PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH:

dokumen-dokumen yang mirip
4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Pemetaan Kinerja Pendapatan Asli Daerah dan Kemampuan Keuangan Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi

INDONESIA Percentage below / above median

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro)

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

PEMETAAN DAN KAJIAN CEPAT

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2016

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro)

Deskripsi dan Analisis

INDEKS TENDENSI KONSUMEN

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

Disabilitas. Website:

BAB I PENDAHULUAN. dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, telah

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

SURVEI HARGA PROPERTI RESIDENSIAL

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2017

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pemanfaatan Hasil Ujian Nasional MTs untuk Perbaikan Akses dan Mutu Pendidikan

Evaluasi Kegiatan TA 2016 dan Rancangan Kegiatan TA 2017 Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian *)

KESEHATAN ANAK. Website:

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

PEMBIAYAAN KESEHATAN. Website:

NAMA, LOKASI, ESELONISASI, KEDUDUKAN, DAN WILAYAH KERJA

Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017

INDEK KOMPETENSI SEKOLAH SMA/MA (Daya Serap UN Murni 2014)

C UN MURNI Tahun

Memahami Arti Penting Mempelajari Studi Implementasi Kebijakan Publik

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang

BERITA RESMI STATISTIK

AKSES PELAYANAN KESEHATAN. Website:

INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2017

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN IV-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN I-2017

Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SUMATERA SELATAN

NAMA, LOKASI, ESELONISASI, KEDUDUKAN, DAN WILAYAH KERJA. No Nama UPT Lokasi Eselon Kedudukan Wilayah Kerja. Bandung II.b DITJEN BINA LATTAS

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2016

UPT-BPSPL Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut DAN. UPT-BKKPN Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan

HASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat. Tahun Ajaran 2013/2014

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2017

MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

LAPORAN MINGGUAN DIREKTORAT PERLINDUNGAN TANAMAN PANGAN PERIODE 18 MEI 2018

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI ACEH

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI DKI JAKARTA

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

TABEL 1 LAJU PERTUMBUHAN PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA (Persentase) Triw I 2011 Triw II Semester I 2011 LAPANGAN USAHA

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULTENG

PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA TA 2017

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULAWESI SELATAN

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI GORONTALO

BAB III METODE PENELITIAN. Kabupaten/Kota SUBOSUKAWONOSRATEN dengan menggunakan data. Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota SUBOSUKAWONOSRATEN

ProfilAnggotaDPRdan DPDRI Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik FISIP UniversitasIndonesia 26 September 2014

BERITA RESMI STATISTIK

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI JAWA TIMUR

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI BALI

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI DIY

KATA PENGANTAR DIREKTUR JENDERAL PENGEMBANGAN PERWILAYAHAN INDUSTRI DEDI MULYADI

Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI BANTEN

PEMBINAAN KELEMBAGAAN KOPERASI

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN TENGAH. 07 November 2016

BAB V PENUTUP. dengan rencana yang telah dibuat dan melakukan pengoptimalan potensi yang ada di

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

BAB VI PEMBAHASAN. 6.1 Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Membiayai Pengeluaran

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN I TAHUN 2015

III. METODE PENELITIAN. menggunakan data sekunder yang berasal dari instansi atau dinas terkait.

Propinsi Kelas 1 Kelas 2 Jumlah Sumut Sumbar Jambi Bengkulu Lampung

PAGU SATUAN KERJA DITJEN BINA MARGA 2012

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI SUMSEL 2015

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

Pemanfaatan Hasil Ujian Nasional MA untuk Perbaikan Akses dan Mutu Pendidikan

PENGELOLAAN PERBENDAHARAAN NEGARA DAN KESIAPAN PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA MELALUI KPPN

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 041/P/2017 TENTANG

Transkripsi:

