Jurnal GEA Jurusan Pendidikan Geografi Vol. 6, No.2, Oktoner 2006

dokumen-dokumen yang mirip
Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA)

BAB III PENUTUP. oleh undang-undang, maka semakin besar pula peluang pengekploitasian hak asasi anak

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk mengurangi kemiskinan. Namun pertumbuhan ekonomi yang

WALI KOTA SAMARINDA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR... TAHUN... T E N T A N G

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 9 TAHUN 2004 T E N T A N G ZONA BEBAS PEKERJA ANAK DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA

Oleh : Amin Budiamin

WALI KOTA SAMARINDA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG ZONA BEBAS PEKERJA ANAK

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK

BAB I PENDAHULUAN

K182 PELANGGARAN DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN

Situasi Global dan Nasional

Profil Pekerjaan yang Layak INDONESIA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN KARAWANG

BAB I PENDAHULUAN. Tidak jarang terlihat dalam keluarga kelas bawah untuk menambah pendapatan seluruh

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai Negara berkembang sedang giat melakukan pemba

Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat kerja. Lusiani Julia Program Officer ILO Jakarta April 2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut KHA definisi anak secara umum adalah manusia yang umurnya belum

DEPUTI PERLINDUNGAN PEREMPUAN KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK RI

Gambar Perkembangan Kemiskinan di Indonesia,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN

K138 USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA

I. PENDAHULUAN. Dalam hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia,

I. PENDAHULUAN. keberadaan pekerja anak telah memberikan kontribusi dalam perekonomian.

BAB I PENDAHULUAN. kasih sayang, dan perlindungan oleh orangtuanya. Sebagai makhluk sosial, anakanak

KEBIJAKAN DAN PROGRAM AKSI

BAB III INKONSISTENSI KETENTUAN HUKUM PEKERJA ANAK Kontradiksi Pengaturan Tentang Pekerja Anak

15B. Catatan Sementara NASKAH REKOMENDASI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional

BAB 23 PERBAIKAN IKLIM KETENAGAKERJAAN

BAB I PENDAHULUAN. oleh orang dewasa. Hal ini disebabkan oleh anak-anak yang dianggap masih

BAB I PENDAHULUAN. feminisme yang berkembang mulai abad ke-18 telah menjadi salah satu penanda

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

R201 Rekomendasi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Rangga, 2011

BAB I PENDAHULUHAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kesenjangan ekonomi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada saat ini

BAB I PENDAHULUAN. Anak adalah amanah sekaligus karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang

Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. sewajarnya menjamin dan melindungi hak-hak anak, baik sipil, sosial, politik,

BAB II. Organisasi Buruh Internasional. publik. Dimana masih sering terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai dampak negatif bagi generasi penerus bangsa. terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya

BAB I PENDAHULUAN. yang masih berada dalam kandungan. Pada UU RI no.23 Tahun 2002 Bab III

BAB III METODE PENELITIAN. data utama yang digunakan adalah data ketenagakerjaan dan pendapatan regional

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan aset masa depan dalam kehidupan berbangsa. Anak

Melebihi Batas Pertanian

K 95 KONVENSI PERLINDUNGAN UPAH, 1949

K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011

HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN

15A. Catatan Sementara NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK)

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan aset dan generasi penerus bagi keluarga, masyarakat

K100 UPAH YANG SETARA BAGI PEKERJA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN UNTUK PEKERJAAN YANG SAMA NILAINYA

BAB 22 PERBAIKAN IKLIM KETENAGAKERJAAN

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan pekerja rumah tangga atau yang lebih dikenal sebagai pembantu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. ( kekuatan posisi tawar (Bargaining Power) yang sejajar dengan pengusaha dan

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA UTARA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK BAGI ANAK

Bab 1 PENDAHULUAN FENOMENA SOSIAL ANAK JALANAN 1

PENDAHULUAN Latar Belakang

KONVENSI NO. 138 MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA ANAK DI KOTA DENPASAR

Lapangan Kerja bagi Kaum Muda

Kerangka Analisis untuk Mengintegrasikan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dengan Kewajiban Pemenuhan Hak-hak Asasi Manusia untuk di Indonesia

RESUME. Situasi anak secara umum di India menunjukkan banyak. ketidakadilan yang serius yang dialami oleh anak-anak

