ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN WILAYAH DI PROVINSI PAPUA BARAT MICHAEL ALBERT BARANSANO

dokumen-dokumen yang mirip
I PENDAHULUAN Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo. Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAPPEDA Planning for a better Babel

Kata kunci : jumlah alumni KKD, opini audit BPK, kinerja pembangunan daerah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

Analisis Isu-Isu Strategis

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia ( Sadono Sukirno, 1996:33). Pembangunan ekonomi daerah

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama

BAB I PENDAHULUAN. miskin di dunia berjumlah 767 juta jiwa atau 10.70% dari jumlah penduduk dunia

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Paradigma pembangunan di Indonesia telah mengalami pergeseran dari zaman orde baru

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang politik, ini terlihat bagaimana. kesehatan yang memadai untuk seluruh masyarakat.

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. wilayah telah dilaksanakan oleh beberapa peneliti yaitu :

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan

EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2)

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

V. ANALISIS SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN KARIMUN

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah (regional development) pada dasarnya adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies)

SUB SEKTOR PERTANIAN UNGGULAN KABUPATEN TASIKMALAYA SELAMA TAHUN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, yaitu upaya peningkatan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju. kepada tercapainya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan pembangunan. Pembangunan pada dasarnya adalah suatu proses

METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB II LANDASAN TEORI. (PDRB) di Kota Salatiga tahun Adapun teori-teori yang ditulis

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi,

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN I Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

II. TINJAUAN PUSTAKA. proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. pencapaian tersebut adalah melalui pembangunan. Menurut Tjokroamidjojo

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI. Undang-Undang No. 61 tahun Secara geografis Provinsi Jambi terletak

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

DUKUNGAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN PADA KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH TERTENTU DI INDONESIA

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. dan perkembangan suatu perekonomian dalam satu periode ke periode

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret 2014 Bupati Bogor, RACHMAT YASIN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. angka pengangguran dapat dicapai bila seluruh komponen masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN WILAYAH DI PROVINSI PAPUA BARAT MICHAEL ALBERT BARANSANO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Disparitas Pembangunan Wilayah di Provinsi Papua Barat adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini Bogor, Maret 2011 Michael A. Baransano NRP. H152080011

ABSTRAK MICHAEL ALBERT BARANSANO. Analysis of Regional Development Disparity in the Province of West Papua. Under direction of AKHMAD FAUZI and SLAMET SUTOMO. Although economic growth has increased over 2005-2008 period, macro economics condition showed an imbalance among the regencies/cities. Based on analysis using Entropi Index, Williamson Index, Theil Index, Location Quontient, Shift Share Analysis and Panel Data Regression, it showed that horizontal gap exist caused by variation in GDRP per capita, population, funding balance allocation and human development index. In general, agriculture sector has contributed greatly to economic growth, although it has experienced a transition to the industrial and service sectors. The results also show sectors of mining and quarrying, manufacturing industry, transport and communication and finance sector have uneven distribution. Local government should be looking forward how to build new paradigm based on leading sectors as prime mover to reduce inequality. Key Word : Regional Disparity, Development, West Papua Province.

RINGKASAN MICHAEL ALBERT BARANSANO. Analisis Disparitas Pembangunan Wilayah di Provinsi Papua Barat. Dibawah bimbingan AKHMAD FAUZI dan SLAMET SUTOMO Gambaran makro perekonomian di Provinsi Papua Barat menunjukan bahwa terdapat perbedaan kontribusi yang besar antara PDRB Kabupaten Manokwari, Kabupaten Sorong dan Kota Sorong dengan Kabupaten lainnya yang memberikan kontribusi paling rendah terhadap PDRB Provinsi Papua Barat. Selain itu perbedaan pembangunan (disparitas) yang terjadi pada kabupaten dan kota adalah terpusatnya kegiatan perekonomian pada daerah kabupaten induk dibandingkan dengan daerah pemekaran, seperti pertanian, jasa, perdagangan, perhotelan dan pendidikan terfokus di Kota Sorong, Kabupaten Sorong dan Kabupaten Manokwari yang juga menyerap sumberdaya dari daerah pemekaran baru (hinterland). Hal ini menyebabkan masyarakatnya menikmati pendapatan perkapita yang lebih tinggi, angka kemiskinan yang lebih rendah serta kualitas SDM yang lebih baik menyebabkan Indeks Pembangunan Manusianya (IPM) cenderung meningkat. Hal yang dapat dilakukan agar tercapai konvergensi (convergence) pembangunan ekonomi di Provinsi Papua Barat pada masa mendatang adalah bagaimana melakukan pengembangan terhadap potensi dari sektor-sektor unggulan (leading sectors) yang memberikan kontribusi terhadap PDRB masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah; tingkat disparitas pembangunan wilayah yang dianalisis dari disparitas proporsional pada PDRB perkapita, jumlah penduduk, alokasi dana perimbangan dan indeks pembangunan manusia; mengidentifikasi sektor-sektor unggulan; dan merumuskan strategi untuk mengurangi disparitas pembangunan wilayah secara horisontal. Hasil penelitian menunjukan bahwa perkembangan wilayah di Provinsi Papua Barat yang diukur dengan Indeks Entropi memperlihatkan terjadinya peningkatan pembangunan selama periode 2005-2008, dimana kontribusi terbesar disumbangkan oleh sektor pertanian, meskipun dalam periode tersebut sektor pertanian mengalami penurunan kontribusi terhadap PDRB provinsi dibanding sektor lainnya. Hal ini menunjukan bahwa terjadi transisi dari sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian ke sektor industri dan jasa di Provinsi Papua Barat selama periode penelitian. Analisis disparitas pembangunan yang diukur dengan Indeks Williamson dan Indeks Theil menunjukan bahwa disparitas semakin berkurang dan dengan menggunakan analisis regresi data panel, secara simultan variabel independen yang mempengaruhi tingkat disparitas adalah pendapatan per kapita, jumlah penduduk, alokasi dana perimbangan dan indeks pembangunan manusia, meskipun secara parsial variabel alokasi dana perimbangan tidak signifikan mempengaruhi disparitas pembangunan. Melalui analisis Location Quontient dan Shift Share diketahui bahwa sektor pertanian merupakan leading sector di seluruh wilayah Provinsi Papua Barat kecuali pada Kabupaten Sorong dan Kota Sorong. Beberapa kabupaten juga memiliki lebih dari satu sektor perekonomian yang potensial sebagai sektor unggulan yakni

