PEMBERDAYAAN KELOMPOK USAHA PENGRAJIN BENANG (Kasus RW VII, Desa Tangsi Mekar, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung) YETI KARNINGSIH

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN TEORITIS

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

III. METODOLOGI Lokasi dan Waktu Kajian Lapangan

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut keputusan menteri kesehatan No. 193/ MenKes/ SK/ X/2004 tentang

1 Universitas Indonesia

PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL KATARINA RAMBU BABANG

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT

PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGUATAN KELEMBAGAAN KOPERASI RUKUN TETANGGA UNTUK MENINGKATKAN KEBERDAYAAN ANGGOTA

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

Program Pengentasan Kemiskinan melalui Penajaman Unit Pengelola Keuangan

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENGUATAN KAPASITAS LEMBAGA SIMPAN PINJAM RUKUN LESTARI UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN

TINJAUAN PUSTAKA. fasilitas mendasar seperti pendidikan, sarana dan prasarana transportasi,

Pengertian Pemberdayaan PEMBERDAYAAN. Makna Pemberdayaan 5/24/2017. Penyebab Ketidakberdayaan. Pemberdayaan (empowerment) Power/daya.

PENDAYAGUNAAN KELEMBAGAAN USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL (UKS) DALAM UPAYA MENSEJAHTERAKAN KELUARGA MISKIN

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

BAB II KERANGKA TEORITIK

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

PENANGGULANGAN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS M. SAFII NASUTION

BAB I PENDAHULUAN. pertanian meliputi sub-sektor perkebunan, perikanan, dan perikanan.

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat

STUDI PEMETAAN KEMISKINAN DI KOTA SEMARANG

STRATEGI PENANGGULANGAN DAMPAK KEBERADAAN PABRIK PENGOLAHAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN KAMPAR

BAB I PENDAHULUAN. modern pada masa kini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan pelayanan

KEMISKINAN DAN UPAYA PENGENTASANNYA. Abstrak

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar

PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL KATARINA RAMBU BABANG

2014 PELAKSANAAN PROGRAM PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP DALAM UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN MASYARAKAT.

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BAKUL PASAR TRADISIONAL DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN YOHANES ARIYANTO

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

METODOLOGI KAJIAN. Metode dan Strategi Kajian

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia telah merdeka hampir mencapai 69 tahun, tetapi masalah

BAB II KERANGKA TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya

METODOLOGI KAJIAN Lokasi dan Waktu Kajian

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals

BAB I PENDAHULUAN. terakhir. Pertumbuhan Indonesia hanya mencapai 5,8% pada tahun 2013 dan turun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan terutama

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja. perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. masalah klasik dan mendapat perhatian khusus dari negara-negara di dunia.

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. angka pengangguran dapat dicapai bila seluruh komponen masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

SEKOLAH PASCASARJAN A INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan,

BAB I PENDAHULUAN. dan didukung dengan kondisi kesuburan tanah dan iklim tropis yang dapat

STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN DALAM MENGATASI KEMISKINAN

PETANI MlSKlN Dl PlNGGlRAN PERKOTAAN DAN STRATEGI BERTAHAN HlDUP RUMAH TANGGA (Studi Kasus Petani Lahan Tidur di Kabupaten Bekasi) OLEH : NURMALINDA

BAB I PENDAHULUAN. ( kekuatan posisi tawar (Bargaining Power) yang sejajar dengan pengusaha dan

ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

Pada gambar 2.3 diatas, digambarkan bahwa yang melatarbelakangi. seseorang berpindah tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

PENGUATAN KAPASITAS YAYASAN PRIMARI DALAM PENCEGAHAN ORANG DENGAN HIV / AIDS DI KELURAHAN KARANG TUMARITIS KABUPATEN NABIRE GERSON RAMANDEY

VII. RANCANGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN

BAB III METODE KAJIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di dunia ini khususnya di negara berkembang. Sekitar 1,29 milyar penduduk dunia

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

METODE KAJIAN. Proses dan Metode Kajian

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Desa Sudimoro bermata pencaharian sebagai petani yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kualitas hidup manusia merupakan upaya yang terus

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA CIHIDEUNG ILIR, KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 1,2

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor Pertanian memegang peranan yang cukup strategis bagi sebuah

I. PENDAHULUAN. Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. mengelola tanah hingga menanam bibit sampai menjadi padi semuanya dilakukan

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. kalangan. Persoalan ini selain menyangkut sebagian besar (±75%) masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja sangatlah terbatas (Suratiyah dalam Irwan, 2006)

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk penanggulangan kemiskinan dengan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu kondisi bukan hanya hidup dalam

Transkripsi:

PEMBERDAYAAN KELOMPOK USAHA PENGRAJIN BENANG (Kasus RW VII, Desa Tangsi Mekar, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung) YETI KARNINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005

ABSTRAK YETI KARNINGSIH, A154030095. Pemberdayaan Kelompok Usaha Pengrajin Benang (Kasus RW VII Desa Tangsi Mekar Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung). Dibimbing oleh Ir. MELANI ABDULKADIR SUNITO, MS dan Dr. EDI SUHARTO, MSc Usaha kerajinan benang, yaitu membuat benang bangunan, benang jahit dan sumbu kompor (gulung/kepang), yang pada awalnya untuk meningkatkan penghasilan, kemudian menjadi pekerjaan tetap. Kegiatan ini menggunakan bahan baku benang gagal (majun) yang merupakan limbah industri tekstil. Salah satu permasalahan yang timbul dari usaha ini yaitu pola hubungan antara pemborong (majikan) dengan pengrajin benang (buruh) dalam hal upah yang lebih banyak ditentukan oleh pemborong sebaga i pemilik modal dan penyedia bahan baku. Disamping itu pemasaran bergantung pada pemborong sehingga akses terhadap pasar menjadi kendala. Sektor informal ini di satu sisi memberikan peluang kerja bagi rumah tangga petani terutama buruh tani, menjembatani ketimpangan antara sulitnya lapangan kerja di desa dengan pertumbuhan angkatan kerja yang ada, tetapi di sisi lain kondisi buruh tani senantiasa berada dalam keadaan miskin dan hampir tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Tujuan kajian pengembangan masyarakat ini adalah menyusun kegiatan pemberdayaan terhadap masyarakat miskin di Desa Tangsi Mekar sehubungan dengan permasalahan yang dialami dalam meningkatkan keberfungsian sosialnya yang disebabkan lemahnya aspek budaya dan politik berkaitan de ngan lemahnya jaringan sosial pengrajin dalam melakukan mobilitas di luar rumah baik secara horizontal maupun vertikal; aspek manfaat kesejahteraan berkaitan dengan asesibilitas terhadap sistem sumber yaitu terbatasnya kredit dan juga ketidakmampuan menjangkau sistem sumber yang ada dalam komunitas; serta aspek ekonomi berkaitan dengan terbatasnya modal sehingga menyebabkan ketergantungan kepada pihak lain. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan wawancara mendalam, pengamatan dan diskusi kelompok. Pendekatan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara lengkap dan mendetail tentang kehidupan para pengrajin benang Pelaksanaan Kegiatan Program Pemberdayaan Pengrajin Benang yang dilaksanakan di lapangan mengedepankan potensi yang dimiliki oleh para pengrajin yang selama ini belum dioptimalkan. Keberhasilan pemberdayaan pengrajin benang yang dilaksanakan belum sepenuhnya optimal namun telah menunjukkan keberdayaan bagi para pengrajin khususnya maupun masyarakat umumnya, yang ditandai dengan terbentuknya kelompok yang dapat dijadikan pemecahan masalah mereka; adanya lembaga keuangan mikro yang mudah diakses baik oleh pengrajin benang khususnya maupun masyarakat; dan terbangunnya kesadaran kebersamaan berbagai elemen msyarakat untuk mengatasi masalah yang ada pada komunitasnya. Berkenaan dengan pemberdayaan pengembangan usaha, diharapkan program-program pemberdayaan masyarakat disamping sebagai alternatif pemecahan isuisu kemiskinan. Selain itu juga dapat berperan menjadikan keluarga miskin berpartis ipasi aktif dalam kegiatan ekonomi lokal dan menjadi alat bantu diri bagi diri, keluarga dan lingkungannya melalui keterlibatannya dalam menentukan, merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembangunan di wilayahnya.