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH: Tinjauan atas Kinerja PAD, dan Upaya yang Dilakukan Daerah Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah deddyk@bappenas.go.id Abstrak Tujuan kajian ini adalah menyusun peta kemampuan keuangan provinsi dalam melaksanakan desentralisasi dan otonomi daerah, terutama berdasarkan kinerja Pendapatan Asli Daerah (PAD). Studi ini dibatasi pada sisi pendapatan dan berfokus pada aspek PAD provinsi. Terdapat lima daerah sampel di tiga provinsi dan di dua kabupaten/kota yang dipilih secara acak, yaitu: Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Sulawesi Utara, Kabupaten Badung, dan Kabupaten Sidoarjo. Parameter yang digunakan adalah Perhitungan dan Analisis Kinerja PAD melalui Ukuran Elastisitas, Share, dan Growth; Pemetaan dan Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dengan Metode Kuadran dan Metode Indeks; dan Kebijakan Umum Pengelolaan Keuangan Daerah di Lima Daerah Sampel yang Terkait dengan Peningkatan PAD dan Investasi. Hasil kajian ini antara lain menyimpulkan bahwa: (1) dilihat dari indikator kinerja PAD, secara umum provinsi-provinsi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) mempunyai kemampuan keuangan lebih baik jika dibanding provinsi-provinsi di Kawasan Timur Indonesia (KTI); (2) provinsi yang mempunyai sumberdaya alam melimpah tidak serta merta memiliki kinerja PAD yang baik. Adapun rekomendasi yang dapat disampaikan adalah, pertama, daerah yang berada di kuadran II dan III atau IKK Sedang, perlu mendapat dorongan agar PADnya tumbuh. Sementara daerah yang berada di kuadran IV atau IKK rendah, tampaknya perlu ada upaya-upaya khusus yang menyentuh penataan berbagai aspek. Kedua, keberadaan PAD hendaknya dipahami sebagai hasil ikutan dari tumbuhnya investasi di daerah. Dengan demikian kebijakan peningkatan PAD tidak boleh mengorbankan kepentingan jangka panjang yang berdampak lebih luas yaitu investasi sektor swasta. 1. LATAR BELAKANG Sejak diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah pada tanggal 1 Januari 2001 lalu, telah terjadi pelimpahan kewenangan yang semakin luas kepada pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan fungsi pemerintah daerah. Penyelenggaraan fungsi pemerintahan yang lebih luas oleh pemerintah daerah tersebut perlu didukung oleh sumber pembiayaan yang memadai. Disadari bahwa sumber-sumber penerimaan antar satu daerah dengan daerah lainnya sangat beragam. Ada beberapa daerah dengan sumber daya yang dimiliki mampu menyelenggarakan otonomi daerah, namun tidak tertutup kemungkinan ada beberapa daerah akan menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan tugas desentralisasi, mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Kreativitas dan inisiatif suatu daerah dalam menggali sumber keuangan akan sangat tergantung pada kebijakan yang diambil oleh pemerintahan daerah itu 1

