Deskripsi dan Analisis

dokumen-dokumen yang mirip
KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 5, NO 1, Edisi Februari 2013 (ISSN : ) ANALISIS APBD TAHUN 2012 Adenk Sudarwanto Dosen Tetap STIE Semarang

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 SEMESTER I

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - TAHUN ANGGARAN TRIWULAN III

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012

Monitoring Realisasi APBD Triwulan I

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

Assalamu alaikum Wr. Wb.

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH:

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

Deskripsi dan Analisis APBD 2010 Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang

DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN DIREKTORAT EVALUASI PENDANAAN DAN INFORMASI KEUANGAN DAERAH SUBDIT DATA KEUANGAN DAERAH

Evaluasi Kegiatan TA 2016 dan Rancangan Kegiatan TA 2017 Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian *)

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017

TABEL 1 LAJU PERTUMBUHAN PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA (Persentase) Triw I 2011 Triw II Semester I 2011 LAPANGAN USAHA

PENGELOLAAN PERBENDAHARAAN NEGARA DAN KESIAPAN PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA MELALUI KPPN

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016

Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008

Tabel 1. Jenis Pendapatan Daerah. Tabel 2. Persentase Sumber Pendapatan Daerah

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2016

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro)

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB 6 Kebijakan Fiskal

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

HASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat. Tahun Ajaran 2013/2014

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

PEMETAAN DAN KAJIAN CEPAT

Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN. Pada Bab II telah diuraiakan kondisi riil daerah yang ada di

5.1. KINERJA KEUANGAN MASA LALU

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

Memahami Arti Penting Mempelajari Studi Implementasi Kebijakan Publik

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

AKSES PELAYANAN KESEHATAN. Website:

Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016

MONITORING REALISASI APBD 2011 TRIWULAN I

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

Daftar Isi. DAFTAR ISI...iii. EXECUTIVE SUMMARY... v. KATA PENGANTAR... ix

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah)

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

Grafik 5.1. Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Kaltara Tahun Anggaran Sumber: Hasil Olahan, 2016

INDONESIA Percentage below / above median

INDEKS TENDENSI KONSUMEN

Laporan Keuangan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Semester 1 Tahun 2013

Pemanfaatan Hasil Ujian Nasional MTs untuk Perbaikan Akses dan Mutu Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Penekanan pada kenaikan pendapatan per kapita atau Gross National

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017

SURVEI HARGA PROPERTI RESIDENSIAL

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

KONDISI PENGELOLAAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun 2008

INDEK KOMPETENSI SEKOLAH SMA/MA (Daya Serap UN Murni 2014)

Transkripsi:

1

Deskripsi dan Analisis APBD 2012

ii Deskripsi dan Analisis APBD 2012

Daftar Isi DAFTAR ISI...iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GRAFIK... vii KATA PENGANTAR... xi EKSEKUTIF SUMMARY...xiii BAB I PENDAHULUAN...1 A. Latar Belakang... 1 B. Gambaran Umum APBD 2012... 2 C. Trend APBD 2009 2012... 5 BAB II ANALISIS PENDAPATAN DAERAH... 15 A. Rasio Pajak (Tax Ratio)...15 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota... 16 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi...18 3. Pemerintah Provinsi...19 4. Per Wilayah...20 B. Pajak per Kapita (Tax per Capita)... 21 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...22 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...23 3. Pemerintah Provinsi... 24 4. Per Wilayah...25 C. Ruang Fiskal (Fiscal Space)...26 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...26 2. Pemerintah Kabupaten/ Kota Se-Provinsi...28 3. Pemerintah Provinsi...29 4. Per Wilayah...30 Daftar Isi iii

D. Rasio Ketergantungan Daerah...32 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...32 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi...33 3. Pemerintah Provinsi...35 4. Per Wilayah...35 BAB III ANALISIS BELANJA DAERAH... 38 A. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah...39 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...40 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...42 3. Pemerintah Provinsi...44 4. Per Wilayah...45 B. Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja Daerah... 47 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...48 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...49 3. Pemerintah Provinsi...50 4. Per Wilayah... 51 C. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk...52 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...52 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...53 3. Pemerintah Provinsi...55 4. Per Wilayah...56 D. Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Daerah...56 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota... 57 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...58 3. Pemerintah Provinsi...59 4. Per Wilayah...60 BAB IV ANALISIS DEFISIT DAN PEMBIAYAAN DAERAH... 62 A. Defisit...62 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...63 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi...63 iv Deskripsi dan Analisis APBD 2012

3. Pemerintah Provinsi...64 4. Per Wilayah...65 5. Daerah dengan Defisit yang belum ter-cover oleh pembiayaan...67 B. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran...68 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...69 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi...70 3. Pemerintah Provinsi...70 4. Per Wilayah... 71 5. Daerah yang menganggarkan Surplus Penerimaan dalam APBD...72 C. Penerimaan Pembiayaan yang berasal dari Pinjaman...75 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...75 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi... 76 3. Pemerintah Provinsi...77 4. Per Wilayah...78 5. Daerah yang Melampaui Batas Maksimal Defisit yang Dibiayai Pinjaman...79 D. Dana Idle... 81 BAB V REALISASI APBD... 83 A. Realisasi APBD 2009 2010...83 B. Realisasi Penyerapan Belanja Daerah Secara Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota Seluruh Provinsi Tahun Anggaran 2011 per Bulan... 91 C. Realisasi Penyerapan Belanja Daerah Secara Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota Seluruh Provinsi Tahun Anggaran 2012 Triwulan I...93 DAFTAR PUSTAKA... 95 UCAPAN TERIMA KASIH... 96 Daftar Isi v

Daftar Tabel Tabel 1.1. Pembiayaan Daerah... 4 Tabel 1.2. Rata-rata pertumbuhan (2009 2012) SiLPA dan Pinjaman Daerah Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...12 Tabel 2.1. Provinsi yang memiliki Rasio Pajak di atas rata-rata Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...18 Tabel 2.2. Provinsi yang memiliki Ruang Fiskal diatas rata-rata Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...28 Tabel 4.1. Daerah dengan Defisit Belum Ter-cover oleh Pembiayaan...67 Tabel 4.2. Daerah yang Menganggarkan SiLPA Tahun Berkenaan dalam APBD (Lebih dari Satu Miliar)...73 Tabel 4.3. Daerah dengan % Pinjaman di atas Ketentuan PMK No. 127/ PMK.07/2011...80 Tabel 5.1 Komposisi Belanja Lainnya pada APBD dan Realisasi APBD Tahun 2009... 87 vi Deskripsi dan Analisis APBD 2012

Daftar Grafik Grafik 1.1. Komposisi Pendapatan Daerah... 3 Grafik 1.2. Komposisi Belanja Daerah... 4 Grafik 1.3. Trend APBD... 5 Grafik 1.4. Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2009 2012... 6 Grafik 1.5. Rata-rata pertumbuhan (2009 2012) Pendapatan Daerah per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota... 8 Grafik 1.6. Trend Belanja Daerah TA 2009 2012... 9 Grafik 1.7. Rata-rata pertumbuhan (2009 2012) Belanja Daerah Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...11 Grafik 2.1 Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota... 17 Grafik 2.2. Rasio Pajak Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi...19 Grafik 2.3. Rasio Pajak Pemerintah Provinsi...20 Grafik 2.4. Rasio Pajak per Wilayah... 21 Grafik 2.5. Rasio Pajak per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...22 Grafik 2.6. Rasio Tax per Kapita Pemerintah Kabupaten dan kota se-provinsi...23 Grafik 2.7. Rasio Tax per Kapita Pemerintah Provinsi... 24 Grafik 2.8. Rasio Tax per Kapita Per Wilayah...25 Grafik 2.9. Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota... 27 Grafik 2.10. Ruang Fiskal Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi...28 Grafik 2.11. Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi...30 Grafik 2.12. Ruang Fiskal Per Wilayah... 31 Grafik 2.13. Rasio Ketergantungan Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...33 Daftar Grafik vii