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat pada tanggal 1 Oktober 1967 dari pasangan Didi Surachman dan Rd. Siti Asiah. Pada tahun 1993 penulis menikah dengan Asep Abdul Haris, SKM dan telah dikaruniai dua orang putra bernama Cheppy Arrohman dan Anggie Abdurachman serta seorang putri bernama Idha Nurhaliza. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SDN Lebakwangi pada tahun 1981 di Kabupaten Bandung. Pada tahun 1984 penulis menyelesaikan pandidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri Banjaran di Kabupaten Bandung. Pada tahun 1987 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMAN Negeri Bale Endah Kabupaten Bandung dan mengikuti Kuliah Diploma di STKS Bandung, lulus tahun 1990. Tahun 1993, penulis bekerja di Propinsi Nusa Tenggara Barat di Panti Asuhan Anak Harapan Mataram sebagai staff administrasi. Pada tahun 1996 melanjutkan kembali Diploma IV dengan status Tugas Belajar perwakilan dari NTB (Nusa Tenggara Barat), dengan beasiswa dari Departemen Sosial Republik Indonesia, lulus tahun 1999. Pada tahun 2000 sampai sekarang penulis bekerja sebagai staff administrasi di Sekolah Tinggi Kesejaahteraan Sosial (STKS) bandung dan tahun 2003 mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor pada Program Pascasarjana dengan program studi Pengembangan Masyarakat dan menyelesaikannya pada tahun 2005. Beasiswa pendidikan pascasarjana ini diperoleh dari Departemen Sosial Republik Indonesia.

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pemberdayaan Kelompok Usaha Pengrajin Benang (Kasus RW VII Desa Tangsi Mekar Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar Pustaka di bagian akhir tugas ini. Bogor, November 2005 YETI KARNINGSIH NRP. A 154 030 095

Judul Tugas Akhir : Pemberdayaan Kelompok Usaha Pengrajin Benang (Kasus RW VII Desa Tangsi Mekar, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung) Nama : Yeti Karningsih NIM : A 154 030 095 Disetujui oleh: Komisi Pembimbing Ir. Melani Abdulkadir Sunito, MSc Ketua Dr. Edi Suharto, MSc Anggota Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat Dekan Sekolah Pascasarjana Dr.Ir. Djuara P. Lubis. MS. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc. Tanggal Ujian: 14 September 2005 Tanggal Lulus:

PEMBERDAYAAN KELOMPOK USAHA PENGRAJIN BENANG (Kasus RW VII, Desa Tangsi Mekar, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung) YETI KARNINGSIH Tugas Akhir Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Profesional Pada Program Studi Pengembangan Masyarakat SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005

PRAKATA Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-nya, penulis mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulisan ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Pengembangan Masyarakat dengan judul kajian Pemberdayaan Kelompok Usaha Pengrajin Benang (Kasus RW VII Desa Tangsi Mekar, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung). Tugas akhir ini dapat terwujud berkat bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan rasa hormat kepada Ir. Melani Abdulkadir Sunito, M.S dan Dr. Edi Suharto, MSc yang membimbing penulis sejak penyusunan rencana hingga penyelesaian tugas akhir ini. Semoga kajian ini dapat memberikan sumbangan kepada pihak-pihak yang akan meneliti lebih lanjut dan dapat bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Bogor, November 2005 YETI KARNINGSIH NRP. A 154 030 095

DAFTAR GAMBAR No Teks Halaman 1 Kerangka Pemikiran Tentang Pemberdayaan Kelompok Usaha Pengrajin Benang Desa Tangsi Mekar... 2 Jaringan Usaha Pengrajin Benang Desa Tangsi Mekar... 30 3 Pola Hubungan Antara Pemborong dan Pengrajin Benang Desa Tangsi Mekar... 4 Masalah, Sebab dan Akibat dalam Pengembangan Usaha Pengrajin Benang Desa Tangsi Mekar... 5 Analis Tujuan Dalam Rangka Pemberdayaan Pengrajin Benang Desa Tangsi Mekar... 6 Diagram Alir Program, Strategi dan Kegiatan Pengembangan Kelompok Pengrajin Benang Desa Tangsi Mekar... 7 Diagram Alur Strategi dalam Pemberdayaan Kelompok Pengrajin Benang Desa Tangsi Mekar... Lampiran 8 Foto-foto Kegiatan... 111 17 38 66 69 80 82

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL.. iii DAFTAR GAMBAR. iv DAFTAR LAMPIRAN.. v I PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang. 1 1.2. Masalah Kajian. 4 1.3. Tujuan dan Kegunaan Kajian.. 5 II TINJAUAN TEORITIS.. 7 2.1. Konsep Kemiskinan 7 2.2. Pemberdayaan. 8 2.3. Kelompok Sebagai Media Pemberdayaan 12 2.4. Keberfungsian Sosial 13 2.5. Kerangka Pemikiran 15 III METODOLOGI 18 3.1. Metode Kajian. 18 3.2. Lokasi dan Waktu Kajian Lapangan 18 3.3. Teknik Pengumpulan Data 19 3.5. Penyusunan Program 20 IV KONDISI SOSIAL EKONOMI DESA TANGSI MEKAR 24 4.1. Keadaan Geografis.. 24 4.2. Keadaan Demografis 25 4.3. Kegiatan Ekonomi 27 4.4. Struktur Komunitas. 32 4.5. Kelembagaan dan Organisasi Sosial.. 33 4.6. Potensi dan Modal Sosial Pengembangan Masyarakat... 36 V PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DAN KELOMPOK 37 USAHA PENGRAJIN BENANG... 5.1. Gambaran Usaha Kerajinan Benang 37 5.3. Karakteristik Pengrajin Benang... 38 5.4. Ketidakberdayaan Pengrajin Benang.. 40 5.5. Keberfungsian Sosial Pengrajin Benang. 52 5.6. Evaluasi Program 54 5.7. Ikhtisar: Keragaan Program Pengembangan Masyarakat... 58 VI PROGRAM PENGEMBANGAN KELOMPOK PENGRAJIN BENANG... 61 6.1. Identifikasi Potensi, Masalah dan Kebutuhan Kelompok Pengrajin 61 Benang... 6.2. Analisis Tujuan, Analisis Alternatif Kegiatan, dan Analisis Pihak 68 Terkait... 6.3. Penyusunan Program dan Pelaksanaan Pemecahan Kegiatan... 71 6.4. Pelaksanaan... 84

VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 96 7.1. Kesimpulan.. 96 7.2. Rekomendasi. 98 DAFTAR PUSTAKA 104 LAMPIRAN.. 106