Kabupaten Fak-Fak, Manokwari dan Kota Sorong memiliki 6 sektor unggulan, Sorong Selatan 5 sektor unggulan, Kaimana 3 sektor unggulan, Teluk Bintuni, Kabupaten Sorong dan Raja Ampat 2 sektor unggulan dan hanya Kabupaten Wondama yang memiliki 1 sektor unggulan. Analisis juga menggambarkan bahwa sektor perekonomian seperti sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor angkutan dan komunikasi dan sektor keuangan tidak menyebar merata di Provinsi Papua Barat melainkan lebih terkonsentrasi pada beberapa wilayah dibandingkan sektor lainnya. Hasil analisis differential shift menggambarkan bahwa keseluruhan sektor perekonomian (9 sektor) di Wilayah Pengembangan I memiliki kemampuan kompetitif di Provinsi Papua Barat dan sektor yang memiliki tingkat kompetitif paling tinggi secara berurutan pada WP I adalah sektor pertambangan dan penggalian sektor bangunan, sektor jasa, sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor perdagangan hotel dan restoran. Wilayah Pengembangan II, sektor yang memiliki kemampuan kompetitif di Provinsi Papua Barat adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor jasa dan sektor industri. Wilayah Pengembangan III sektor yang memiliki kemampuan kompetitif adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor perdagangan hotel dan restoran, sektor angkutan dan komunikasi, sektor listrik gas dan air bersih serta sektor bangunan. Secara keseluruhan strategi pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat diarahkan kepada pengembangan paradigma baru pembangunan yang berbasis pada sektor unggulan (sektor basis maupun non-basis) dan berpotensi menjadi prime mover perekonomian. Sektor unggulan untuk tiap wilayah kabupaten/kota dapat berbeda tetapi hal itu berdampak pada keterkaitan regional secara horisontal sebagai basis pengembangan sektoral. Untuk terus meningkatkan perkembangan wilayah dan mengurangi disparitas pembangunan di Provinsi Papua Barat kedepan dilakukan dengan mengedepankan keterkaitan wilayah antara lain dengan mendorong pemerataan investasi pada semua sektor perekonomian dan semua wilayah secara simultan sehingga infrastruktur wilayah bisa berkembang. Strategi pembangunan wilayah dapat diarahkan kepada pembangunan regional berbasis pada pemanfaatan sumberdaya wilayah/kawasan baik sektor maupun sub sektor berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif di masing-masing wilayah. Selain itu fungsi dan peranan kelembagaan (institution) sebagai aturan main (rule of game) dan organisasi, berperan penting dalam tata kelola alokasi sumberdaya secara efisien, merata dan berkelanjutan yang meliputi akuntabilitas, transparansi dan partisipasi masyarakat. Bertitik tolak dari kondisi tersebut, maka paradigma baru pendekatan pembangunan wilayah dalam mengurangi disparitas adalah upaya memperkuat kemampuan masyarakat lokal (local institution) dengan menumbuhkan inisiatif dan prakarsa sesuai dengan local knowledge yang dimiliki oleh masyarakat. Kata Kunci : Disparitas Wilayah, Pembangunan, Papua Barat.

Hak cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyususnan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.

ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN WILAYAH DI PROVINSI PAPUA BARAT MICHAEL ALBERT BARANSANO Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Penguji Luar Komisi : Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS

LEMBAR PENGESAHAN Judul Tesis : Analisis Disparitas Pembangunan Wilayah di Provinsi Papua Barat Nama : Michael Albert Baransano NRP : H152080011 Program Studi : Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Ketua Dr. Slamet Sutomo, SE., MS Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Dr. Ir. Dahrul Syah Tanggal Ujian : 25 Februari 2011 Tanggal Lulus :

Akhirnya dengan segala rasa syukur dan hormat penulis persembahkan kepada kedua orang tua, Bapak Petrus Baransano, S.Sos dan Ibu Nelly Suruan, Bapak mertua A. Asyerem dan Ibu Mertua J. Mambobo serta istriku Fenny S.J. Asyerem, SP dan anak-anakku terkasih Jaholyn, Efraim dan Isaiah. Kiranya karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan pro humanitate scientia. Bogor, Maret 2011 Michael A. Baransano

DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Manokwari pada tanggal 30 Maret 1977 dari pasangan Bapak P. Baransano dan Ibu N. Suruan, merupakan anak ke dua dari lima bersaudara. Jenjang pendidikan SD s/d SMA di selesaikan di Kabupaten Manokwari. Memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Faperta Unipa Manokwari pada tahun 2002. Tahun 2005 diangkat sebagai staff pengajar di Jurusan Sosek Unipa Program Studi Penyuluhan dan Pengembangan Masyarakat. Pada tahun 2008 diberikan kesempatan melanjutkan pendidikan Magister di Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan IPB.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... iii iv vi I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Perumusan Masalah... 10 1.3. Tujuan... 12 1.4. Manfaat Penelitian... 13 1.5. Ruang Lingkup Penelitian... 13 II TINJAUAN PUSTAKA... 14 2.1. Konsep Pengembangan Wilayah... 14 2.2. Sektor-Sektor Unggulan... 16 2.3. Disparitas Pembangunan Antar Wilayah... 19 2.4. Tinjauan Penelitian Terkait Sebelumnya... 28 2.5. Hipotesis... 32 III METODE PENELITIAN... 33 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian... 33 3.2. Metode Pengumpulan Data... 33 3.3. Metode Analisis... 34 3.3.1. Indeks Entropi... 34 3.3.2. Location Quontien (LQ)... 35 3.3.3. Shift Share Analysis... 36 3.3.4. Indeks Williamson... 38 3.3.5. Indeks Theil... 39 3.3.6. Analisis Regresi Berganda... 39 3.3.7. Alur Pikir Analisis Penelitian... 43 IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN... 45 4.1. Kondisi Geografi dan Topografi... 45 4.2. Penduduk dan Tenaga Kerja... 47 4.3. Ekonomi Regional... 50 4.3.1. PDRB dan Perkembangannya... 51 4.3.2. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Papua Barat... 51 4.3.3. Struktur Perekonomian Papua Barat... 51 V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN... 53 5.1. Tingkat Perkembangan Wilayah di Provinsi Papua Barat... 53 5.2. Disparitas Pembangunan Wilayah di Provinsi Papua Barat... 58

5.2.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Disparitas Pembangunan Wilayah di Provinsi Papua Barat... 61 5.2.2. Hasil Analisis Ekonometrika Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Disparitas Pembangunan... 73 5.3. Identifikasi Sektor-Sektor Unggulan di Provinsi Papua Barat... 82 5.4. Rekomendasi Kebijakan dalam Mengurangi Disparitas Pembangunan Wilayah... 89 VI KESIMPULAN DAN SARAN... 93 6.1. Kesimpulan... 93 6.2. Saran... 94 DAFTAR PUSTAKA... 96 LAMPIRAN... 100

