BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. dapat dipaksakan. Menurut Undang-Undang KUP No menyatakan.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak yang dikemukakan oleh para ahli di bidang perpajakan menurut Prof. Dr.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Menurut Rochmat Soemitro pajak adalah iuran rakyat kepada kas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Dari sektor pajak diharapkan partisipasi aktif masyarakat dalam

BAB II LANDASAN TEORI

iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang undang yang dapat dipaksakan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. agar dapat bersaing dengan negara-negara lain. Dalam hal ini peran masyarakat Indonesia,

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata CaraPerpajakan

BAB II LANDASAN TEORI. rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada umumnya pajak merupakan pungutan wajib oleh negara kepada

BAB II LANDASAN TEORI. pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut:

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pajak ialah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang satu sama lain pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., dan Brock Horace R.

PERPAJAKAN LANJUTAN. by Ely Suhayati SE MSi Ak

BAB II LANDASAN TEORI. sudut pandang yang digunakan oleh masing-masing ahli pada saat merumuskan. Definisi pajak menurut para ahli sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. sebagai primadona dalam membiayai pembangunan nasional. Pembangunan nasional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri ( PKLM ).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebelum kita mengetahui pengertian with holding system kita harus

PENGARUH PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR TARIF PROGRESIF TERHADAP DAYA BELI KENDARAAN DI DENPASAR

BAB II TEORI PERPAJAKAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, PENGADILAN PAJAK DAN BANDING PAJAK

LAPORAN PRAKTEK KERJA NYATA

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Sumber pendapatan negara yang memiliki pengaruh cukup besar pada

BAB II. adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 Tentang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Keberhasilan suatu bangsa dalam pembangunan nasional sangat ditentukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang diperjualbelikan, telah dikenai biaya pajak selain dari pada harga pokoknya

Abstrak. Kata kunci: pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, pajak kendaraan, daya beli

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan suatu Negara sangat bergantung kepada sektor pajaknya. Pajak merupakan

BAB II LANDASAN TEORI

LANDASAN TEORI. dalam buku Perpajakan Indonesia karangan Waluyo (2008, h3),

BAB III PEMBAHASAN TENTANG MEKANISME PENGAJUAN RESTITUSI ATAS KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

BAB II LANDASAN TEORI. definisi pajak menurut versinya masing-masing. Walaupun banyak pendapat mengenai

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TELAAH PUSTAKA

BAB III PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) DALAM UNDANG-UDANG NO. 18 TAHUN 2000 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG

BAB I PENDAHULUAN. Penerimaan Negara dari sektor perpajakan merupakan sumber utama. untuk pembangunan nasional dan penyelenggaraaan pemerintahan.

BAB II LANDASAN TEORI. memperoleh atau mendapatkan dana dari masyarakat. Dana tersebut digunakan untuk

BAB 2 LANDASAN TEORI. undang-undang oleh pemerintah, yang sebagian dipakai untuk menyediakan barang

BAB II TELAAH PUSTAKA. jawab atas kewajiban pembayaran pajak berada pada masyarakat sendiri untuk

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. Definisi pajak berdasarkan undang-undang dan dari berbagai pakar pajak

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sedangkan pengertian pajak menurut Marihot P. Siahaan (2010:7) adalah: 1. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara.

BAB II TELAAH PUSTAKA. pengertian yang sama. Beberapa pengertian pajak yang dikemukakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. merata baik dalam bidang ekonomi, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat.

BAB II LANDASAN TEORI. Apabila membahas pengertian pajak, banyak definisi atau batasan pajak yang

BAB II LANDASAN TEORI. Pajak pada dasarnya mempunyai peranan yang sangat penting dalam

BAB II LANDASAN TEORITIS. (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai perpajakan, penulis menyajikan

BAB I PENDAHULUAN. daya dari sektor privat ke sektor publik. Sutedi (2013:1), memahami pengertian

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Andriani dalam bukunya Waluyo (2009: 2) menyatakan bahwa

BAB II LANDASAN TEORI. Definisi pajak menurut undang-undang dan pakar pajak sebagai berikut :

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. Membahas mengenai perpajakan tidak terlepas dari pengertian pajak itu

pemungutan pajak dimana wajib pajak menghitung sendiri pajak terutangnya serta secara mandiri menyetorkan ke bank atau kantor pos dan melaporkannya

