 13 Nov 13 Jan 14 Mar 14 May 14 Jul 14 Sep 14 40 35 30 25 20 15 10 5 0 5 %yoy COB M1 Giro Rp Jan 11 Mar 11 May 11 Jul 11 Sep 11 Nov 11 Jan 12 Mar 12 May 12 Jul 12 Sep 12 Nov 12 Jan 13 Mar 13 May 13 Jul 13 Sep 13 Nov 13 Jan 14 Mar 14 May 14 Jul 14 Sep 14 Grafik 2.29. Pertumbuhan M2 dan Komponennya Grafik 2.30. Pertumbuhan M1 dan Komponennya Berdasarkan faktor yang mempengaruhinya, naiknya pertumbuhan M2 pada bulan Oktober 2014 dipengaruhi oleh ekspansi operasi keuangan pemerintah ditengah pertumbuhan kredit yang masih melambat. Sesuai pola tahunannya, ekspansi keuangan Pemerintah terjadi pada triwulan terakhir sejalan dengan peningkatan aktivitas belanja Pemerintah menjelang akhir tahun. Sementara itu, kredit perbankan 1 pada Oktober 2014 tercatat sebesar Rp3.587,4 triliun, tumbuh 12,4% (yoy), melambat dibandingkan September 2014 (12,6%;yoy). Perlambatan pertumbuhan kredit ini sejalan dengan moderasi pertumbuhan ekonomi (Grafik 2.31). Grafik 2.31. Pertumbuhan M2 dan Faktor-faktor yang Memengaruhinya Industri Perbankan Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga ditopang oleh industri perbankan yang solid sehingga mendukung proses moderasi pertumbuhan ekonomi. Risiko kredit, risiko likuiditas dan risiko pasar pada industri perbankan relatif stabil dan terkendali. Selain 1 Konsep moneter 17

itu, kondisi permodalan juga masih kuat untuk memelihara industri perbankan secara keseluruhan. Pertumbuhan kredit pada Oktober 2014 masih dalam tren melambat, sejalan dengan moderasi permintaan domestik. Pada Oktober 2014, kredit 2 tumbuh 12.6% (yoy), melambat dibandingkan dengan pertumbuhan September 2014 yang sebesar 13,2% (yoy). Perlambatan kredit utamanya didorong oleh laju Kredit Modal Kerja (KMK), dengan pangsa 48% dari total kredit, yang menurun menjadi 12.8% (yoy) dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar 13,3%. Pertumbuhan Kredit Investasi (KI), dengan pangsa 24% dari total kredit, juga tercatat menurun menjadi 14.9% (yoy) dari bulan sebelumnya sebesar 16,4% (yoy). Demikian pula pertumbuhan Kredit Konsumsi, dengan pangsa 28% dari total kredit, yang menurun menjadi 10,4% (yoy) dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 10,1% (Grafik 2.32). Secara sektoral, perlambatan kredit terjadi di hampir semua sektor termasuk sektor-sektor utama seperti perdagangan, hotel, restoran (PHR) dan industri pengolahan. Pertumbuhan kredit di sektor PHR menurun 12.8% (yoy) dari bulan sebelumnya 13.9% (yoy), sejalan dengan melambatnya sektor PHR. Di sisi lain, sektor industri pengolahan melambat 17.4% (yoy) dari 16.1% (yoy) pada bulan sebelumnya. Grafik 2.32. Pertumbuhan Kredit Menurut Penggunaan Grafik 2.33. Pertumbuhan Kredit Menurut Sektor Ekonomi Sementara itu, pada Oktober 2014, pertumbuhan DPK meningkat dipicu oleh peningkatan giro. DPK 3 tumbuh 13.9% (yoy) pada Oktober 2014, lebih tinggi dibandingkan September 2014 yang sebesar 13.3% (yoy). Peningkatan pertumbuhan DPK ini terutama dikontribusi oleh giro yang tercatat tumbuh 9.0% (yoy) dari 7.0% (yoy) pada bulan sebelumnya. Pertumbuhan deposito juga mengalami peningkatan menjadi 21.5% (yoy) dari 21.4% (yoy) sementara pertumbuhan tabungan stabil pada posisi 7.1% (yoy) dibandingkan dengan bulan sebelumnya (Grafik 2.34). Grafik 2.34. Pertumbuhan DPK 2 Konsep perbankan 3 Konsep Perbankan 18