DAFTAR TABEL Halaman 1. PDRB, luas wilayah dan jumlah penduduk per kabupaten/kota serta kontribusinya terhadap Provinsi Papua Barat tahun 2008... 6 2. Luas lahan yang sesuai, telah digunakan dan tersedia untuk pengembangan (perluasan) pertanian di Provinsi Papua Barat. 10 3. Tujuan penelitian, metode analisis, variabel, sumber data dan output penelitian... 34 4. Penduduk Papua Barat menurut jenis kelamin dan sex rasio per kabupaten/kota... 47 5. Penduduk Papua Barat menurut rumah tangga dan tingkat kepadatan per kabupaten/kota... 48 6. Persentase penduduk 10 tahun keatas menurut status perkawinan per kabupaten/kota... 49 7. Penduduk 15 tahun keatas menurut jenis kelamin dan jenis kegiatan utama... 50 8. Indeks Entropi sektor-sektor perekonomian di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008... 55 9. Indeks Theil Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008... 59 10. Rata-rata perkembangan nilai pembentuk IPM berdasarkan kabupten/kota di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008... 66 11. Ringkasan Hasil Output Eviews... 74 12. Rata-rata nilai analisis location quotient per sektor di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2006... 83 13. Sektor-sektor perekonomian unggulan per kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008... 84 14. Nilai analisis shift share di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008. 85 15. Identifikasi sektor unggulan (komparatif dan kompetitif) berdasarkan kombinasi hasil analisis LQ dan SSA di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008... 87

DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Tingkat pembangunan ekonomi Provinsi Papua Barat dan nasional tahun 2004-2009... 4 2. Peta komoditas unggulan di Provinsi Papua Barat... 11 3. Kurva disparitas pembangunan antar wilayah... 20 4. Kerangka pemikiran... 31 5. Peta lokasi penelitian... 33 6. Alur pikir analisis penelitian disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat.... 44 7. Luas wilayah Provinsi Papua Barat menurut kabupaten/kota... 46 8. Distribusi persentase PDRB atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha... 52 9. Trend nilai Entropi wilayah tiap kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008... 54 10. Trend nilai Entropi wilayah di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008... 55 11. Trend nilai entropi berdasarkan wilayah pengembangan di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008... 56 12. Transisi sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian ke sektor industri dan jasa di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008... 57 13. Perkembangan nilai Indeks Williamson di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008... 58 14. Perkembangan nilai Indeks Theil di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008... 60 15. PDRB per kapita dan laju pertumbuhannya di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008... 62 16. Rata-rata perkembangan nilai IPM berdasarkan wilayah pengembangan di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008... 64 17. Rata-Rata perkembangan nilai IPM berdasarkan kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008... 65 18. Perkembangan jumlah penduduk di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008... 69 19. Dana alokasi umum kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008... 70 20. Dana alokasi khusus kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008... 71

21. Dana bagi hasil (pajak dan SDA) kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008... 72 22. Tingkat kompetitif sektor-sektor perekonomian di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008... 87

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil analisis Indeks Williamson berdasarkan PDRB per kapitas tiap kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008... 100 2. Hasil Analisis Indeks Entropi Berdasarkan Sektor Perekonomian Tiap Kabupaten/Kota di provinsi Papua Barat Tahun 2005-2008... 102 3. Hasil Analisis Indeks Theil Berdasarkan PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2005-2008... 114 4. Hasil Analisis LQ Kabupaten/Kota per Sektor di Provinsi Papua Barat Tahun 2005-2008... 116 5. Hasil Analisis Shift Share Kabupaten/Kota per Sektor di Provinsi Papua Barat Pada Titik Tahun 2005 dan 2008... 118 6. Penetapan Dana Alokasi Khusus untuk Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat... 123 7. Rincian Dana Alokasi Umum untuk Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat... 126 8. Penetapan Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam Bagi Kabupaten/Kota Di Provinsi Papua Barat... 127 9. Besaran NIlai Indeks Pembangunan Manusia per Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008... 128 10. Hasil Perhitungan Indeks Entropi Wilayah kabupaten/kota berdasarkan sektor Perekonomian di Provinsi Papua Barat Tahun 2005-2008... 129 11. Hasil Output Eviews Indeks Ketimpangan dan Uji Asumsinya... 130

1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan nasional dan kebijakan pembangunan daerah telah disusun dalam koridor perencanaan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Kebijakan perencanaan jangka panjang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025, menyatakan bahwa arah kebijakan pembangunan daerah dalam upaya mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan diprioritaskan pada: (1) pengembangan wilayah yang berbasis potensi unggulan daerah yang berkelanjutan dan memperhatikan daya dukung lingkungan; (2) percepatan pembangunan melalui pusat-pusat pertumbuhan ekonomi seperti Kawasan Ekonomi Khusus dan Kawasan Industri untuk mengembangkan daerah tertinggal di sekitarnya dengan memperhatikan keterkaitan mata rantai produksi dan distribusi; (3) keberpihakan prioritas pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan pemerintah di daerah tertinggal dan berpotensi cepat tumbuh secara ekonomi; (4) memperhatikan kawasan perbatasan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga; (5) peningkatan kapasitas kelembagaan, keuangan dan legislatif pemangku kepentingan pembangunan; serta (6) penanggulangan kemiskinan yang memperhatikan hak-hak dasar masyarakat dengan prinsip kesetaraan dan non diskriminasi. Saat ini kita telah masuk dalam fase orientasi pembangunan jangka menengah tahun 2010-2014, yang memprioritaskan pemantapan penataan kembali Indonesia disegala bidang dengan menekankan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi serta penguatan daya saing perekonomian. Esensi penguatan daya saing perekonomian dalam pembangunan daerah yang berbasis pengembangan wilayah, diarahkan pada pengembangan strategi pengembangan kawasan strategis dan cepat tumbuh serta upaya peningkatan investasi daerah tertinggal. Upaya-upaya pengembangan daerah tertinggal telah diinisiasi melalui pilar-pilar strategi dasar percepatan pembangunan daerah tertinggal, yang ditujukan untuk:

2 (1) meningkatkan kemandirian masyarakat melalui pengembangan ekonomi lokal, pemberdayaan masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana serta peningkatan kapasitas kelembagaan; (2) Mengoptimalkan pemanfaatan potensi wilayah; (3) Memperkuat integrasi ekonomi antara daerah tertinggal dan daerah maju; serta (4) Meningkatkan penanganan daerah khusus yang memiliki karakteristik keterisolasian. Dalam skala nasional, proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini ternyata telah menimbulkan masalah pembangunan yang cukup besar dan kompleks. Pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi makro, cenderung mengabaikan terjadinya kesenjangan-kesenjangan pembangunan antar wilayah yang cukup besar. Investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayahwilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan. Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai sebagai bangsa. Ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah disatu sisi terjadi dalam bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi, dimana faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas antar wilayah menurut Rustiadi et. al. (2009) adalah: (1) geografi; (2) sejarah; (3) politik; (4) kebijakan pemerintah; (5) administrasi; (6) sosial budaya dan (7) ekonomi. Sejak bergulirnya otonomi daerah di Indonesia, terlebih lagi otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, paradigma baru pembangunan yang secara langsung maupun tidak langsung telah membawa pengaruh yang cukup luas dan signifikan dalam tata kehidupan masyarakat baik di tingkat regional dan lokal. Wujud otonomi daerah adalah UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (yang kemudian diperbaharui dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah). Secara harfiah otonomi daerah berarti hak, wewenang serta kewajiban daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Seluruh urusan pemerintahan

3 didesentralisasikan kepada daerah-daerah kecuali yang menyangkut hubungan luar negeri serta pertahanan dan keamanan. Daerah menjadi memiliki kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan sumberdaya yang dimilikinya, baik sumberdaya alam (natural capital), sumberdaya buatan (man made capital), sumberdaya manusia (human capital) maupun sumberdaya sosial (social capital). Kewenangan yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab tesebut diberikan kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional, serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, sesuai dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi dan keberagaman daerah. Pembangunan di tanah Papua selayaknya dikembangkan secara lebih intensif terutama dengan mengutamakan pemanfaatan sumberdaya lokal dan sektor perekonomian (sektor basis dan non-basis) yang berpotensi memberikan dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pembangunan di tanah Papua telah secara intensif didorong melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Upaya-upaya ini dilatarbelakangi oleh permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan pembangunan tanah Papua seperti Sumber daya alam Papua dan Papua Barat yang melimpah dan hampir merata di semua wilayah, kawasan konservasi yang luas dan merata, tingkat kemajuan antar wilayah yang timpang sehingga masih banyak terdapat daerah-daerah yang tingkat ketertinggalannya masih tinggi, kemiskinan yang relatif merata di seluruh wilayah, kualitas sumber daya manusia yang rendah karena keterbatasan akses terhadap pelayanan pendidikan dan kesehatan, prasarana dan sarana yang terbatas mengakibatkan kualitas dan kuantitas pelayanan dasar dari pemerintah daerah tidak optimal, serta kondisi sistem usahatani lokal yang belum mampu mengadopsi teknologi pertanian modern sehingga masih rentan terhadap perubahan iklim dan lingkungan biofisik. Provinsi Papua Barat awalnya bernama Irian Jaya Barat, berdiri atas dasar Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya

4 Barat, Provinsi Irian Jaya Tengah, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Berdirinya Provinsi Papua Barat juga mendapat dukungan dari Surat Keputusan DPRD Provinsi Papua Nomor 10 Tahun 1999 tentang pemekaran Provinsi Papua menjadi tiga provinsi. Provinsi Papua Barat, memiliki luas wilayah sebesar 143.185 km 2 dari luas total 8 (delapan) kabupaten yakni Kabupaten Sorong, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Fak-Fak, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Teluk Bintuni dan 1 (satu) kota madya yaitu Kota Madya Sorong. Sebagian besar aksesibilitas antar pusat-pusat pertumbuhan dirasakan sangat kurang akibat terbatasnya jaringan jalan, belum adanya jaringan sentra produksi, terbatasnya sarana dan prasarana kebutuhan dasar seperti air bersih, listrik, telekomunikasi, dan lain-lain, khususnya di pusat-pusat pertumbuhan kawasan. Sumber : http://www.slideshare.net/ekpd/hasil-evaluasi-kinerja-pembangunandaerah-tahun-2009-provinsi-papua-barat 2 Gambar 1 Tingkat pembangunan ekonomi Provinsi Papua Barat dan Nasional tahun 2004-2009 2 Seminar Nasional Hasil Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Tahun 2009 Provinsi Papua Barat, Pelaksana Universitas Negeri Papua. Hotel Santika Premiere 18-20 Desember 2009 [februari 2011]

Pembangunan ekonomi di Provinsi Papua Barat jika dilihat secara nasional selama periode 2004-2009 masih berada di bawah tingkat pembangunan ekonomi nasional dan menunjukan trend yang sangat fluktuatif dibanding dengan trend pembangunan ekonomi nasional. Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa fluktuasi indikator capaian outcomes Papua Barat yang menurun drastis pada tahun 2006 hingga berada di bawah rata-rata nasional, kemudian meningkat melampaui rata-rata nasional pada tahun 2007 dan selanjutnya turun secara drastis di bawah rata-rata nasional dan mencapai minimum pada tahun 2009 menunjukan bahwa kinerja pemerintah Provinsi Papua Barat dalam pembangunan ekonomi relatif belum relevan dan efektif dalam mengurangi disparitas pembangunan wilayah. Tabel 1 di bawah memperlihatkan bahwa terjadi disparitas dalam perkembangan ekonomi pada Kabupaten Manokwari, Kabupaten Sorong dan Kota Sorong dibanding dengan kabupaten lainnya. Secara spasial ketiga wilayah tersebut memiliki aksesibilitas cukup tinggi karena berada pada jalur transportasi utama baik laut dan udara yang merupakan pintu masuk dan keluar ke Provinsi Papua Barat. Tabel 1 PDRB, luas wilayah dan jumlah penduduk per kabupaten/kota serta kontribusinya terhadap Provinsi Papua Barat tahun 2007 Kabupaten/ Kota Fak-Fak Kaimana Wondama Teluk Bintuni Manokwari Sorong Selatan Sorong Raja Ampat Kota Sorong Luas Wilayah Jumlah Penduduk Km2 (%) Jiwa (%) 14.320,00 18.500,00 12.146,62 18.637,00 14.448,50 29.810,00 28.894,00 6.084,50 344,49 10,00 12,82 8,48 13,02 10,09 20,82 20,18 4,25 0,24 66.254 41.660 22.936 53.664 171.222 60.934 97.810 40.912 167.589 9,16 5,76 3,17 7,42 23,68 8,43 13,53 5,66 23,18 5 PDRB atas dasar harga berlaku Nilai (Jutaan Rp) (%) 912.368,45 8,87 534.432,78 5,20 172.899,41 1,68 640.772,08 6,23 1.686.242,76 16,39 327.559,71 3,18 3.345.501,50 32,53 796.193,43 7,74 1.869.355,55 18,17 Jumlah 143.185,1 100,00 722.981 100,00 10.285.325,67 100,0 Sumber : BPS Papua Barat, 2008