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Dalam kajian pustaka ini, akan dijelaskan mengenai pengertian pajak, jenisjenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TELAAH PUSTAKA. dimiliki oleh masyarakat kepada negara yang dapat dipaksakan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. dengan Cina dan India sebagai penggeraknya serta negara industri maju lainnya

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah BAB VI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

BAB I PENDAHULUAN. wujud pelayanan pemerintah kepada masyarakat. berasal dari iuran rakyat yang berdasarkan Undang Undang (dapat

BAB I I. LANDASAN TEORl

BAB II LANDASAN TEORI. yang berbeda tentang definisi dari pajak itu sendiri. Soemitro dalam bukunya Dasardasar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Faktur pajak (tax invoice) merupakan sarana administrasi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pembangunan nasional yang berlangsung terus menerus dan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III PEMBAHASAN TENTANG EFEKTIVITAS PENERAPAN E-FAKTUR ATAS PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK

BAB II BAHAN RUJUKAN

Pajak. Definisi Pajak Pembagian Jenis Pajak Menurut Sifat Menurut Sasaran Menurut Pengelola

BAHAN MATERI MATA PELAJARAN EKONOMI DAN BISNIS KOMPETENSI DASAR KETENTUAN PERPAJAKAN KELAS XI AP TAHUN PELAJARAN 2014/2015

DASAR-DASAR PERPAJAKAN

BAB II LANDASAN TEORI. dapat dipaksakan kepada mereka yang melanggarnya.

BAB II LANDASAN TEORI. keempat atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 ketentuan Umum dan Tata

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul Kementrian Keuangan (2014)

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN BARANG MEWAH UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari hasil Pajak Daerah. Pajak

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktek Kerja Lapangan Mandiri. yang semula dilakukan Cuma-Cuma dan sifatnya memaksa tersebut.

Perpajakan. Aryo Prasetyo, S.Kom., MMSI Vokasi Akuntansi UI, STIE Dewantara, IBI K-57. (Sesi 1)

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber-sumber pendapatan negara yang digunakan untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Definisi Pajak Pajak merupakan iuran wajib yang dibayar oleh masyarakat kepada pemerintah yang dapat dipaksakan. Menurut Undang-Undang KUP No.28 2007 menyatakan. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Menurut P. J. A Andriani dalam bukunya (Waluyo, 2009) mengatakan bahwa Pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Menurut (Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R,, 2008), menjelaskan bahwa : Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namum wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan terlebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proposional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalanakan pemerintahan. Dari ketiga definisi diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pajak memiliki ciri-ciri atau unsur yang terdapat dalam definisi pajak yaitu :

1. Iuran dari masyarakat untuk Negara. Seluruh warga Negara diwajibkan untuk membayar iuran berupa pajak yang dipungut oleh Negara. 2. Dipungut berdasarkan peraturan perundang-undangan dan dapat dipaksakan. 3. Tanpa mendapat timbal balik dari Negara secara langsung. 4. Digunakan untuk membiayai keperluan rumah tangga Negara untuk menjalankan pemerintahan. 2.1.2 Fungsi Pajak Menurut buku (Mardiasmo, 2011) dan (Waluyo, 2007), terdapat dua fungsi pajak, yaitu fungsi bugdeter (sumber keuangan negara) dan fungsi regulerend (mengatur). a. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara) Pajak merupakan sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran Negara yang diselenggarakan secara rutin untuk pembangunan. Pajak sebagai sumber keuangan Negara, maka pemerintah terus berupaya dalam memaksimalkan penerimaan Negara. Sebagai sumber keuangan Negara, pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyakbanyaknya ke kas Negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Kendaraan Bermotor, dan lain-lain. b. Fungsi Regulerend (Mengatur) Fungsi regulerend atau mengatur yaitu fungsi pajak yang mengatur dalam bidang masyarakat, ekonomi, politik, dan sosial yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu menjaga kestabilan dalam bidang tersebut seperti menjaga kestabilan inflasi. Jadi,

dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri. 2.1.3 Sistem Pemungutan Pajak Menurut Mardiasmo (2011 : 7) sistem pemungutan pajak dibagi menjadi tiga yaitu Official Assessment System, Self Assessment System, dan With Holding Assessment System. a. Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Jadi, yang menentukan besarnya pajak yang terutang adalah pemerintah dimana wajib pajak bersifat pasif, sehingga wajib pajak tidak turut serta dalam menentukan besarnya pajak yang terutang. b. Self Assessment System Adalah suatu system pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dam,melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang. Dalam hal ini, wajib pajak bersifat aktif karena wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada wajib pajak itu sendiri. Jadi, wajib pajak mempunyai hak untuk ikut serta dalam menentukan besarnya pajak yang terutang. Namun, pada system ini sangat mungkin terjadi manipulasi dalam jumlah pajak yang akan dilaporkan. c. With Holding System Merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan

besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Jadi, baik pemerintah ataupun wajib pajak tidak mempunyai hak untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Dari ketiga sistem pemungutan pajak yang ada, Indonesia menerapkan sistem pemungutan pajak dengan cara Self Assessment Sistem, dimana tujuannya agar masyarakat mengetahui dan dapat menghitung secara langsung jumlah pajak yang dibebankan kepada wajib pajak. Serta diharapkan masyarakat lebih patuh dalam membayar pajak. 2.1.4 Definisi Pajak Pertambahan Nilai Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak penjualan yang dikenakan kepada setiap konsumen atas nilai tambah disetiap pembelian barang kena pajak dan jasa kena pajak, dimana tarif yang dikenakan kepada konsumen adalah tarif tunggal sebesar 10%. (Sumartaya ; Dusa, 2003) Pajak pertambahan nilai pada dasarnya merupakan pajak penjualan yang dipungut atas dasar nilai tambah yang timbul pada semua jalur produksi dan distribusi. Menurut Mardiasmo (2008:270) pajak pertambahan nilai adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Nilai tambah adalah semua faktor produksi yang timbul disetiap pembuatan suatu produk seperti upah, sewa, dan semua biaya yang diperlukan untuk memperoleh laba. Mekanisme dari pajak pertambahan nilai ada pada pihak produsen yang sering disebut dengan Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam menghitung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang wajib disetor oleh PKP adalah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah pajak yang dikenakan ketika subjek pajak melakukan penjualan terhadap barang kena pajak (BKP) dan atau jasa kena pajak (JKP) yang tergolong dalam barang mewah (Rahayu, Siti Kurnia, dan Ely Suhayati, 2009).

Menurut Khadijah, Isa and Jeff Pope (2011) sebagai salah satu jenis pajak, pajak pertambahan nilai seringkali disebut sebagai pajak objektif. Pada pajak pertambahan nilai, hal yang pertama kali ditekankan adalah objek pajak yang akan dikenakan, kemudian subjek pajak yang terkena, misalnya barang-barang mewah, kendaraan mewah, dan sebagainya. Hal pertama yang dikenakan adalah tarif pada tiap-tiap barang tersebut, kemudian barulah wajib pajak pengonsumsi barang tersebut yang dikenai beban pajaknya sehingga wajib pajak tersebut disebut sebagai subjek pajak. Menurut (Dwi Rahayu, 2011) pajak masukan merupakan pajak yang dikenakan ketika Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian terhadap barang kena pajak atau jasa kena pajak. Pengusaha Kena Pajak, sering disebut PKP adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) 1984 dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. 2.1.5 Dasar Pemungutan Pajak Dalam situs resmi Direktorat Jendral Pajak (pajak.go.id) disebutkan bahwa dasar pemungutan pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak yang terhutang. Jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. 1) Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan barang kena pajak (BKP), tidak termasuk pajak pertambahan nilai yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak.

2) Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk pajak pertambahan nilai yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud. 3) Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk ditambah pungutan lainya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pabean untuk impor barang kena pajak, tidak termasuk pajak pertambahan nilai yang dipungut menurut undang-undang pajak pertambahan nilai. 4) Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir. 5) Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak dengan keputusan Menteri Keuangan. 2.1.6 Sifat Pemungutan PPN Sifat pemungutan pajak pertambahan nilai menurut Sukardji (2010), yaitu pajak pertambahan nilai bersifat sebagai pajak tidak langsung, pajak objektif, multi stage levy, non kumulatif, indirect substraction method, tarif tunggal, pajak atas konsumsi dalam negeri pajak pertambahan nilai tipe konsumsi, dan netralitas pajak pertambahan nilai. 1) Pajak Tidak Langsung Sifat pemungutan ini menggambarkan pengertian pajak pertambahan nilai ditinjau dari sudut ilmu hukum yaitu suatu jenis pajak yang menempatkan kedudukan pemikul beban