sendiri. Di satu sisi, mobilisasi sumber daya keuangan untuk membiayai pelbagai aktivitas daerah ini dapat meningkatkan kinerja pemerintah daerah dalam menjalankan fungsinya. Namun demikian, mobilisasi sumber dana secara eksesif dan berlebihan dapat menimbulkan dampak jangka panjang yang tidak kondusif. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dipandang perlu dilakukan pengkajian secara mendalam mengenai kemampuan keuangan daerah, yang dalam kasus ini dibatasi pada kemampuan keuangan propinsi. 2. TUJUAN Tujuan dari kegiatan kajian ini adalah: 1. Menyusun peta kemampuan keuangan daerah provinsi dalam melaksanakan desentralisasi dan otonomi daerah, terutama berdasarkan kinerja Pendapatan Asli Daerah (PAD). 2. Mengidentifikasi beberapa kebijakan lokal dalam memobilisasi sumber dana di daerah yang dapat diaplikasikan di tempat lain, sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah; dan 3. Menyusun dan merumuskan rekomendasi untuk peningkatan PAD. 3. METODOLOGI 3.1 Metode Pelaksanaan Kajian Wilayah kajian ini adalah provinsi. Profil atau peta kemampuan keuangan daerah dilihat untuk seluruh provinsi. Untuk mengetahui gambaran umum kebijakan yang terkait dengan upaya peningkatan investasi dan PAD serta pengelolaan keuangan daerah, dilakukan kajian terfokus di tiga provinsi dan di dua kabupaten/kota yang dipilih secara acak, yaitu: Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Sulawesi Utara, Kabupaten Badung, dan Kabupaten Sidoarjo. Tahap-tahap kajian meliputi: 1. Mengumpulkan data APBD di 30 provinsi. 2. Mengidentifikasi kemampuan keuangan daerah dalam membiayai belanja daerah yang bersumber dari PAD. 3. Mengidentifikasi sumber-sumber keuangan daerah yang potensial untuk mendukung tugas desentralisasi dan otonomi daerah di lima daerah sampel. 4. Survei di lima daerah sampel untuk memperdalam/memperkaya data 5. Membuat analisis kinerja PAD dan menyusun peta kemampuan keuangan provinsi. 6. Melakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan pemerintah daerah. 3.2 Metode Analisis 3.2.1 Kerangka Regulasi Kebijakan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal sesuai UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 merupakan awal era baru penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih otonom. Dalam rangka melaksanakan fungsinya secara efektif, maka pemerintah daerah harus didukung sumber-sumber pendapatan yang pasti agar pelaksanaan dan kelangsungan kegiatan pemerintah di daerah terjamin. Berdasarkan UU tersebut, Daerah memiliki: (1) kewenangan mendayagunakan potensi keuangan daerah; (2) dana perimbangan keuangan pusat dan daerah serta antar daerah, dan; (3) akses terhadap pinjaman di dalam negeri maupun di luar negeri. 2

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 105 Tahun 2000, dijelaskan bahwa keuangan daerah mengandung pengertian semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang. termasuk segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Dengan demikian, wilayah kajian kemampuan keuangan daerah dapat mencakup aspek hak, yaitu pendapatan; dan aspek kewajiban, yaitu belanja. Sumber pendapatan daerah terdiri dari PAD, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Adapun belanja daerah dirinci berdasarkan organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Kajian kemampuan keuangan daerah pada studi ini dibatasi pada sisi pendapatan dan fokus pada aspek PAD. Untuk membiayai kewenangan daerah, PAD idealnya menjadi sumber pendapatan pokok daerah. Sumber pendapatan lain dapat bersifat fluktuatif dan cenderung di luar kontrol kewenangan daerah. Melalui kewenangan yang dimiliki, daerah diharap dapat meningkatkan PAD, seraya tetap memperhatikan aspek ekonomis, efisiensi, dan netralitas. 3.2.2 Kerangka Analisis Dalam kajian ini digunakan sejumlah parameter, yaitu: 1. Perhitungan dan Analisis Kinerja PAD melalui Ukuran Elastisitas, Share, dan Growth. Adapun elastisitas adalah rasio pertumbuhan PAD dengan pertumbuhan PDRB. Rasio ini bertujuan melihat sensitivitas atau elastisitas PAD terhadap perkembangan ekonomi suatu daerah. Sedangkan share merupakan rasio PAD terhadap belanja rutin dan belanja pembangunan daerah. Rasio ini mengukur seberapa jauh kemampuan daerah membiayai kegiatan rutin dan kegiatan pembangunan. Rasio ini dapat digunakan untuk melihat kapasitas kemampuan keuangan daerah. Dan growth merupakan angka pertumbuhan PAD tahun i dari tahun i-1. 2. Pemetaan dan Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dengan Metode Kuadran dan Metode Indeks Yang dimaksud metode kuadran adalah salah satu cara menampilkan peta kemampuan keuangan daerah. Masing-masing kuadran ditentukan oleh besaran nilai growth dan share. Dengan nilai growth dan share maka masing-masing provinsi dapat diketahui posisinya (pada kuadran berapa). Kondisi di masingmasing kuadran dijelaskan pada tabel 1. 3