Grafik 2.14. Rasio Ketergantungan Pemerintah Kabupaten dan kota Se- Provinsi...34 Grafik 2.15 Rasio Ketergantungan Pemerintah Provinsi...35 Grafik 2.16. Rasio Ketergantungan Per Wilayah...36 Grafik 3.1. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota... 41 Grafik 3.2. Rasio Jumlah Guru terhadap Total PNSD Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...42 Grafik 3.3. Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...43 Grafik 3.4. Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...44 Grafik 3.5. Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi...45 Grafik 3.6. Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah...46 Grafik 3.7. Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD per Wilayah... 47 Grafik 3.8. Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...49 Grafik 3.9. Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...50 Grafik 3.10. Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi... 51 Grafik 3.11. Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah per Wilayah...52 Grafik 3.12. Rasio Belanja Modal per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...53 Grafik 3.13. Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...54 Grafik 3.14. Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi...55 viii Deskripsi dan Analisis APBD 2012

Grafik 3.15. Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah...56 Grafik 3.16. Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...58 Grafik 3.17. Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...59 Grafik 3.18. Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi...60 Grafik 3.19. Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah per Wilayah... 61 Grafik 4.1. Rasio Surplus/Defisit terhadap Pendapatan, Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...63 Grafik 4.2. Rasio Surplus/Defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...64 Grafik 4.3. Rasio Surplus/Defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi...65 Grafik 4.4. Rasio Defisit/Pendapatan Per Wilayah...66 Grafik 4.5. Rasio SiLPA terhadap Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...69 Grafik 4.6. Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi...70 Grafik 4.7. Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi... 71 Grafik 4.8. Rasio SiLPA terhadap Belanja per Wilayah...72 Grafik 4.9. Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota... 76 Grafik 4.10. Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi... 77 Grafik 4.11. Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi...78 Grafik 4.12. Rasio pinjaman/pendapatan per wilayah...79 Daftar Grafik ix

Grafik 4.13 Dana Pemda di Perbankan per Bulan... 81 Grafik 4.14. Dana Pemda di Perbankan agregat Kabupaten/kota/Provinsi...82 Grafik 5.1. Realisasi APBD Tahun 2009 dan 2010...83 Grafik 5.2. Komposisi Pendapatan APBD dan Realisasi APBD Tahun 2009...84 Grafik 5.3. Komposisi Pendapatan APBD dan Realisasi APBD Tahun 2010...85 Grafik 5.4. Komposisi Belanja APBD dan Realisasi APBD Tahun 2009...86 Grafik 5.5. Komposisi Belanja APBD dan Realisasi APBD Tahun 2010...88 Grafik 5.6. Surplus/Defisit APBD dan Realisasi APBD Tahun 2009-2010...89 Grafik 5.7. SiLPA tahun 2009-2010...90 Grafik 5.8. Pinjaman tahun 2009-2010... 91 Grafik 5.9. Realisasi Penyerapan Belanja Daerah Secara Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Seluruh ProvinsiTahun 2011...93 Grafik 5.10. Perbandingan Realisasi Belanja APBD 2012 Triwulan I...94 Grafik 5.11. Realisasi Belanja Bulan Maret 2012 per Provinsi...94 x Deskripsi dan Analisis APBD 2012

KATA PENGANTAR Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal telah meningkatkan peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam mengelola pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Sebagai konsekuensi pembebanan tugas dan tanggung jawab ke daerah yang semakin besar, kepada daerah telah diserahkan sumber pendanaan yang terus meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun, baik melalui skema transfer maupun penyerahan kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah. Pengelolaan dana tersebut sudah seharusnya dilaksanakan sebaik-baiknya sehingga dapat mendorong peningkatan kualitas belanja daerah (quality of spending), dengan memastikan dana tersebut benar-benar dimanfaatkan untuk program dan kegiatan yang memiliki nilai tambah besar bagi masyarakat. Dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, diharapkan agar pemerintah daerah yang berada lebih dekat dengan masyarakat mampu secara cepat menyerap aspirasi dari bawah dan sekaligus memenuhi kebutuhan riil masyarakat lokal. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah perlu menerapkan kebijakan-kebijakan yang kondusif terhadap pembangunan ekonomi dan terus mendorong peningkatan kualitas layanan publik, baik melalui kebijakan fiskal maupun kebijakan non fiskal. Dalam konteks kebijakan fiskal, pemerintah daerah selama ini mengelola dana yang dikelolanya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang sekaligus menjadi instrument vital bagi kebijakan publik di daerah. APBD yang ditetapkan dengan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menunjukkan sumber-sumber pendapatan daerah, berapa besar alokasi belanja untuk melaksanakan program/kegiatan, serta pembiayaan yang muncul bila terjadi surplus atau defisit. Dengan jumlah daerah yang telah mencapai 524 daerah saat ini, maka informasi mengenai APBD secara nasional sangat diperlukan guna menunjang Kata Pengantar xi

ketepatan pengambilan kebijakan di bidang hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Dalam konteks itulah, buku ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kondisi fiskal atau keuangan seluruh daerah berdasarkan data yang berasal dari APBD Tahun Anggaran 2012 dari seluruh pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Dari data yang disampaikan melalui Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) inilah kemudian disusun informasi dan analisis atas APBD seluruh daerah. APBD ditelaah berdasarkan aspek pendapatan, belanja, surplus/defisit dan pembiayaan daerahnya. Dalam buku ini juga digunakan beberapa data sekunder lainnya berupa data anggaran pada tahun-tahun sebelumnya, realisasi APBD, ataupun data sosial ekonomi lainnya. Buku ini akan menyajikan berbagai rasio keuangan yang dapat dilihat baik secara nasional (agregat provinsi, kabupaten dan kota), per provinsi, kabupaten dan kota per provinsi maupun berdasarkan wilayah (Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara-Maluku-Papua). Kami mengharapkan agar buku Deskripsi dan Analisis APBD 2012 ini dapat bermanfaat bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan baik di pusat maupun di daerah sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Jakarta, Juni 2012 Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Marwanto Harjowiryono NIP 19590606 198312 1 001 xii Deskripsi dan Analisis APBD 2012

