DRAFT PIDATO KETUA MAHKAMAH AGUNG

dokumen-dokumen yang mirip
PIDATO KETUA MAHKAMAH AGUNG PADA PEMBUKAAN RAPAT KERJA NASIONAL KETUA MAHKAMAH AGUNG DENGAN PENGADILAN TINGKAT BANDING SE INDONESIA

AMANAT KETUA MAHKAMAH AGUNG RI PADA HARI JADI MAHKAMAH AGUNG KE Agustus 2014

CAPAIAN MAHKAMAH AGUNG DI TAHUN 2011

2. Masing-masing kamar dipimpin Ketua Kamar yang ditunjuk oleh Ketua MA.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. KONDISI UMUM

SAMBUTAN PELANTIKAN KETUA PENGADILAN TINGKAT BANDING Jakarta, 28 JULI 2017

RENCANA STRATEGIS PENGADILAN NEGERI MUARA TEWEH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

PENGADILAN NEGERI SAMBAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

RENCANA KERJA TAHUNAN PENGADILAN NEGERI

Mencapai Tujuan Penerapan Sistem Kamar yang Ideal

Unduh dalam bentuk berkas suara (MP3)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

KETUA PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT

MAKALAH ARAH REFORMASI PERADILAN BLUE PRINT PENGEMBANGAN MAHKAMAH AGUNG RI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

RENCANA KINERJA TAHUNAN PENGADILAN NEGERI MUARA TEWEH TAHUN ANGGARAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN NEGERI SEKAYU

Bab I Pendahuluan. Pembangunan Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 menetapkan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

KATA PENGANTAR. dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan Review Dokumen Rencana Strategis

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) TAHUN MAHKAMAH SYAR IYAH LHOKSUKON. Jl. Imam Bonjol No 1 Lhoksukon

BAB I PENDAHULUAN A. KONDISI UMUM

REVIU RENSTRA

PENGADILAN MILITER III-17 MANADO Jln. SamRatulangi No. 16 Manado No. Telp/Fax ;

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

Purwodadi, 29 Januari 2016 KETUA PENGADILAN NEGERI PURWODADI R.HENDRAL,SH.MH NIP H a l i

Oleh : Octiawan Basri

PEN NGADILAN NEGE ERI MANNA

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) TAHUN HASIL REVIU PENGADILAN NEGERI BANGLI. Jl. Brigjen Ngurah Rai No. 61

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN NEGERI GIANYAR TAHUN

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) TAHUN PENGADILAN AGAMA KEBUMEN

Jl. Pengadilan No.8, Telp/Fax : (061) , P.O Box 1247 Medan 20112

LKjIP PA Watampone Tahun BAB I PENDAHULUAN

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. KONDISI UMUM

BAB I PENDAHULUAN A. KONDISI UMUM

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2010 TENTANG DISIPLIN PEGAWAI NEGERI SIPIL

2017, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Neg

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 05 TAHUN 2008 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN AGAMA DEMAK

Sasaran Strategis I Terwujudnya proses peradilan yang pasti, transparan dan akuntabel. Indikator Kinerja Target Realisasi

menjadi kewenangan Pengadilan Negeri, Hubungan Industrial dan Tindak Pidana Korupsi Yogyakarta Kelas IA. Pengadilan Negeri, Hubungan Industrial dan

RENSTRA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA MAKASSAR

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RENSTRA PENGADILAN AGAMA JAKARTAA PUSAT

PENGADILAN NEGERI BANGKINANG

KATA PENGANTAR. lingkungan yang terus berubah, yakni lingkungan internal dan eksternal.

BAB I PENDAHULUAN A. KONDISI UMUM

Rencana Strategis (Renstra) Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. KONDISI UMUM.

DAFTAR ISI. Halaman Sampul... Kata Pengantar... Daftar Isi... BAB I. Pendahuluan A. Latar Belakang B. Tugas dan Fungsi...

Disampaikan oleh : Timur P. Manurung, SH., MM Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung R.I.

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

RENSTRA PENGADILAN AGAMA JENEPONTO RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) TAHUN

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) PENGADILAN NEGERI SEMARAPURA

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sistem peradilan membawa perubahan yang mendasar bagi peran

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.155, 2009 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5074)

Reviuw Renstra Pengadilan Agama Tebing Tinggi BAB I PENDAHULUAN

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) TAHUN

2017, No tentang Kode Etik Pegawai Badan Keamanan Laut; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembara

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. KONDISI UMUM

2015, No Mengingat : 1. Pasal 24B Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun

KATA PENGANTAR. Barru, 20 Januari 2014 PENGADILAN NEGERI BARRU Wakil Ketua K A Y A T, SH, MH NIP

1.1. Kondisi Umum Potensi dan Permasalahan 5 DAFTAR ISI. Hal BAB II VISI, MISI DAN TUJUAN Visi Misi

PENGADILAN NEGERI SLAWI RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) TAHUN JL. A. YANI NO. 99 PROCOT, SLAWI

RENCANA STRATEGIS TAHUN

AGENDA. I. Reformasi Birokrasi dan Reformasi Peradilan. Hasil penilaian TQA RB Tindak lanjut Reformasi Peradilan: visi ke depan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sistem peradilan membawa perubahan yang mendasar bagi

KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) TAHUN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

ROADMAP RENCANA PENGEMBANGAN SISTEM PENELUSURAN INFORMASI PERKARA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TAHUN

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) TAHUN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

BAB I PENDAHULUAN A. KONDISI UMUM

dibidang Administrasi, Organisasi, Perencanaan dan Keuangan. Pengadilan Negeri Wonosari, merupakan lingkungan Peradilan Umum di bawah Mahkamah Agung

Transkripsi:

DRAFT PIDATO KETUA MAHKAMAH AGUNG PEMBUKAAN RAPAT KERJA NASIONAL KETUA MAHKAMAH AGUNG DENGAN PENGADILAN TINGKAT BANDING SE INDONESIA Manado, 29 Oktober 2012 Tema Pemantapan Sistem Kamar untuk Mewujudkan Kesatuan Hukum dan Meningkatkan Profesionalisme Hakim Bismillaahirrahmaanirrahiim Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh Yang Mulia, Para Wakil Ketua Mahkamah Agung RI Yang Mulia, Para Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI Yang Terhormat Bapak Gubernur Sulawesi Utara Yang Terhormat Ketua DPRD Sulawesi Utara Yang Terhormat Anggota Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Sulawesi Utara, Yang saya cintai para Ketua dan Wakil Pengadilan Tingkat Banding, dari empat lingkungan peradilan berikut para Panitera Sekretaris, Hadirin, peninjau, dan khalayak yang saya hormati, Tidak terasa bahwa Rakernas akbar peradilan tahun 2011 di Jakarta telah berlalu genap satu tahun, dan Rakernas kali ini adalah Rakernas ke- tiga sejak Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035 diluncurkan di Rakernas Palembang. Saya rasa kita semua setuju, bahwa pada dasarnya waktu selalu berada didepan mereka yang tidak awas dan tidak waspada, serta sering membuang- buang waktu mereka dari kesempatan berbuat kebaikan, baik bagi diri mereka, organisasi, dan bangsa ini. Masih terngiang di kepala saya, Visi yang dicanangkan pada rakernas Palembang 2010, yaitu Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung melalui pelaksanaan empat Misi, yaitu (1) Menjaga kemandirian badan peradilan; (2) Memberikan pelayanan hukum 1