DAFTAR TABEL No Teks Halaman 1 Keterkaitan Dimensi Kekuasaan dengan Kemampuan Ekonomi, Akses Kesejahteraan, Kemampuan Budaya dan Politik... 2 Data dan Cara Pengumpulan Data pada Kegiatan Kajian di Desa Tangsi Mekar, 2004... 3 Luas wilayah Berdasarkan Penggunaan Tanah, Desa Tangsi Mekar, 2003... 4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin, Desa Tangsi Mekar, 2003... 5 Angkatan Kerja, Desa Tangsi Mekar, 2003... 26 6 Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan, Desa Tangsi Mekar, 2003... 7 Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan, Desa Tangsi Mekar, 2003... 8 Karakteristik Subjek Kajian, Desa Tangsi Mekar, 2003... 39 11 23 25 25 27 28 9 Matriks Alternatif Kegiatan dalam Pemberdayaan Pengrajin Benang... 10 Analisis Pihak Terkait dalam Pemberdayaan Kelompok Pengrajin Benang... 11 Rencana Kegiatan dalam Rangka Pemberdayaan Kelompok Pengrajin Benang... 12 Pihak-pihak yang Terlibat dalam Pemberdayaan Kelompok Pengrajin Benang... 69 70 76 83 13 Jadwal Kerja Tahunan Kelompok Pengrajin Benang... 86 14 Penerimaan Uang Kas Jasa Pembayaran Listrik, Air dan Telepon RW VII, Desa Tangsi Mekar, Bulan Maret 2005 89

DAFTAR LAMPIRAN No Lampiran Halaman 1. Pedoman Wawancara Kelompok Usaha Benang di Desa Tangsi Mekar Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung... 2. Prosposal Bantuan Modal Usaha Kelompok Pengrajin Benang Bina Mandiri Desa Tangsi Mekar Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung 3. Himbauan Iuran Dana Masyarakat... 108 104 107 4. Lembaran Pernyataan Keikutsertaan dalam Penggalangan Dana Masyarakat... 110

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian di Indonesia merupakan kegiatan yang masih banyak dilakukan oleh penduduk dalam memperoleh penghasilan. Menurut hasil Sensus Pertanian tahun 2003, jumlah rumah tangga pertanian adalah sebanyak 24,4 juta. Petani merupakan komponen penting yang memberikan kontribusi cukup besar dalam kegiatan ketahanan pangan di Indonesia. Dari jumlah itu 10,492 juta (43%) adalah buruh tani. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka melakukan berbagai pekerjaan serabutan seperti industri kecil, buruh serta dagang (BPS, 2003). Masyarakat Desa Tangsi Mekar merupakan masyarakat yang menggantungkan usaha ekonominya pada sektor pertanian. Hal ini ditandai dengan banyaknya penduduk yang bekerja sebagai petani yaitu sebesar 45,3 persen. Mereka terdiri dari 1282 jiwa petani penggarap dan pemilik lahan dan 1300 jiwa buruh tani. 1) Besarnya buruh tani menunjukkan peluang kerja di sektor pertanian terbatas. Seperti halnya di desa lain yang ada di Indonesia masalah yang muncul dari kehidupan buruh tani yang hanya bekerja dengan menjual jasa pengolahan lahan pertanian mengalami kondisi yang makin terjepit. Para petani yang mengerjakan lahan sendiri atau sewaan dihadapkan pada harga pupuk dan obat-obatan pertanian yang semakin mahal. Tin gginya biaya bila dibandingkan dengan hasil produksi yang diperoleh, membuat petani masih berada pada kondisi miskin. Kondisi ini menyebabkan akumulasi permasalahan sosial dasar seperti rendahnya kondisi kesehatan, sulitnya mencari kerja baru di pedesaan dan lain sebagainya. Masalah semakin menyempitnya lahan pertanian akibat sistem pewarisan dan jual beli tanah, juga membatasi kesempatan buruh tani bekerja di lahan pertanian (Landong, 2002). 1) Dalam hal luas lahan kategori yang digunakan di Desa Tangsi Mekar adalah seperti yang dikemukakan oleh Triono dan Nasikun (1992) sebagai berikut: Petani besar dengan kepemilikan sawah lebih dari 1,00 hektar; petani menengah pemilikan tanah/sawah antara 0,21-0,50 hektar; petani gurem antara 0,01-0,02 hektar; dan tuna kisma buruh tani yaitu petani yang tidak memiliki sawah dan bekerja sebagai buruh tani. 1

Berbagai program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah seperti IDT (Inpres Desa Tertinggal), jaring pengaman sosial dan Raskin (beras untuk orang miskin), ditujukan untuk membantu masyarakat dalam meningkatkan kondisi kesejahteraannya. Meskipun telah dilaksanakan secara terpadu, program tersebut belum sepenuhnya dapat menyelesaikan masalah kemiskinan (Hikmat, 2001). Dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya, buruh tani melakukan berbagai kegiatan untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Usaha kerajinan benang seperti di Desa Tangsi Mekar merupakan salah satu usaha yang dilakukan oleh buruh tani. Usaha kerajinan benang, yaitu membuat benang bangunan, benang jahit dan sumbu kompor (kepang/gulung), yang pada awalnya untuk meningkatkan penghasilan, kemudian menjadi pekerjaan tetap. Kegiatan ini menggunakan bahan baku benang gagal (majun) yang merupakan limbah industri tekstil. Menurut keterangan mantan kepala desa Tangsi Mekar, pada awal kegiatan tahun 1980an bahan baku tersebut diperoleh dari pabrik tekstil secara cuma-cuma. Pabrik menganggapnya sebagai limbah yang tidak bernilai ekonomis dan karenanya dibuang. Sedangkan tahun 1990an, setelah pabrik tekstil mengetahui nilai ekonomis dari limbah tersebut, masyarakat harus membeli untuk memperoleh bahan baku kerajinan benang. Pada tahun 1995an Kesulitan kemudian bertambah saat pabrik menetapkan syarat harga maupun kuantitas minimum barang yang harus dibeli dan sebagian lagi mensyaratkan adanya uang agunan yang dikukuhkan dengan dokumentasi dengan pihak pabrik. Akibat syarat tersebut dan harga benang yang mahal pada saat ini pembelian hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki modal cukup besar. Buruh tani kemudian menjadi buruh pengrajin benang pada pemilik modal tersebut. Melihat potensi usaha kerajinan benang untuk menjadi alternatif pemecahan masalah kemiskinan buruh tani maka usaha ini perlu diberdayakan agar potensi ini berkembang. Diharapkan juga sebagai alternatif yang menjembatani ketimpangan antara sulitnya lapangan kerja di desa dengan pertumbuhan angkatan kerja yang ada. Potensi yang dimiliki saat ini yaitu permintaan pasar terhadap hasil produksi kegiatan ini cukup besar, hal ini 2

ditunjukkan dengan banyaknya kendaraan yang datang ke Tangsi Mekar untuk mengangkut hasil produksi. Melalui pemberdayaan, upaya untuk membangun daya dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya (Kartasasmita, 1996). Pernyataan ini menunjukan bahwa setiap individu pada esensinya sudah memiliki daya/power, yang dibutuhkan adalah membantu agar individu tersebut mampu mengolah dan mengembangkan daya yang dimiliki sehingga mencapai kemajuan. Dalam konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk memperbaiki, meningkatkan atau mempertahankan keberfungsian sosial atau pelaksanaan peranan-peranan sosial orang. Siporin dalam Suharto, dkk. (2003) mengemukakan bahwa keberfungsian sosial berhubungan dengan cara-cara berperilaku individu-individu atau kolektif-kolektif (keluarga, kelompok, perkumpulan, masyarakat dan sebagainya) dalam rangka melaksanakan tugastugas kehidupannya dan memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, orang-orang berfungsi dalam kaitannya dengan peranan-peranan sosial mereka, maka keberfungsian sosial merupakan kegiatan yang dianggap penting untuk menampilkan peranan-peranan yang harus dilaksanakan karena keanggotaan dalam kelompok-kelompok sosial. Pengamatan penulis terhadap kegiatan usaha pengrajin benang dimulai dengan praktek lapangan I (13 November - 20 Desember 2003) yang kemudian dilanjutkan dengan praktek lapangan II (1-13 Maret 2004). Hasil pengamatan tersebut menunjukkan kelompok usaha pengrajin benang yang dilakukan oleh buruh tani perlu diberdayakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam pengembangan masyarakat karena mereka memiliki banyak keterbatasan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara maksimal dan menjalankan fungsi sosialnya secara optimal. 3

