Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

dokumen-dokumen yang mirip
Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (1)

PEMBERHENTIAN KARYAWAN (Pemutusan Hubungan Kerja) PERTEMUAN 14

Pemutusan Hubungan Kerja

BAB II PROSEDUR PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. A. Alasan Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR

Lex Administratum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016. Kata kunci: jamsostek, pemutusan hubungan kerja

SUB POKOK BAHASAN PENGERTIAN ALASAN-ALASAN PEMBERHENTIAN PROSES PEMBERHENTIAN PASAL 153, UU PERBURUHAN NO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

BAB II PENGATURAN PHK DENGAN ALASAN EFISIENSI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. A. PHK dengan Alasan Efisiensi dalam Peraturan Perundang-undangan

Perselisihan dan Pemutusan. hubungan kerja. berhak memutuskannya dengan pemberitahuan pemutusan BAB 4

PHK BOY BUCHORI ALKHOMENI HASIBUAN DITINJAU MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam pembangunan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA YANG MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA MEMPUNYAI IKATAN PERKAWINAN DALAM PERUSAHAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum tentang Hukum Ketenagakerjaan. Menurut Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) Tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (Termination of Employment Relationship) Amalia, MT

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1. 1) Setiap bentuk usaha milik swasta yang memperkerjakan pekerjaan dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak.

STANDARISASI PEMUTUSAN

Pasal 150 UUK KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-02/MEN/ 1993 TAHUN 1993 TENTANG KESEPAKATAN KERJA WAKTU TERTENTU

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184

c. bahwa unluk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Lex Privatum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013. Artikel skripsi. Dosen Pembimbing Skripsi: Soeharno,SH,MH, Constance Kalangi,SH,MH, Marthen Lambonan,SH,MH 2

BAB II LANDASAN TEORI Tinjauan Umum Tentang Ketenagakerjaan. berbeda antara pendapat yang satu dengan pendapat lainnya. 1

MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA Nomor : Kep / Men / 2000 TENTANG

MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA Nomor : Kep / Men / 2000 TENTANG

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB I PENDAHULUAN. Masalah ketenagakerjaan adalah salah satu masalah pokok yang sangat

MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA Nomor : Kep / Men / 2000 TENTANG

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: KEP-150/MEN/2000 TENTANG

PERATURAN - PERATURAN PENTING DALAM UU KETENAGAKERJAAN NO 13 TAHUN 2003

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA PEMBERHENTIAN PEGAWAI

PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU Nomor :...

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS DAN KASUS POSISI. pekerja diikat oleh suatu perjanjian yang disebut perjanjian kerja.

UNDANG-UNDANG NO. 21 TH 2000

Oleh: Arum Darmawati. Disampaikan pada acara Carrier Training Preparation UGM, 27 Juli 2011

BAB I PENDAHULUAN. pekerja, perusahaan tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya dalam

MAKALAH MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA PEMBERHENTIAN PEGAWAI

RINGKASAN PERATURAN KETENAGAKERJAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 Oleh: Irham Todi Prasojo, S.H.

BAB I PENDAHULUAN. pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) OLEH PERUSAHAAN KARENA KESALAHAN BERAT YANG DILAKUKAN OLEH PEKERJA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.

BAB I PENDAHULUAN. asasi tenaga kerja dalam Undang-Undang yang tegas memberikan. bahkan sampai akhirnya terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan bunyi Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan kerja yang dianut di Indonesia adalah sistem hubungan industrial yang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu syarat keberhasilan pembangunan nasional kita adalah kualitas

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian Manajemen dan Manajemen Sumber Daya Manusia. Manajemen berperan dalam mengkombinasikan faktor-faktor

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang berkembang dengan jumlah penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan

AKIBAT HUKUM TERHADAP PENGUSAHA YANG MELAKUKAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KEPADA PEKERJA YANG SAKIT

CONTOH SURAT PERJANJIAN KERJA

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial

Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lex Administratum, Vol. II/No.1/Jan Mar/2014

Hukum Ketenagakerjaan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 1997/73, TLN 3702]

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

BUPATI GARUT P E R A T U R A N B U P A T I NOMOR 146 TAHUN 2012

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MERGER BANK DAN TENAGA KERJA 2.1 TINJAUAN UMUM TENTANG MERGER BANK Pengertian dan Dasar Hukum Merger Bank

Serikat Pekerja/Serikat Buruh

BAB I PENDAHULUAN. pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan atau perlawanan

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peran adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan-patokan perilaku, pada