yang berkeadilan kepada pencari keadilan; (3) Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan (4) Meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan. Selain itu perlu saya ingatkan kembali akan nilai- nilai yang kita junjung dalam mewujudkan visi dan misi kita ini, yaitu (1) Kemandirian kekuasaan kehakiman; (2) Integritas dan Kejujuran; (3) Akuntabilitas; (4) Responsibilitas; (5) Keterbukaan; (6) Ketidak- berpihakan; dan (7) Perlakuan yang sama di hadapan hukum. Terdapat 7 (tujuh) area yang perlu kita fokuskan untuk mewujudkan visi dan misi pengadilan, yaitu (1) adanya Kepemimpinan (leadership) yang tinggi dan manajemen pengadilan yang responsif, (2) adanya; Kebijakan- kebijakan pengadilan yang beroritentasi pada pelayanan publik dan akses pada keadilan; (3) adanya Sumberdaya manusia yang berkualitas dan berintegritas serta sarana prasarana dan anggaran yang memadi; (4) adanya Penyelenggaraan persidangan yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel; (5) terpenuhinya kebutuhan dan tercapainya kepuasan pengguna pengadilan; (6) tersedianya pelayanan pengadilan yang terjangkau; serta (7) meningkatnya kepercayaan dan keyakinan masyarakat pada pengadilan. Adalah waktu yang tepat pula saya rasa, apabila kesempatan Rakernas ini kita juga melakukan refleksi ulang terhadap sejauh mana kita semua telah menggunakan waktu dan sumber daya kita selama ini dengan bijak demi perwujudan visi dan misi organisasi kita. Saya pikir ini kesempatan yang sangat baik untuk memikirkan ulang, tiga tahun telah berlalu, apakah kita puas dengan bagaimana cara kita menggunakan waktu dan semua daya upaya kita dalam mewujudkan visi dan misi badan peradilan? Rakernas kali ini mengambil tajuk Pemantapan Sistem Kamar untuk Mewujudkan Kesatuan Hukum dan Meningkatkan Profesionalisme Hakim. Perlu dicatat, bahwa untuk mewujudkan visi Badan Peradilan Indonesia yang Agung yang didukung dengan kepecayaan publik yang tinggi diperlukan adanya pembenahan menyeluruh atas cara kerja sistem peradilan, atau lazimnya dikenal dengan istilah business process reengineering, sehingga cara kerja dan pelayanan peradilan kita bisa menjadi lebih optimal. Salah satu elemen penting dalam business process reengineering ini adalah sistem kamar yang efektif dan konsisten, yang akan menjamin kepastian hukum dan keadilan. Sistem kamar telah efektif dimulai sejak awal 2012. Sampai saat ini telah cukup banyak peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, diawali dengan SK KMA Nomor 142 tahun 2011 tentang Pedoman Implementasi Sistem Kamar disahkan pada September 2011, infrastruktur sistem kamar terus disempurnakan dengan antara lain, SK KMA 143 tahun 2

2011 tentang Penunjukan Ketua Kamar Dalam Sistem Kamar Pada Mahkamah Agung Republik Indonesia, SK KMA Nomor 144 tahun 2011 tentang Penunjukan Hakim Agung Sebagai Anggota Kamar Perkara Dalam Sistem Kamar Pada Mahkamah Agung Republik Indonesia, SK KMA Nomor 164 tahun 2011 Pemberian Nama Tim Pada Kamar- Kamar Perkara Pada Mahkamah Agung Republik Indonesia, dan terakhir SK 142 sendiri disempurnakan melalui SK KMA Nomor 017 tahun 2012 tentang Perubahan Pertama SK KMA Nomor 142/KMA/SK/IX/2011 Tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar Pada Mahkamah Agung. Kesemuanya menunjukkan sebagai komitmen Mahkamah Agung untuk terus mempersiapkan diri untuk melaksanakan sistem kamar dengan seoptimal mungkin dan berkelanjutan. Dalam melakukan business process re- engineering ini, Mahkamah Agung menetapkan 4 (empat) prioritas program di sektor teknis peradilan yang harus dituntaskan pada tahun 2014. Secara lengkap, prioritas pembaruan pada sektor teknis peradilan meliputi Pembatasan Perkara, Penyederhanaan Proses Berperkara, Penguatan Akses pada Keadilan dan Penerapan Sistem Kamar secara Konsisten. Sistem Kamar Pelaksanaan sistem kamar pada prinsipnya bertujuan untuk mewujudkan keadilan melalui konsistensi putusan dengan meningkatkan profesionalisme hakim dalam memutus. Mahkamah Agung melakukan hal ini melalui pengelompokan hakim berdasarkan asal lingkungan peradilan, pengalaman, dan/atau latar belakang pendidikan formal, distribusi perkara yang lebih ketat kepada kamar yang relevan, proses pengambilan keputusan yang lebih kolektif serta proses yang lebih transparan dan akuntabel dalam hal ada ketidak sepakatan diantara hakim majelis. Dengan sistem ini maka perkara- perkara sejenis akan ditangani oleh kelompok hakim agung yang sama, dan dengan sendirinya diharapkan dapat menekan disparitas antar putusan dan mendorong percepatan proses pemeriksaan perkara itu sendiri, yang pada gilirannya akan meningkatkan kepercayaan publik dan citra badan peradilan. Kita harus memahami dimensi pentingnya memberikan kepastian hukum yang berkeadilan dalam proses peradilan. Ketidakpastian hukum membawa ongkos sosial yang sangat tinggi, baik bagi individu maupun bagi negara. Tidak adanya kepastian mengenai apa yang akan diputus pengadilan terhadap suatu masalah berpotensi untuk menjadikan proses peradilan menjadi sedemikian panjang, karena para pihak akan selalu terdorong untuk mencoba melakukan upaya hukum, ketimbang menerima dan mempercayai putusan pengadilan 3