1.2. Masalah Kajian Usaha kerajinan benang sangat tergantung pada limbah industri tekstil sebagai bahan baku produksinya. Bahan baku disuplai oleh pemborong yang membeli langsung dari pabrik, kemudian diberikan pada buruh tani untuk diolah menjadi benang bangunan, benang jahit dan sumbu kompor (kepang/gulung). Hasil olahan benang dari pengrajin/buruh tani dijual pada pemborong sebagai upah kerja. Ketergantungan bahan baku dan keterbatasan modal menyebabkan pengrajin tidak dapat mengembangkan usahanya secara mandiri. Hal ini makin bermasalah saat pasokan bahan baku dari pemborong berkurang karena pemborong menjual sebagian bahan bakunya langsung ke pabrik lain yang membutuhkan. Berkurangnya bahan baku dari pemborong saat ini berakibat rendahnya produksi sehingga berpengaruh juga terhadap pendapatan yang mereka peroleh. Usaha kerajinan benang merupakan usaha sektor informal yang ditekuni oleh warga desa Tangsi Mekar dan banyak menyerap tenaga kerja, sebagian besar adalah buruh tani. Kegiatan tersebut berlangsung secara berkelanjutan sehingga dapat dijadikan alternatif pekerjaan di luar pertanian. Usaha kerajinan benang ini dilakukan dalam bentuk industri rumah tangga. Pemasaran hasil produksi tidak hanya terbatas pada wilayah Bandung dan sekitarnya, melainkan juga ke luar wilayah Bandung seperti Bogor, Jakarta, Bekasi dan luar Jawa seperti Palembang dan Medan. Namun demikian ketergantungan modal kepada pemborong menyebabkan pengrajin tidak leluasa memasarkan hasil produksinya sehingga berpengaruh terhadap rendahnya pendapatan mereka. Hal inilah yang mengakibatkan kelompok pengrajin benang tetap dalam kondisi miskin. Sebagaimana dikemukakan Mulyoutomi dan Susilowati (2003), pada kasus industri mikro pedesaan persoalan struktural yang paling berat adalah adanya pemusatan pasar produk jadi dan bahan baku pada sekelompok pelaku usaha. Kondisi ini semakin menguatkan posisi tawar pengusaha, bukan pelaku industri mikro pedesaan. Akibat dari fenomena tersebut usaha kecil skala rumah tangga tidak memiliki alternatif lain untuk dapat meningkatkan produktivitas, 4

memasarkan produksi dan posisi tawar yang menguntungkan. Pada akhirnya berimplikasi terhadap tingkat pendapatan. Berdasarkan latar belakang di atas pertanyaan yang diajukan sebagai masalah kajian adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi sosial ekonomi Desa Tangsi Mekar? 2. Program program pengembangan masyarakat apa saja yang telah diperoleh oleh masyarakat secara umum dan secara khusus kelompok usaha benang dalam rangka meningkatkan kesejahteraan? 3. Bagaimana situasi ketidakberdayaan yang dialami pengrajin benang sehubungan dengan akses terhadap budaya dan politik, akses manfaat terhadap kesejahteraan dan meningkatkan kemampuan ekonomi? 4. Bagaimana rancangan penyusunan program yang sesuai dalam upaya pemberdayaan kelompok pengrajin benang? 1.3. Tujuan dan Kegunaan Kajian Tujuan umum yang ingin dicapai dalam kajian pengembangan masyarakat ini adalah menyusun kegiatan pemberdayaan yang dilakukan terhadap masyarakat miskin di Desa Tangsi Mekar Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung. Tujuan khusus adalah : 1. Menganalisis kondisi sosial ekonomi Desa Tangsi Mekar. 2. Menganalisis program pembangunan Raksa Desa dan PKK yang telah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa secara umum dan secara khusus kelompok usaha pengrajin benang. 3. Menganalisis situasi ketidakberdayaan yang dialami pengrajin benang sehubungan dengan akses terhadap budaya dan politik, dan akses manfaat terhadap kesejahteraan dan meningkatkan kemampuan ekonomi. 4. Menyusun strategi dan program pemberdayaan pengrajin benang di Desa Tangsi Mekar. 5

Adapun kegunaan kajian ini diharapkan dapat memberikan gambaran komprehensif mengenai pemberdayaan keluarga petani khususnya buruh tani dan dapat dijadikan pemecahan alternatif dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga buruh tani. Kajian ini dapat menjadi masukan bagi penentu kebijakan pembangunan lokal agar lebih memperhatikan peran dan potensi masyarakat dan buruh tani melalui usaha kerajinan benang. Kajian ini diharapkan juga dapat memberikan pemikiran bagi terwujudnya pengembangan masyarakat lokal yang berkelanjutan. 6

II. TINJAUAN TEORITIS 2.1. Konsep Kemiskinan Beberapa ahli mendefinisikan kemiskinan (dikutip Andre Bayo Ala, 1996) sebagai berikut: - Ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayananpelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial yang terbatas (Bradley R. Schiller). - Kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok (Emil Salim). - Kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standard hidup yang layak (S.A. Levitan). Kemiskinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan relatif (Soetomo, 2001). Seseorang dikatakan berada pada kondisi kemiskinan absolut apabila penghasilan yang diterimanya berada dibawah angka garis kemiskinan. Pada tahun 1999, BPS menentukan garis kemiskinan di perkotaan sebesar Rp. 92.409,-/ kapita/ bulan sedangkan di desa ditentukan sebesar Rp. 74.272/ kapita/ bulan. Pembedaan angka ini didasarkan pada perbedaan kebutuhan konsumsi di kedua wilayah tersebut. Seseorang dikatakan berada pada kondisi kemiskinan relatif apabila secara ekonomi kondisinya relatif lebih rendah dibandingkan dengan kondisi lingkungan pada umumnya dimana dia berada. Dengan demikian di tempat yang berbeda batasan miskin secara relatif ini tidak akan sama. Hikmat (2001) menyatakan bahwa kemiskinan merupakan masalah yang tidak ada habisnya. Pembangunan dengan pendekatan top-down ternyata tanpa sengaja menciptakan kondisi ini. Kelompok rentan dalam masyarakat ditempatkan pada posisi yang marginal dan dijadikan sebagai objek dalam pembangunan. Terjadinya pergeseran paradigma pembangunan ikut pula mempengaruhi pergeseran pandangan terhadap orang miskin. Sejalan dengan paradigma baru studi kemiskinan, Suharto (2003) menyatakan bahwa orang miskin tidak lagi dipandang sebagai orang yang serba tidak memiliki, melainkan orang yang memiliki potensi untuk mengatasi kemiskinannya. Selanjutnya 7