6 Kondisi lainnya yang menunjukan perbedaan pembangunan (disparitas) pada kabupaten dan kota adalah terpusatnya kegiatan perekonomian pada daerah kabupaten induk dibandingkan dengan daerah pemekaran, seperti pertanian, jasa, perdagangan, perhotelan dan pendidikan terfokus di Kota Sorong, Kabupaten Sorong dan Kabupaten Manokwari yang juga menyerap sumberdaya dari daerah pemekaran baru (hinterland). Hal ini menyebabkan masyarakatnya menikmati pendapatan per kapita yang lebih tinggi, angka kemiskinan yang lebih rendah serta kualitas SDM yang lebih baik menyebabkan Indeks Pembangunan Manusianya (IPM) cenderung meningkat. Secara umum nilai IPM Papua Barat terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun namun ada beberapa daerah yang mengalami peningkatan pesat dan ada yang lambat baik pada kabupaten induk maupun kabupaten pemekaran. Kondisi ini dipengaruhi oleh variasi komponen tingkat kesehatan, tingkat pendidikan dan tingkat daya beli masyarakat pada masing-masing wilayah. Peningkatan Tingkat kesehatan yang dihitung dari Angka Harapan Hidup di Papua Barat sebesar 67,90 tahun pada 2008. Artinya rata-rata masyarakat Papua Barat usia hidupnya 67 tahun. Kota Sorong memiliki Angka Harapan hidup tertinggi sebesar 71,12 tahun dan terendah pada Kabupaten Raja Ampat sebesar 65,43 tahun. Bila dibandingkan dengan kabupaten pemekaran lainnya, Kabupaten Teluk Bintuni memiliki Angka Harapan Hidup (AHH) lebih tinggi (67,55 tahun) dari kabupaten induk Manokwari (67,38 tahun). Peningkatan tingkat pendidikan di Papua Barat dalam kriteria Angka Melek Huruf (AMH), terendah di Kabupaten Teluk Bintuni dalam periode tahun 2006-2008. Pada kriteria lama sekolah, secara keseluruhan Papua Barat memiliki ratarata bersekolah sampai dengan kelas 1 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) meskipun pada Kabupaten Teluk wondama terendah dalam periode tahun 2006-2008 (6,39 tahun) sehingga dapat dikatakan bahwa penduduk hanya mampu bersekolah sampai dengan kelas 1 Sekolah Dasar (SD). Sangat jauh bila dibandingkan dengan penduduk Kota Sorong dengan rata-rata lama sekolah sampai dengan kelas 1 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Daya beli masyarakat Papua Barat juga terus meningkat selama periode tahun 2006-2008

7 dengan rata-rata sebesar Rp 593, 13 ribu dengan daya beli tertinggi pada Kota Sorong dan terendah pada Kabupaten Raja Ampat. Data laporan Tahunan Indeks Pembangunan Manusia Papua Barat Tahun 2008 menyebutkan bahwa berdasarkan kesamaan pencapaian nilai IPM, posisi relatif kabupaten dan kota di Provinsi Papua Barat dapat dikelompokan kedalam 3 (tiga) kelompok. Kelompok IPM bawah yaitu Kabupaten Teluk Wondama, Teluk Bintuni, Manokwari, Raja Ampat dan Sorong Selatan, capaian rata-rata IPM pada tahun 2006-2008 adalah 65 ke bawah. Kelompok IPM menengah terdiri dari Kabupaten Fak-Fak, Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Sorong dengan capaian rata-rata IPM 2006-2008 antara 66-75. Kelompok IPM atas adalah Kota Sorong dengan rata-rata capaian IPM 2006-2008 lebih dari 75. Ketimpangan pada jumlah penduduk, PDRB dan PDRB per kapita juga menggambarkan ketimpangan pembangunan di Provinsi Papua Barat. Kabupaten Sorong misalnya, pada tahun 2008 memiliki nilai PDRB (atas dasar harga berlaku) tertinggi di Papua Barat sebesar Rp 4,28 triliun disusul Kota sorong sebesar Rp 2,15 triliun dan Kabupaten Manokwari sebesar Rp 2,03 triliun. Kabupaten Wondama merupakan kabupaten pemekaran dengan nilai PDRB terendah sebesar Rp 0,27 triliun. Dari segi nilai PDRB per kapita, nilai tertinggi berada pada Kabupaten Teluk Bintuni (Rp 16 juta), Kabupaten Fak-Fak (Rp 15, 57 juta), Kabupaten Kaimana (Rp 14,31 juta) dan Kota Sorong (Rp 12,7 juta). Hal ini disebabkan karena konsentrasi penduduk lebih banyak berada di kabupaten induk sehingga meskipun memiliki pendapatan yang relatif tinggi, PDRB per kapitanya masih rendah. Dana perimbangan pembangunan yang bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) memberikan kontribusi cukup besar bagi pendanaan pembangunan di kabupaten dan kota maupun di Provinsi Papua Barat. Daerah yang mempunyai kemampuan fiskal rendah akan mendapatkan DAU dalam jumlah yang relatif besar, sebaliknya daerah yang mempunyai kemampuan fiskal tinggi akan mendapat DAU dalam jumlah yang kecil, dimana pemberian DAU tahun berjalan selalu lebih besar dari tahun sebelumnya (DAU t > DAU t-1 ). Pemberian DAU ini diharapkan benar-benar dapat mengurangi disparitas fiskal horizontal, daerah mempunyai tingkat kesiapan fiskal

8 yang relatif sama dalam mengimplementasikan otonomi daerah. Daerah diharapkan mampu mengalokasikan sumber dana ini pada sektor-sektor produktif yang mampu mendorong adanya peningkatan investasi di daerah dalam meningkatkan pembangunan ekonomi wilayah dan juga pada sektor yang berdampak pada peningkatan pelayanan publik sehingga kemandirian daerah menjadi semakin tinggi seiring dengan meningkatnya kapasitas fiskal daerah, dan pada gilirannya tanggungan pemerintah untuk memberikan DAU bisa lebih dikurangi. 3 Dana bagi hasil daerah meliputi pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dan penerimaan dari Sumber Daya Alam (SDA). Pada komponen PAD ditambah dengan Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (DBHPBP) inilah yang merupakan indikator fiscal capacity bagi setiap daerah. Fiscal capacity ini merupakan indikator utama dalam mengukur kemampuan pemerintah daerah untuk membiayai sendiri kegiatan pemerintahan daerah yang dijalankan, tanpa tergantung bantuan dari luar, termasuk dari pemerintah pusat. DAU dan DAK merupakan alokasi pembiayaan daerah yang termuat dalam APBN yang dimaksudkan untuk membantu pembiayaan pemerintahan daerah baik secara umum, maupun secara khusus. Dimana DAU memiliki tujuan utama untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sedangkan DAK dialokasikan kepada daerah dengan tujuan untuk membantu pembiayaan daerah dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan khususnya. Selama periode tahun 2005-2008 alokasi DAU Kabupaten Manokwari, Kabupaten Fak-Fak, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Sorong dan Kabupaten Sorong Selatan lebih besar dari alokasi pemberian DAU Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Wondama dan Kota Sorong. Sementara untuk alokasi DAK selama periode tersebut lebih besar alokasinya bagi Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Wondama dan Kabupaten Fak-Fak. 4 Percepatan pembangunan Provinsi Papua Barat merupakan kebijakan utama Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi Papua Barat, sehingga pada tahun 2015 diharapkan Provinsi Papua Barat akan bisa mengejar ketertinggalan dalam pencapaian pembangunan Millenium Development Goals (MDGs) dari Provinsi lain di Indonesia. Dalam konteks ini, dokumen rencana pembangunan jangka 3 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16852/5/chapter%20i.pdf [februari 2011] 4 http://www.djpk.depkeu.go.id/datadjpk [juli 2010]