EKSEKUTIF SUMMARY Dalam melakukan analisis pendapatan, terdapat empat rasio yang akan dilihat secara detail, yaitu rasio pajak (tax ratio), rasio pajak per kapita (tax per capita), ruang fiskal (fiscal space), serta ketergantungan fiskal. Dua rasio pertama menyoroti pajak daerah sebagai sumber utama PAD yang diperbandingkan dengan PDRB dan jumlah penduduk, sedangkan dua rasio terakhir membahas pengelolaan pendapatan daerah untuk memenuhi kebutuhan belanjanya serta kemampuan daerah dalam menghasilkan pendapatan daerah dengan tidak tergantung dari pihak eksternal. Secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota, provinsi yang mempunyai rasio pajak tertinggi adalah Provinsi Bali. Tingginya rasio pajak ini karena penerimaan pajak daerah di provinsi, kabupaten dan kota se-provinsi Bali cukup besar. Kontribusi utama penerimaan pajak daerah di Provinsi Bali adalah dari sektor industri pariwisata. Sementara itu, provinsi yang memiliki rasio pajak paling rendah adalah Provinsi Papua. Diilihat dari aspek pajak per kapita secara keseluruhan, Provinsi DKI Jakarta merupakan daerah yang memiliki rasio pajak per kapita tertinggi, yang berarti setiap penduduk yang ada di Provinsi DKI Jakarta memiliki kontribusi besar dalam menghasilkan penerimaan daerah berupa Pajak Daerah. Sementara itu, Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki rasio pajak per kapita terendah dari 33 provinsi di Indonesia. Ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki pemerintah daerah dalam mengalokasikan APBD untuk membiayai kegiatan yang menjadi prioritas daerah. Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, Provinsi Kalimantan Timur mempunyai ruang fiskal tertinggi. Sementara itu, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang memiliki ruang fiskal terendah. Bagi pemerintah daerah memiliki ruang fiskal yang terbatas, diperlukan kejelian dan strategi yang tepat dalam mengalokasikan Eksekutif Summary xiii

belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah dan mempunyai daya ungkit (leverage) yang tinggi bagi perekonomiannya. Rasio ketergantungan daerah dicerminkan oleh rasio PAD terhadap total pendapatan, serta rasio transfer terhadap total pendapatan. Dua rasio tersebut memiliki sifat berlawanan, yaitu semakin tinggi rasio PAD semakin rendah ketergantungan daerah dan sebaliknya untuk rasio transfer, semakin tinggi rasio transfer semakin tinggi ketergantungan daerah. Untuk rasio PAD, Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio tertinggi secara nasional, Provinsi Bali untuk kabupaten/ kota per provinsi, Jawa Timur untuk per pemerintah provinsi dan Jawa Bali untuk kewilayahan. Sementara itu rasio PAD yang terendah secara nasional, serta per pemerintah provinsi adalah adalah Provinsi Papua Barat, untuk kabupaten/kota per provinsi adalah Provinsi Maluku sedangkan untuk per wilayah adalah Nusa Tenggara Maluku Papua. Posisi tertinggi dan terendah rasio transfer umumnya berkebalikan dengan posisi yang bersangkutan pada rasio PAD. Terkait dengan belanja daerah, analisis meliputi rasio belanja pegawai terhadap total belanja, termasuk di dalamnya rasio jumlah guru terhadap jumlah PNSD, rasio belanja modal per total belanja daerah, rasio belanja modal per jumlah penduduk, serta rasio bantuan sosial terhadap total belanja daerah. Semua rasio tersebut menunjukkan kecenderungan pola belanja daerah, apakah suatu daerah cenderung mengalokasikan dananya untuk belanja yang terkait erat dengan upaya peningkatan ekonomi seperti Belanja Modal atau untuk belanja yang sifatnya untuk pendanaan aparatur seperti Belanja Pegawai. Pentingnya mengamati berapa proporsi gaji guru dalam Belanja Pegawai adalah karena selama ini banyak pihak yang menyoroti dan mengkritisi mengenai jumlah Belanja Pegawai yang dinilai terlalu besar dalam APBD. Banyak pihak menyampaikan bahwa hal ini mengakibatkan berkurangnya alokasi untuk Belanja Modal, yang dipandang lebih mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pemenuhan pelayanan publik kepada masyarakat. Untuk belanja pegawai, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki rasio belanja pegawai tertinggi untuk agregat pemda provinsi kabupaten dan kota. xiv Deskripsi dan Analisis APBD 2012

Sementara itu, rasio belanja pegawai terendah untuk seluruh pemda per provinsi kabupaten dan kota adalah Provinsi Papua Barat. Sedangkan agregat provinsi, kabupaten dan kota yang memiliki rasio jumlah guru terhadap total PNSD paling besar adalah Provinsi Banten, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang paling kecil adalah Provinsi Papua Barat. Yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa wilayah Sulawesi mengalokasikan Belanja Pegawai tertinggi, namun jumlah guru di wilayah Sulawesi adalah yang terendah. Hal ini berarti wilayah Sulawesi memang mengalokasikan Belanja Pegawai yang bersifat administratif jauh lebih tinggi di banding wilayah lain di Indonesia. Hal ini patut diperhatikan mengingat bahwa Belanja Pegawai yang bersifat administratif inilah yang menjadi sorotan masyarakat karena dinilai terlalu gemuk dan tidak efisien. Berbeda apabila pembebanan Belanja Pegawai banyak dialokasikan untuk gaji guru yang bersifat wajib dalam rangka menjamin kelangsungan pemenuhan pendanaan pelayanan dasar masyarakat dalam bidang pendidikan. Kondisi berkebalikan terjadi untuk rasio belanja modal. Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki rasio terendah untuk rasio belanja modal, sedangkan Kalimantan Timur merupakan yang tertinggi secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota. Untuk rasio belanja modal per kapita, Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Tengah merupakan yang memiliki rasio tertinggi dan terendah dalam agregat per provinsi, kabupaten, dan kota. Sementara berdasarkan pembagian wilayah, rasio di Kalimantan merupakan yang tertinggi, dan Jawa Bali (tidak termasuk DKI) adalah yang terendah. Rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah secara agregat provinsi, kabupaten dan kota yang terkecil terdapat pada Provinsi DKI Jakarta, sedangkan daerah yang memiliki rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah terbesar secara agregat adalah Provinsi Aceh. Bantuan Sosial ini harus dicermati karena berpotensi menimbulkan tumpang tindih kegiatan dengan kegiatan yang dilakukan oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD), di mana keduanya menggunakan dana dari APBD. Eksekutif Summary xv

Data APBD menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan daerah untuk menganggarkan defisit dalam APBD-nya. Hal ini terlihat dari 491 kabupaten/kota dan 33 provinsi di Indonesia pada TA 2012 sebanyak 447 daerah menganggarkan defisit dalam APBD-nya, lebih banyak dibanding TA 2011 (438 daerah), sedangkan yang menganggarkan surplus di tahun 2012 sebanyak 68 daerah dan sisanya sebanyak 9 daerah mempunyai anggaran pendapatan dan belanja yang bernilai sama atau berimbang. Fenomena ini menarik untuk dicermati karena sebenarnya secara umum daerah tidak sedang dalam kondisi defisit secara riil. Hal ini terbukti karena dalam realisasinya, pada umumnya daerah mengalami surplus. Begitu juga defisit yang daerah anggarkan pada umumnya dapat ditutup dengan sumber dana internal seperti SiLPA. Rata-rata rasio defisit secara nasional (agregat kabupaten/kota dengan provinsi) adalah 7,3% dengan kontribusi SiLPA untuk menutup defisit tersebut sekitar 91,3% sedangkan kontribusi penerimaan pinjaman 5,9%. Provinsi Kalimantan Timur merupakan daerah dengan rasio defisit terbesar di mana faktor utama penyebab hal tersebut berasal dari kabupaten/kota di wilayah itu. Kabupaten Mamberamo Tengah merupakan daerah dengan nilai defisit APBD yang tidak ter-cover oleh pembiayaan terbesar yaitu sebesar Rp65,9miliar atau sebesar 8,21% dari anggaran belanja. Rasio SiLPA terhadap belanja selain menggambarkan besaran belanja yang tertunda pelaksanaannya pada tahun sebelumnya juga menggambarkan jumlah realisasi pendapatan tahun anggaran sebelumnya lebih besar dari proyeksinya. Rasio SiLPA terhadap belanja daerah secara agregat provinsi, kabupaten dan kota tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Timur. Rasio pinjaman terhadap pendapatan APBD secara rata-rata adalah sebesar 0,6%. Nilai tersebut masih jauh lebih kecil dibanding batas pinjaman yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.07/Tahun 2011, yaitu 6% total pendapatan. Rasio pinjaman tertinggi adalah DKI Jakarta. Dari 33 wilayah provinsi, terdapat 10 provinsi yang tidak menganggarkan Penerimaan Pinjaman dalam APBD-nya. Secara nasional, defisit APBD 2012 adalah 0,47% xvi Deskripsi dan Analisis APBD 2012