tingkat pertama maupun banding. Dalam banyak kesempatan diskusi, banyak pihak memandang bahwa Pengadilan pada tingkat kasasi/ Peninjauan Kembali adalah simbol pemenuhan hak asasi, dimana hal ini bergeser dari ide dasar pembentukan pengadilan kasasi itu sendiri, yaitu menyelesaiakan sengketa mengenai pertanyaan hukum (judex juris- question of law), bukan pertanyaan mengenai fakta (judex facti- question of fact), sehingga dapat menjaga dan memelihara kesatuan hukum. Pemikiran seperti ini akan cenderung memperlambat penyelesaian perkara, yang artinya makin lama pula pencari keadilan memperoleh haknya, yang apabila tidak diwaspadai akan berpotensi menciptakan lahan subur bagi para pemburu rente yang hanya bertujuan memperoleh keuntungan pribadi dari panjangnya proses berperkara. Adagium justice delayed justice denied (penundaan keadilan adalah penolakan keadilan) benar- benar akan terjadi. Sistem kamar dilaksanakan melalui pembangunan dua hal, yaitu mekanisme koordinasi dan mekanisme pengelolaan pengetahuan yang keduanya bertujuan untuk mencapai kesatuan hukum. SK sistem kamar memperkenalkan mekanisme rapat pleno kamar. Rapat pleno kamar penting dalam menjamin konsistensi, karena disinilah forum pembentukan preseden terjadi. Perlu dicatat, bahwa mekanisme pleno ini pun tidak sepenuhnya baru, karena pada jaman awal periode Mahkamah Agung pada tahun 60an sampai awal 70an, para hakim agung- pun bersidang secara pleno, hal mana masih dimungkinkan, karena jumlah perkara yang sedikit, sehingga institusionalisasi rapat pleno kamar merupakan elemen yang sangat penting bagi kepastian hukum dan implementasi sistem kamar. Selain itu mekanisme pleno ini pun sudah di kenal di negara- negara lainnya yang menerapkan sistem kamar pada Mahkamah Agungnya. Rapat pleno kamar sendiri dibagi menjadi dua jenis, yaitu Rapat Pleno Rutin dan Rapat Pleno Perkara. Rapat pleno Rutin wajib dihadiri oleh seluruh Hakim Agung, Panitera, Panitera Muda, Panitera Muda Tim, Panitera Pengganti dan Koordinator Sub Kamar di kamar tersebut. Sementara itu Rapat Pleno Perkara dilaksanakan pada kamar masing- masing untuk membahas perkara- perkara sebagai berikut: 1. Peninjauan Kembali (PK) yang akan membatalkan putusan tingkat kasasi, 2. Perkara yang pemeriksaannya dilakukan secara terpisah dan diperiksa oleh majelis hakim yang berbeda dan kemungkinan penjatuhan putusan yang berbeda, 3. Dalam hal terdapat dua perkara atau lebih yang memiliki permasalahan hukum yang serupa yang ditangani oleh Majelis Hakim Agung yang berbeda dengan pendapat hukum yang berbeda atau saling bertentangan, 4. Memerlukan penafsiran yang lebih luas atas suatu permasalahan hukum, 4

5. Adanya perubahan terhadap jurisprudensi tetap, 6. Ketua Majelis yang berbeda pendapat dengan dua orang anggotanya dalam perkara yang menarik perhatian masyarakat, atau 7. Alasan lain yang dianggap penting. Mahkamah Agung memandang penting masalah kepastian hukum ini, namun di sisi lain juga memahami bahwa ada masalah kemandirian yang tidak bisa begitu saja dikesampingkan, sehingga sifat kepatuhan majelis terhadap hasil keputusan pleno adalah bersifat selektif, dalam aturan sistem kamar ini disebutkan bahwa Putusan Rapat Pleno Perkara sedapat- dapatnya ditaati oleh majelis hakim. Tentunya jalan seperti dissenting opinion sesuai dengan Pasal 30 ayat (2) UU Mahkamah Agung masih bisa ditempuh oleh salah seorang hakim yang tidak setuju terhadap hasil putusan Rapat Pleno Perkara, namun dalam hal keseluruhan majelis tidak setuju terhadap hasil Rapat Pleno Perkara, maka anggota majelis yang tidak setuju dengan putusan Rapat Pleno Perkara, dapat mengajukan pengunduran diri atas perkara tersebut dan terhadap perkara tersebut akan ditunjuk majelis hakim baru. Selain Rapat Pleno Kamar, maka sistem ini juga memungkinkan dilakukannya Rapat Pleno Antar Kamar, dalam hal terdapat perkara yang mengandung masalah hukum yang menjadi wilayah 2 (dua) kamar atau lebih sekaligus. Rapat Pleno Antar Kamar diusulkan oleh salah satu Ketua Kamar dan disampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung; atau ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung untuk perkara permohonan grasi, permohonan fatwa, hak uji materil, dan sengketa kewenangan antar lingkungan peradilan. Rapat Pleno Antar Kamar dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung atau Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial. Dalam konteks pengelolaan pengetahuan (knowledge management), bagi setiap perkara yang putusannya mengabulkan permohonan kasasi, maka Panitera Pengganti wajib menyusun risalah putusan dan memasukkannya dalam database elektronik. Risalah merupakan hal yang penting, karena hal ini merupakan elemen pendukung dari konsistensi, karena dari sinilah pengetahuan bisa disimpan, dikelola, dan dibagi ke para hakim dan siapapun yang memerlukan. Selama ini Mahkamah Agung memang telah melakukan capaian luar biasa dengan publikasi putusan, namun ternyata itu belum cukup. Dengan puluhan ribu putusan tersedia untuk diakses, timbul masalah lain, yaitu membedakan mana putusan yang lebih penting dibanding lainnya, sehingga perlu diketahui oleh hakim lain. Pada organisasi lama, kita memiliki Kepala Seksi Kaedah Hukum pada masing- masing Direktorat Perkara sebagai penanggung jawab pengelolaan pengetahuan ini, namun tupoksi ini tidak muncul di 5

struktur baru, yang dalam hal ini perlu dipikirkan, siapa di kepaniteraan Mahkamah Agung bertanggung jawab hal ini akan dijalankan, dan bagaimana dukungan sumber dayanya. Saudara saudara sekalian, Bulan September lalu ada dua kebijakan penting yang saya tandatangani terkait dengan sistem kamar, yaitu SK KMA Nomor 106/KMA/SK/IX/2012 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Penyusunan Rencana Aksi Implementasi Sistem Kamar Pada Mahkamah Agung RI. Pokja ini memiliki tiga mandat, sebagai berikut : 1. Melaksanakan kajian secara komprehensif dalam rangka menyusun kebijakan yang diperlukan untuk penerapan Sistem Kamar; dan 2. Menyusun rekomendasi rencana aksi implementasi sistem kamar di Mahkamah Agung sampai dengan tahun 2014; 3. Melaksanakan kegiatan sesuai dengan rencana kerja yang sudah disepakati. Pembentukan pokja ini dimaksudkan agar pelaksanaan sistem kamar yang dicanangkan sejak awal, bisa sepenuhnya dipetakan pelaksanaannya, dan pada gilirannya dapat terlaksana dengan baik dan sesuai harapan kita semua. Kebijakan kedua adalah SEMA Nomor 07 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. SEMA ini mengukuhkan bahwa hasil rapat pleno kamar, selain menjadi pedoman dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung, juga harus menjadi pedoman pelaksanaan tugas dalam proses penanganan perkara di pengadilan tingkat pertama dan banding sepanjang substansi rumusannya berkenaan dengan kewenangan peradilan tingkat pertama dan banding. Sehingga hal ini perlu dipahami oleh semua jajaran pimpinan dan segenap aparat peradilan, bahwa melalui sistem kamar, Mahkamah Agung mengharapkan agar apa yang dikerjakan oleh Kamar benar- benar dipahami sepenuhnya di lapangan dan benar- benar terefleksikan dalam proses peradilan tingkat pertama dan banding. Selanjutnya, dalam Rapat komisi- komisi pada Rakernas, juga akan disampaikan hasil- hasil dari rapat pleno yang telah dicapai. Akses pada Keadilan Tahun ini Mahkamah Agung kembali telah cukup banyak membuat kebijakan fundamental yang bertujuan untuk membuka pintu lebih luas bagi akses masyarakat terhadap keadilan yang lebih cepat, sederhana dan berbiaya ringan. 6