Di tengah tren moderasi permintaan domestik, ketahanan perbankan yang tercermin dari unsur permodalan bank tetap terjaga, diiringi risiko kredit yang relatif terkendali. Pada Oktober 2014, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) masih tinggi, yaitu sebesar 19,6%, jauh di atas ketentuan minimum 8%. Angka ini sedikit meningkat dibandingkan dengan CAR pada akhir bulan sebelumnya yang sebesar 19,4%. Kondisi ini mencerminkan daya tahan perbankan yang masih kuat untuk mengatasi tekanan dan gejolak termasuk berlanjutnya tren kenaikan suku bunga perbankan. Sementara itu, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah dan stabil di kisaran 2,00% (Tabel 2.3). Tabel 2.3. Kondisi Umum Perbankan Primary Indicators 2013 2014 Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Total Aset (T Rp) 4,717.0 4,817.8 4,954.5 4,880.5 4,888.8 4,933.0 5,008.1 5,097.5 5,198.0 5,121.1 5,218.9 5,418.8 5,445.7 DPK (T Rp) 3,520.9 3,563.4 3,664.0 3,594.7 3,603.6 3,618.1 3,694.8 3,763.5 3,834.5 3,778.4 3,855.9 3,995.8 4,011.4 Kredit* (T Rp) 3,159.5 3,214.4 3,292.9 3,258.4 3,267.8 3,306.9 3,361.3 3,403.1 3,468.2 3,495.0 3,498.4 3,561.3 3,558.1 LDR* (%) 89.7 90.2 89.7 90.6 90.7 91.4 91.0 90.4 90.5 92.5 90.7 89.1 88.7 NPLs Bruto* (%) 1.9 1.9 1.8 1.9 2.0 2.0 2.1 2.2 2.2 2.2 2.3 2.3 2.3 CAR (%) 18.4 18.6 18.4 19.6 19.8 19.8 19.4 19.5 19.3 19.3 19.3 19.4 19.6 NIM (%) 5.5 5.5 4.9 4.1 4.1 4.3 4.3 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 ROA (%) 3.0 3.0 3.1 2.8 2.7 2.9 2.9 2.9 2.9 2.8 2.8 2.8 2.8 * tanpa channeling Pasar Saham dan Pasar Surat Berharga Negara Perkembangan pasar saham domestik hingga November 2014 menunjukkan kinerja positif seiring dengan perbaikan data ekonomi domestik di tengah perlambatan ekonomi dunia. IHSG tercatat diperdagangkan pada level 5.149,89 (28 November 2014) atau naik 1,20% dibandingkan Oktober 2014 sebesar 5.089,55 (Grafik 2.35). Penguatan ini terutama didukung oleh optimisme terhadap perekonomian Indonesia setelah rilis data neraca perdagangan yang mengalami perbaikan dan inflasi yang relatif terkendali di November 2014. Dibandingkan dengan kinerja bursa saham global, IHSG secara bulanan menunjukkan kinerja yang lebih baik dibanding bulan lalu terutama bila dibandingkan dengan bursa di beberapa negara kawasan yang mencatatkan kinerja yang negatif, seperti Malaysia dan Vietnam. Selama November 2014, harga saham pada sebagian besar sektor ekonomi mengalami penguatan dibandingkan Oktober 2014. Peningkatan terbesar tercatat pada sektor properti, sejalan dengan peningkatan investasi bangunan dengan kenaikan sebesar 6,8% (Grafik 2.36). Peningkatan juga terjadi pada sektor pertanian. 19

World EM ASIA US (Dow Jones) Japan (Nikkei) England (FTSE) India (SENSEX) Hong Kong (Hang Seng) Shanghai (SHCOMP) Strait Times (STI) Kuala Lumpur (KLCI) Philippine Thailand (SET) Vietnam Indonesia (IHSG) 0,0% 2,5% 1,7% 2,5% 2,3% 1,8% 1,1% 5,7% 0,6% 1,2% 2,7% 3,0% 6,4% 10,9% 6% 1% 4% 9% 14% Grafik 2.35. IHSG dan Indeks Bursa Global Property Pertanian Perdagangan Konsumsi Aneka Industri Industri Dasar Keuangan Pertambangan Infrastruktur Development Main LQ45 Indonesia 3,0% 0,9% 0,6% 1,4% 2,5% 3,9% 0,7% 1,5% 1,5% 2,1% 1,2% 6,8% 6,3% 5% 0% 5% 10% Grafik 2.36. Indeks Sektoral November 2014 Selama November 2014, investor asing tercatat membukukan net beli dibandingkan bulan sebelumnya. Optimisme investor asing terhadap perekonomian domestik terkait rilis data neraca perdagangan yang mengalami perbaikan dan inflasi yang relatif terkendali di November 2014 dan seiring dengan sentimen positif global berhasil menambah kepemilikan investor asing di pasar saham. Investor asing tercatat melakukan net beli sebesar Rp5,3 triliun di bulan November atau mengalami peningkatan dibandingkan bulan sebelumnya yang mengalami net jual sebesar