dari perkiraan PDB 2012 dan besarnya rencana penarikan pinjaman daerah adalah Rp3,3 triliun (0,61% dari Pendapatan Daerah), sehingga secara nasional keduanya belum melampaui batas ketentuan yang diatur dalam PMK Nomor 127/PMK.07/2011. Dana Idle merupakan dana yang tidak atau belum digunakan oleh pemerintah daerah. Dana idle yang dapat dipantau oleh pemerintah pusat dalam tiap bulannya adalah dana idle pemda yang disimpan di perbankan. Dana pemda di perbankan merupakan akumulasi dana pemda baik yang berupa dana cadangan, investasi dan dana idle. Bulan Desember merupakan titik terendah dalam tiap tahunnya dan kembali meningkat pada awal tahun berikutnya. Besaran dana pemda di perbankan pada bulan Desember 2011 lebih besar dibandingkan pada bulan Desember 2010. Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan besaran SiLPA tahun berkenaan pada tahun 2011. Untuk tahun 2012 dalam perbandingan per bulan (month-on-month) lebih tinggi dibanding tahun 2011. Apabila melihat trend Realisasi APBD tahun 2008 s.d. 2010, berkebalikan dengan realisasi pendapatan, realisasi dari belanja hampir selalu lebih kecil dari anggaran yang ditetapkan, kecuali pada pos Belanja Pegawai dan Belanja Lainnya. Dalam anggarannya, defisit APBD 2010 lebih rendah dibanding dengan tahun 2009. Sementara dalam realisasinya, pada tahun 2009 terjadi realisasi defisit yang lebih rendah dan di tahun 2010 justru terjadi surplus. Terjadinya surplus pada tahun 2010 lebih dipengaruhi oleh realisasi pendapatan yang melebihi anggaran, sedangkan porsi surplus yang dipengaruhi oleh tidak terlaksananya belanja mempunyai pengaruh yang lebih kecil. Eksekutif Summary xvii

xviii Deskripsi dan Analisis APBD 2012

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya pemerintah mempunyai peran sebagai aktor sekaligus fasilitator dalam menggerakkan roda perekonomian. Peran tersebut dilakukan baik oleh pemerintah pusat selaku pengawal perekonomian nasional, maupun pemerintah daerah dalam konteks perekonomian lokal. Peran sebagai aktor terutama akan dilakukan oleh pemerintah melalui belanja-belanja yang mampu secara langsung mendorong pergerakan roda perekonomian, baik di tingkat nasional maupun lokal, semisal melalui pembangunan infrastruktur atau pembangunan sarana layanan publik yang vital. Sementara peran sebagai fasilitator akan lebih banyak ditunjukkan melalui kebijakan-kebijakan yang kondusif terhadap pembangunan ekonomi, baik melalui kebijakan fiskal maupun kebijakan non fiskal. Dalam konteks pembangunan di daerah, maka kedua peran tersebut di atas akan nampak dalam kebijakan fiskal daerah. Instrumen kebijakan fiskal yang digunakan oleh pemerintah daerah dalam rangka melakukan pelayanan publik dan mendorong pertumbuhan ekonomi akan tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD yang direncanakan setiap tahun dengan mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada dasarnya menunjukkan sumber-sumber pendapatan daerah, berapa besar alokasi belanja untuk melaksanakan program/kegiatan dan sumber-sumber pendapatan, serta pembiayaan yang muncul bila terjadi surplus atau defisit. Sumber pendapatan daerah tentunya masih bersandar pada penerimaan pajak dan retribusi daerah ditambah dengan dana transfer dari pemerintah pusat serta bisa juga berasal dari lain-lain pendapatan daerah yang sah. Bab I : Pendahuluan 1

Perwujudan pelayanan publik di daerah tentunya berkorelasi erat dengan kebijakan belanja daerah. Belanja daerah merupakan seluruh pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh program/kegiatan yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap pelayanan publik di daerah. Dalam hal penganggaran tentunya bisa terjadi selisih antara pendapatan dan belanja daerah, penyebabnya bisa sangat beragam, akan tetapi surplus atau defisit daerah yang timbul tersebut tentunya perlu disikapi oleh daerah dengan kebijakan pembiayaan daerah. Bila terjadi surplus atau SiLPA maka daerah bisa mengoptimalisasi dana tersebut untuk mendanai belanja kegiatan yang telah direncanakan, akan tetapi bila terjadi defisit maka daerah perlu mencari alternatif pembiayaan lain yang bisa berupa pinjaman daerah atau melakukan penghematan anggaran dengan melakukan penyisiran kegiatan yang tidak perlu dilaksanakan atau ditunda pelaksanannya. Analisis ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kondisi fiskal atau keuangan seluruh daerah di Indonesia dengan berdasarkan data yang terutama berasal dari APBD Tahun Anggaran (TA) 2012 dari seluruh pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Analisis APBD ditelaah berdasarkan aspek pendapatan, belanja, surplus defisit dan pembiayaan daerahnya. Dalam analisis ini juga digunakan beberapa data sekunder lainnya berupa data anggaran sebelum APBD 2012, realisasi APBD, hingga data pendukung lain yang digunakan untuk melakukan analisis time-series. Alat analisis utamanya adalah rasio keuangan yang dilakukan secara nasional (agregat provinsi, kabupaten dan kota), per provinsi, kabupaten dan kota dan berdasarkan wilayah (Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Maluku Papua). B. Gambaran Umum APBD 2012 Secara nominal, APBD TA 2012 naik cukup signifikan dibandingkan tahuntahun sebelumnya. Total pendapatan di tahun 2012 naik dari Rp459,9 triliun di tahun 2011 menjadi Rp551,6 triliun di tahun 2012, demikian juga total belanja naik dari Rp495,3 triliun di tahun 2011 menjadi Rp591,9 triliun di tahun 2012. 2 Deskripsi dan Analisis APBD 2012