Suharto mengusulkan empat hal dalam studi kemiskinan yang perlu dipertimbangkan: Pertama, kemiskinan sebaiknya dilihat tidak hanya dari karakteristik si miskin secara statis, melainkan dilihat secara dinamis yang menyangkut usaha dan kemampuan si miskin dalam merespon kemiskinannya. Kedua, indikator untuk mengukur kemiskinan sebaiknya tidak tunggal, melainkan indikator komposit dengan unit analisis keluarga atau rumah tangga. Ketiga, konsep kemampuan sosial (social capabilities) dipandang lebih lengkap dari pada konsep pendapatan (income) dalam memotret kondisi sekaligus dinamika kemiskinan. Keempat, pengukuran kemampuan sosial keluarga miskin dapat difokuskan pada beberapa indikator utama yang mencakup kemampuan keluarga miskin dalam memperoleh mata pencaharian (livehood capabilities), memenuhi kebutuhan dasar (basic needs fulfillment), mengelola asset (asset management), menjangkau sumber-sumber (access to resources), berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan (access to social capital), serta kemampuan dalam menghadapi guncangan dan tekanan (cope with shocks and stresses). Pendapat tersebut menunjukkan bahwa untuk memberdayakan kelompok pengrajin benang yang termasuk masyarakat miskin, tidak hanya dilihat dari pendapatannya yang minim. Pemberdayaan harus memperhatikan potensi yang dimiliki oleh para pengrajin yang dapat dikembangkan untuk mengatasi masalahnya. 2.2. Pemberdayaan Kemunculan konsep pemberdayaan (empowerment) didasari oleh gagasan yang menempatkan manusia sebagai subjek dari dunianya sendiri. Payne (dikutip Adi 2001), menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah : Membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. Dalam pembahasan lainnya, pemberdayaan adalah, upaya untuk membangun daya dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya 8

(Kartasasmita, 1996). Pernyataan ini menunjukan bahwa setiap individu pada esensinya sudah memiliki daya/power, yang dibutuhkan adalah membantu agar individu tersebut mampu mengolah dan mengembangkan daya yang dimiliki sehingga mencapai kemajuan. Lebih lanjut Kartasasmita (1996) mengemukakan bahwa untuk meningkatkan taraf hidup kelompok miskin perlu dilakukan pemberdayaan untuk pengembangan masyarakat yang menekankan pada prinsip-prinsip pengembangan komunitas secara berkelanjutan. Aktivitas-aktivitas pengembangan masyarakat perlu diupayakan semaksimal mungkin berbasiskan kepada sumber daya yang dimiliki suatu komunitas. Pemberdayaan masyarakat berarti mengembangkan kondisi dan situasi sedemikian rupa sehingga masyarakat memiliki daya dan kemampuan untuk mengembangkan kehidupannya tanpa ada kesan bahwa upaya pengembangan tersebut berasal dari kekuatan luar komunitas. Oleh karena itu, pelaksanaan arti program pemberdayaan adalah masyarakat itu sendiri. Pemberdayaan ditujukan untuk membawa masyarakat yang tidak beruntung kepada masyarakat yang lebih adil dan akan memperkuat anggota komunitas lokal sebagai komunitas serta berupaya mewujudkan komunitas dengan berbasis struktur yang efektif (Ife, 1995:83). Dalam proses pemberdayaan masyarakat sebagai kesatuan yang utuh dilibatkan dan diberikan semangat untuk melakukan pengendalian pada kegiatan mereka sendiri dan melalui program ini dapat lebih mampu mengendalikan atas kehidupan mereka komunitasnya. Masyarakat adalah bagian dari proses pemberdayaan dan pemberdayaan menjadi kebutuhan mereka sendiri, sehingga sesuatu proses pemberdayaan membutuhkan waktu, energi, komitmen dan memerlukan perubahan stuktural yang mungkin banyak hambatan dan rintangan. Pemahaman kondisi ketidakberdayaan (powerlessness) perlu dilakukan sebelum membahas mengenai pemberdayaan, karena pemahaman kondisi tersebut adalah merupakan bagian dari proses kegiatan pemberdayaan. Beberapa kajian tentang ketidakberdayaan akan diuraikan berikut ini Pemberdayaan dilaksanakan dengan bertolak dari situasi ketidak berdayaan yang dialami klien baik secara perseorangan, kelompok maupun 9

komunitas. Ketidakberdayaan sebagaimana dikemukakan Keiifer dan Toore yang dikutip oleh Suharto (1997:134) pada umumnya dialami oleh kelompok masyarakat karena kondisi fisik maupun faktor-faktor tertentu sehingga mereka terpaksa tidak berkemampuan dan berkesempatan untuk menentukan apa yang ada pada dirinya. Selanjutnya disebutkan bahwa kelompok masyarakat tersebut meliputi masyarakat kelas sosial ekonomi lemah, kelompok minoritas etnik, wanita, populasi lanjut usia, serta penyandang cacat. Sementara Sennet, Cabb dan Convay dalam Suharto (1997:136) menyatakan ketidakberdayaan disebabkan karena ketiadaan jaminan ekonomi. Ketiadaan pengalaman dalam arena politik, ketiadaan akses terhadap informasi, ketiadaan dukungan finansial, ketiadaan pelatihan-pelatihan dan adanya ketegangan fisik maupun emosional. Suharto (2004) menyatakan bahwa keberhasilan pemberdayaan keluarga miskin dapat dilihat dari mereka yang menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan, dan kemampuan budaya dan politik. Ketiga aspek tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan, yaitu: kekuasaan di dalam (power within), kekuasaan untuk (power to), kekuasaan atas (power over), dan kekuasaan dengan (power with). Tabel 1 di bawah ini memperlihatkannya. 10

Tabel 1. Keterkaitan Dimensi Kekuasaan dengan Kemampuan Ekonomi, Akses Kesejahteraan, Kemampuan Budaya dan Politik. Jenis Hubungan kekuasaan Kekuasaan didalam : Meningkatnya kesadaran dan keinginan untuk berubah Kekuasaan untuk: Meningkatnya kemampuan individu untuk berubah Meningkatnya kesempatan untuk memperoleh akses Kekuasan atas: Perubahan pada hambatan hambatan sumber dan kekuasaan pada tingkat rumah tangga, masyarakat dan makro Kekuasaan atau tindakan individu untuk menghadapi hambatanhambatan tersebut Kekuasaan dengan: Meningkatnya solidaritas atau tindakan bersama orang lain untuk menghadapi hambatanhambatan sumber dan kekuasaan pada tingkat rumah tangga., masyarakat dan makro Sumber: Suharto (2004: 65) Kemampuan ekonomi - Evaluasi positif terhadap dirinya - Keinginan memiliki kesempatan ekonomi yang setara - Keinginan memiliki hak terhadap sumber yang ada pada rumahtangga dan masyarakat - Akses terhadap pelayanan keuangan mikro - Akses terhadap pendapatan - Akses terhadap aset-aset produktif dan kepemilikan rumah tangga - Akses terhadap pasar - Penurunan beban dalam pekerjaan domestik, termasuk perawatan anak - Kontrol atas penggunaan pinjaman dan tabungan serta keuntungan yang dihasilkannya - Kontrol atas pendapatan aktivitas produktif keluarga yang lainnya - Kontrol atas asset produktif dan kepemilikan keluarga. - Kontrol atas alokasi tenaga kerja keluarga - Tindakan individu menghadapi diskriminasi atas akses terhadap sumber dan pasar - Bertindak sebagai model peranan bagi orang lain terutama dalam pekerjaan publik dan modern. - Mampu memberi gaji terhadap orang lain - Tingkat bersama menghadapi diskriminasi pada akses terhadap sumber (termasuk hak atas tanah) pasar dan diskriminasi jender pada konteks ekonomi makro. Kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan - Kepercayaan diri - Keinginan memiliki kesejahteraan yang setara - Keinginan membuat keputusan - Keterampilan, termasuk kemelekan hurup - Status kesehatan dan gizi - Kesadaran mengenai dan akses terhadap pelayanan kesehatan produksi - Ketersediaan pelayanan kesejahteraan publik - Kontrol atas ukuran konsumsi keluarga dan aspek bernilai lainnya dari pembuatan keputusan keluarga termasuk keputusan keluarga berencana. - Aksi individu untuk mempertahankan diri dari kekerasan keluarga dan masyarakat - Penghargaan tinggi terhadap dan peningkatan pengeluaran untuk anggota keluarga - Tindakan bersama untuk meningkatkan kesejahteraan publik. Kemampuan kultural dan politis - Assertiveness dan otonomi - Keinginan untuk menghadapi subordinasi jender termasuk tradisi budaya, diskriminasi hukum dan pengucilan politik - Keinginan terlibat dalam proses-proses budaya, hukum dan politik - Mobilitas dan akses terhadap dunia luar rumah - Pengetahuan mengenai proses hukum, politik dan kebudayaan - Kemampuan menghilangkan hambatan formal yang merintangi akses terhadap proses hukum, politik dan kebudayaan - Aksi individu dalam mengahadapi dan mengubah persepsi budaya kapasitas dan hak wanita pada tingkat keluarga dan masyarakat - Keterlibatan individu dan pengambilan peran dalam proses budaya, hukum dan politik. - Peningkatan jaringan untuk memperoleh dukungan pada saat krisis - Tindakan bersama untuk membela orang lain menghadapi perlakuan salah dalam keluarga dan masyarakat. - Partisipasi dalam gerakan gerakan menghadapi subordinasi jender yang bersifat kultural, politis, hukum pada tingkat masyarakat dan makro 11