9 menengah Papua Barat 2006-2011 serta kebijakan percepatan pembangunan Pemerintah Pusat melalui Inpres 5/2007 merupakan arah utama dari proses percepatan dan harmonisasi program pembangunan di Provinsi Papua Barat. Dokumen RPJMD Buku IV Misi dan Visi Pembangunan Jangka Menengah Daerah, Pemerintah Provinsi Papua Barat telah merumuskan secara operasional 6 agenda pokok pembangunan di Provinsi Papua Barat. Pertama, membangun kapasitas kelembagaan dengan sasaran meningkatnya kapasitas kelembagaan yang mampu melaksanakan pelayanan kepada masyarakat sampai pada tingkat kampung serta mampu melaksanakan tugas pokok kelembagaan. Kedua, meningkatkan mutu sumber daya manusia Papua Barat, dengan sasaran meningkatnya kwalitas sumber daya manusia Papua Barat dalam berbagai bidang sehingga mampu dan mandiri mengelola sumber daya alam bagi kesejahteraan. Ketiga, mengembangkan dan memperkuat basis ekonomi wilayah Provinsi Papua Barat, dengan sasaran utama terbangunnya kemampuan ekonomi di wilayah Provinsi Papua Barat untuk mempercepat perbaikan taraf hidup masyarakat serta menciptakan landasan pembangunan ekonomi yang berkesinambungan. Keempat, program penanggulangan kemiskinan, dengan sasaran menurunnya angka kemiskinan di Provinsi Papua Barat menjadi sepertiga (35 %) dari angka kemiskinan saat ini (70 %). Kelima, mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam untuk kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua Barat yang terjamin kelestariannya, dengan sasaran termanfaatkannya sumber daya alam bagi kepentingan masyarakat dan terpelihara kelestariannya. Keenam, revitalisasi dari nilai sosial masyarakat sebagai modal pembangunan di Provinsi Papua Barat, dengan sasaran tumbuhnya nilai sosial masyakat sebagai kekuatan yang berperan aktif dalam pembangunan. Dalam konteks kebijakan pembangunan, Provinsi Papua Barat sangat terkait dengan berbagai indikator Millenium Development Goals (MDGs), pada dasarnya ada 2 kerangka acuan utama yaitu INPRES 5/2007 dengan RPJMD Provinsi Papua Barat 2006-2011 terdiri dari pembangunan infrastruktur fisik, dan juga 3 sektor utama pembangunan (pendidikan, kesehatan,

10 perekonomian rakyat) serta investasi pengembangan wilayah yang merupakan prioritas pembangunan utama Provinsi Papua Barat. 5 Potensi Sumber Daya Alam, Walaupun memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, namum perlu disadari bahwa kondisi fisik dasar wilayah yang ditandai dengan geografis dan topografis yang variatif, dimana 15% adalah wilayah kepulauan, 65% adalah wilayah dataran yang bergelombang dan 20% adalah wilayah yang datar dan sungai. Di sisi lain kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang rendah merupakan issue strategis daerah yang menjadi tuntutan bagi kebutuhan pembangunan di wilayah Papua Barat 6. 1.2. Perumusan Masalah Sebenarnya beberapa daerah kabupaten dan kota di Provinsi Papua Barat memiliki potensi sumberdaya seperti Sumber Daya Laut, serta potensi mineral gas bumi, pertambangan dan keragaman budaya yang dimiliki daerah ini merupakan keunggulan komperatif dan kompetitif untuk akselerasi pembangunan Papua Barat ke depan.yang dapat diandalkan dalam memacu pertumbuhan ekonomi (PDRB) dan mengurangi disparitas pembangunan yang terjadi. Tabel 2 Luas lahan yang sesuai, telah digunakan dan tersedia untuk pengembangan (perluasan) pertanian di Provinsi Papua Barat Luas Lahan Telah Kab/Kota Sesuai Masih Tersedia Digunakan (ha) (%) (%) Fak-fak 553.784 33,34 66,66 Kaimana 312.807 22,80 77,20 Teluk Wondama 46.342 31,50 68,50 Teluk Bintuni 783.176 3,37 96,63 Manokwari 145.977 67,61 32,29 Sorong Selatan 477.321 6,48 93,52 Sorong/Kota 454.140 36,60 63,40 Raja Ampat 20.854 100,00 0,00 Jumlah 2.794.441 22,34 78,04 Sumber : BPS Papua Barat, 2008 (data diolah) 5 Arah Kebijakan Harmonisasi Papua Barat http://www.westpapuamdgs.com/?p=82&lang=id [februari 2011] 6 Potensi Daerah Papua Barat http://www.papuabarat.info/content/potensi.php [februari 2011]

11 Data pada Tabel 2 di atas menunjukan bahwa ternyata potensi ketersediaan luasan lahan yang sesuai untuk pengembangan pertanian di Provinsi Papua Barat sangat luas sehingga dapat digunakan untuk memacu produksi komoditaskomoditas unggulan (Gambar 2) masing-masing kabupaten dan kota melalui extensifikasi pertanian. Namun realitasnya, masih sangat kecil total luasan lahan yang telah digunakan untuk pengembangan pertanian pada tiap kabupaten dan kota di Provinsi Papua Barat. Selain itu potensi perikanan yang ada di Kabupaten Kaimana, Kabupaten Fak-fak, Kabupaten Raja Ampat dan Kabupaten Wondama tidak ditunjang dengan unit penangkapan yang memadai, sehingga produksi perikanan tangkapnya masih rendah bila dibandingkan dengan Kabupaten Manokwari (BPS Papua Barat, 2008). Sumber : Supriadi, 2008 Gambar 2 Peta komoditas unggulan di Provinsi Papua Barat. Uraian masalah tersebut di atas merupakan beberapa indikasi bahwa pembangunan yang dilaksanakan di Provinsi Papua Barat selama ini masih belum merata dan belum dioptimalkan sesuai dengan potensi sumberdaya yang ada, sehingga menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat.