Tabel. 1 Klasifikasi Status Kemampuan Keuangan Daerah Berdasarkan Metode Kuadran KUADRAN I II III IV KONDISI Kondisi paling ideal. PAD mengambil peran besar dalam APBD dan daerah punya kemampuan mengembangkan potensi lokal. Kondisi ini ditunjukan dengan besarnya nilai share disertai nilai growth yang tinggi. Kondisi ini belum ideal, tapi daerah punya kemampuan mengembangkan potensi lokal sehingga PAD berpeluang memiliki peran besar dalam APBD. Sumbangan PAD terhadap APBD masih rendah namun pertumbuhan (growth) PAD tinggi. Kondisi ini juga belum ideal. Peran PAD yang besar dalam APBD punya peluang mengecil karena pertumbuhan PADnya kecil. Di sini sumbangan PAD terhadap APBD tinggi, namun pertumbuhan PAD rendah. Kondisi ini paling buruk. PAD belum mengambil peran yang besar dalam APBD dan daerah belum punya kemampuan mengembangkan potensi lokal. Sumbangan PAD terhadap APBD rendah dan pertumbuhan PAD rendah. Adapun metode Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) merupakan rata-rata hitung dari Indeks Pertumbuhan (Growth), Indeks Elastisitas, dan Indeks Share. Untuk menyusun indeks ketiga komponen tersebut, ditetapkan nilai maksimum dan minimum dari masing-masing komponen. Menyusun indeks untuk setiap komponen IKK dilakukan dengan menggunakan persamaan umum : Indeks X = Nilai X hasil pengukuran Nilai X kondisi minimum Nilai X kondisi maksimum Nilai X kondisi minimum Berdasarkan persamaan diatas maka persamaan IKK dapat ditulis sebagai berikut : X G + X E + X S IKK = 3 Keterangan: X G = Indeks Pertumbuhan (PAD) X E = Indeks Elastisitas (Belanja Pembangunan terhadap PAD) X S = Indeks Share (PAD terhadap APBD) Nilai IKK 30 provinsi diurut dimulai dari yang terbesar. Sepertiga besar pertama dikelompokkan dan dikategorikan sebagai provinsi-provinsi yang mempunyai kemampuan keuangan tinggi. Sepertiga besar kedua dikelompokkan dan dikatagorikan sebagai provinsi-provinsi yang mempunyai kemampuan 4

keuangan sedang. Dan sepertiga besar terakhir dikelompokkan dan dikatagorikan sebagai provinsi-provinsi yang mempunyai kemampuan keuangan rendah. Hasil pengolahan data dan analisis dibahas dalam forum FGD (Focus Group Discussion) dengan mengundang pembahas dari kelompok profesional dan akademisi yang relevan. 3. Kebijakan Umum Pengelolaan Keuangan Daerah di Lima Daerah Sampel yang Terkait dengan Peningkatan PAD dan Investasi. Pada lima daerah sample diidentifikasi beberapa masalah strategis sebagai bahan pelajaran bagi daerah lainnya agar dapat dilaksanakan di daerah lain sesuai dengan karekteristik masing-masing daerah. Data dan informasi primer diperoleh melalui wawancara mendalam dengan pejabat/pelaku terkait serta kegiatan seminar dan FGD. Analisis dilakukan secara deskriptif. Kajian umum pengelolaan keuangan daerah difokuskan pada aspek perangkat organisasi, akuntansi, dan SDM, sesuai perkembangan kebutuhan dan persepsi daerah yang bersangkutan. Data dan informasi primer diperoleh melalui wawancara mendalam dengan pejabat/pelaku terkait serta kegiatan FGD. Analisis dilakukan secara deskriptif. 4. HASIL KAJIAN 4.1 Kondisi Umum Keuangan Daerah Setelah kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah diberlakukan pada tingkat provinsi, terjadi perkembangan PAD yang menggembirakan. PAD di provinsi seluruh Indonesia mengalami peningkatan dari Rp 2,8 triliun pada tahun 2000, menjadi Rp 9,9 triliun pada tahun 2001, kemudian Rp 10,2 triliun pada tahun 2002. Lihat Gambar 1. Kalau dilihat dari peran PAD dalam membiayai APBD, maka besaran PAD tahun 2000 tersebut merupakan 25% dari APBD; PAD tahun 2001 merupakan 34 % dari APBD; dan PAD tahun 2002 merupakan 32% dari APBD. Lihat Gambar 2. Gambar 1 Perkembangan PAD Provinsi 12 9,9 10,2 10 (Rp Triliun) 8 6 4 2 0 2,8 2000 2001 2002 Sumber : Diolah dari Data Ditjen PKPD Depkeu tahun 2000, 2001, dan 2002 5