Rp3,2 triliun. Sampai dengan November posisi kepemilikan saham oleh non residen sebesar 44% dan lokal sebesar 56% (Grafik 2.37). Kinerja pasar SBN juga menunjukkan peningkatan seiring dengan sentimen positif terhadap perekonomian indonesia. Selama November 2014, yield SBN menurun di semua tenor. Secara keseluruhan yield SUN bergerak turun ke level 7,68%. Yield jangka pendek turun 22 bps menjadi 7,25%, menengah dan panjang masing-masing naik 33 poin dan 44 poin ke level 7,71% dan 8,18%. Yield benchmark 10 tahun turun ke level 7,70 % dari 8,10% (Grafik 2.38). IHSG 6000 5500 5000 4500 4000 3500 Net Beli/Jual Asing Net Beli/Jual Asing (T) IHSG 20 15 10 5149,9 5 0-5 -10-15 -20-25 Jan-13 Feb-13 Mar-13 Apr-13 May-13 Jun-13 Jul-13 Aug-13 Sep-13 Oct-13 Nov-13 Dec-13 Jan-14 Feb-14 Mar-14 Apr-14 May-14 Jun-14 Jul-14 Aug-14 Sep-14 Oct-14 Nov-14 Grafik 2.37. Kinerja IHSG dan Net Beli/Jual Asing % 9,00 8,50 8,00 7,50 7,00 6,50 6,00 Yield SBN Per Tenor (Generic) Sumber: Bloomberg Perubahan Yield (RHS) 30 Oct 14 28 Nov 14 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 15 20 30 Tenor bps 5 (5) (15) (25) (35) (45) (55) Grafik 2.38. Perubahan Yield Bulanan (mtm) Sejalan dengan membaiknya pasar SBN, porsi asing di SBN juga meningkat. Selama November, Investor asing melakukan net beli SBN sebesar Rp21,26 triliun. Dengan perkembangan tersebut, porsi kepemilikan asing pada pasar SBN naik 4,62% menjadi sebesar 38,30% pada bulan November (Grafik 2.39). 20

Rp. Trillion 25 15 5 (5) (15) (25) (35) Pembiayaan Non Bank Net Foreign Buy/Sell Yield SUN (RHS) Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nov Dec Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli August Sept Okt Nov 2013 2014 Grafik 2.39. Yield SBN dan Jual/Beli Asing Neto Bulanan % 15,0 13,0 11,0 9,0 7,0 5,0 3,0 1,0 Pembiayaan ekonomi non bank tercatat lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Selama November 2014, total pembiayaan melalui penerbitan saham perdana, right issue, obligasi korporasi, medium term notes (MTN), promissory notes, negotiable certificate of deposits (NCD) dan instrumen keuangan lainnya mencapai Rp7,4 triliun, lebih rendah dibandingkan dengan November 2013 yang mencapai Rp15,0 triliun. Adapun total pembiayaan non bank dari Januari hingga November 2014 mencapai Rp90,3 triliun. Berdasarkan komponennya, pembiayaan nonbank pada September 2014 didominasi oleh penerbitan obligasi korporasi (Tabel 2.4). Total pembiayaan melalui saham hingga November 2014 mencapai Rp34 triliun atau turun dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013. Pembiayaan melalui penerbitan saham perdana sebesar Rp7,7 triliun atau turun sebesar 47,9%. Sementara right issue juga mengalami penurunan menjadi 26,3T dari 40,8T. Penurunan ini sejalan dengan berkurangnya emiten yang melakukan IPO maupun right issue selama tahun 2014 (hingga November) yaitu sebanyak 20 perusahaan atau turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 30 perusahaan. Tabel 2.4. Pembiayaan Non Bank Rp Triliun 2013 2014 Nov Des Q1 Q2 Q3 Q4 Total Nov Q1 Q2 Q3 Q4* Total Nonbank 15.0 10.7 16.3 58.3 3.6 34.7 112.9 7.4 23.2 41.1 9.0 17.0 90.3 Saham 9.5 6.6 2.8 29.3 2.8 22.7 57.5 0.6 8.8 21.3 0.9 3.0 34.0 w/o Emiten sektor keuangan 1.6 4.0 0.3 6.0 1.2 9.1 16.6 0.0 3.1 4.3 0.1 0.0 7.6 Obligasi 4.5 3.3 12.7 27.7 0.3 9.9 50.5 3.8 12.8 16.0 6.7 7.8 43.2 w/o Emiten sektor keuangan 3.3 2.1 9.9 13.5 0.0 7.5 30.8 3.8 6.4 8.2 2.3 7.8 24.7 MTN and Promissory Notes + NCD 1.0 0.8 0.8 1.3 0.6 2.2 4.9 3.1 1.6 3.8 1.4 6.2 13.1 w/o Emiten sektor keuangan 0.3 0.5 0.7 1.3 0.1 1.1 3.2 0.6 1.2 3.2 1.2 1.9 7.6 Sumber: OJK dan BEI (diolah) 21