Secara umum, kenaikan yang cukup tinggi ini memang didorong oleh kenaikan pagu transfer dari Pusat yang juga naik cukup signifikan di tahun 2012, selain kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang juga cukup tinggi. (Data yang dianalisis menggunakan data APBD yang telah dikonsolidasikan untuk menghilangkan penghitungan ganda atas beberapa reciprocal account). Grafik 1.1. Komposisi Pendapatan Daerah Sumber: APBD 2012 (Diolah) Komposisi Pendapatan Daerah pada APBD TA 2012 secara nasional dapat dibagi dalam 3 (tiga) bagian utama yaitu PAD, Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Grafik 1.1 menunjukkan besaran jumlah uang dan persentase dari ketiga sumber pendapatan daerah. Terlihat bahwa Dana Perimbangan masih mendominasi sumber pendapatan daerah yaitu sebesar sebesar 69,0% atau Rp380,601 triliun, sedangkan PAD hanya sebesar 20,4% atau sebesar Rp112,720 triliun dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah sebesar 10,6% atau sebesar Rp58,262 triliun. Bab I : Pendahuluan 3

Grafik 1.2. Komposisi Belanja Daerah Sumber: APBD 2012 (Diolah) Belanja Daerah secara nasional pada TA 2012 mencapai Rp591,887 triliun. Belanja Pegawai porsinya masih dominan yaitu mencapai 44,1% atau sebesar Rp261,153 triliun. Belanja Modal mencapai Rp137,438 triliun atau sebesar 23,2%. Belanja Barang dan Jasa mencapai Rp71,071 triliun atau 12,0%. Tabel 1.1. Pembiayaan Daerah (Juta Rupiah) Pembiayaan 40.998.593 Penerimaan Pembiayaan 52.001.860 Pengeluaran Pembiayaan 11.003.266 Defisit pada APBD secara nasional yang mencapai Rp40,304 triliun, yang selanjutnya oleh Daerah, defisit tersebut ditutup dengan berbagai jenis sumber pembiayaan. Total Pembiayaan Daerah secara nasional mencapai Rp40,998 triliun dengan Penerimaan Pembiayaan (SiLPA, Pinjaman dan lain-lain) mencapai 4 Deskripsi dan Analisis APBD 2012

Rp52,002 triliun serta Pengeluaran Pembiayaan dianggarkan sebesar Rp11,003 triliun. C. Trend APBD 2009 2012 Berdasarkan data APBD TA 2009 hingga 2012 yang telah dikonsolidasikan maka kita bisa mendapatkan gambaran sebagai berikut: Grafik 1.3. Trend APBD (dalam miliar rupiah) Sumber: Data APBD Konsolidasi 2009-2012 (Diolah) Dari grafik tersebut di atas dapat kita ketahui bahwa setiap tahun sejak 2009 hingga 2012 seluruh daerah di Indonesia menganggarkan kenaikan Pendapatan Daerah yang secara rata-rata peningkatannya mencapai 14,7% per tahun. Peningkatan pendapatan tertinggi adalah pada tahun 2012 sebesar 19,9%, di mana Pendapatan Daerah pada tahun 2011 sebesar Rp459,9 triliun meningkat menjadi sebesar Rp551,6 triliun pada tahun 2012. Bab I : Pendahuluan 5

Secara nasional trend anggaran Belanja Daerah mengalami rata-rata peningkatan dari tahun 2009 hingga 2012 sebesar 12,8%. Belanja Daerah yang dianggarkan pada tahun 2011 sebesar Rp495,3 triliun meningkat 19,5% pada tahun 2012 menjadi sebesar Rp591,9 triliun. Trend defisit yang dianggarkan daerah cenderung fluktuatif. Pada tahun 2009 hingga 2011 cenderung terus mengalami penurunan, akan tetapi pada tahun 2012 defisit anggaran meningkat sebesar 13,9%. Trend peningkatan Pembiayaan Netto juga relatif sama polanya. Peningkatan persentase Pembiayaan Netto pada tahun 2012 adalah sebesar 13,5%. Grafik 1.4. Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2009 2012 (dalam miliar rupiah) Sumber: Data APBD Konsolidasi 2009-2012 (Diolah) Komposisi setiap jenis Pendapatan Daerah beserta trend-nya terlihat pada tabel diatas. Secara nasional porsi Dana Perimbangan masih dominan setiap tahunnya, akan tetapi terlihat laju peningkatannya lebih rendah bila dibandingkan 6 Deskripsi dan Analisis APBD 2012

laju peningkatan PAD. PAD terus mengalami peningkatan dimana pada tahun 2009 PAD seluruh daerah secara nasional mencapai Rp62,7 miliar dan di tahun 2012 meningkat menjadi Rp112,7 miliar rupiah. Peningkatan tersebut secara rata-rata dari tahun 2009 hingga 2012 adalah sebesar 21,7%, peningkatan dari tahun 2011 hingga ke 2012 adalah sebesar 24,7%. Dana Perimbangan secara nasional setiap tahunnya mengalami peningkatan, di mana pada tahun 2009 dana perimbangan hanya Rp285,0 triliun terus meningkat menjadi Rp380,6 triliun di tahun 2012. Rata-rata peningkatan dana perimbangan dari tahun 2009 hingga 2012 hanya di kisaran 10,3%. Peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2012 yaitu sebesar 16,3% apabila dibandingkan dengan anggaran Dana Perimbangan di tahun 2011. Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah juga menunjukkan tren peningkatan dari tahun 2009 hingga 2012. Pada tahun 2009 secara nasional Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah masih di kisaran Rp19,5 triliun, kemudian mengalami rata-rata peningkatan per tahunnya sebesar 47,2%, sehingga di tahun 2012 Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah mencapai Rp58,0 triliun. Persentase peningkatan tertinggi terjadi pada tahun anggaran 2011 yaitu sebesar 89,7% dibandingkan anggaran tahun sebelumnya dan di tahun 2012 dianggarkan meningkat 38,3%. Bab I : Pendahuluan 7

Grafik 1.5. Rata-rata pertumbuhan (2009 2012) Pendapatan Daerah per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Sumber: Data APBD Konsolidasi 2009-2012 (Diolah) Berdasarkan data trend 2009 hingga 2012 maka kita juga bisa melihat gambaran tingkat pertumbuhan total Pendapatan Daerah beserta komponen utamanya yaitu PAD dan Dana Perimbangan. Secara agregat pendapatan seluruh daerah per provinsi dapat dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan total pendapatan daerah yang tertinggi adalah di Provinsi Banten (19,6%), lalu diikuti oleh Provinsi Bali (19,5%) dan Provinsi Sumatera Utara (19,4%). Sedangkan rata-rata pertumbuhan Pendapatan Daerah yang terendah adalah di Provinsi Sulawesi Utara (9,9%), Provinsi Maluku Utara (10,0%), dan Povinsi Kalimantan Timur (10,0%). Bila dilihat berdasarkan rata-rata pertumbuhan PAD per tahunnya yang tertinggi adalah terdapat di Provinsi Kalimantan Timur sebesar 35,2%, lalu diikuti oleh Provinsi Kalimantan Barat yaitu sebesar 31,6%, dan Provinsi Jawa Timur yaitu sebesar 31,5%. Sedangkan rata-rata pertumbuhan PAD yang terendah yaitu di bawah 10% terdapat di Provinsi Aceh yaitu di kisaran 5,0%, Provinsi Bengkulu 8 Deskripsi dan Analisis APBD 2012