Gam bar 2 Peran PAD dalam APBD Provinsi (%) (Dalam %) 40 35 30 25 20 15 10 5 0 34 32 25 2000 2001 2002 Sumber : Diolah dari Data Ditjen PKPD Depkeu Tahun 2000, 2001, dan 2002 Secara rinci komposisi penerimaan daerah provinsi pada tahun 2002 adalah sebagai berikut: Dana Perimbangan sebesar 54 %, PAD sebesar 32 %, Lain-lain yang sah sebesar 1 %, dan anggaran tahun yang lalu sebesar 13 %. Pada Tahun 2002 dapat dilihat bahwa Dana Perimbangan menduduki peran terbesar didalam struktur pendapatan APBD Provinsi (54 %) disusul peran dari PAD (32 %). Sementara Pinjaman Daerah tidak ada, karena belum efektifnya PP 107. Di sisi lain anggaran tahun lalu yang masih dikategorikan penerimaan mencapai 13 %. Lihat Gambar 3 Gambar 3 Proporsi Sumber Pendapatan APBD Provinsi se-indonesia Tahun 2002 Pinjaman Daerah 0% Lain-lain yang Sah 1% Anggaran Tahun Lalu 13% Dana Perimbangan 54% PAD 32% Sumber : Diolah dari Data Ditjen PKPD Tahun 2000, 2001, 2002 Dari sisi belanja (pengeluaran), rata-rata Belanja Rutin dalam APBD Provinsi mengambil porsi lebih besar dibandingkan dengan Belanja Pembangunan. Jika dibanding antara tahun 2001 dengan tahun 2002, ada kecenderungan Belanja Rutin menurun, dari 63,7 % (tahun 2001) menjadi 56,1 % (tahun 2002). Lihat Gambar 4 6

Gam bar 4 Perbandingan Belanja Rutin dan Belanja Pem bangunan 80.0% 60.0% 40.0% 63.7% 36.3% 56.1% 43.9% 20.0% 0.0% TH 2001 TH 2002 Be lanja Rutin Belanja Pem bangunan Sumber : Diolah dari Data Ditjen PKPD Tahun 2001 dan 2002 Perubahan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana diatur dalam PP No. 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 diharapkan sudah dimulai pada tahun 2003. Penerapan tersebut dilakukan secara bertahap dan dimulai dari perubahan sistem penganggaran. Sampai kajian ini dilakukan, proses penatausahaan keuangan daerah umumnya masih menggunakan Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) sesuai dengan Kepmendagri No. 900-099 Tahun 1980. Manual ini telah ditambah dan diubah, terakhir dengan Kepmendagri No. 3 tahun 1999 tentang Bentuk dan Susunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Kemudian sudah dimulai persiapan untuk menerapkan Kepmendagri No 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. 4.2 Analisis Kemampuan Keuangan Daerah 4.2.1. Analisis Kinerja PAD 4.2.1.1 Elastisitas Dari analisis elastisitas PAD terhadap PDRB, diketahui bahwa ada 12 provinsi (41,37%) yang mempunyai nilai elastisitas 1. Setiap perubahan PDRB di 12 provinsi tersebut sensitif terhadap perubahan/peningkatan PAD. Sementara di 17 provinsi lain (58,62%), perubahan PDRBnya tidak cukup mempengaruhi peningkatan PAD. Bagi daerah dengan elastisitas < 1 patut diduga nilai tambah PDRB-nya lebih banyak keluar dari daerah tempat kegiatan perekonomian tersebut diselenggarakan. 4.2.1.2 Pertumbuhan Rata-rata nasional pertumbuhan PAD provinsi adalah 2,66%. Dari 29 provinsi, terdapat 19 provinsi yang pertumbuhan PAD-nya positip (65,52%) pada tahun 2001-2002. Pertumbuhan PAD cukup besar terjadi di Provinsi Bangka 7