pajak dengan kedudukan penanggung jawab pembayaran pajak ke kas Negara pada pihak-pihak yang berbeda. Hal ini dimaksudkan untuk pembeli atau penerima jasa dari tindakan sewenang-wenang pemerintah. Jadi, pengenaan pajak pertambahan nilai dibebankan kepada konsumen BKP dan yang melaporkannya adalah perusahaan (produsen). 2) Pajak Objektif Timbulnya kewajiban pajak di bidang pajak pertambahan nilai sangat ditentukan oleh adanya objek pajak, yaitu seperti keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak. Jadi, pajak pertambahan nilai tidak membedakan tingkat kemampuan konsumen dalam pengenaan pajaknya. 3) Multy Stage Levy Multy Stage Levy mengandung pengertian bahwa pajak pertambahan nilai dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksu dan jalur distribusi BKP atau JKP. pajak pertambahan nilai dikenakan pada setiap proses ditribusi BKP atau JKP karena didasarkan pada digunakannya faktor-faktor produksi pada setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen. 4) Non-Kumulatif Pajak pertambahan nilai yang bersifat multy stage levy juga bersifat non-kumulatif yang artinya pajak pertambahan nilai tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda. Berbeda ketika dahulu pajak pertambahan nilai disebut sebagai pajak penjualan yang menimbulkan pajak berganda. 5) Indirect Subtraction Method

Indirect Subtraction Method adalah metode penghitungan pajak pertambahan nilai yang akan disetor ke kas Negara dengan cara menggunakan pajak atas perolehan dengan pajak atas penyerahan barang atau jasa. Jadi, yang disetor ke kas Negara hanya selisihnya saja. 6) Menggunakan Tarif Tunggal Pajak pertambahan nilai di Indonesia menganut tarif tunggal yang dalam hukum positif yaitu Undang-Undang pajak pertambahan nilai tahun 1984 ditetapkan sebesar 10%. Dengan Peraturan Pemerintah tarif ini dapat dinaikkan paling tinggi menjadi 15% atau diturunkan paling rendah 5%. 7) Pajak atas konsumsi dalam negeri Sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri maka pajak pertambahan nilai hanya dikenakan atas barang atau jasa yang dikonsumsi di dalam daerah pabean Republik Indonesia. Jadi, pajak pertambahan nilai tidak berlaku jika barang atau jasa dikonsumsi diluar wilayah Indonesia. 8) Pajak pertambahan nilai tipe konsumsi Dilihat dari sisi perlakuan terhadap barang modal, pajak pertambahan nilai Indonesia termasuk tipe konsumsi (consumption type VAT) yang artinya seluruh biaya yang dikeluarkan untuk perolehan barang modal dapat dikurangi dari dasar pengenaan pajak. 9) Netralitas pajak pertambahan nilai Dengan legal karakter pajak pertambahan nilai tersebut diatas, PPN mampu merealisasi dirinya netral dalam dunia perdagangan baik domestik maupun internasional. Pajak pertambahan nilai tidak menghendaki dirinya mempengaruhi kompetisi dalam dunia bisnis. Salah satu legal karakter pajak pertambahan nilai adalah pajak atas konsumsi.

Karena yang dapat dikonsumsi bukan hanya barang, tetapi juga jasa, maka pajak pertambahan nilai memberikan perlakuan yang sama terhadap konsumsi barang dan konsumsi jasa, yaitu kedua-duanya dikenakan pajak pertambahan nilai. 2.1.7 Prinsip Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Menurut (Agung, Mulyo, 2011)) terdapat dua prinsip pemungutan pajak pertambahan nilai, yaitu Prinsip Tempat Tujuan (Destination) dan Prinsip Tempat Asal(Origin Priniciple) dan akan dijelaskan sebagai berikut. 1. Prinsip Tempat Tujuan (Destination) Pada prinsip ini, pajak pertambahan nilai dipungut di tempat barang atau jasa tersebut dikonsumsi. Maksudnya, pada saat barang atau jasa sampai di tempat tujuan untuk konsumsi, maka barang atau jasa tersebut dikenakan pajak pertambahan nilai. 2. Prinsip Tempat Asal (Origin Principle) Pada prinsip tempat asal ini diartikna pajak pertambahan nilai dipungut di tempat asal barang atau jasa yang akan dikonsumsi. Jadi, pajak pertambahan nilai dipungut bukan pada tempat barang atau jasa tersebut dikonsumi, melainkan tempat barang atau jasa itu berasal. 2.1.8 Subjek Pajak Pertambahan Nilai Subjek pajak pertambahan nilai menurut Mardiasmo (2011) berdasarkan Undang-Undang PPN No.18 Tahun 2000, yaitu : 1. Pengusaha yang menurut Undang-Undang harus dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, yang meliputi: a. Pabrikan / Produsen b. Importir dan Investor