sebesar 5,8%, Provinsi Sulawesi Tenggara sebesar 7,0% dan Provinsi Riau sebesar 8,7%. Di sisi lain rata-rata pertumbuhan Dana Perimbangan dari tahun 2009 hingga 2012 cenderung tidak terlalu tajam fluktuasinya antar provinsi yaitu di kisaran 7,5% hingga 15%, dengan pengecualian Provinsi DKI Jakarta dengan rata-rata pertumbuhan Dana Perimbangan -1,1%. Grafik 1.6. Trend Belanja Daerah TA 2009 2012 (dalam miliar rupiah) Sumber: Data APBD Konsolidasi 2009-2012 (Diolah) Berdasarkan tabel di atas maka dapat kita amati porsi tiap jenis Belanja Daerah setiap tahun dan trend kenaikan/penurunannya antar tahun. Bila dicermati Belanja Pegawai (langsung dan tidak langsung) secara nasional cenderung terus meningkat dari tahun 2009 hingga 2012, di mana pada tahun 2009 total Belanja Pegawai secara nasional baru mencapai angka Rp180,4 Bab I : Pendahuluan 9

miliar rupiah dan di tahun 2012 meningkat menjadi Rp261,1 miliar rupiah. Ratarata peningkatan Belanja Pegawai mencapai 13,1%. Pada tahun 2012 Belanja Pegawai mengalami peningkatan sebesar 14,0% dibandingkan dengan tahun 2011. Besarnya Belanja Barang dan Jasa juga mengalami peningkatan setiap tahunnya, pada tahun 2009 total Belanja Barang dan Jasa secara nasional di kisaran Rp79,6 miliar rupiah dan pada tahun 2012 telah meningkat menjadi Rp122,2 miliar rupiah. Peningkatan Belanja Barang dan Jasa secara rata-rata dari tahun 2009 hingga 2012 adalah sebesar 13,0%. Fenomena yang agak berbeda terlihat dari trend Belanja Modal TA 2009 hingga 2012, di mana secara rata-rata mengalami peningkatan di kisaran 7,7% dari tahun 2009 hingga 2012. Namun demikian, bila dilihat secara nominal, maka trend tersebut cenderung fluktuatif, dimana pada tahun 2009 total Belanja Modal mencapai Rp114,6 miliar rupiah lalu mengalami penurunan di tahun 2010 yaitu hanya sebesar Rp96,2 miliar rupiah, kemudian mengalami peningkatan di dua tahun terakhir hingga mencapai Rp137,4 miliar rupiah di tahun 2012. Belanja Lain-Lain juga cenderung fluktuatif, di mana pada tahun 2009 Belanja Lain-Lain secara total mencapai Rp40,60 miliar lalu naik menjadi Rp50,11 miliar di tahun 2010. Selanjutnya total Belanja Lain-Lain di tahun 2011 turun lagi menjadi Rp48,4 miliar dan akhirnya pada tahun 2012 total anggaran Belanja Lain-Lain meningkat menjadi Rp96,1miliar. Secara rata-rata peningkatan total Belanja Lain-Lain pada tahun 2009 hingga 2012 adalah sebesar 22,3%. 10 Deskripsi dan Analisis APBD 2012

Grafik 1.7. Rata-rata pertumbuhan (2009 2012) Belanja Daerah Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Sumber: Data APBD Konsolidasi 2009-2012 (Diolah) Berdasarkan grafik 1.7 kita bisa melihat gambaran rata-rata tingkat pertumbuhan total Belanja Daerah beserta komponen utamanya yaitu Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, serta Belanja Modal dari tahun 2009 hingga ke 2012. Secara agregat per propinsi, rata-rata pertumbuhan total belanja daerah yang tertinggi adalah di Provinsi Banten (19,6%), lalu diikuti oleh Provinsi Lampung (18,2%) dan Provinsi Bali (17,3%). Sedangkan rata-rata pertumbuhan Belanja Daerah yang terendah terdapat di Provinsi Aceh (4,2%), Provinsi Kalimantan Tengah (6,9%), dan Provinsi Kalimantan Timur (7,6%). Bila dilihat berdasarkan rata-rata pertumbuhan Belanja Pegawai per tahunnya yang tertinggi adalah terdapat di Provinsi Maluku yaitu sebesar 17,5%, lalu diikuti oleh Provinsi Gorontalo yaitu sebesar 16,7%, dan Provinsi Kalimantan Selatan yaitu sebesar 16,5%. Sedangkan rata-rata pertumbuhan Belanja Pegawai yang terendah terdapat di Provinsi Riau yaitu di kisaran 9,7%, Provinsi Sumatera Selatan sebesar 10,0%, dan Provinsi Aceh sebesar 10,7%. Bab I : Pendahuluan 11

Rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang tertinggi terdapat di Provinsi Banten yaitu sebesar 29,5%, Provinsi Aceh sebesar 24,6%, dan Provinsi Kepulauan Riau sebesar 23,4%. Sedangkan rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang terendah terdapat di Provinsi Kalimantan Tengah yaitu sebesar 5,1%, Provinsi Maluku yaitu sebesar 7,4%, dan Provinsi Sulawesi Tenggara sebesar 7,6%. Rata-rata pertumbuhan Belanja Modal yang tertinggi terdapat di Provinsi Lampung yaitu sebesar 34,5% lalu diikuti oleh Provinsi Jateng sebesar 25,6% dan Provinsi Banten sebesar 25,3%. Rata-rata pertumbuhan Belanja Modal yang terendah terdapat di Provinsi Aceh yaitu -24,5%, lalu Provinsi Bangka Belitung sebesar -4,5% dan Provinsi Kepulauan Riau sebesar -2,0%. Menarik dicermati selain tiga provinsi dengan rata-rata pertumbuhan terendah tersebut masih ada 5 provinsi lagi yang rata-rata pertumbuhannya di kisaran 1,0% hingga -2,0%. Provinsi NAD relatif terus menurun Belanja Modalnya karena pembangunan infrastruktur sejak terjadinya tsunami di sana lebih dominan berasal dari bantuan hibah yang masuk pada Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah. Tabel 1.2. Rata-rata pertumbuhan (2009 2012) SiLPA dan Pinjaman Daerah Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota No Se-Provinsi SiLPA (%) Pinjaman (%) No Se-Provinsi SiLPA (%) Pinjaman (%) 1 Aceh -35.00 11.69 18 Papua 3.69-24.24 2 Babel -21.79 19 Bali 3.75 597.62 3 Kalteng -17.02-91.42 20 Jateng 4.13 5.03 4 Bengkulu -16.58 21 Maluku 5.59-73.97 5 Sultra -13.28 10.54 22 Jabar 7.03 88.78 6 Sumbar -10.92 12.96 23 Papbar 11.00 23.40 7 Jambi -8.38-85.39 24 NTT 12.50 61.59 8 Kaltim -3.45-37.85 25 Malut 15.02 22.63 12 Deskripsi dan Analisis APBD 2012