BAB II KETENTUAN HUKUM MENGENAI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Istilah majikan dapat disebut juga sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. beragam seperti buruh, pekerja, karyawan, pegawai, tenaga kerja, dan lain-lain.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KETENAGAKERJAAN DAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT)

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dengan Pengusaha/Majikan, Undangundang

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

Tata Cara Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja/PHK

MOGOK KERJA DAN LOCK-OUT

-2-1. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/bu

BAB I PENDAHULUAN. pengusaha maupun pekerja/buruh. Fakta menunjukkan bahwa PHK seringkali

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. A. Pelindungan Hukum Terhadap Pekerja Yang Mengalami Pemutusan. Undang Dasar Alinea pertama yaitu:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) JENIS-JENIS PHK

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

SURAT PERJANJIAN KERJA

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

MEMUTUSKAN : BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. menyambung hidupnya.untuk bisa mendapatkan biaya tersebut setiap orang

BAB I PENDAHULUAN. yang dibuat sendiri maupun berkerja pada orang lain atau perusahaan. Pekerjaan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Transkripsi:

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA BERDASARKAN UNDANG - UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN 1 Oleh: Ryan A. Turangan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah alasan-alasan dilakukannya pemutusan hubungan kerja yang ditinjau dari Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh dan akibat hukum bagi pihak perusahaan yang melanggar perintah Undang-Undang nomor 13 tahun 2003, di mana dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1`. Undang-Undang No 13 tahun 2003, ada beberapa alasan bagi perusahaan untuk melakukan PHK. Yaitu antara lain; pekerja buruh melakukan kesalahan berat, pekerja/buruh diduga Melakukan Tindak Pidana, Pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, pekerja buruh mengundurkan diri, PHK karena likuidasi, perusahaan melakukan efisiensi. 2. Pasal 152 UU Ketenagakerjaan secara eksplisit menjelaskan bahwa Pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan. Dan pasal 155 ayat (2): Bahwa, Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Kata kunci: pemutusan hubungan kerja, hubungan kerja PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah pemutusan hubungan kerja selanjutnya disingkat (PHK) selalu menarik untuk dikaji dan ditelaah lebih mendalam. Karena persolan PHK akan sangat berpengaruh kelangsungan hidup bagi para pekerja dan 1 Artikel skripsi. Pembimbing skripsi: Godlieb N. Mamahit, SH, MH; Atie Olii, SH, MH; Paula H., Lengkong, SH, MH. 2 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado; NIM: 060711114. pengusaha. PHK sendiri dapat diartikan sebagai pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan/majikan. Setiap alasan PHK diatas mengandung konsekuensi yang berbeda, khususnya mengenai hak para pekerja yang di PHK karena ada yang karena PHK pekerja tersebut harus mendapatkan uang pesangon, uang penggantian hak dan uang penghargaan masa kerja. Walapun aturan soal PHK dan konsekuensi yang yang harus diterima oleh pekerja dan atau dilakukan oleh pengusaha sudah diatur oleh Undang-Undang Tenaga Kerja dengan rinci akan tetapi persoalan PHK selalu menjadi Perdebatan. Ada pekerja yang menganggap tidak pantas untuk di PHK, ada yang menganggap proses PHK yang dikenakan kepadanya tidak sesuai dengan prosedur bahkan ada pelaku usaha yang telah melakukan PHK akan tetapi tidak mau membayar uang Pesangon atau pengganti Hak. B. Perumusan Masalah 1. Apakah alasan-alasan dilakukannya pemutusan hubungan kerja yang ditinjau dari Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan? 2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh dan akibat hukum bagi pihak perusahaan yang melanggar perintah Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan? C. Metode Penulisan Penelitian ini bersifat normatif, atau disebut juga dengan penelitian normatif. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji yang dikutip oleh Bachrul Amiq bahwa penelitian normatif ialah suatu penelitian yang mengutamakan pengkajian terhadap ketentuan ketentuan hukum positif maupun asas asas hukum umum. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian dengan mendasarkan pada bahan hukum baik primer maupun sekunder. PEMBAHASAN A. Alasan-Alasan Dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja Berdasarkan Undang- 66

Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pemutusan Hubungan Kerja diatur secara rinci dan jelas dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 dalam Pasal 164 ayat (3) yang menyatakan: Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). 3 Banyak pihak yang menafsirkan bahwa salah satu alasan yang dapat digunakan perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerjanya adalah karena melakukan efisiensi. Padahal, sebenarnya Undang-Undang Ketenagakerjaan sendiri tidak pernah mengenal alasan PHK karena melakukan efisiensi. Kesalahan penafsiran tersebut mungkin terjadi karena banyak pihak yang kurang cermat membaca redaksional pada ketentuan yang ada. Dengan kondisi ini sering sekali dijadikan celah oleh pihak perusahaan untuk menghilangkan hak warga negara untuk bekerja sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (2) UUD 1945; Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Sebab, pekerja dapat setiap saat di PHK dengan dalih efisiensi meski tanpa kesalahan dan kondisi perusahaan dalam keadaan baik sekalipun. Karena itu, Pasal 164 ayat (3) inkonstitusional. Tanggapan lain menyatakan bahwa tujuan perusahaan melakukan PHK dengan alasan efisiensi dilatarbelakangi oleh tujuan untung mengurangi beban perusahaan supaya dapat tetap beroperasi. Sehingga seperti dalam kondisi krisis global yang mengharuskan pengurangan pekerja, pengusaha tidak perlu 3 Lihat pasal 164 ayat 3. Undang-Undang No.13 Tahun. khawatir melakukan PHK karena efisiensi sebab ada alasan hukum pasal 164 ayat (3) Undang- Undang No. 13 Tahun 2003. 4 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, istilah sengketa yang digunakan adalah perselisihan atau perselisihan hubungan industrial. UU PPHI Pasal 1 angka 1 menyatakan: Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. 5 Pasal 1 angka 4 UU PPHI menyatakan: Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. 6 Bahasa yang lebih sederhana atau mudah untuk menggambarkan ketentuan tersebut, baik pihak pengusaha/perusahaan maupun pekerja berbeda pendapat mengenai kapan suatu hubungan kerja berakhir. Pihak pengusaha kadang-kadang melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pihak pekerja, tetapi pihak pekerja merasa dirugikan atas keputusan tersebut karena merasa masih berhak untuk bekerja. Undang-Undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, PHK merupakan atau dapat menjadi salah satu penyebab Perselisihan Hubungan Industrial. Pada pasal 150 sampai dengan pasal 172 Undang-Undang Ketenagakerjaan dapat diketahui mengenai segala sesuatu terkait PHK, termasuk salah satunya mengenai alasanalasan melakukan PHK. Namun sayangnya 4 Abdul R. Bodiono. Hukum Perburuhan. PT Indeks. Jakarta. 2009. Hlm 79 5 Lihat pasal 1 angka 1. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 6 Lihat pasal 1 angka 1. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 67

banyak pihak yang salah menafsirkan mengenai alasan-alasan melakukan PHK tersebut, mungkin dikarenakan keterbatasan pemahaman atau juga karena redaksional / klausul pada Undang-Undang. Ketenagakerjaan yang banyak disebut mengandung ambiguitas. Salah satu kesalahan penafsiran yang sering terjadi adalah pada ketentuan pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan, dimana disebutkan Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi,. Hal ini dapat menjadi beban dan tanggung jawab yang berat bagi Divisi Sumber Daya Manusia/Personalia untuk dapat melakukan PHK karena efisiensi, tanpa menimbulkan perselisihan hubungan industrial dengan pekerja. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan dan sosialisasi yang efektif dan insentif kepada pekerja supaya dapat memahami kondisi perusahaaan. Pendekatan orang tua (perusahaan) dan anak (pekerja) akan lebih mengena dibandingkan dengan pendekatan hukum. Namun demikian, pemahaman atas ketentuan Undang-Undang No.13 dan Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial merupakan syarat mutlak yang harus dipahami sehingga tidak menjadikan bom atom bagi perusahaan karena harus menghadapi gugatan pekerja di kemudian hari. 7 Ada sepuluh alasan bagi perusahaan untuk mem-phk Anda dengan mengacu kepada Undang-Undang No. 13 tahun 2003. Yaitu 1. Pekerja/buruh melakukan Kesalahan Berat Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan inkonstitusional, maka pengusaha tidak lagi dapat langsung melakukan PHK apabila ada dugaan pekerja melakukan kesalahan berat. Berdasarkan asas praduga tak bersalah, pengusaha baru dapat melakukan PHK apabila pekerja terbukti melakukan kesalahan berat yang termasuk tindak pidana. Atas putusan MK 7 Abdul R. Bodiono. Op. Cit. Hlm 82 ini, Depnaker mengeluarkan surat edaran yang berusaha memberikan penjelasan tentang akibat putusan tersebut. 8 Pasal 158 UU Ketenagakerjaan, ayat 1 berbunyi, "Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut: a. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; b. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; c. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja; d. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja; e. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja; f. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; g. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja; h. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau i. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. 9 Jenis kesalahan berat lainnya dapat diatur dalam Perjanjian Perusahaan Atau Perjanjian 8 Di akses dari situs http://beritahr.wordpress.com/category/industrialrelation/. Industrial Relation, Artikel Kasus PHK menjadi Kasus Terpopuler. Pada tanggal 23 Desember 2015. 9 Lihat pasal 158 ayat 1. Undang-Undang No.13 Tahun 68