Belitung (1956,39%), Bali (99,55%), Gorontalo (80,57%), Banten (33,80%), Kalimantan Tengah (41,80%), dan Aceh (43,21%). 4.2.1.3 Peran (Share) Kemampuan daerah membiayai belanja daerah dapat dilihat dari rasio antara PADdengan APBD. Semua provinsi belum mampu untuk membiayai seluruh kebutuhan belanja daerahnya dari PAD. Rata-rata nasional rasio PAD terhadap APBD dalam dua tahun terakhir (2001-2002) adalah 27,17%. Ada 17 provinsi (58,62%) yang mengalami kenaikan rasio PAD terhadap APBD dari tahun 2001 ke tahun 2002. Kenaikan tertinggi dari 17 provinsi tersebut adalah Provinsi Bali (27,3 %), merupakan akibat pertumbuhan PAD Provinsi Bali yang sangat tinggi, yaitu 78,93% dan menurunnya peran Dana Perimbangan. Provinsi Gorontalo, Banten, dan Aceh, walaupun pertumbuhan PAD-nya besar, ternyata peran PAD dalam APBD mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah Dana Perimbangan yang diterima. Gambar 5 Rasio PAD Terhadap APBD Propinsi Tahun 2001 dan 2002 60% 2001 2002 50% 40% 30% 20% 10% 0% PAPUA MALUT MALUKU NTT NTB BALI SULTRA SULSEL SULTENG GORONTALO SULUT KALTIM KALSEL KALTENG KALBAR JATIM YOGYA JATENG BANTEN JABAR DKI JAKARTA LAMPUNG BENGKULU BABEL SUMSEL JAMBI RIAU SUMBAR SUMUT ACEH 4.2.1.4 Peta Kinerja Pendapatan Asli Daerah Berdasarkan informasi elastisitas, growth, dan share, ditampilkan Peta Kinerja PAD sebagai gambaran umum kemampuan keuangan daerah. Peta Kinerja PAD ditampilkan melalui metode Kuadran dan Indeks. 4.2.1.4.1 Metode Kuadran Dari profil kemampuan keuangan dengan metode kuadran diketahui bahwa secara umum jumlah provinsi pada masing-masing kuadran relatif merata. Untuk kuadran I (kondisi ideal) didominasi oleh provinsi Kawasan Barat Indonesia (KBI), yaitu sekitar 71,43% (5 provinsi). Di kuadran II dan III (kondisi sedang) masih didominasi KBI, yaitu 73,33% (11 provinsi) di KBI, dan 26,67% (empat provinsi) di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Provinsi yang berada di kuadran terburuk (IV) didominasi provinsi yang berada di KTI, yaitu 80% (empat dari lima provinsi). Provinsi-provinsi di KBI masih mempunyai kemampuan lebih baik dalam mendayagunaan PAD sebagai sumber pembiayaan belanja daerah. 8