Pertama, Perma Nomor 2 Tahun 2012 mengenai Penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP meredefinisi ulang nilai kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan pasal 482 KUHP sehingga batasan kategori tindak pidana ringan disesuaikan dengan nilai ekonomis yang berlaku saat ini. Dengan Perma ini, pelaku tindak pidana yang melanggar pasal- pasal yang saya sebut tadi, dan nilai kerugiannya dibawah Rp.2,500,000 harus diproses melalui acara singkat, tidak perlu ditahan, melainkan secepat mungkin dilimpahkan ke pengadilan, dan Ketua Pengadilan akan menetapkan acara singkat, dimana perkara cukup disidang oleh hakim tunggal, dan diberi putusan segera. Perma ini tidak dimaksudkan untuk menghilangkan pemidanaan penjara bilamana terdakwa telah terbukti bersalah dan sesuai dengan rasa keadilan memang harus dikenakan hukuman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Hal ini pastinya akan lebih memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, seraya menghindari kritikan masyarakat akibat proses persidangan yang sering dituding tidak proporsional, padahal hal ini semata- mata disebabkan oleh telah sudah tidak relevannya produk aturan hukum pidana di negeri ini, dan bukannya absennya hatinurani badan peradilan terhadap keadilan masyarakat. Saya mencatat bahwa di lapangan masih banyak kesulitan dalam implementasinya, khususnya mengingat aturan ini melibatkan instansi diluar Mahkamah Agung, yaitu kejaksaan, kepolisian, dan Kementrian Hukum dan HAM. Masih ada kebutuhan untuk mensinkronisasi pemahaman antar instansi tersebut untuk memastikan operasionalisasi Perma Nomor 02 Tahun 2012 ini. Perlu saya informasikan, bahwa tanggal 17 Oktober 2012 lalu, suatu nota kesepahaman antara keempat lembaga mengenai hal ini telah ditanda tangani di Mahkamah Agung, harapan saya adalah, kesepahaman ini bisa membantu membawa keadilan yang lebih baik bagi masyarakat melalui proses penanganan perkara tindak pidana ringan yang lebih operatif. Kedua, Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI nomor 06 Tahun 2012 tentang Pengesahan Akta Kelahiran yang Terlambat Satu Tahun. Surat edaran ini dikeluarkan setelah melalui konsultasi intensif dengan pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya. Pada awalnya ini merupakan upaya untuk mengoperasionalisasi perintah Pasal 32 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan jo Pasal 65 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil yang menyatakan bahwa Pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu 1 (satu) tahun dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri. 7

Namun ternyata masalahnya tidak se- sederhana itu. Masih banyak penduduk yang belum memiliki Akta Kelahiran, Data Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik Tahun 2005 menunjukkan, bahwa hanya 42,82 persen penduduk Indonesia yang memiliki akta kelahiran, dan tidak sedikit dari mereka ini merupakan bagian dari kelompok miskin- marginal, yang memiliki kesulitan dalam mengakses keadilan, padahal akta kelahiran adalah dokumen yang amat penting bagi warga negara. Karena selain merupakan hak dasar warga negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan, akta kelahiran merupakan syarat dasar bagi akses terhadap banyak pelayanan negara, misalnya untuk masuk sekolah, mengikuti Ujian Nasional, membuat paspor, dan lain sebagainya. Pada intinya SEMA ini Memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mengajukan permohonan penetapan pengadilan tentang pencatatan kelahiran melalui proses peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan, melalui beberapa kebijakan, yaitu Pengajuan permohonan secara kolektif, Selain prosedur normal pengajuan permohonan ke Pengadilan, maka dimungkinkan bagi pemerintah daerah untuk mengkoordinasikan pengajuan permohonan tersebut. Pemanggilan secara kolektif Dilakukan untuk menghapus/mengurangi komponen biaya perkara untuk pemanggilan pemohon, hal ini dilakukan dengan cara Juru sita menyerahkan relaas panggilan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk dikoordinasikan oleh Dinas. Pelaksanaan sidang keliling bekerjasama dengan pemerintah daerah, Dilakukan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat marginal dalam mengikuti sidang pemeriksaan permohonan dan bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dan instansi lainnya yang terkait Pembebasan biaya perkara Pemohon yang tidak mampu dapat mengajukan pembebasan biaya perkara yang pelaksanaannya merujuk pada SEMA No.10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum Upaya untuk memastikan proses penetapan dan pencatatan dalam satu hari 8

Dilakukan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat dengan penerapan proses yang cepat melalui pelaksanaan penetapan dan pencatatan pada hari yang sama Pengadilan Negeri bekerja sama dengan instansi pelaksanaan sidang dan pencatatan lain yang berkaitan dengan Sehingga diharapkan agar kerja pemerintah dalam menjamin hak- hak dasar warganya bisa lebih mudah terlaksana Tidak lama setelah pengesahan SEMA ini, tanggal 19 September lalu Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 471-11/3647- SJ tentang Penetapan Pencatatan Kelahiran yang pada intinya menekankan komitmen pemerintah untuk memberikan dukungan terhadap operasionalisasi SEMA ini, melalui penyiapan data yang diperlukan, termasuk pendanaan yang dibutuhkan, sampai ke pelaporannya. Saya mendapat laporan, bahwa di beberapa pengadilan- ternyata dimungkinkan untuk dilakukan pelayanan satu atap berikut pelayanan hari yang sama (one stop- one day service) untuk pelayanan akta kelahiran yang terlambat ini, dalam artian pemohon cukup datang satu hari dan pulang sudah membawa akta kelahiran. Saya sangat mendukung terobosan dan inovasi ini, dan saya pikir tidak bertentangan dengan kebijakan SEMA 06 Tahun 2012, bahkan apabila memungkinkan, praktek terbaik seperti ini bisa cepat direplikasi. Karena hal ini akan sangat penting untuk terus menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap peran badan peradilan. Saya instruktsikan agar setiap Ketua Pengadilan Tinggi memastikan bahwa hal ini dilaksanakan di pengadilan tingkat pertama di bawah yurisdiksinya. Selanjutnya saya minta kepada Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum agar memberikan dukungan secara optimal serta memonitor dan melaporkan kepada saya pelaksanaan dan kendala- kendala dari pelaksanaan SEMA ini Terkait dengan masalah akses terhadap keadilan, maka segenap badan peradilan hendaklah untuk benar- benar bisa memahami dan mempersiapkan diri menyambut keberlakuan Undang- undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Dengan Undang- undang tersebut, maka kewenangan untuk mengelola pendanaan bantuan hukum secara resmi beralih ke pemerintah melalui Kementrian Hukum dan HAM, hal mana akan efektif berlaku pada tahun 2013 yang akan datang. Namun perlu dicatat, bahwa 9