2.3. Kelompok Sebagai Media Pemberdayaan Salah satu upaya membangkitkan peran serta dan inisiatif masyarakat dalam berbagai program pembangunan dapat dilakukan dengan pendekatan kelompok. Pendekatan kelompok mempunyai kelebihan antara lain proses adopsi dapat dipercepat, karena adanya interaksi sesama anggota kelompok dalam bentuk saling mempengaruhi satu sama lain (Vitayala, 1986). Hal ini dapat dilakukan baik dengan kelompok yang telah ada dalam masyarakat maupun dengan membentuk kelompok-kelompok baru sesuai dengan program pembangunan yang hendak dilakukan. Memperhatikan usaha kerajinan benang ini sepintas tampak berkelompok namun kenyataan di lapangan, kelompok tersebut tidak lebih sekedar kumpulan beberapa orang pengrajin secara bersama-sama mengambil bahan baku produksi dari pemborong atau pemilik modal setelah itu mereka bekerja sendiri-sendiri. Sistem produksi usaha yang dijalankan oleh mereka melibatkan seluruh anggota keluarga, satu orang dari mereka bertindak sebagai penanggung jawab terhadap hasil produksi sedangkan anggota keluarga yang lainnya sebagai tenaga kerja. Sistem kegiatan produksi yang bersifat perorangan ini sangat rentan terhadap kebutuhan rumah tangga sehingga sulit sekali menginvestasikan modal untuk pengembangan usaha sehingga menyebabkan ketergantungannya pada orang lain. Karena itu diperlukan cara agar usaha ini dapat meningkatkan kemampuan produksinya, diantaranya dengan membentuk kelompok. Kelompok secara sederhana dapat diartikan sebagai hubungan antara orang-orang dalam lingkungannya. Secara luas pengertian kelompok dijelaskan Astrid (1985), terdiri dari dua orang atau lebih didalamnya terbentuk pembagian pekerjaan secara khusus. Haan dalam Astrid (1985), menjelaskan bahwa kelompok tidak terdiri dari jumlah anggota-anggotanya saja, melainkan akan suatu kenyataan yang ditentukan oleh datang-perginya anggota-anggota. Kenyataan kelompok ditentukan oleh nilai-nilai yang dihayati bersama, oleh fungsi kelompok sebagaimana disadari oleh anggotanya. Suatu kelompok menjadi kelompok (dalam arti bukan sekedar kumpulan individu) bila kelompok itu membentuk suatu pola relasi, ikatan atau 12

kekuatan tertentu yang dapat memberikan kepada anggota-anggotanya suatu perasaan kebersamaan dan ikut memiliki disebut juga perasaan kebersamaan (feeling of belonging). (Achlis, 1983). Dengan demikian maka ikatan antar anggota akan nampak jelas bila keeratan antar anggota sudah tercipta. Pengertian kelompok secara umum tidaklah berbeda satu dengan lainnya, akan tetapi kelompok dalam pengembangan usaha kecil skala rumah tangga lebih diartikan sebagai upaya membangun kelembagaan usaha kecil yang ditujukan untuk mengatasi dan memecahkan masalah keterbatasan yang dimiliki usaha kecil. Menurut Hafsah (2002), pendekatan kelompok melalui kelembagaan usaha kecil diarahkan pada keberlanjutan dan peningkatan daya saing dengan peningkatan kemampuan permodalan, sumberdaya manusia, teknologi, manajemen, dan akses pasar. Menurut Sumarti et al (2003), dik arenakan dalam melakukan beragam aktivitas pencaharian nafkah setiap orang cenderung untuk berkelompok. Perilaku berkelompok sangat diperlukan, karena didalamnya terdapat nilai-nilai partisipasi yang menjadi indikator kunci pemberdayaan dalam rangka pengembangan masyarakat. Partisipasi menurut Sumardjo dan Saharudin (2003), mengandung makna peranserta seseorang atau sekelompok orang atau sesuatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya mencapai sesuatu yang (secara sadar) diinginkan oleh pihak yang berperan serta tersebut. Partisipasi masyarakat penting diperlukan karena dalam arti yang positif menurut Hollsteiner dalam Sumardjo dan Saharudin (2003), berarti: (1) Mensukseskan program secara lebih terjamin dan lebih cepat, (2) Mendekatkan pengertian pihak perencana/ pengelola dengan kebutuhan golongan sasaran, (3) Media memupuk keterampilan masyarakat, kekeluargaan dan percaya diri, (4) Mencapai partisipasi positif sebagai ciri khas masyarakat modern. 2.4. Keberfungsian Sosial Pekerjaan sosial adalah profesi pertolongan kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu individu, keluarga, kelompok dan masyarakat agar mampu menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan peranannya. Dengan kata lain, nilai, pengetahuan dan keterampilan profesional yang digunakan pekerjaan sosial pada dasarnya adalah untuk meningkatkan keberfungsian sosial (social fuctioning) 13

klien yang dibantunya. Sebagaimana dinyatakan Skidmore, Thackeray dan Farley dalam Suharto, dkk. (2003): Social fuctioning to be a central purpose of social work and intervention was seen as the enchancement of social functioning. Keberfungsian sosial merupakan konsepsi yang penting bagi pekerjaan sosial. Ia merupakan pembeda antara profesi pekerjaan sosial dengan profesi lainnya. Morales dan Sheafor dalam Suharto, dkk. (2003) menyatakan: Social functioning is a helpful concept because it takes into consideration both the environment characteristics of the person and the forces from the environment. It suggests that a person brings to the situation a set of behaviours, needs and beliefs that are the result of his or her unique experiences from birth. Yet it also recognizes that whatever is brought to the situation must be related to the world as that person confronts it. It is in the transactions between the person and the parts of that person s world that the quality of life can be enhanced or damaged. Here in lies the uniqueness of social work. Intinya, konsep keberfungsian sosial menunjuk pada kapabilitas individu, keluarga atau masyarakat dalam menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Konsepsi ini mengedepankan nilai bahwa klien adalah subyek dari segenap proses dan aktifitas kehidupannya; bahwa klien memiliki kemampuan dan potensi yang dapat dikembangkan dalam proses pertolongan; bahwa klien memiliki atau dapat menjangkau, memanfaatkan dan memobilasasi aset dan sumber-sumber yang ada disekitar dirinya. Dengan demikian keberfungsian sosial bagi kelompok usaha pengrajin benang sebagai bagian masyarakat yang perlu diberdayakan dapat dievaluasi dari apakah seseo rang dapat megidentifikasi masalahnya, mengartikulasikan kebutuhannya, dan mengembangkan kapasitasnya agar dapat menangani masalah yang mereka hadapi secara lebih efektif. Dalam hal ini kelompok pengrajin benang sebagai masyarakat miskin tidak dipandang sebagai sistem klien yang bermasalah, melainkan sebagai masyarakat yang unik, memiliki potensi, hanya saja potensi tersebut belum sepenuhnya dikembangkan. 14