Kerja Bersama (PP/PKB), tetapi apabila terjadi PHK karena kesalahan berat (dalam PP/PKB) tersebut, harus mendapat izin dari lembaga yang berwenang. Demikian juga sebelum melakukan PHK, harus terlebih dahulu melalui mekanisme yang ditentukan, misalnya dengan memberi surat peringatan (baik berturut-turut, atau surat peringatan pertama dan terakhir) untuk jenis kesalahan berat yang ditentukan PP/PKB. 10 Namun, perlu kita ketahui bahwa alasan PHK berupa kesalahan berat yang dimaksud pada Pasal 158, ayat 1 harus didukung dengan bukti misalnya: 1. Pekerja/buruh tertangkap tangan; 2. Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau 3. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. 11 2. Pekerja/buruh Diduga Melakukan Tindak Pidana Istilah Tindak Pidana adalah berasal dari kata istilah yang dikenal dalam Hukum Belanda yaitu Strafbaar Feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan Strafbaar Feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keragaman pendapat. 12 Menurut wujud dan sifatnya, tindak pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dapat pula dikatakan bahwa perbuatan pidana ini adalah 10 Adrian Sutedi. Hukum Perburuhan. Sinar Grafika. Jakarta. 2009. Hal 74 11 Lihat pasal 158 ayat 2. Undang-Undang No.13 Tahun 12 Adam Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana I. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2002. Hal 67 perbuatan yang anti sosial. Pasal 160, ayat 1 menyebutkan, "Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha," 3. Pekerja/buruh Melakukan Pelanggaran Ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja Pasal 161, ayat 1 menyebutkan, "Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut." Bila Anda tidak mengindahkan peraturan perusahaan dan Anda tidak mengindahkan surat peringatan yang diberikan oleh perusahaan kepada Anda- ini bisa menjadi alasan PHK untuk pekerja. 13 4. Pekerja/buruh Mengundurkan Diri Salah satu jenis PHK yang inisiatifnya dari pekerja/buruh adalah pengakhiran hubungan kerja karena pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan dilakukan tanpa penetapan (izin). Syarat yang harus dipenuhi apabila seorang pekerja/buruh mengundurkan diri agar mendapatkan hak-haknya dan mendapatkan surat keterangan kerja/eksperience letter adalah permohonan tertulis harus diajukan selambat-lambatnya 30 hari sebelum hari h tanggal pengunduran diri. Hal yang harus dilakukan pekerja/buruh yang mengundurkan diri adalah sebagai berikut : a. Pekerja/buruh tidak terikat dalam ikatan dinas; b. Selama menunggu hari h, pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewajiban sampai tanggal pengunduran diri dari yang ditentukan. Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan pengganti formasi 13 Lihat pasal 161 ayat 1. Undang-Undang No.13 Tahun 69