pengelolaan bantuan hukum hanyalah satu diantara beberapa aspek bantuan hukum yang diatur dan dikelola oleh pengadilan. Pasal 57 Undang- undang No. 48 tahun 2009 jo pasal 68 C ayat (1) UU No. 49 tahun 2009 jo pasal 60 C ayat (1) UU No. 50 tahun 2009 jo pasal 144 D UU No. 51 tahun 2009 menegaskan bahwa pada setiap pengadilan dibentuk Pos Bantuan Hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum. Selain itu SEMA Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Bantuan Hukum di Pengadilan juga mengatur bahwa selain pemberian bantuan hukum, maka dalam rangka pemberian bantuan hukum, pengadilan juga melaksanakan sidang keliling, pembebasan biaya perkara pada perkara pidana dan perkara perdata, dan zitting plaats. Masalahnya adalah, bagaimana memastikan, bahwa memasuki 2013, pelayanan bantuan hukum kepada masyarakat miskin pada pengadilan tetap harus bisa dilaksanakan. Bagaimana Pos Bantuan Hukum pada pengadilan negeri maupun pengadilan agama dan juga penyelenggaraan prodeo, sidang keliling, zitting plaats bisa tetap berjalan. Hal ini akan krusial, karena tahun 2013- lah transisi pengelolaan bantuan hukum ke pemerintah dari yang sebelumnya dikelola Mahkamah Agung akan berlaku efektif. Apa yang akan diatur dan bagaimana mekanisme transisinya akan sangat bergantung kepada Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Bantuan Hukum yang merupakan peraturan delegasian dari UU Bantuan Hukum tersebut. Hal mana peradilan akan sangat memiliki kepentingan mengingat pada dasarnya bantuan hukum setidaknya memiliki tiga dimensi, pertama, bantuan hukum pada proses pra- peradilan (penyidikan dan penuntutan), kedua, bantuan hukum pada proses peradilan- yang mana relevan dengan proses yang berjalan pada peradilan itu sendiri, dan ketiga, fasilitasi perlindungan saksi dan korban. Apapun yang terjadi di tingkatan kebijakan, masyarakat hanya akan tahu bahwa pelayanan harus terus berjalan seperti biasa, apabila ada penurunan kualitas pelayanan, maka sudah dipastikan bahwa pengadilan- lah yang akan menerima dampak negatif dalam bentuk keluhan dan kritik masyarakat. Oleh karena itu kita harus memastikan bahwa segenap jajaran peradilan untuk siap memberikan pelayanan yang terbaik. Untuk itu saya instruksikan kepada para Direktur Jenderal Badan Peradilan untuk menyusun langkah konkrit berikut seluruh strategi yang diperlukan untuk memastikan tersalurkannya hak- hak masyarakat miskin secara optimal dengan mempertimbangkan ketersediaan anggaran dan hukum acara, dan Ketua Pengadilan tingkat banding, untuk memastikan bahwa agenda access to justice terlaksana di pengadilan dibawah pengawasannya. Di sisi Mahkamah Agung, saya telah membentuk suatu pokja yang dipimpin Ketua Muda Perdata untuk membantu pimpinan dalam menyusun kebijakan dalam hal ini, mengingat 10

signifikannya masalah yang dihadapi, dan lingkup sektoral yang terkena dampak. Tim akan memulai semuanya dengan memetakan permasalahan, dan menyusun rekomendasi posisi Mahkamah Agung, supaya kita bisa melihat masalah dengan lebih obyektif dan terstruktur, dan saya minta, para Direktur Jenderal untuk terus memberikan dukungan kepada kelompok kerja ini. Saya pikir, untuk keperluan ini penting untuk memastikan bahwa kualitas pelayanan publik dalam bantuan hukum bisa setara untuk semua badan peradilan. Hal ini harus digaris bawahi, karena sebagai suatu institusi, meskipun peradilan terdiri dari empat lingkungan, namun idealnya, kemanapun publik datang, maka ia akan memperoleh pelayanan yang sama kualitasnya, sehingga disinilah pentingnya memiliki suatu Standar Pelayanan Publik, ini bukan tugas enteng, namun harus diikhtiarkan oleh setiap pimpinan di unit kerja untuk mencapai hal ini. Penyederhanaan Proses Berperkara Sebagai bagian dari Business Process Reengineering, penyederhanaan proses berperkara telah bergulir secara gradual. Setidaknya di Mahkamah Agung, dalam waktu lima tahun terakhir kita sudah melihat banyak perubahan cara kerja, pengolahan informasi, pelaporan, keterbukaan dan akuntabilitas. Hal mana, saya akan terus dorong kepaniteraan Mahkamah Agung RI untuk melanjutkan proses tersebut, sambil menunggu suatu agenda Business Process Reengineering sistem penanganan perkara komprehensif pada Mahkamah Agung RI yang akan diusulkan oleh suatu tim kecil dibawah Kelompok Kerja Manajemen Perkara Mahkamah Agung RI yang terdiri dari beberapa asisten hakim pada kepaniteraan MARI. Tim ini telah secara komprehensif menjalani proses diskusi dan pembelajaran, bahkan sampai melihat bagaimana pengelolaan peradilan modern dilakukan di negara tetangga, dan pada akhir Desember ini akan memberikan laporan kepada pimpinan tentang pilihan langkah- langkah penyempurnaan yang mungkin dilakukan. Saya sendiri berharap agar ke depannya sistem penanganan perkara di Mahkamah Agung bisa dilakukan dengan suatu sistem berbasis teknologi, yang mampu membuat suatu sistem yang transparan, akuntabel dan yang paling penting, terukur, sampai ke elemen paling kecil, mengingat makin beratnya tantangan kerja ke depannya. 11

Sementara itu, di pengadilan tingkat pertama dan banding, saya berharap agar proses yang sama, juga bisa digulirkan. Hal ini penting, karena pengadilan tingkat pertama dan banding adalah ujung tombak pelayanan kita. Kita perlu memastikan bahwa kita bisa memberikan pelayanan yang optimal. Upaya terintegrasi dan terstruktur perlu dilakukan untuk melakukan hal ini. Sistem kerja manajemen perkara kita merupakan sistem yang dibangun hampir 40 tahun yang lalu. Saya pikir kita tidak bisa untuk terus terjebak ke dalam sindrom uji- coba (piloting), sudah lebih dari lima tahun saya mendengar berbagai inisiatif uji coba disana- sini, lalu mau kemana kita? Kita harus maju, kita harus lakukan modernisasi cara kerja, meningkatkan profesionalisme aparat, akuntabilitas dan transparansi secara terstruktur dan sistematis, supaya apa yang diujicobakan bisa benar- benar menjadi sistem yang ajeg dan secara seragam dipakai sebagai bagian dari penyempurnaan sistem kerja. Tentunya ini tidak sederhana, karena kita memiliki 842 satuan kerja di seluruh Indonesia, dan untuk memastikan langkah bisa terwujud maka Direktur Jenderal Badan Peradilan adalah pejabat yang bertanggung jawab dalam hal ini. Segerakan untuk merampungkan konsep penyempurnaan ini. Tuangkan konsep perubahan sistem kerja yang kalau perlu, radikal- sepanjang untuk kebaikan dan penyempurnaan pelayanan publik, pastikan bahwa kita memiliki sistem tunggal yang seragam, untuk memudahkan replikasi ke depannya. Untuk itu saya harapkan agar Ketua Muda Pembinaan bisa mengkoordinasikan para direktur jenderal Badan peradilan untuk menjalin kemitraan strategis dengan pemangku kepentingan internal maupun eksternal untuk mendorong hal ini. Jangan ragu untuk menggandeng unit Teknologi Informasi pada Biro Hukum Humas Badan Urusan Administrasi, PusLitbang Kumdil, sampai Badan Pengawasan, selain juga donor, masyarakat sipil dan para ahli lain yang mampu dan mau mengkontribusikan pemikiran, pengalaman, dan sumber dayanya untuk menyempurnakan sistem kerja manajemen perkara di peradilan tingkat pertama dan banding kita. Pembatasan Perkara Terkait dengan pembatasan perkara, kita semua mengetahui bahwa saat ini RUU Mahkamah Agung yang tengah dibahas di DPR memuat salah satunya pada pasal 56, beberapa parameter pembatasan perkara, yang bertujuan untuk memperketat batasan pada pasal 45 A UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Tentunya ini perlu kita perjuangkan sesuai dengan kerangka fungsi utama Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan Kasasi. Mahkamah Agung harus secara intensif terlibat dalam proses legislasi ini, karena pembatasan perkara adalah hal yang penting bagi Mahkamah Agung, dalam waktu kurun 7 tahun terakhir kita telah melihat peningkatan jumlah perkara masuk ke 12