12 Mengacu pada Hipotesa Neo-Klasik (Sjafrizal, 2008), disparitas pembangunan regional di Provinsi Papua Barat cenderung melebar (divergence). Hal ini diakibatkan oleh mobilitas faktor produksi yang kurang lancar pada permulaan proses pembangunan pada beberapa kabupaten di Provinsi Papua Barat yang baru memekarkan diri (Kabupaten Kaimana, Kabupaten Wondama, Kabupaten Bintuni, Kabupaten Raja Ampat dan Kabupaten Sorong Selatan). Akan tetapi bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin membaiknya mobilitas faktor produksi maka disparitas pembangunan regional di Provinsi Papua Barat akan berkurang (convergence). Secara khusus konsep yang dapat ditawarkan agar tercapai konvergensi (convergence) pembangunan ekonomi di Provinsi Papua Barat pada masa mendatang adalah bagaimana melakukan pengembangan terhadap potensi dari sektor-sektor unggulan (leading sectors) yang memberikan kontribusi terhadap PDRB masing-masing kabupaten dan kota di Provinsi Papua Barat. Oleh karena itu diperlukan analisis mengenai disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dari uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas maka muncul pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana tingkat perkembangan wilayah di Provinsi Papua Barat 2. Berapa besar tingkat disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat. 3. Apa yang menjadi sektor unggulan dari tiap wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat 4. Bagaimana Strategi Pengembangan wilayah di Provinsi Papua Barat 1.3. Tujuan Penelitian 1. Menentukan/mengidentifikasi tingkat perkembangan wilayah di Provinsi Papua Barat

13 2. Mengetahui tingkat disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan di Provinsi Papua Barat. 3. Mengidentifikasi sektor unggulan pada tiap wilayah di Provinsi Papua Barat 4. Merumuskan strategi pengembangan wilayah dalam mengurangi disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat ke depan. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai rumusan kebijakan perencanaan pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat dan masingmasing kabupaten/kota, terutama dalam mengurangi disparitas pembangunan. 2. Sebagai rujukan informasi bagi kegiatan penelitian lanjutan mengenai disparitas pembangunan wilayah baik dalam skala nasional, regional dan lokal. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian difokuskan pada analisis data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan disparitas pembangunan yang disebabkan oleh perbedaan pada PDRB per Kapita, Alokasi Dana Perimbangan (DAK, DAU, DBH), Jumlah Penduduk dan Indeks Pembangunan Mmanusia.

14 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pengembangan Wilayah Di Indonesia, berbagai konsep nomenklatur kewilayahan seperti wilayah, kawasan, daerah, regional, area, ruang dan istilah-istilah sejenis, banyak dipergunakan dan saling dapat dipertukarkan pengertiannya walaupun masingmasing memiliki bobot penekanan yang berbeda-beda. Ketidak konsistenan istilah tersebut kadang menyebabkan kerancuan pemahaman dan sering membingungkan. Secara teoritik, tidak ada perbedaan nomenklatur antara istilah wilayah, kawasan dan daerah. Semuanya secara umum dapat diistilahkan dengan wilayah (region). Pengertian wilayah sangat penting untuk diperhatikan apabila berbicara tentang program-program pembangunan yang terkait dengan pengembangan wilayah dan pengembangan kawasan. Pengembagan kawasan terkait dengan pengembangan fungsi tertentu dari suatu unit wilayah, mencakup fungsi sosial, ekonomi, budaya, politik maupun pertahanan dan keamanan. Sementara itu pengembangan wilayah seharusnya mempunyai cakupan yang lebih luas yaitu menelah keterkaitan antar kawasan. Namun perspektif tiap orang tentang keterkaitan suatu wilayah sangat tergantung pada cakupan wilayah perencanaan dan pengelolaannya. Wilayah perencanaan dan pengelolaan bisa mencakup wilayah administratif politis (pusat atau daerah) maupun wilayah perencanaan fungsional. Istilah wilayah mengacu pada pengertian unit geografis, secara lebih jelasnya, Rustiadi et. al. (2009) mendefinisikan wilayah sebagai suatu unit geografis dengan batas-batas tertentu dimana komponen-komponen di dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan lainnya. Dengan demikian wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponennya memiliki arti didalam pendiskripsian perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pembangunan. Dari definisi tersebut terlihat bahwa tidak ada batasan spesifik dari luasan suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat meaningful untuk perencanaan,

15 pelaksanaan, monitoring, pengendalian maupun evaluasi. Dengan demikian batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (berubah-ubah), sehingga istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Pengembangan wilayah merupakan program menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumberdaya yang ada dan memberikan kontribusi pada pembangunan suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah adalah suatu upaya dalam mewujudkan keterpaduan penggunaan sumberdaya dengan penyeimbangan dan penyerasian pembangunan antar daerah, antar sektor serta pelaku pembangunan dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah. Strategi pengembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh karakteristik dan potensi yang terdapat di wilayah tersebut. Oleh karena itu, sebelum melakukan suatu perumusan tengtang kebijakan yang akan dilaksanakan perlu untuk mengetahui tipe/jenis kebijakan yang tepat dilakukan dalam pengembangan wilayah. Menurut Anwar (2005) dalam suatu wilayah akan terdapat beberapa macam karakteristik wilayah yaitu: 1. Wilayah maju 2. Wilayah sedang berkembang 3. Wilayah belum berkembang, dan 4. Wilayah tidak berkembang Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya dicirikan sebagai pusat pertumbuhan. Di wilayah ini terdapat pemusatan penduduk, industri, pemerintahan dan sekaligus pasar yang potensial. Wilayah yang sedang berkembang biasanya dicirikan oleh pertumbuhan yang cepat dan biasanya merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju, karena itu mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju, juga dicirikan oleh potensi sumberdaya alam yang tinggi, pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi, namun belum terjadi kesesakan dan tekanan biaya sosial. Sedangkan wilayah yang belum berkembang tingkat pertumbuhannya masih rendah baik secara absolut, maupun secara relatif, namun memiliki potensi sumberdaya alam