No Se-Provinsi SiLPA (%) Pinjaman (%) No Se-Provinsi SiLPA (%) Pinjaman (%) 9 Sulsel -2.21 9.24 26 Banten 18.33-100.00 10 Sumut -1.79 265.35 27 Sumsel 19.11-51.47 11 Kepri -1.13-35.46 28 Sulteng 19.56-52.25 12 DIY -0.56-100.00 29 Lampung 30.63-33.56 13 NTB 0.42 153.60 30 DKI 35.64 14 Kalsel 0.87-14.51 31 Sulut 44.22 15 Jatim 1.19-17.26 32 Gorontalo 47.64-25.00 16 Riau 1.77-100.00 33 Sulbar 57.80 93.41 17 Kalbar 2.45 46.24 Sumber: Data APBD Konsolidasi 2009-2012 (Diolah) Di sisi Pembiayaan Daerah, berdasarkan trend APBD 2009 2012 maka kita bisa mendapatkan gambaran mengenai rata-rata pertumbuhsan SiLPA dan Pinjaman Daerah agregat provinsi, kabupaten dan kota. Rata-rata pertumbuhan SiLPA yang terendah terdapat di Provinsi Aceh yaitu -35,0%, lalu diikuti oleh Provinsi Bangka Belitung sebesar -21,8%, dan Provinsi Kalimantan Tengah sebesar 17,0%. Kecenderungan pertumbuhan SiLPA yang negatif setiap tahunnya bisa diartikan bahwa dalam proses perencanaan anggaran seluruh pemerintah daerah di provinsi tersebut lebih mengedepankan kehati-hatian dalam melakukan estimasi terhadap sumber pendanaan yang akan diterima pada saat anggaran tahun berjalan. Sedangkan rata-rata pertumbuhan SiLPA yang tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Barat yaitu sebesar 57,8%, Provinsi Gorontalo yaitu sebesar 47,6%, dan Provinsi Sulawesi Utara yaitu sebesar 44,2%. Kecenderungan ini bisa diartikan bahwa pemerintah daerah di provinsi tersebut lebih optimis dalam estimasi atas dana yang akan diterima pada tahun anggaran berjalan akan tetapi kurang Bab I : Pendahuluan 13

progresif mengalokasikannya dalam jenis belanja untuk mendanai kegiatan layanan publik di APBD-nya. Di sisi Pinjaman Daerah, maka terlihat bahwa tidak terdapat pola yang jelas dalam hal rata-rata pertumbuhan Pinjaman Daerah. Sebagian besar daerah cenderung memiliki rata-rata pertumbuhan pinjaman daerah yang negatif, bahkan ada beberapa provinsi (Daerah Istimewa Yogyakarta, Riau, dan Banten) yang mencapai rata-rata pertumbuhan -100% yang berarti bahwa satu atau lebih pemerintah daerah di provinsi tersebut dulu pernah meminjam akan tetapi setelah itu tidak pernah lagi merealisasikan pinjaman daerah sebagai salah satu sumber pembiayaan daerahnya. Rata-rata pertumbuhan pinjaman daerah yang tertinggi terdapat di Provinsi Bali yang hampir mencapai 600%, lalu diikuti Provinsi Sumatera Utara yang mencapai 256,3% dan Provinsi Nusa Tenggara Barat yang hampir mencapai 153,6%. Ketiga provinsi ini memang relatif memiliki rata-rata pertumbuhan SiLPA yang rendah yaitu secara berturut-turut adalah 3,7%, -1,8%, dan 0,4%, sehingga wajar bila mereka mengedepankan sumber pembiayaan yang berasal dari Pinjaman Daerah. 14 Deskripsi dan Analisis APBD 2012

BAB II ANALISIS PENDAPATAN DAERAH Analisis Pendapatan Daerah bertujuan untuk menganalisis komponen Pendapatan Daerah sebagai sumber penerimaan daerah dalam rangka menutupi kebutuhan belanjanya. Analisis ini penting dalam rangka melihat gambaran kondisi pendapatan daerah pada 524 pemerintah provinsi/kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang ditinjau dari berbagai sudut pandang. Dalam melakukan analisis pendapatan, terdapat empat rasio yang akan dilihat secara detail, yaitu rasio pajak (tax ratio), rasio pajak per kapita (tax per capita), ruang fiskal (fiscal space), serta ketergantungan fiskal. Dua rasio pertama menyoroti pajak daerah sebagai sumber utama PAD yang diperbandingkan dengan PDRB dan jumlah penduduk, sedangkan dua rasio terakhir membahas kemampuan daerah dalam menghasilkan Pendapatan Daerah untuk memenuhi kebutuhan belanjanya serta kemampuan daerah dalam menghasilkan Pendapatan Daerah dengan tidak tergantung dari pihak eksternal. A. Rasio Pajak (Tax Ratio) Rasio pajak (tax ratio) merupakan rasio yang menggambarkan perbandingan jumlah penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara dalam satu tahun. Sementara itu, di tingkat daerah rasio pajak merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak daerah dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Rasio pajak dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak, mengukur kinerja perpajakan, dan melihat potensi pajak yang dimiliki. PDRB sangat erat kaitannya dengan pajak daerah. PDRB menggambarkan kegiatan ekonomi masyarakat yang jika pertumbuhannya baik akan menjadi potensi penerimaan pajak di wilayah tersebut. Ada 2 jenis perhitungan PDRB Bab II : Analisis Pendapatan Daerah 15

yang digunakan di Indonesia, yaitu PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku merupakan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga pada setiap tahun dan pada umumnya digunakan untuk melihat pergeseran struktur ekonomi yang terjadi di suatu wilayah. Sementara itu, PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar penghitungannya dan pada umumnya digunakan untuk melihat pertumbuhan ekonomi yang terjadi di suatu wilayah dari tahun ke tahun. PDRB yang akan digunakan dalam analisis ini adalah PDRB atas dasar harga berlaku. Perhitungan rasio pajak di berbagai wilayah di Indonesia akan memberikan gambaran hubungan antara penerimaan pajak daerah di wilayah tersebut dengan PDRB-nya, menilai kondisi suatu daerah, dan membandingkannya dengan daerah lain. 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Grafik 2.1 menunjukkan rasio pajak agregat provinsi, kabupaten dan kota pada 33 Provinsi seluruh Indonesia. Dari grafik dapat dilihat bahwa provinsi yang mempunyai rasio pajak tertinggi adalah Provinsi Bali yaitu sebesar 3,9%. Tingginya rasio pajak ini karena penerimaan pajak daerah di Provinsi Bali cukup besar dan PDRB-nya tidak terlalu besar. Kontribusi utama penerimaan Pajak Daerah di Provinsi Bali adalah dari sektor industri pariwisata. Sementara itu, provinsi yang memiliki rasio pajak paling rendah adalah Provinsi Papua yaitu sebesar 0,4%. Kondisi ini diakibatkan rendahnya penerimaan pajak daerah di provinsi tersebut. Patut disadari bahwa kewenangan perpajakan daerah yang diberikan kepada daerah memang relatif terbatas. Sumber Pajak Daerah yang cukup dominan bagi daerah memang lebih banyak bias kekotaan, seperti Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Reklame dan lain-lain. Untuk itulah, daerah-daerah yang memang unsur kekotaannya tidak terlalu tinggi seperti di Papua, Papua Barat, dan Sulawesi Barat, harus sangat 16 Deskripsi dan Analisis APBD 2012

jeli untuk melihat peluang, seperti melalui pengembangan potensi wisata yang dapat menghasilkan penerimaan pajak dari hotel dan restoran. Grafik 2.1 Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Sumber: APBD 2012 (Diolah) Jika dilihat dari penerimaan pajak daerahnya, Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta merupakan daerah yang memiliki penerimaan pajak daerah tertinggi. Namun demikian, PDRB Provinsi DKI Jakarta juga yang paling tinggi diantara 33 provinsi lainnya. Hal inilah yang menyebabkan rasio pajak Provinsi DKI Jakarta menjadi rendah. Berdasarkan data rasio pajak di 33 provinsi, diperoleh gambaran bahwa rata-rata rasio pajak daerah secara nasional sebesar 1,39%. Adapun provinsi yang memiliki rasio pajak di atas rata-rata nasional sebanyak 14 provinsi sebagaimana terlihat pada tabel 2.1 berikut ini: Bab II : Analisis Pendapatan Daerah 17