Mahkamah Agung telah melebihi 70%, ini merupakan masalah serius, oleh karenanya saya ingin agar agenda pembatasan perkara haruslah berwawasan makro, dan tidak sekedar pemikiran pragmatis belaka. Jangan sampai kita lalai untuk terlibat, karena kita akan terikat. Disamping itu, saya juga ingin terus mendorong kebijakan- kebijakan yang secara tidak langsung membatasi naiknya perkara. Antara lain melalui intensifikasi mediasi, penyempurnaan rezim class action dan pengembangan konsep small claim court. Saat ini Mahkamah Agung telah menyiapkan langkah- langkah untuk mengembangkan kedua hal tersebut. Suatu kelompok kerja telah saya bentuk dan telah ada kerjasama strategis dengan Federal Court dan Family Court of Australia untuk terus membicarakan peluang penyempurnaan rezim mediasi, class action, dan small claim court pada sistem hukum kita yang telah dituangkan dalam lampiran Nota Kesepahaman MA- Federal Court of Australia dan Family Court of Australia yang ditandatangani 3 Oktober 2012 lalu di Brisbane. Dengan tiga hal ini, saya berharap agar keadilan bisa lebih cepat diberikan kepada masyarakat pencari keadilan. Saudara- saudara sekalian Pengundangan Undang- undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), membawa era baru dalam rezim perlindungan anak- anak kita. Pada prinsipnya UU ini baru akan berlaku tanggal 30 Juli 2014, namun banyak hal- hal yang perlu kita siapkan sejak sedini mungkin. Meskipun pasal 100 UU tersebut memuat ketentuan yang cenderung bertentangan dengan kemandirian kehakiman, namun UU ini perlu dilihat sebagai upaya untuk menjamin perlindungan yang lebih baik kepada anak- anak kita. Saya yakin bahwa hakim yang profesional, teliti, dan bertanggung jawab tidak akan pernah terkena ketentuan pasal tersebut. Tetapi alangkah baiknya apabila sanksi pidana dalam UU tersebt dipertimbangkan kembali untuk menunjukkan bahwa sistem hukum kita benar- benar menjunjung tinggi kekuasaan kehakiman yang merdeka. Oleh karena itu Mahkamah Agung juga bertanggung jawab untuk memastikan bahwa seluruh hakim- hakimnya mampu memahami, dan mengimplementasikan ketentuan dalam UU SPPA tersebut. Undang- undang memerintahkan bahwa pada tahun 2017 pengadilan harus sudah memiliki setidaknya satu orang hakim anak pada setiap pengadilan. Ini merupakan tantangan, artinya pelatihan teknis yang akan diberikan haruslah terstruktur dan sistematis, untuk menciptakan hakim- hakim yang memahami nilai universal hak anak, selain juga peraturan perundang- undangan itu sendiri. 13

Selain itu perlu dicermati kebutuhan perubahan lain, yang membatasi bahwa pemberian salinan putusan pada pengadilan harus dilakukan paling lama 5 (lima) hari sejak putusan diucapkan (Pasal 62 UU SPPA) dan adanya kewajiban pembuatan register khusus anak oleh lembaga- lembaga yang menangani perkara anak. (Pasal 25 UU SPPA). Lagi- lagi kita membenahi sistem administrasi perkara kita. Kita harus bersiap, Undang- undang pada intinya mendorong agar setiap anak yang bermasalah dengan hukum diproses secara lebih cepat, dan dikenakan sanksi yang lebih manusiawi, sesuai dengan karakteristik anak. Undang- undang menggariskan, bahwa pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Proses itu harus bertujuan pada terciptanya Keadilan Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama- sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Untuk ini semua, Badan Litbang Diklat Kumdil, Direktorat Jenderal badan Peradilan wajib bersikap responsif untuk menyiapkan ini semua secara profesional dan sebaik mungkin, untuk memastikan tidak ada masalah dalam implementasinya, begitu UU SPPA ini berlaku efektif 30 Juli 2014 yang akan datang. Integritas merupakan modal utama badan peradilan yang harus terus kita pertahankan, dan junjung tinggi. Pada tanggal 27 September 2012 yang lalu Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial telah menandatangani empat Peraturan Bersama terkait dengan kode perilaku hakim, yaitu peraturan bersama tentang Majelis Kehormatan Hakim, Pemeriksaan Bersama, Juklak Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dan Seleksi Pengangkatan Hakim. Dengan selesainya empat peraturan bersama ini, maka saya berharap agar mekanisme penegakan kode etik dan perilaku hakim akan lebih optimal, dan sesuai dengan amanat peraturan perundang- undangan. Sedapat mungkin dicapai sinergi dengan Komisi Yudisial dalam penanganan pengaduan Terhadap pelanggaran Kode Perilaku. Dengan adanya 14

Peraturan Bersama Petunjuk Pelaksanaan Kode Etik dan Pedoman perilaku Hakim, maka sekarang sudah ada acuan yang disepakati bersama tentang sanksi atas setiap pelanggaran kode etik, dan juga yang terpenting adalah kesepakatan atas pelanggaran- pelanggaran yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung dan yang mana yang tidak. Peraturan Bersama mengenai Majelis Kehormatan Hakim menegaskan mekanisme pemeriksaan oleh MKH, mulai dari pembentukan MKH, siapa saja yang dapat duduk dalam MKH sampai bagaimana putusan MKH dilaksanakan. Dalam hal seleksi hakim, peraturan bersama ini merupakan peraturan transisi sebelum ditentukannya proses seleksi hakim dengan status pejabat negara, oleh karena itu, masih perlu ditegaskan peranan Komisi Yudisial dalam penentuan calon hakim menjadi hakim. Untuk itu saya minta perhatian kepada Ketua Muda Pembinaan dan Ketua Muda Pengawasan agar segera melakukan koordinasi baik internal maupun dengan pihak KY agar tidak terjadi kesalahpahaman di kemudian hari. Meskipun secara infrastruktur integritas, saat ini kita sudah berhasil memenuhi sepenuhnya kebutuhan peraturan yang diperintahkan undang- undang, bukan berarti kerja kita telah selesai. Tantangan yang kita hadapi masih sangat besar. Kita masih harus memastikan bahwa tingkat pelanggaran kode etik/perilaku atau bahkan tindak pidana korupsi yang melibatkan hakim dan/atau aparat peradilan harus dapat ditekan 100%, tidak ada tempat bagi para pelanggar. Saya akan sangat terganggu apabila masih ada hakim dan aparat pengadilan melakukan tindakan- tindakan tidak terpuji, dan menjadi terlapor atau terperiksa sebagai akibat pelanggaran kode etik dan perilaku, apalagi jika sampai tindakan tersebut tertangkap oleh aparat pengawasan eksternal. Hal ini tidak karena sekedar pencitraan, namun harus disadari, bahwa pengadilan adalah lembaga yang bekerja berdasarkan kepercayaan. Oleh karenanya, integritas dan kepercayaan publik adalah modal utama lembaga kita, Telah saya tekankan berkali- kali, kepercayaan adalah suatu hal yang sangat sulit direbut, namun akan sangat mudah hilang dari tangan kita, padahal, tanpa kepercayaan apalah artinya lembaga peradilan ini. Terlalu banyak pengorbanan yang dipertaruhkan, sekedar melindungi segelintir orang yang tidak bertanggung jawab. Mau dikemanakan perjuangan kita untuk melaksanakan reformasi birokrasi? Lalu bagaimana dengan Agenda peningkatan kesejahteraan hakim? Seluruh reputasi badan peradilan dipertaruhkan disini. Kita bisa mundur 30 tahun apabila gagal mempertahankan yang satu ini. Saya pikir ini dimulai dari komitmen pimpinan. Pimpinan merupakan lokomotif dan agen perubahan bagi perubahan di lingkungannya, adalah tugas pimpinan untuk mendorong perubahan, dan ini semua berawal dari komitmen dan niat yang tulus. 15