2.5. Kerangka Pemikiran Kelompok usaha pengrajin benang terbentuk dengan sendirinya dan mempunyai tujuan yang sama yaitu mendapatkan pekerjaan selain menjadi buruh tani. Berdasarkan hasil pelaksanaan praktek lapangan I dan II diperoleh gambaran kemiskinan beserta kondisi penyebabnya terhadap lingkaran ketidakberdayan pengrajin benang untuk mengakumulasikan kekuasannya mengakses budaya dan politik dikarenakan lemahnya jaringan sosial pengrajin benang baik secara horizontal maupun vertikal, ketidakberdayaan dalam meraih manfaat kesejahteraan dikarenakan tidak adanya peluang meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, juga ketidakberdayaan meningkatkan kemampuan ekonomi yang disebabkan terbatasnya sistem sumber yang dapat diakses untuk memajukan kehidupannya. Salah satu pendekatan untuk mengentaskan kemiskinan adalah pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan kelompok. Kelompok secara sederhana dapat diartikan sebagai hubungan antara orang-orang dalam lingkungannya. Secara luas pengertian kelompok dijelaskan Astrid (1985), terdiri dari dua orang atau lebih didalamnya terbentuk pembagian pekerjaan secara khusus. De Haan dalam Astrid, (1985) menjelaskan bahwa kelompok tidak terdiri dari jumlah anggota-anggotanya saja, melainkan akan suatu kenyataan yang ditentukan oleh datang-perginya anggota-anggota. Kenyataan kelompok ditentukan oleh nilai-nilai yang dihay ati bersama, oleh fungsi kelompok sebagaimana disadari oleh anggotanya. Suharto (2004) menyatakan bahwa keberhasilan pemberdayaan keluarga miskin dapat dilihat dari kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan, kemampuan budaya dan politis. Ketiga aspek tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan, yaitu: kekuasaan didalam (power within), kekuasaan untuk (power to), kekuasaan atas (power over), dan kekuasaan dengan (power with). Mengacu pada pendapat tersebut maka keberdayaan yang diharapkan pada kelompok usaha pengrajin benang adalah kemampuan meningkatkan ekonomi yang dikaitkan dengan kekuasaan untuk yaitu meningkatnya kesempatan untuk memperoleh akses pelayanan keuangan mikro, kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan yaitu meningkatnya pengetahuan 15

dan keterampilannya dalam pengelolaan usaha serta organisasi, meningkatnya kemampuan budaya dan politik yaitu sehubungan dengan mobilitas pengrajin diluar rumah baik secara horizontal maupun vertikal. Pemberdayaan berupa pengembangan pengetahuan dan keterampilan, membangun kerja kelompok dan pengembangan jaringan sosial terhadap pengrajin benang yang termasuk kelompok miskin dapat dijadikan pengungkit untuk meningkatkan kemampuanya dalam menjalankan usaha produktif sehingga dapat meningkatkan keberfungsian sosialnya. Agar pengrajin dapat berkembang dan mandiri sehingga mampu menggerakan sumber daya masyarakat, harus diupayakan pemberdayaan dengan memperhatikan faktor sosial- budaya serta struktur yang ada di masyarakat. Untuk mewujudkan tersebut diperlukan program pengembangan masyarakat yang bertumpu pada kelompok. Keberhasilan pemberdayaan kelompok ini diharapkan dapat mendukung pengembangan komunitas. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka alur kerangka pemikiran yang digunakan dalam kajian ini dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini: 16

Fokus kajian pemberdayaan Teori Kekuasaan untuk (Power to) dan pendekatan kelompok Lingkungan sosial: Peta Sosial Desa (Sosial, ekonomi, budaya) Program yang ada Ketidak berdayaan kelompok pengrajin benang karena belum memiliki kemampuan: - Mengakses budaya dan politik - Akses terhadap manfaat kesejahteraan - Meningkatkan kemampuan Strategi pemberdayaan Kelompok berdaya yang memiliki kemampuan: - Mengakses budaya dan politik - Mengakses manfaat kesejahteraan - Meningkatkan kemampuan ekonomi sehingga dapat berfungsi sosial Proses pemberdayaan Gambar I : Kerangka Pemikiran Tentang Pemberdayaan Kelompok Usaha Pengrajin Benang Desa Tangsi Mekar Kecamatan Paseh Kabupten Bandung 17

III. METODOLOGI 3.1. Metode Kajian Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode kualitatif 3). Penggunaan pendekatan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara lengkap dan mendetail tentang kehidupan para buruh tani di Desa Tangsi Mekar, khususnya buruh tani yang mengerjakan usaha benang sebagai pekerjaan tambahan. Responden dalam kajian ini adalah 20 orang buruh tani di Desa Tangsi Mekar Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung. Para buruh tani tersebut sebagian memiliki pekerjaan sebagai pengrajin benang, sebagian lagi hanya bekerja sebagai buruh tani. Informan diambil dari tokoh masyarakat, aparat desa dan pemborong (pemilik modal) sebagai yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan dalam masalah kajian. 3.2. Lokasi dan Waktu Kajian Lapangan Kajian pengembangan masyarakat ini terdiri dari tiga tahap kegiatan Praktek Kerja Lapangan. Lokasi yang dipilih adalah Desa Tangsi Mekar Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung. Kegiatan Praktek Kerja Lapangan I dilakukan pada tanggal 13 November sampai dengan 20 Desember 2003, untuk memperoleh peta sosial masyarakat Desa Tangsi Mekar. Kegiatan Praktek Kerja Lapangan II dilakukan pada tanggal 1 Maret sampai dengan 13 Maret 2004, untuk mengevaluasi program pengembangan masyarakat yang telah dilakukan. Kegiatan Kajian Pengembangan Masyarakat dilakukan pada tanggal 12 Juni sampai dengan 12 Agustus 2004, dengan fokus utama merancang program pemberdayaan bersama dengan masyarakat secara partisipatif. 2) Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2002:3), metode kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati. Sedangkan menurut Abdul Aziz dalam Bungin (2003:19) Metode kualitatif pada dasarnya merupakan penelitian yang terinci tentang seseorang atau sesuatu unit sosial selama kurun waktu tertentu 2) Karena kajian menggunakan data kualitatif, maka data yang di olah berupa ucapan-ucapan/ tulisan dari subyek kajian yaitu responden dan informan. Data kualitatif menurut Handari dan Martini (1995), merupakan pandangan atau pendapat, konsep-konsep, keterangan, kesan-kesan, tanggapantanggapan dan lain-lain tentang sesuatu keadaan yang berhubungan dengan kehidupan manusia. 18