3 RESPONS KEBIJAKAN MONETER Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 11 Desember 2014 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,75%, dengan suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility masing-masing tetap pada level 8,00% dan 5,75%. Tingkat suku bunga tersebut masih konsisten untuk memastikan tekanan inflasi jangka pendek pasca kebijakan realokasi subsidi BBM yang ditempuh Pemerintah akan tetap terkendali dan temporer sehingga akan kembali menuju ke sasaran 4±1% pada 2015. Kebijakan tersebut juga sejalan dengan langkah-langkah stabilisasi yang ditempuh selama ini untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat. Bank Indonesia terus memperkuat bauran kebijakan untuk memastikan stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan tetap terjaga. Kebijakan moneter yang cenderung ketat tetap dilanjutkan untuk mengendalikan inflasi dan defisit transaksi berjalan, sementara kebijakan makroprudensial yang akomodatif ditempuh agar pengetatan moneter tersebut tidak menimbulkan risiko terhadap stabilitas sistem keuangan. Kebijakan sistem pembayaran diarahkan untuk mendukung penyaluran program sosial Pemerintah dan memperluas Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT). Selain itu, koordinasi kebijakan antara Bank Indonesia dan Pemerintah juga terus diintensifkan untuk menjaga stabilitas makroekonomi, khususnya dalam mengendalikan tekanan inflasi pasca kebijakan realokasi subsidi BBM dan defisit transaksi berjalan, serta mempercepat kebijakan reformasi struktural untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan. Sebelumnya, pada tanggal 18 November 2014, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan untuk memperkuat bauran kebijakan dalam merespons kebijakan reformasi subsidi BBM yang ditempuh Pemerintah sebagai berikut: 1. Menaikkan suku bunga BI Rate sebesar 25 bps menjadi 7,75%, dengan suku bunga Lending Facility naik sebesar 50 bps menjadi 8,00% dan suku bunga Deposit Facility tetap pada level 5,75% berlaku efektif sejak 19 November 2014. Kenaikan BI Rate ditempuh untuk menjangkar ekspektasi inflasi dan memastikan bahwa tekanan inflasi pasca kenaikan harga BBM bersubsidi tetap terkendali, temporer, dan dapat segera kembali pada lintasan sasaran yaitu 4±1% pada tahun 2015. Kebijakan tersebut juga konsisten dengan kemajuan dalam mengelola defisit transaksi berjalan ke arah yang lebih sehat. Pelebaran koridor suku bunga operasi moneter dimaksudkan untuk menjaga kecukupan likuiditas dan mendorong pendalaman pasar keuangan. 2. Mempersiapkan penyesuaian kebijakan makroprudensial guna memperluas sumbersumber pendanaan bagi perbankan sekaligus mendukung pendalaman pasar keuangan serta mendorong penyaluran kredit ke sektor-sektor produktif yang prioritas. Kebijakan ini antara lain meliputi 1) Perluasan cakupan definisi simpanan dengan memasukkan surat-surat berharga yang diterbitkan bank dalam perhitungan LDR dalam kebijakan GWM-LDR, dan 2) pemberian insentif untuk mendorong penyaluran kredit UMKM. 3. Memperkuat kebijakan sistem pembayaran untuk mendukung kelancaran dan perluasan penyaluran program-program bantuan dari Pemerintah kepada masyarakat guna mengurangi dampak kenaikan harga BBM melalui penggunaan uang elektronik dan implementasi Layanan Keuangan Digital (LKD). 4. Melanjutkan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai kondisi fundamentalnya. Kebijakan reformasi subsidi BBM diyakini dapat memperkuat konfiden pasar dan perbaikan 22