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok

Anak yang Bekerja dan Pekerja Anak

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Data Anak Jalanan Tahun

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN RIAU AGUSTUS 2016

Menilai Pekerjaan Layak di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Di_Terminal_Amplas_%28Studi_Kasus_Anak_yang_Bekerja_Sebagai_Penyapu_An

LAPORAN HASIL SURVEY PERLINDUNGAN MATERNITAS DAN HAK-HAK REPRODUKSI BURUH PEREMPUAN PADA 10 AFILIASI INDUSTRIALL DI INDONESIA

BERITA RESMI STATISTIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 1997/73, TLN 3702]

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI ILO NO. 138 MENGENAI

BAB I PENDAHULUAN. di kota-kota maupun di desa-desa. Banyak keluarga mempunyai Pembantu Rumah

K177 Konvensi Kerja Rumahan, 1996 (No. 177)

PEKERJA ANAK. Dibahas dalam UU NO 13 Tahun 2003 Bab X Perlindungan, Pengupahan, dan Kesejaterahan Bagian 1 Paragraf 2.

Kode Etik Pemasok. Pendahuluan

PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENYERAPAN TENAGA KERJA DI INDONESIA. Oleh: Iwan Setiawan*)

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

K 183 KONVENSI PERLINDUNGAN MATERNITAS, 2000

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA AGUSTUS 2015 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,07 PERSEN

KONVENSI KETENAKERJAAN INTERNASIONAL KONVENSI 182 MENGENAI PELARANGAN DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK

BAB IV UPAYA DAN HAMBATAN ILO DALAM MENANGGULANGI KASUS PEKERJA ANAK DI THAILAND

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN FEBRUARI 2011

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI BUPATI MADIUN,

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2009

PERAN WANITA DALAM PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA NELAYAN DI DESA TASIKAGUNG KECAMATAN REMBANG KABUPATEN REMBANG JAWA TENGAH

Ringkasan Proyek TUJUAN MITRA UTAMA JANGKA WAKTU. 3 tahun (2014 September 2017) Regional International Domestic Workers Federation (IDWF) DONOR

BAB I PENDAHULUAN. Usia Pekerja Jumlah Pekerja Tahun Survei Tahun Tahun ±

COMPANY POLICY OF EMPLOYMENTS 2016

INPRES 14/1999, PENGELOLAAN PROGRAM AKSI KEPENDUDUKAN DI INDONESIA

Keadaan Ketenagakerjaan Maluku Utara Agustus 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2013

Indikator Ketenagakerjaan KABUPATEN WAROPEN TAHUN Oleh : Muhammad Fajar

Transkripsi:

PEKERJA ANAK DAN PERMASALAHANNYA Oleh: Nandi*) ABSTRAK Permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia akan bertambah dengan adanya pengeksploitasian dan keberadaan pekerja anak. Pekerja anak adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil. Istilah pekerja anak dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka, dengan gaji yang kecil atau pertimbangan bagi perkembangan kepribadian mereka, keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depan. Kebanyakan dari para pekerja anak tidak sempat lagi menikmati masa bermain atau bersekolah sebagaimana anak-anak yang lain. Mereka yang belum cukup umur itu, bekerja keras layaknya orang dewasa, baik di sektor formal maupun informal. Upaya penyelamatan masa depan pekerja anak diperlukan model pemecahan yang bersifat holistik-komprehensif. Dari berbagai pendekatan yang bisa dilakukan, diantaranya melalui pendekatan yang bersifat client centered (berpusat pada klien/pekerja anak) yang merupakan pendekatan manajemen kasus. Kata kunci: Pekerja anak, Ketenagakerjaan, Penanggulangan pekerja anak. 1. Pendahuluan Anak adalah generasi yang akan menjadi penerus bangsa sehingga mereka harus dipersiapkan dan diarahkan sejak dini agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak yang sehat jasmani dan rohani, maju, mandiri, dan sejahtera menjadi sumber daya yang berkualitas dan dapat menghadapi tantangan di masa datang. Setiap anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang sehingga orang orangtua dilarang menelantarkan anaknya, sebagaimana diatur oleh Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Orang tua dapat dikenakan sanksi hukuman kurungan yang cukup berat, termasuk perusahaan yang mempekerjakan anak di bawah umur. *) Nandi, S.Pd., adalah Dosen Jurusan Pendidikan Geografi FPIPS UPI.