Pemilihan Desa Tangsi Mekar sebagai lokasi kajian didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu adanya kasus yang menarik perhatian pengkaji dan lokasinya mudah dijangkau. Lokasi Desa Tangsi Mekar cukup strategis dan berada pada jalur penghubung antara Cicalengka dan Majalaya. Angkutan umum menuju wilayah ini tersedia 24 jam, dengan kondisi jalan beraspal yang dapat dilalui kendaraan roda dua maupun roda empat. Jarak tempuh Desa Tangsi Mekar dari Kabupaten Bandung + 2 jam perjalanan. 3.2. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilaksanakan dalam tiga tahap sebagai berikut: Pada Praktek Lapangan I dikumpulkan data kondisi geografis, kependudukan, sistem ekonomi, dan struktur komunitas. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan tokoh formal (aparat desa), tokoh informal (pemuka masyarakat, guru pengajian, pemborong (pemilik modal), dan warga komunitas, serta pengamatan langsung di lapangan. Data sekunder meliputi kondisi geografis, kependudukan dan sistem ekonomi diperoleh dari Kantor Desa Tangsi Mekar. Pada Praktek Lapangan II dikumpulkan data berupa informasi mengenai pengembangan masyarakat dalam mengatasi kemiskinan yaitu Program Raksa Desa dan Program Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Hal ini meliputi gambaran petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis program meliputi penyelenggara, sumber biaya, tahun, sasaran dan pelaksanaannya di lapangan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara: (a) Wawancara dengan informan kunci (Kepala Desa Tangsi Mekar, sekretaris desa, kader, tokoh masyarakat) dan warga masyarakat. Wawancara ini terdiri dari panduan pertanyaan yang dilakukan terhadap individu tertentu yang sudah diseleksi karena dianggap memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai topik dan keadaan wilayahnya. Topik dikembangkan berdasarkan proses tanya jawab dengan responden;(b) Pengamatan langsung, yakni dengan melakukan kunjungan lapangan ke para buruh tani yang juga sebagai buruh pengrajin benang; (c) Data sekunder yang diperoleh dari kantor desa, kader-kader PKK. Praktek Lapangan III merupakan kajian pemberdayaan masyarakat secara partisipatif. Dalam proses pemberdayaan ini, masyarakat mempunyai peran utama dalam identifikasi masalah, potensi dan kebutuhan serta perencanaan 19

kegiatan. Sedangkan pengkaji berperan sebagai fasilitator yang memfasilitasi proses identifikasi masalah, potensi dan kebutuhan serta perencanaan kegiatan 3). Teknik pengumpulan data menggunakan metode triangulasi dengan cara diskusi kelompok, pengamatan langsung di lapangan dan wawancara. Data yang dikumpulkan dalam identifikasi meliputi potensi, permasalahan serta kebutuhan dalam kegiatan usaha kerajinan benang. Warga yang mengikuti diskusi kelompok berjumlah 20 orang pengrajin dari masing-masing RT, ketua RW dan sekretaris desa. Diskusi kelompok terfokus dilaksanakan di rumah ketua RW tanggal 5 Juli 2004 jam!6.00 sampai dengan jam 17.30. Hal yang utama dalam melakukan identifikasi adalah berkembangnya kesadaran dan persepsi tentang potensi, dan permasalahan serta kebutuhan yang dihadapi melalui pelaksanaan kegiatan. Dalam perencanaan kegiatan secara partisipatif dilakukan 2 pertemuan (pada tanggal 11 Juli 2004 dan 16 juli 2004). Pada pertemuan ini terjadi proses belajar dan proses penyadaran untuk membuat kegiatan bersama pada tingkat komunitas serta menimbulkan perasaan kebersamaan dan tanggung jawab komunitas. 3.3. Penyusunan Program Metode perancangan program dalam kajian ini menggunakan metode Logical Framework (LFA) seperti dikemukakan oleh Sumardjo dan Saharudin (2003) dengan tahapan yang dilakukan sebagai berikut: TAHAP PERTAMA: Melaksanakan analisis masalah melalui wawancara mendalam, diskusi kelompok dan Metodology for Participatory Assessment (MPA) yang menghasilkan prioritas masalah. Tahap ini dilakukan bersama-sama pengrajin benang dimulai dengan pertemuan terpisah antara pemborong sebagai pemililik modal dan para pengrajin sebagai buruh yang diikuti oleh 20 orang pengrajin, pengurus RW, RT dan tokoh setempat. Dalam pertemuan tersebut diawali dengan penyampaian hasil temuan tentang para pengrajin yang meliputi kegiatan usahanya dan harapan pengrajin. Setelah itu dilakukan pengidentifikasian masalah yang dilakukan oleh peserta pertemuan. Dari hasil masukan peserta 3) Beberapa alasan menyertakan masyarakat menurut Mitchell et al. (2000) dikutip oleh Sumardjo dan Saharudin (2003) adalah (1) merumuskan permasalahan lebih efektif, (2) terungkapnya informasi riil dan pemahaman masyarakat, (3) terumuskannya alternatif penyelesaian masalah secara sosial dapat diterima, dan (4) terbentuknya rasa memiliki pada masyarakat terhadap rencana dan penyelesaian program, sehingga memudahkan penerapan. 20

mengenai identifikasi masalah, kemudian oleh penulis dituangkan pada diagram alir yang menggambarkan sebab dan akibatnya. (lihat bab VI gambar 5 hal 66). TAHAP KEDUA: Melaksanakan analisis tujuan. Berdasarkan analisis masalah yang telah dirumuskan dan telah menghasilkan prioritas masalah. Tahap ini digunakan untuk menganalisis masalah dan merumuskan tujuan yang akan dicapai, meyusun informasi secara sistematika, dan pada akhirnya menghasilkan sebuah rencana program atau kegiatan yang menggambarkan tindakan hasil (lihat babvi gambar 6 hal 68). TAHAP KETIGA: Melaksanakan matrik analisis alternatif kegiatan berdasarkan analisis tu juan dirumuskan analisis alternatif strategi pemberdayaan pengrajin benang. Pada tahap ini dilakukan setelah masyarakat menentukan sendiri apa permasalahan yang sedang dirasakan, potensi-potensi apa yang dimiliki dan kebutuhan-kebutuhan apa yang sangat mendesak. Dalam pertemuan tersebut diawali dengan penyampaian rumusan masalah dan penentuan prioritas masalah yang dihasilkan, kemudian peserta pertemuan menentukan alternatif pemecahannya. (lihat babvi tabel Tabel 9 hal 69). TAHAP KEEMPAT: Menyusun analisis pihak terkait berdasarkan identifikasi yang telah dilakukan. Pada tahap ini disusun matrik mengenai siapa saja pihak terkait yang dapat dimanfaatkan dalam perancangan program serta dianalisis mengenai kekuatan dan keterbatasan masing-masing pihak terkait.(lihat bab VI Tabel 10 hal 70). TAHAP KELIMA: Menyusun Rencana Kegiatan. Sebelum melakukan penyusunan program, terlebih dahulu penulis melakukan identifikasi potensi, masalah dan kebutuhan masyarakat dalam pemberdayaan pengrajin benang, kegiatan ini pada dasarnya dilaksanakan untuk memperoleh informasi atau data tentang kuantitas dan kualitas potensi masyarakat yang dapat digunakan untuk pemberdayaan pengrajin benang, kondisi yang menyebabkan terjadinya permasalahan tersebut dan kebutuhan pengrajin benang dalam meningkatkan keberfungsian sosialnya. Kegiatan ini dilakukan melalui wawancara dan diskusi mendalam baik dengan tokoh formal, informal maupun dengan masyarakat serta pengrajin benang. Dalam penyusunan program digunakan metode diskusi dengan 21