untuk jabatan dimaskud atau dalam rangka transfer of knowledge. 14 5. PHK Karena terjadi Perubahan Status, Pengabungan, Peleburan, atau Perubahan Kepemilikan Perusahaan. Apabila terjadi PHK karena terjadi perubahan status, penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi) atau perubahan kepemilikan perusahaan (akuisisi), dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja maka terhadap pekerja/buruh berhak atas uang pesangon satu kali dan uang pengganti hak. Apabila PHK yang terjadi disebabkan oleh perubahan status, merger, atau konsolidasi, dan pengusaha tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja dengan pekerja/buruh berhak uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang pengganti hak. Pasal 163, ayat 1 menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja." 15 6. PHK karena Likuidasi Pasal 164, ayat 1 menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur)" Kerugian perusahaan yang dimaksud harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik. 16 7. Perusahaan melakukan efisiensi Ini merupakan alasan PHK yang sering digunakan. Pasal 164, ayat 3 menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami 14 Penjelasan pasal 162. Undang-Undang No.13 Tahun 15 Penjelasan pasal 162. Undang-Undang No.13 Tahun 16 Penjelasan pasal 164 ayat 1. Undang-Undang No.13 kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi. 17 B. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Dan Akibat Hukum Bagi Pihak Perusahaan Yang Mengabaikan Perintah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. 1. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 PHK dapat diartikan sebagai langkah pengakhiran hubungan kerja antara buruh (pekerja) dengan majikan (pengusaha) yang disebabkan karena suatu keadaan tertentu. 18 Pasal 1 angka 25 UU No. 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa, PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Pada praktiknya, PHK dilakukan karena telah berakhirnya waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja bersama sehingga hal tersebut tidak menimbulkan suatu permasalahan oleh kedua belah pihak, namun hal ini berbeda apabila terjadi suatu PHK padahal belum berakhirnya waktu yang telah ditetapkan atau terjadi karena perselisihan antara kedua belah pihak yakni pihak pekerja dengan pengusaha. Hal ini menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi pekerja karena disini pekerja mempunyai kedudukan yang sangat lemah dibandingkan dengan pengusaha. Untuk itu perlu ditinjau lebih seksama lagi mengenai PHK yang dilakukan oleh pengusaha untuk menjamin perlindungan bagi pihak pekerja. Dalam Pasal 153 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 mengatur mengenai larangan PHK oleh Pengusaha, hal ini sebagaimana dinyatakan Pengusaha dilarang melalukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: 1) Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; 17 Penjelasan pasal 164 ayat 3. Undang-Undang No.13 18 Zainal Asikin, Agusfian Wahab dkk. Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2012. Hal 173 70

2) Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3) Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; 4) Pekerja/buruh menikah; 5) Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya; 6) Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; 7) Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/buruh di luar jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja; 8) Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan; 9) Karena perbedaan paham. Agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; 10) Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan. Ayat (2); Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. 19 Bahwa dalam hal pemutusan hubungan kerja harus ada penetapan putusan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan indsutrial, dalam hal ini adalah pengadilan hubungan industrial. Hal tersebut jelas dimuat dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, yaitu pasal 152: Ayat (1); Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya. Ayat (2); Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah diundangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2). Ayat (3); Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan. 20 Jelas apa yang dijelaskan dalam Undang- Undang Ketenagakerjaan bahwa status pemutusan hubungan kerja sah apabila ada penetapan putusan dari pengadilan hubungan industrial. Jadi selama belum ada putusan dari pengadilan hubungan industrial buruh/pekerja tetap melaksanakan kewajibannya. Hal ini jelas diuraikan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, pasal 155 ayat (2): Bahwa, Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Permasalahannya pihak perusahaan dapat melakukan penyimpangan terkait dengan pasal 155 ayat 2 tersebut, yaitu dengan tindakan skorsing. Pasal 155 ayat 3 menyebutkan bahwa: Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa 19 Lihat pasal 153 ayat 1 dan 2. Undang-Undang No.13 20 Lihat pasal 152. Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 71

tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh. 21 Dalam hal melakukan PHK, pengusaha tidak bisa begitu saja melakukan PHK tanpa memberikan hak-hak PHK atau kompensasi yakni sebagaimana tercantum dalam UU No 13 Tahun 2003 Pasal 156 ayat (1) menyatakan dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam pasal 156 ayat 1 dijelaskan bahwa: Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Ayat (2); Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut: a) Masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah; b) Masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah; c) Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah; d) Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah; e) Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah; f) Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah; g) Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah. h) Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah; i) Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah. Ayat (3); Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a) Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah; b) Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah; c) Masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah; d) Masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah; e) Masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah; f) Masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; g) Masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah; h) Masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah. 22 2. Akibat Hukum Bagi Pihak Perusahaan Yang Mengabaikan Perintah Undang- Undang Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur akibat hukum bagi pelanggar (pekerja dan pengusaha) yang tidak mentaati peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Bentuk akibat hukum yang dapat dikenakan bagi yang melanggar ketentuan tersebut terdiri atas dua (2) macam yaitu: a. Ketentuan pidana; dan b. Sanksi Administratif. a. Ketentuan Pidana, dalampasal 183, Pasal 184, Pasal 185, Pasal 186, Pasal 187, Pasal 188, dan Pasal 189. b. Ketentuan Administratif, dalam Pasal 190. 21 Lihat pasal 155 ayat 2 dan 3. Undang-Undang No.13 22 Lihat pasal 156 ayat 1,2 dan 3. Undang-Undang No.13 72