c. Pengusaha yang mempunyai hubungan istimewa dengan pabrikan atau importir. d. Agen utama dan penyalur utama dari pabrikan dan importir e. Pemegang hak paten dan merk dagang 2. Pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) dapat berbentuk : a. Eksportir b. Pedagang yang menjual barang kena pajak kepada pengusaha kena pajak yang biasanya merupakan jalur produksi. 2.1.9 Objek Pajak Pertambahan Nilai Objek pajak pertambahan nilai dapat dikelompokkan kedalam 2 (dua) macam (Mardiasmo,2011), yaitu : 1. Barang Kena Pajak (BKP) Barang kena pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang dikenakan PPN. 2. Jasa Kena Pajak (JKP) Jasa kena pajak adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak pertambahan nilai. Pajak pertambahan nilai dikenakan atas :

a. Penyerahan BKP di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh PKP. Syarat-syaratnya adalah : a) Barang berwujud yang diserahkan berupa BKP. b) Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP tidak berwujud. c) Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean. d) Penerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjannya. b. Impor BKP c. Penyerahan JKP yang dilakukan di dalam daerah pabean oleh pengusaha kena pajak. Syarat-syaratnya adalah : a) Jasa yang diserahkan merupakan jasa kena pajak. b) Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean. c) Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaanya. d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. e. Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. f. Ekspor BKP oleh pengusaha kena pajak. g. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. h. Penyerahan aktiva oleh pengusaha kena pajak yang menururt tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang pajak pertambahan nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan. 2.1.10 Mekanisme Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

Pengenaan pajak pertambahan nilai atas nilai tambah suatu barang kena pajak dan jasa kena pajak diserahkan oleh pengusaha kena pajak ke pemerintah. Nilai tambah yang dimaksud adalah selisih harga jual dan harga pokok barang tersebut. Menurut Agung Mulyo (2011), besarnya pajak yang terutang atas nilai tambah dapat dihitung menggunakan 3 (tiga) metode, yaitu Addition Method, Substraction Method, dan Credit Method, yang dijelaskan sebagai berikut. 1. Addition Method Pada metode ini besarnya pajak pertambahan nilai dihitung dari tarif dikalikan seluruh penjumlahan nilai tambah, dengan syarat setiap pengusaha kena pajak harus mempunyai pembukuan yang tertib dan rinci atas biaya yang dikeluarkan. 2. Substraction Method Pada metode ini, pajak pertambahan nilai yang terutang dari tarif dikalikan selisih antara harga penjualan dengan harga pembelian. 3. Credit Method Metode ini hamper sama dengan substraction method. Pada credit method ini harus dicari selisih antara pajak yang dibayar saat pembelian denga pajak yang dipungut saat penjualan. Pada metode kredit hasilnya lebih akurat karena dimungkinkan pada komponen harga beli terdapat komponen yang tidak terutang pajak pertambahan nilai. Dalam hal metode pengkreditan menggunakan substraction method yang menghasilkan pajak atas nilai tambah secara tidak langsung, disebut indirect substraction method. Demikian pula penyebutan invoice method sebagai akibat dituntut alat bukti berupa faktur pajak (Tax Invoice). 2.1.11 Tarif Pajak Pertambahan Nilai