16 yang belum dikelola atau dimanfaatkan, tingkat kepadatan penduduk yang masih rendah, pendapatan dan pendidikan yang juga relatif rendah. Wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh dua hal yaitu : (a) wilayah tersebut memang tidak memiliki potensi baik potensi sumberdaya alam maupun potensi lokasi, sehingga secara alamiah sulit sekali berkembang dan mengalami pertumbuhan dan (b) wilayah tersebut sebenarnya memiliki potensi, baik sumberdaya alam atau lokasi maupun memiliki keduanya, tetapi tidak dapat berkembang dan bertumbuh karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah lain. Alkadri et.al. (2001 b ) mengatakan bahwa pengembangan wilayah pada umumnya mencakup berbagai dimensi pembangunan yang dilaksanakan secara bertahap. Pada tahap awal, kegiatan pengembangan wilayah biasanya ditekankan pada pembangunan fisik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kemudian diikuti dengan pembangunan sistem sosial dan politik. Namun begitu, tahapan ini bukan merupakanlah merupakan suatu ketentuan yang baku, karena setiap wilayah mempunyai potensi pertumbuhan yang berbeda dengan wilayah lain. Potensi sumberdaya alam, kondisi sosial, budaya, ekonomi masyarakat, ketersediaan infrastruktur dan lain-lain sangat berpengaruh pada penerapan konsep pengembangan wilayah yang digunakan. 2.2. Sektor-Sektor Unggulan Di Indonesia pembangunan ekonomi secara umum dibagi kedalam sembilan sektor dan untuk mengembangkan semua sektor tesebut secara bersamaan, diperlukan investasi yang sangat besar. Jika modal (investasi) tidak cukup, maka perlu ada penetapan prioritas pembangunan. Biasanya sektor yang mendapat prioritas tersebut adalah sektor unggulan yang diharapkan dapat mendorong (push factor) sektor-sektor lain untuk berkembang menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah (Rustiadi et. al 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Setiawan 7 menunjukan bahwa dampak dari pertumbuhan sektor unggulan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah lain (dampak 7 I Dewa Made Darma Setiawan: Peranan Sektor Unggulan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat; Pendekatan Input-Output Multiregional. ejournal.unud.ac.id/.../(5)%20soca-dharma%20setiawan-interehional%20io(1).pdf [April 2010]

17 interregional) masih sangat kecil pengaruhnya dibandingkan dengan dampak intraregional. Sejalan dengan penentuan sektor unggulan, James dan Movshuk (2003) mengatakan bahwa keunggulan komparatif suatu wilayah dapat pula dipengaruhi oleh kedekatan ekonomi wilayah-wilayah tersebut. Secara garis besar, menurut Rustiadi et. al. (2009); Widodo (2006); Tarigan (2005), sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis (leading sector) dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya industri basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah/daerah. Sedangkan sektor non-basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri dan kapasitas ekspor daerah belum berkembang. Rustiadi et. al. (2009), lebih lanjut mengatakan bahwa pembangunan terhadap sektor basis (leading sector) didasarkan pada dua kerangka konseptual pembangunan wilayah yang dipergunakan secara luas. Pertama, konsep basis ekonomi; konsep ini terutama dipengaruhi oleh kepemilikan masa depan terhadap pembangunan daerah (dalam konteks nasional adalah merkantilisme). Teori basis ekonomi beranggapan bahwa permintaan terhadap input hanya dapat meningkat melalui perluasan permintaan terhadap output yang diproduksi oleh sektor basis (ekspor) dan sektor non basis (lokal). Permintaan terhadap produksi sektor lokal hanya dapat meningkat bila pendapatan lokal meningkat. Tetapi peningkatan pendapatan ini hanya terjadi bila sektor basis (ekspor) meningkat. Oleh karena itu, menurut teori basis ekonomi, ekspor daerah merupakan faktor penentu dalam pembangunan ekonomi. Kedua, konsep beranggapan bahwa perbedaan tingkat imbalan (rate of return) adalah lebih dibawakan oleh perbedaan dalam lingkungan dari atau prasarana, dari pada ketidakseimbangan rasio modal-tenaga. Dalam kerangka pemikiran ini, daerah terbelakang bukan karena tidak beruntung atau karena kegagalan pasar, tetapi karena produktifitasnya yang rendah. Oleh karena itu investasi dalam prasarana adalah penting sebagai sarana pembangunan daerah. Namun demikian, tidak seperti pendekatan basis ekonomi, tidak banyak terdapat

18 studi empirik dengan menggunakan konsep kedua ini. Hal ini disebabkan karena kelangkaan data (terutama mengenai stok barang modal). Dengan demikian, penentuan sektor unggulan dapat didasarkan pada kriteria sebagai berikut: 1. Share terhadap PDRB : suatu sektor dikatakan unggul jika memberikan kontribusi minimal 10%, sedangkan sub sektor minimal 2,5% 2. Nilai LQ : sektor/sub sektor dikatakan unggul jika mempunyai nilai LQ>1 3. Pertumbuhan PDRB : suatu sektor dikatakan unggul jika mengalami rata-rata pertumbuhan minimal 5% per tahun dan terus mengalami pertumbuhan positif setidaknya pada tiga (3) tahun, atau menglami kenaikan pada dua (2) tahun terakhir secara berturut-turut. 4. Selisih antara pertumbuhan share sektor/sub sektor terhadap PDRB wilayah kajian dan wilayah yang lebih besar bernilai positif. Metode LQ (location quontient) dan SSA (shift share analysis) merupakan dua metode yang sering dipakai sebagai indikator sektor basis. Untuk mengetahui potensi aktifitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan bukan basis dapat digunakan metode LQ, yang merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Asumsi dalam LQ adalah terdapat sedikit variasi dalam pola pengeluaran secara geografi dan produktifitas tenaga kerja seragam serta masing-masing industri menghasilkan produk atau jasa yang seragam. Berbagai dasar ukuran pemakaian LQ harus harus disesuaikan dengan kepentingan penelitian dan sumber data yang tersedia. Jika penelitian dimaksudkan untuk mencari sektor yang kegiatan ekonominya dapat memberikan kesempatan kerja sebanyak-banyaknya maka yang dipakai sebagai dasar ukuran adalah jumlah tenaga kerja sedangkan bila keperluannya untuk menaikan pendapatan daerah, maka pendapatan merupakan dasar ukuran yang tepat dan bila hasil produksi maka jumlah hasil produksi yang dipilih. LQ juga menunjukan efisiensi relatif wilayah, serta terfokus pada subtitusi impor yang potensial atau produk dengan potensi ekspansi ekspor. Hal ini akan memberikan gambaran tentang industri mana yang terkonsentrasi dan industri mana yang tersebar (Rustiadi et. al. 2009; Bendavil-Val, 1991). Secara operasional, LQ didefinisikan sebagai rasio persentase dari total aktifitas sub