PENUTUP A. Kesimpulan 1. Undang-Undang No 13 tahun 2003, ada beberapa alasan bagi perusahaan untuk melakukan PHK. Yaitu antara lain; pekerja buruh melakukan kesalahan berat, pekerja/buruh diduga Melakukan Tindak Pidana, Pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, pekerja buruh mengundurkan diri, PHK karena likuidasi, perusahaan melakukan efisiensi. 2. Pasal 152 UU Ketenagakerjaan secara eksplisit menjelaskan bahwa Pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan. Dan pasal 155 ayat (2): Bahwa, Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Akibat hukum yang dapat dikenakan bagi yang melanggar ketentuan tersebut terdiri atas dua (2) macam yaitu; Ketentuan pidana; dan Sanksi Administratif. Sanksi Pidana; pasal 183,184, 185, 186, 187, 188, 189. Sedangkan ketentuan administratif yaitu pasal 190. B. Saran 1. Berdasarkan beberapa alasan yang dijelaskan oleh Undang-Undang terhadap pemutusan hubungan kerja oleh perusahan, maka pihak perusahaan janganlah menjadikan pasal tersebut menjadi alasan untuk melakukan PHK terhadap pekerja/buruh. Harus adanya keterbukaan antara pekerja dan pimpinan perusahaan. Dan juga pihak buruh atau pekerja jangan takut untuk menuntut hakhak yang dilindungi oleh Undang-Undang. Dan juga bagi pekerja sebaiknya bekerja lebih hati-hati dan mengikuti peraturan di perusahaan, sehingga memperkecil kemungkinan pengusaha dalam melakukan pemutusan hubungan kerja. 2. Pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan agar di dalam peraturan Perundang-Undangan lebih rinci lagi dengan mengatur hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja, sehingga memperkecil terjadinya perselisihan hubungan industrial. Selain itu, instansi yang terkait di bidang ketenagakerjaan juga lebih memperdalam fungsi pengawasannya. Dalam hal ini, seharusnya pihak pengusaha terlebih dahulu memberikan kepastian mengenai status hukum pekerja/buruh, sehingga hak dan kewajiban masing-masing pihak dapat terpenuhi, agar tidak terjadi perselisihan, dan perlu adanya komunikasi dan keterbukaan dari pihak pengusaha terhadap pekerja/buruh begitupun sebaliknya. Diperlukan adanya pengawasan pihak pengadilan setelah diputuskannya perkara untuk mengontrol apakah putusan ini memberi pengaruh terhadap masing-masing pihak, baik pihak yang kalah maupun yang menang. DAFTAR PUSTAKA Amirudin, dan H. Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2004 Abdul R. Bodiono. Hukum Perburuhan. PT Indeks. Jakarta. 2009 Adrian Sutedi. Hukum Perburuhan. Sinar Grafika. Jakarta. 2009 Adam Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana I. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2002 Asri wijayanti. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Sinar Grafika. Surabaya. 2009 Bambang Sunggono. Metode Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2011 Frans Magnis Suseno. Etika Politik Prinsipprinsip Moral Dasar Modern. Gramedia. Pustaka Utama. Jakarta. 1999 Imam Soepomo. Pengantar Hukum Perburuhan. Djambatan. Jakarta. 1983 Iman Soepomo. Pengantar Hukum Perburuhan. Djambatan. Jakarta. 2003 73

Koko Kosidin. Perjanjian Kerja Perjanjian Perburuhan Perjanjian Perusahaan. Mandar Maju. Bandung. 1999 Lalu Husni. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2007 Much Nurachmad. Tanya Jawab Seputar Hak- Hak Tenaga Kerja Kontrak (Outsourcing). Visi Media. Jakarta. 2009 Djumadi. Perjanjian Kerja. Radjawali Pers. Jakarta. 1995 Rocky Marbun. Jangan Mau di PHK Begitu Saja. Visi Media. Jakarta. 2010 R. Indiarsoro dan Mj. Saptemo. Hukum Perburuhan ( Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja dalam Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja). Karunia. Surabaya. 1996 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2004 Soerjono Soekanto. Pokok pokok Sosiologi Hukum. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2009 Sri Subiandini Gultom. Aspek hukum hubungan industrial. Inti Prima Promo Sindo. Jakarta. 2008 Whimbo Pitoyo. Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan. Visi media. Jakarta. 2010 Zainal Asikin, Agusfian Wahab dkk. Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta 74