Yang menarik, provinsi yang mempunyai sumberdaya alam melimpah tidak serta merta menduduki kondisi kinerja PAD yang baik. Sebagai contoh, Papua berada di Kuadran IV (buruk), karena pertumbuhan PADnya kecil serta peranannya dalam APBD kecil. Kalimantan Timur dan Riau peran PAD-nya dalam belanja pembangunan juga sangat kecil (di kuadran II). Provinsi-provinsi yang berada di kuadran I (ideal/baik) relatif dapat dinilai tidak memiliki sumber daya alam yang besar. Ada harapan bahwa kemandirian daerah yang diukur melalui PAD dapat dikembangkan melalui potensi-potensi lain diluar dari sekedar bergantung kepada Sumber daya alam. Lihat Gambar 6 S H A R E (%) Gambar 6 Peta Kemampuan Keuangan Provinsi Berdasarkan Metode Kuadran (titik tengah rata-rata nasional) GROWTH (%) KUADRAN II Gorontalo Aceh Kalimantan Tengah Kalimatan Timur Nusa Tenggara Barat Riau Sulawesi Tengah KUADRAN IV Nusa Tenggara Timur Sulawesi Tenggara Bengkulu Papua Sulawesi Utara GROWTH (%) KUADRAN I Bali Banten Sumatera Selatan Yogyakarta Sumatera Barat Kalimantan Barat Sulawesi Selatan KUADRAN III Jawa Barat DKI Jakarta Kalimantan Selatan Jawa Tengah Lampung Jambi Sumatera Utara Jawa Timur S H A R E (%) 4.2.1.4.2 Metode Indeks Dengan metode IKK, diketahuisembilan provinsi yang mempunyai IKK Tinggi, yaitu Bali, Banten, Gorontalo, Yogyakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Berikutnya terdapat sembilan provinsi yang mempunyai IKK Sedang yaitu Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, NTB, Kalimantan Selatan, Aceh, dan Lampung. Dan sembilan provinsi mempunyai IKK rendah adalah: Kalimantan Timur, Jambi, Sulawesi Tengah, Riau, Sulawesi Tenggara, NTT, Bengkulu, Sulawesi Utara, dan Papua. 9

Tabel 2 Peta Kemampuan Keuangan Daerah Provinsi Berdasarkan Metode Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) NO NAMA PROVINSI INDEKS KEMAMPUAN KEUANGAN STATUS KEMAMPUAN KEUANGAN a B c D 1 BALI 0.93 2 BANTEN 0.68 3 GORONTALO 0.60 4 JAWA BARAT 0.47 5 YOGYA 0.47 6 SUMATERA BARAT 0.45 TINGGI 7 SUMATERA UTARA 0.45 8 JAWA TENGAH 0.44 9 SUMATERA SELATAN 0.44 10 KALIMANTAN TENGAH 0.42 11 JAWA TIMUR 0.42 12 KALIMANTAN BARAT 0.40 13 NUSA TENGGARA BARAT 0.40 SEDANG 14 DKI JAKARTA 0.40 15 SULAWESI SELATAN 0.39 16 ACEH 0.38 17 KALIMANTAN SELATAN 0.36 18 LAMPUNG 0.35 19 KALIMANTAN TIMUR 0.33 20 JAMBI 0.31 21 SULAWESI TENGAH 0.29 22 RIAU 0.27 SULAWESI 23 TENGGARA 0.22 RENDAH 24 NUSA TENGGARA TIMUR 0.22 25 BENGKULU 0.18 26 SULAWESI UTARA 0.11 27 PAPUA 0.10 10