Atas alasan tersebut saya menandatangani Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI nomor 3 Tahun 2012 tentang Penanda Tanganan Pakta Integritas, menyempurnakan aturan yang lama, sehingga kewajiban penandatanganan pakta integritas akan meliputi juga, pejabat eselon 1 dan 2 pada Mahkamah Agung serta yang dipersamakan, Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Tingkat Banding, Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, Hakim Non Palu, Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen dan Pejabat Pengadaan. Bagi para ketua pengadilan, pelaksanaan pendantanganan Pakta Integritas dilakukan pada saat penyumpahan, sementara bagi para pejabat KPA, PPK, dan Pejabat Pengadaan lain penandatanganan Pakta Integritas dilakukan pada saat tanggal penyerahan surat keputusan, dan bagi hakim non palu, pada saat yang bersangkutan menyelesaikan hukuman disiplinnya, dan merupakan syarat pengusulan yang bersangkutan oleh Ketua Pengadilan untuk diaktifkan kembali. Perlu saya ingatkan, bahwa penandatanganan pakta itu penting bagi Mahkamah Agung, dan harus diterima oleh Ketua Mahkamah Agung melalui Kepala Badan Pengawasan paling lambat satu bulan setelah penandatanganan dilakukan. Mereka yang lalai tentunya akan menerima konsekuensi dalam bentuk penilaian konduite yang buruk, karena informasi ini akan diintegrasikan dengan database kepegawaian. Saya tekankan sekali lagi, ketertiban aparat pengadilan adalah tanggung jawab pimpinan pengadilan, dan tanggung jawab khusus ada pada ketua pengadilan banding, sebagai kawal depan fungsi pengawasan Mahkamah Agung. Bertindaklah tegas, hapus kompromi, karena efek penjera harus disampaikan, jangan sampai pelaku baru terdorong untuk melakukan pelanggaran, karena ketidak tegasan pimpinan dalam menangani masalah- masalah ini. Saudara- saudara Sekalian, Tahun ini tidak melulu diisi hanya dengan tuntutan bagi kita untuk lebih akuntabel. Seimbang dengan tuntutan untuk memperbaharui komitmen atas integritas dan akuntabilitas hakim, maka mudah- mudahan dalam waktu dekat kita akan bisa memetik buah dari upaya kita dalam agenda meningkatkan kesejahteraan hakim. Pada September lalu, Mahkamah Agung bersama beberapa lembaga negara dan kementerian terkait telah merumuskan Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai Gaji dan Fasilitas para hakim. Peraturan tersebut diperlukan karena selain gaji hakim belum mengalami kenaikan semenjak 2008, juga untuk memberikan payung hukum bagi penyediaan fasilitas bagi para hakim sebagai pejabat negara, seperti penyediaan fasilitas perumahan, transportasi, kesehatan, maupun pengamanan. Pada perumusan Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut, selain terdapat penyesuaian besaran gaji sehingga mencerminkan beban dan tanggung jawab para hakim, juga diusulkan penyesuaian yang bersifat variatif, yaitu adanya tambahan tunjangan kemahalan sesuai lokasi kerja tertentu. 16

Selain itu juga diusulkan harmonisasi berbagai Peraturan Presiden mengenai Gaji dan Fasilitas Hakim Ad- hoc sebagai peraturan turunan dari masing- masing Undang- undang terkait. Saat ini Rancangan Peraturan Pemerintah maupun Rancangan Peraturan Presiden tersebut telah melewati fase harmonisasi rancangan peraturan perundangan di Kementerian Hukum dan HAM, untuk kemudian diajukan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara kepada Presiden. Saya berharap agar kebijakan ini bisa disahkan oleh presiden sebelum akhir tahun dan bisa berlaku efektif secepat mungkin. Konsekuensinya, penghasilan yang dibawa pulang bapak- bapak dan ibu- ibu hakim akan meningkat, meskipun kalkulasi persisnya masih menunggu tanda tangan dari presiden. Namun yang pasti adalah dengan keluarnya kebijakan ini, maka para hakim tidak lagi berhak untuk menerima tunjangan Remunerasi. Berbeda dengan Pegawai teknis non hakim dan pegawai non- teknis yang akan tetap berhak menerima remunerasi, dan juga telah diperjuangkan untuk mencapai 100%. Meskipun issue kesejahteraan telah ditangani melalui penyempurnaan kebijakan penggajian, namun tidak berarti komitmen Mahkamah Agung terhadap Reformasi Birokrasi akan menurun. Penyempurnaan kebijakan kesejahteraan hakim justru menimbulkan beban moral yang lebih besar bagi kita untuk mempercepat pembenahan organisasi, birokrasi, dan kultur kerja. Coba saudara- saudara lihat, betapa peradilan tidak bisa dikatakan beruntung? pada tahun 2007, sudah menjadi pilot project reformasi birokrasi, dan diganjar 70% remunerasi, hanya dengan melakukan 5 program prioritas, dan belum selesai kita melaksanakan reformasi birokrasi gelombang kedua, maka sudah ada perbaikan kesejahteraan. Sungguh sesuatu karunia yang patut kita syukuri, dan insha allah akan segera terealisir. Upaya lain untuk meningkatkan integritas adalah melalui perekaman audio visual. SEMA Nomor 4 Tahun 2012 tentang perekaman Audio Visual merupakan wajah lain dari upaya meningkatkan integritas badan peradilan. SEMA Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perekaman Sidang Pengadilan, yang mengharuskan bahwa setiap pengadilan tingkat petama untuk merekam audio dan video persidangan perkara untuk perkara tindak pidana korupsi dan/atau perkara yang menarik perhatian publik dan hasilnya harus disimpan, dikelola, diarsip, dan lebih jauh lagi, bisa dikirimkan ke Mahkamah Agung, sebagai bagian dari berkas upaya hukum. 17