Tabel 2.1. Provinsi yang memiliki Rasio Pajak di atas rata-rata Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota (%) No Nama Daerah Rasio No Nama Daerah Rasio 1 Provinsi Bali 3,9 8 Provinsi DI Yogyakarta 1,7 2 Provinsi Maluku 2,4 9 ProvinsiMaluku Utara 1,7 3 Provinsi Kalimantan Selatan 2,3 10 ProvinsiKalimantan Timur 1,6 4 Provinsi Banten 2,1 11 Provinsi Kalimantan Barat 1,6 5 Provinsi Gorontalo 1,8 12 Provinsi Bangka Belitung 1,5 6 Provinsi Bengkulu 1,7 13 Provinsi Sumatera Selatan 1,4 7 Provinsi Sulawesi Selatan 1,7 14 Provinsi Sumatera Utara 1,4 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi Grafik 2.2 memperlihatkan rasio pajak per pemerintah kabupaten dan kota untuk masing-masing wilayah provinsi. Rasio pajak pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi Bali menunjukkan angka yang paling tinggi, yaitu sebesar 2,3%.Tingginya rasio tersebut dapat disebabkan tingginya pajak daerah pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi tersebut yang berasal dari sektor pariwisata. Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat pada pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi Riau, yaitu sebesar 0,1%. Rendahnya angka tersebut disebabkan oleh rendahnya potensi penerimaan pajak daerah kabupaten kota. Potensi penerimaan yang tinggi di Provinsi Riau adalah dari sektor pertambangan yang merupakan sumber penerimaan Negara yang selanjutnya akan menjadi sumber pendapatan bagi hasil sumber daya alam (DBH SDA) yang dalam rasio ini tidak dihitung. 18 Deskripsi dan Analisis APBD 2012

Grafik 2.2. Rasio Pajak Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *) Sumber: APBD 2012 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta 3. Pemerintah Provinsi Sebagaimana terlihat pada Grafik 2.3, untuk seluruh pemerintah provinsi di Indonesia, rasio pajak tertinggi dicapai oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu sebesar 2,1%. Tingginya angka tersebut disebabkan tingkat PDRB Provinsi Kalimantan Selatan cukup rendah dan pajak daerah yang cukup tinggi. Sementara itu, rasio pajak terendah dari ke-33 pemerintah provinsi tersebut adalah Pemerintah Provinsi Papua (0,2%). Rendahnya rasio tersebut disebabkan karena penerimaan pajak daerah yang sangat rendah. Bab II : Analisis Pendapatan Daerah 19

Grafik 2.3. Rasio Pajak Pemerintah Provinsi Sumber: APBD 2012 (Diolah) 4. Per Wilayah Grafik 2.4 menunjukkan bahwa berdasarkan pada pembagian 5 wilayah di Indonesia, rasio pajak untuk wilayah Kalimantan merupakan yang paling tinggi dibandingkan dengan 4 wilayah lainnya yaitu sebesar 1,68%. Adapun rata-rata rasio pajak per wilayah di Indonesia sebesar 1,26%. Penerimaan pajak daerah di wilayah Kalimantan sebenarnya berada di bawah wilayah Jawa-Bali. Tingginya rasio pajak di wilayah Kalimantan disebabkan nilai PDRB wilayah tersebut cukup rendah jika dibandingkan dengan nilai PDRB wilayah Jawa-Bali. 20 Deskripsi dan Analisis APBD 2012

Grafik 2.4. Rasio Pajak per Wilayah*) Sumber: APBD 2012 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta B. Pajak per Kapita (Tax per Capita) Pajak per kapita (tax per capita) memang belum banyak digunakan dalam menghitung tingkat keberhasilan pajak sebagai sumber pendapatan daerah. Namun, pajak per kapita dapat digunakan sebagai alternatif alat hitung efektifitas pemungutan pajak daerah. Pajak per kapita merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak yang dihasilkan suatu daerah dengan jumlah penduduknya. Pajak per kapita menunjukkan kontribusi setiap penduduk pada pajak daerah. Menurut Gregory N. Mankiw 1, rasio pajak per PDB merupakan ukuran yang paling umum digunakan. Namun, semakin tinggi tingkat persentase pajak akan semakin menurunkan GDP penduduk setempat sehingga ukuran tersebut akan dapat terlihat bias. Untuk tujuan tertentu, seperti statistik yang lebih baik, 1 http://gregmankiw.blogspot.com/2010/03/taxes-per-person.html Bab II : Analisis Pendapatan Daerah 21

pajak per kapita (Greg menyebutnya pajak per personal (tax per person)) dapat digunakan. Pajak per kapita dapat dihitung dengan mengalikan rasio pajak dengan PDRB per kapita sehingga diperoleh pajak/pdrb x PDRB/personal = pajak/personal. 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Pajak per kapita secara keseluruhan yang dapat dilihat pada Grafik 2.5 menunjukkan bahwa Provinsi DKI Jakarta merupakan daerah yang memiliki rasio pajak per kapita tertinggi, yaitu sebesar Rp1.276.186 yang berarti setiap penduduk yang ada di Provinsi DKI Jakarta memiliki kontribusi sebesar Rp1.276.186 dalam menghasilkan penerimaan daerah berupa pajak daerah. Sementara itu, Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki rasio pajak per kapita sebesar Rp74.361 dan merupakan terendah dari 33 provinsi di Indonesia. Grafik tersebut juga menggambarkan bahwa lebih banyak daerah yang berada di bawah rata-rata nasional, sebesar Rp337.731. Sebanyak 25 provinsi memiliki rasio pajak per kapita di bawah rata-rata nasional, sedangkan hanya terdapat 8 provinsi yang berada di atas rata-rata nasional. Grafik 2.5. Rasio Pajak per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Sumber: APBD 2012 (Diolah) 22 Deskripsi dan Analisis APBD 2012

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi Grafik 2.6. Rasio Tax per Kapita Pemerintah Kabupaten dan kota se-provinsi *) Sumber: APBD 2012 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta Grafik 2.6. menunjukkan pajak per kapita seluruh kabupaten kota di setiap provinsi, kecuali DKI Jakarta yang tidak diikutsertakan. Rata-rata rasio pajak per kapita adalah Rp79.643 per kapita dengan 8 (delapan) provinsi berada di atas rata-rata, sedangkan sisanya sebanyak 24 provinsi berada di bawahnya. Kondisi tersebut menunjukkan terdapat ketimpangan antar daerah, meskipun tidak sebesar rasio pajak per kapita seluruh provinsi kabupaten kota. Rasio tertinggi terdapat di Provinsi Bali dengan rasio Rp485.805 diikuti Kepulauan Riau (Rp362.037) dan Kalimantan Timur (Rp138.778). Sementara itu, Provinsi Sulawesi Barat memiliki rasio terendah dengan rasio sebesar Rp16.436 per kapita. Besar kecilnya rasio dari daerah-daerah tersebut tergantung pada besar kecilnya basis pajak yang dimiliki daerah-daerah tersebut serta jumlah penduduk daerah tersebut. Bab II : Analisis Pendapatan Daerah 23