4.2.2 Kebijakan Peningkatan PAD dan Investasi Walaupun belum optimal, ada dinamika dan upaya daerah untuk meningkatkan kemampuan keuangan dan mendorong potensi ekonomi lokal melalui peningkatan PAD dan investasi berdasarkan potensi yang dimilikinya. Beberapa upaya tersebut justru menimbulkan ekses berupa kebijakan demi peningkatan PAD yang bersifat kontra produktif terhadap peningkatan investasi. Banyak pengalaman positif daerah yang dapat dijadikan pelajaran bagi daerah lain untuk meningkatlan PAD ataupun investasi. Sehubungan dengan peningkatan PAD, pelajaran yang dapat diambil adalah: (1) intensifikasi dan ekstensifikasi pajak; (2) negosiasi ulang kerjasama dengan pihak ketiga; (3) akomodasi terhadap penerimaan dinas eks kanwil, dan; (4) optimalisasi sumbangan pihak ketiga. Sedangkan pelajaran yang terkait dengan peningkatan investasi adalah: (1) dukungan infrastruktur dasar dan penunjang, politik, dan hankam; (2) revitalisasi institusi dibidang investasi; (3) kerjasama regional; (4) kemudahan informasi, dan; (5) pemberian fasilitas insentif. 4.2.3 Pengelolaan Keuangan Daerah Secara umum ketersediaan perangkat keras dan perangkat lunak komputer sebagai pendukung system akuntansi dinilai cukup memadai. Namun dalam rangka mengantisipasi pemberlakuan Sistem Anggaran Berbasis Kinerja pada penyusunan APBD dan ketentuan pengelolaan keuangan lainnya, maka perangkat lunak yang dimiliki sekarang perlu ada penyesuaian. Para responden menilai mereka telah menjalankan secara maksimum apa yang menjadi tugas pokok dan fungsinya. Beberapa hambatan koordinasi antar lembaga masih dirasakan, baik dalam konteks vertikal ataupun horizontal. Hal ini terjadi akibat belum adanya kejelasan peraturan dan ego masing-masing pihak. Dalam aspek sumber daya manusia, jumlah personel dinilai sudah memadai, namun kualitasnya masih perlu ditingkatkan sebagai konsekuensi dari: (1) implementasi peraturan dan kebijakan baru dibidang keuangan; (2) tuntutan peningkatan pelayanan dari masyarakat; (3) kemajuan teknologi, dan; (4) persaingan antar daerah, antara lain dalam hal menarik calon investor. 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan 1. Dilihat dari indikator kinerja PAD, secara umum provinsi-provinsi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) mempunyai kemampuan keuangan lebih baik jika dibanding provinsi-provinsi di Kawasan Timur Indonesia (KTI). 2. Provinsi yang mempunyai sumberdaya alam melimpah tidak serta merta memiliki kinerja PAD yang baik. 3. Berbagai upaya telah dilakukan daerah untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah dan mendorong potensi ekonomi lokal, melalui peningkatan PAD dan investasi berdasarkan potensi yang dimilikinya. 5.2 Rekomendasi 1. Daerah yang berada di kuadran II dan III atau IKK sedang, perlu mendapat dorongan agar PAD-nya tumbuh, disertai Belanja Daerah yang rasional sesuai kemampuan riil yang dimiliki daerah. Bagi daerah yang berada di kuadran IV atau IKK rendah, tampaknya perlu ada upaya-upaya khusus yang menyentuh penataan berbagai aspek seperti: (1) peningkatan kualitas SDM; (2) penyiapan sarana/prasarana dasar dan pendukung; (3) peraturan dan perundangan yang 11

memperhatikan aspek ekonomis, efisiensi, dan netralitas; (4) revitalisasi lembaga-lembaga terkait, termasuk desentralisasi kewenangan perijinan investasi; (5) lebijakan pemberian fasilitas insentif kepada investor yang lebih menarik, dan; (6) optimalisasi potensi perekonomian lokal sehingga bermanfaat kepada daerah. Upaya khusus ini dapat dilakukan berdasarkan inisiatif sendiri ataupun dengan dukungan fasilitasi dari pihak-pihak yang kompeten. 2. Keberadaan PAD hendaknya dipahami sebagai hasil ikutan dari tumbuhnya investasi di daerah. Dengan demikian kebijakan peningkatan PAD tidak boleh mengorbankan kepentingan jangka panjang yang berdampak lebih luas yaitu investasi sektor swasta. DAFTAR PUSTAKA Menteri Dalam Negeri, Kepmendagri No 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Undang-undang No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua. 12