Tarif pajak pertambahan nilai yang diterapkan di Indonesia menganut tarif tunggal yaitu sebesar 10%. Tetapi dengan adanya peraturan pemerintah, tarif pajak pertambahan nilai dapat diubah menjadi setinggi-tingginya sebesar 15% dan serendah-rendahnya 5%. Sedangkan ekspor Barang Kena Pajak adalah 0%. Pengenaan tarif 0% ini bukan berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai akan tetapi pajak masukan yang telah dibayar dari barang yang diekspor tetap dapat dikreditkan. Namun untuk saat ini yang berlaku di Indonesia adalah tarif pajak pertambahan nilai sebesar 10% untuk seluruh barang kena pajak dan jasa kena pajak. Jadi, pajak pertambahan nilai ini mengandung unsur objektif, artinya dalam pengenaan pajaknya tidak memperhatikan keadaan diri wajib pajak atau semua wajib pajak yang dikenakan pajak yang sama (Fadilah,2012). Untuk menentukan besarnya pajak pertambahan nilai terutang dihitung dengan mengalikan tarif pajak 10% dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). 2.1.12 Pajak Kendaraan Bermotor Dalam pasal 1 ayat 12 Undang-Undang mengenai PDRD (Pajak Daerah dan Restribusi Daerah) menyatakan bahwa pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. (Faizal, 2010) mengatakan Pajak Kendaraan Bermotor merupakan pajak yang dibebankan kepada pemilik kendaraan bermotor dan Pajak kendaraan bermotor merupakan salah satu jenis pajak daerah. Kendaraan yang dimaksud yaitu semua kendaraan beroda, serta gandengannya yang digunakan disemua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak (Waluyo 2011:238). Membahas mengenai aspek Pajak kendaraan bermotor maka tidak akan terlepas dari berbagai macam aktivitas yang terdapat pada kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor dan jalan raya merupakan satu kesatuan

yang tidak dapat terpisahkan (Yurida,2012). Masyarakat menggunakan kendaraan bermotor sebagai sarana transportasi, dalam penggunaan kendaraan bermotor itu wajar apabila pemerintah mengenakan pajak untuk setiap masyarakat yang menggunakan kendaraan bermotor. Pajak yang dibebankan digunakan untuk pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan jalan raya. Salah satu alasan teoritis pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor adalah penggunaan jalan raya yang merupakan barang publik untuk masyarakat (Lalujan,2013). Penggunaan jalan raya menimbulkan biaya (cost) baik secara langsung maupun tidak langsung. Biaya langsung yang dimaksud adalah kerusakan terhadap badan jalan sehingga menimbulkan biaya untuk anggaran perbaikan jalan. Sedangkan biaya tidak langsung (spillover cost) antara lain yaitu polusi udara, dan kemacetan (Yurida,2012). Menurut Bahl & Linn (1992:191) alasan pertama pengenaan pajak atas kendaraan bermotor yaitu semakin banyaknya kendaraan maka semakin meningkat pula pengeluaran daerah. Kedua adalah biaya layanan ini juga cenderung meningkat seiring dengan pertumbuhan kemacetan dan harga tanah di area perkotaan, dan meningkatnya harga relatif bahan-bahan material (seperti aspal dan beton). Alasan yang terakhir adalah kepadatan lalu lintas serta polusi udara dan suara. Bahl & Linn (1992:190-200) menyebutkan jenis pajak yang timbul dari kendaraan bermotor dapat digolongkan menjadi : 1. Automotive Taxation : Pajak atas kendaraan bermotor 2. Fuel Taxation : Pajak atas bahan bakar kendaraan bermotor 3. Sales and Trafer Taxes on Motor Vehicles : Pajak atas penjualan dan pengalihan kendaraan bermotor 4. Annual License Taxes : Pajak atas surat izin mengemudi

Waluyo (2011:238-239) menyebutkan pokok pengaturan pajak kendaraan bermotor sesuai dengan peraturan PDRD yaitu : 1) Objek Pajak Obejk Pajak kendaraan bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor. Termasuk kendaraan bermotor adalah kendaraan bermotor beroda beserta gandengannya yang dioperasikan di di semua jenis jalan darat dan kendaraan bermotor yang dioperasikan di air dengan isi kotor GT 5 (Lima Gross Tonnage) sampai dengan GT 7 ( Tujuh Gross Tonnage). 2) Pengecualian sebagai objek pajak a. Kereta api b. Kendaraan bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara. c. Kendaraan bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan,konsulat,perwakilan negara asing dengan asas timbal-balik dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas yang ditetapkan dalam peraturan daerah. d. Objek pajak lainnya yang ditetapkan dalam peraturan daerah. 3) Subjek Pajak Sebagai subjek pajak kendaraan bermotor adalah orang pribadi atau badan yang memiliki dan /atau menguasai kendaraan bermotor. Dalam hal subjek pajak kendaraan bermotor atau badan, kewajiban pajaknya diwakili oleh pengurus atau kuasa badan. 4) Dasar Pengenaan Pajak