Perekaman audio visual merupakan bagian penting bagi integritas dan akuntabilitas lembaga kita, adanya rekaman memungkinkan kita melangkah lebih jauh kepada strategi besar pengembangan catatan persidangan, namun juga sebagai alat verifikasi yang sangat penting dalam proses pengawasan yang memungkinkan otoritas pengawasan bisa dengan mudah memverifikasi pengaduan pelanggaran perilaku. Sebagai suatu inisiatif baru, Saya menginginkan agar proses perekaman audio visual tersebut bisa mulai dilaksanakan secara bertahap mulai Desember 2012. Jajaran Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum perlu bekerja keras, bahwa dalam waktu yang ditentukan, sudah akan ada pencapaian yang konkrit. Oleh karenanya dituntut kreativitas dan berusaha terus menerus untuk mewujudkan mandat penting ini. Saya yakin, bahwa dengan perkembangan teknologi, insiatif perekaman audio visual ini bisa diwujudkan secara efektif dan efisien, dan akan menjadi landasan pengadilan modern masa depan, sistem ini akan memungkinkan dilakukannya monitoring jarak jauh terhadap situasi persidangan, lebih jauh lagi, sebagai solusi pengganti bagi kebutuhan transkrip persidangan yang seringkali menghambat efektivitas dan efisiensi persidangan, khususnya di pengadilan tingkat pertama. Layar telah terkembang, tekad telah dibulatkan, Langkah pembaruan telah melenggang, mundur bukanlah pilihan. Banyak capaian, pengakuan, dan penghargaan langsung maupun tidak langsung yang telah diperoleh peradilan lima tahun belakangan ini, sebagai konsekuensi logis dari dimulainya proses pembaruan. Namun menurut saya, tantangan lebih berat sudah tiba didepan mata, yaitu bagaimana melanjutkan apa yang telah kita mulai untuk terus menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya dan pada akhirnya mencapai tujuan akhir pembaruan peradilan, yaitu mewujudkan Badan Peradilan Indonesia yang Agung. Mempertahankan- apalagi meningkatkan jelas lebih sulit daripada mencapainya, dan dalam konteks inilah kata- kata bijak hidup adalah suatu perjalanan tanpa henti sangatlah kontekstual bagi kita. Dua puluhan tahun yang lalu Andy Groove, pimpinan Intel Corporation, sudah mengemukakan, only paranoids survives intinya adalah, hanya orang selalu siap yang akan bertahan, saya pikir merupakan tantangan yang makin aktual bagi kita. Mahkamah Agung dan badan peradilan harus memegang prinsip- tiada hari tanpa inovasi dan tiada hari tanpa perubahan. Janganlah cepat puas atas apa yang anda hasilkan hari ini, namun tanyakan apa yang bisa lebih baik dilakukan esok hari. Saya ingin meminjam istilah bijak dalam bahasa Inggris yang menyatakan, the biggest room in the 18

world- is room for improvement. Tiada kesempurnaan yang optimal, karena segala sesuatu selalu bisa lebih disempurnakan terus menerus melalui inovasi. Siapkan jawaban- jawaban terhadap tantangan minggu depan - sesegera mungkin, apabila mungkin siapkan hari ini juga, jangan tunda..., sudah waktunya kita terus menggali informasi secara mendalam dari berbagai sumber seperti statistik yang diperoleh dari pelaporan rutin, informasi pemerintah, perundangan, media, lingkungan dan seterusnya untuk menyiapkan anda dan organisasi dibawah pimpinan anda untuk selalu siap menghadapi tantangan esok hari. Saya melihat bahwa data dan informasi masih belum sepenuhnya dikelola dan ditata di peradilan. Padahal data dan informasi merupakan dasar dari pengambilan kebijakan, penganggaran, pelatihan, promosi- mutasi, evaluasi capaian- capaian sampai pengembangan. Mustahil suatu organisasi bisa berkembang tanpa data dan informasi, dan Mahkamah agung memerlukan betul semua data dan informasi dikumpulkan dan dipaparkan sesistematis mungkin untuk mengukur, sejauh mana kita berhasil menyelesaikan capaian- capaian dalam cetak biru, dimana posisi kita dalam memenuhi tuntutan parameter Court Excellence, sejauh mana presepsi masyarakat terhadap upaya- upaya perubahan yang terjadi di organisasi kita. Sungguh tidak bijak apabila kita membabi buta melakukan perubahan, tanpa melihat secara obyektif situasi disekeliling kita. Pada era globalisasi ini apapun yang kita lakukan akan diketahui oleh orang di seluruh dunia, awal bulan Oktober saya baru menghadiri rapat kerja dengan sahabat kita dari Federal Court of Australia dan Family Court of Australia, dimana disebut bahwa Mahkamah Agung telah berhasil mengelola informasi dan menyajikan laporan informasi perkara dengan kualitas sebagaimana layaknya pengadilan kelas dunia (world class). Hampir semua parameter pengadilan yang berkelas dunia dalam hal manajemen perkara telah berhasil ditampilkan oleh Mahkamah Agung, secara berkala dan terbuka pada setiap laporan tahunan. Suatu awal yang luar biasa menurut saya. Kembali ke wacana tentang sistem kamar, Pada akhirnya, sistem kamar hanyalah merupakan alat yang bertujuan untuk mengantar Mahkamah Agung untuk mencapai tujuannya yaitu konsistensi hukum. Ia tidak akan bekerja apabila infrastruktur yang diatur dalam surat keputusan ini tidak berjalan. Hal ini menjadi beban kolektif pimpinan kamar untuk memastikan tercapainya tujuan tersebut. Dari kepastian masalah rekruitmen, pelaksanaan pleno, dan penghimpunan risalah dijalankan secara konsisten. Saya ingin agar semua pucuk pimpinan kamar memahami betul mekanisme kerja yang tersedia dalam sistem kamar, dan benar- benar menggunakannya untuk mewujudkan kepastian hukum. 19

Saya mengharapkan tidak lagi terjadi pengabaian terhadap mekanisme pleno kamar yang beresiko menghasilkan putusan- putusan yang bisa memancing reaksi publik negatif, terutama dalam hal komposisi majelisnya masih belum sepenuhnya mencerminkan keanggotaan dalam kamar mengingat saat ini kita masih dalam proses transisi. Mahkamah Agung juga menyadari bahwa tujuan ini hanya dapat tercapai dengan dukungan dari para pemangku kepentingan yang terkait, antara lain Komisi Yudisial dan DPR. Mahkamah Agung berharap Komisi Yudisial dan DPR yang memegang peran kunci dalam rekrutmen hakim agung memahami pentingnya penerapan sistem kamar dan pada akhirnya dapat mengambil keputusan yang tepat bagi upaya pembaruan peradilan yang sedang bersama- sama dilaksanakan. Masih banyak Pekerjaan Rumah yang belum selesai, dan ini perlu diseriusi untuk memastikan bahwa tujuan mulia untuk menciptakan badan peradilan yang agung dapat benar- benar tercapai. Terima kasih atas perhatiannya, semoga Rapat Kerja Nasional ini dapat berjalan dengan baik dan membawa manfaat bagi semua pihak. Wabillahi taufik walhidayah Wassalamu alaikum Warahmatullahiwabarakaatuh DR HM Hatta Ali, SH., MH 20