Sebagai dasar pengenaan pajak untuk pajak kendaraan bermotor yaitu hasil perkalian dari 2 (dua) unsur pokok : a. Nilai Jual Kendaraan Bermotor Besarnya nilai jual kendaraan bermotor ditentukan harga pasaran umum, yaitu harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber yang akurat. Harga pasaran umum dimaksud pasaran umum minggu pertama bulan Desember tahun pajak sebelumnya. Khusus kendaraan bermotor yang digunakan di luar jalan umum, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar serta kendaraan di air, dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor adalah nilai jual kendaraan bermotor. Perhitungan dasar pengenaan pajaknya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan, demikian perhitungan dasar pengenaan pajak juga akan ditinjau kembali setiap tahun. b. Bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor. 5) Tarif Pajak Besarnya tarif pajak kendaraan bermotor pribadi ditetapkan dengan peraturan daerah yaitu : a. Untuk kepemilikan kendaraan bermotor pertama paling rendah sebesar 1% (satu persen) dan/atau paling tinggi sebesar 2% (dua persen). b. Untuk kepemilikan kendaraan bermotor kedua dan seterusnya dapat ditetapkan secara progresif paling rendah 2% (dua persen) dan paling tinggi 10% (sepuluh persen).

c. Untuk kendaraan bermotor angkutan umum, ambulance, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, pemerintah/tni/polri, Pemda, dan kendaraan lain yang ditetapkan sebagai peraturan daerah, ditetapkan paling rendah 0.5% (nol koma lima persen) dan paling tinggi 1% (satu persen). d. Untuk kendaraan alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan paling rendah 0.1% (nol koma satu persen) dan paling tinggi 0.2% (nol koma dua persen). 2.1.13 Penerapan Pajak Progresif Terhadap Wajib Pajak Kendaraan Bermotor Pengenaan pajak progresif di Kota Denpasar tercantum dalam Pasal 7 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah. Besarnya tarif progresif yang ditetapkan oleh Peraturan Daerah sebagai berikut : 1. Kendaraan kepemilikan pertama sebesar 1.5% (satu koma lima persen) 2. Kendaraan kepemilikan kedua sebesar 2% (dua persen) 3. Kendaraan kepemilikan ketiga 2.5% (dua koma lima persen) 4. Kendaraan kepemilikan keempat 3% (tiga persen) 5. Kendaraan kelima dan seterusnya 3.5% (tiga koma lima persen) Pajak progresif kendaraan bermotor dikenakan berdasarkan nama dan/atau alamat yang sama dalam satu keluarga. Sehingga wajib pajak yang memiliki kendaraan bermotor lebih dari satu unit melakukan balik nama terhadap kendaraan bermotor yang dimilikinya agar tidak terdaftar di database bahwa kendaraan-kendaraan tersebut ternyata dimiliki oleh satu individu saja (Nugraha,2012). Tujuan utama penerapan pajak progresif ini diharapkan mampu mengurangi tingkat kemacetan di kota Denpasar serta meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota Denpasar. 2.1.14 Daya Beli

Daya beli merupakan kemampuan seseorang untuk membeli suatu barang atau jasa. Sedangkan menurut Fadilah (2012) daya beli (purchasing power) merupakan kemampuan seseorang dalam mengkonsumsi suatu produk. Daya beli satu orang dengan yang lain tentu saja berbeda. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, sperti jumlah pendapatan seseorang, status sosial seseorang, pekerjaan, dan lainnya. Daya beli mempunyai hubungan erat dengan harga suatu barang. Bila suatu barang harganya murah, maka daya beli masyarakat terhadap produk tersebut tinggi. Namun apabila harga produk itu mahal, maka daya beli masyarakatnya rendah. Sesuai dengan teori ekonomi mikro yaitu hukum permintaan, menurut Wilson (2007) pada umumnya, semakin tinggi harga suatu barang, maka semakin sedikit jumlah permintaan keatas suatu barang tersebut. Sebaliknya, semakin rendah harga suatu barang, maka semakin banyak jumlah permintaan keatas barang tersebut. Kurva permintaan suatu barang adalah suatu kurva atau suatu daftar yang menunjukan jumlah-jumlah suatu barang untuk setiap satuan waktu yang oleh seorang konsumen ingin dan sanggup untuk membeli barang tersebut pada berbagai harga satuan barang tersebut (Samuelson,2003). Terdapat 4 (empat) penyebab perubahan permintaan menurut Soediyono (2010:28), yaitu : 1) Perubahan pendapatan konsumen Untuk barang-barang normal, bertambah besarnya pendapatan yang diperoleh oleh konsumen mengakibatkan kurva permintaan terhadap konsumen bergeser ke kanan. Sebaliknya, menurunnya pendapatan menyebabkan kurva permintaan bergeser ke kiri. Untuk barang-barang inferior, yaitu barang konsumsi yang tidak disukai oleh konsumen

dan hanya dikonsumsi jika terpaksa, akan menurun permintaanya jika pendapatan konsumen meningkat. 2) Perubahan harga barang pengganti Jika suatu barang naik, maka permintaan akan barang substitusinya juga naik. 3) Perubahan harga barang komplementer Meningkatnya harga salah satu barang, menyebabkan penurunan permintaan terhadap barang komplementernya. 4) Perubahan cita rasa konsumen. Selera atau cita rasa konsumen yang berubah-ubah mempengaruhi permintaan akan suatu barang yang sedang digemari. Jika selera konsumen bertambah maka permintaan akan suatu barang juga akan naik. 2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai terhadap Daya Beli Konsumen Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Dyah (2010) dan Fadilah (2012) Raja (2014) mengenai pengenaan PPN terhadap daya beli. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pengenaan PPN berpengaruh negatif signifikan terhadap daya beli konsumen. Hal ini dikarenakan masyarakat secara langsung dibebankan pajak dalam setiap konsumsinya, dimana kondisi perekonomian yang belum mapan dan berbeda mengakibatkan masyarakat menekan konsumsinya sehingga daya beli menurun. Berdasarkan landasan teori dan berbagai penelitian sebelumnya dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut :

H1 : Pengenaan pajak pertambahan nilai berpengaruh negatif signifikan terhadap daya beli konsumen kendaraan bermotor.

2.2.3 Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dengan Tarif Progresif terhadap Daya Beli Konsumen. Penelitian mengenai PKB tarif progresif terhadap daya beli konsumen hasilnya belum dapat diketahui karena belum ada penelitian sebelumnya sebagai pendukung penelitian ini. Namun beberapa teori yang dapat mendukung penelitian ini antara lain yaitu, menurut Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengatakan bahwa dampak penerapan pajak penjualan progresif untuk kendaraan bermotor sejalan dengan ditetapkannya UU PDRD akan memukul sektor otomotif, terutama dari sisi penjualan (www.hukumonline.com, 2009). Menurut Suryono, Direktur Industri Otomotif Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bahwa Penjualan mobil pada 2015 diperkirakan turun dibandingkan realisasi penjualan tahun 2014 karena diberlakukannya pajak progresif bagi kendaraan roda empat (www.kemenperin.go.id, 2014). Menurut Ketua Umum Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia), Sudirman M Rusdi mengatakan bahwa penerapan pajak progresif pada awal 2015 akan berdampak pada penurunan penjualan produk otomotif, khususnya di kota-kota besar (www.ipotnews.com, 2014). Penurunan penjualan produk kendaraan roda empat tentu dipengaruhi oleh daya beli konsumen. Berdasarkan beberapa teori yang mendukung penelitian ini dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut : H2 : Pengenaan pajak kendaraan bermotor dengan tarif progresif berpengarih negatif signifikan terhadap daya beli konsumen kendaraan bermotor.

2.3 Kerangka Pemikiran Berdasarkan uraian diatas, gambaran menyeluruh tentang pengenaan PPN dan PKB tarif progresif terhadap daya beli konsumen yang berupa kerangka konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Pengenaan PPN atas kendaraan bermotor roda empat (X 1 ) Daya Beli Konsumen (Y) Pengenaan PKB tarif progresif atas kendaraan bermotor roda empat (X 2 )