Walaupun demikian, ternyata masih banyak anak-anak yang tidak dapat menikmati hak tumbuh dan berkembang karena berbagai faktor yang berkaitan dengan keterbatasan kemampuan ekonomi keluarga atau kemiskinan. Keluarga miskin, terpaksa mengerahkan sumber daya keluarga untuk secara kolektif memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi demikian mendorong anak-anak yang belum mencapai usia untuk bekerja terpaksa harus bekerja. Hasil penelitian menunjukkan, anakanak yang bekerja ternyata bukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, melainkan justru untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun. Anak-anak boleh dipekerjakan dengan syarat mendapat izin orang tua dan bekerja maksimal 3 jam sehari. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001 tentang Penanggulangan Pekerja Anak Pasal 1, menyatakan bahwa pekerja anak adalah anak yang melakukan semua jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan dan menghambat proses belajar serta tumbuh kembang, ayat selanjutnya menyatakan bahwa Penanggulangan Pekerja Anak atau disebut PPA adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk menghapus, mengurangi dan melindungi pekerja anak berusia 15 tahun ke bawah agar terhindar dari pengaruh buruk pekerjaan berat dan berbahaya. Pekerja anak adalah masalah sosial yang telah menjadi isu dan agenda global bangsa-bangsa di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Data Organisasi Buruh Internasional (ILO) menunjukkan, jumlah pekerja anak di dunia mencapai sekitar 200 juta jiwa. Dari jumlah itu, 75 persen berada di Afrika, 7 persen di Amerika Latin, dan 18 persen di Asia. Di Indonesia, diperkirakan terdapat 2,4 juta pekerja anak. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka lebih besar, yaitu 2,5 juta jiwa. Angka yang tercatat tersebut baru data anak jalanan, belum termasuk anak-anak yang terjun di sektor industri. Menurut BPS, usia yang dapat dikategorikan pekerja anak adalah mereka yang berumur 10-14 tahun. Jika katagori yang dipakai lebih luas sesuai dengan instrumen internasional tentang anak, yaitu usia 0-18 tahun, jumlah pekerja anak akan jauh lebih besar. Pekerja anak diyakini akan terus bertambah menyusul krisis ekonomi yang tidak kunjung usai sejak tahun 1997. Kecenderungan meningkatnya jumlah pekerja anak dapat dilihat dari meningkatnya anak jalanan setiap tahunnya. Dalam banyak kasus, anak-anak yang masuk ke pasar kerja merupakan rasionalisasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang dilanda kemiskinan.

Sumbangan pekerja anak untuk ekonomi keluarga tidak kecil. Menurut laporan yang diungkap PBB, pekerja anak rata-rata memberi sumbangan 20 persen bagi ekonomi keluarga. Bahkan, berdasarkan hasil survei Yayasan Pendidikan Indonesia tahun 2001, terungkap bahwa 100 persen anak-anak bekerja atas kemauan sendiri. Hal yang menarik, anak-anak juga merasakan manfaat selama mereka bekerja. Beberapa manfaat yang diakui para pekerja anak sebagai faktor yang mendorong mereka bekerja adalah mendapat uang setiap minggu, banyak teman, ada kegiatan yang bermanfaat, dapat membantu orangtua, dan ada pengalaman kerja. 2. Perkembangan Pekerja Anak Perkembangan pekerja anak tahun 2002-2003 dapat dilihat berdasarkan hasil Survey Angkatan Kerja Nasional yang diuraikan di bawah ini. Pada tahun 2002 terdapat 842, 228 ribu orang yang bekerja, menurun menjadi sebesar 566,526 ribu pada tahun 2003. Pekerja anak di perdesaan lebih banyak dibandingkan di perkotaan. Pada tahun 2002, anak yang bekerja di perdesaan berjumlah 82 persen, dan pada tahun 2003 menurun menjadi sebesar 447,027 persen. Di perkotaan, jumlah anak yang bekerja sebesar 18 persen atau 150,931 ribu. Tabel 1 Jumlah Anak Usia < 15 Yang Bekerja Tahun 2002-2003 Daerah 2002 % 2003 % Kota 150.931 18 119.499 21 Desa 691.297 82 447.027 79 Jumlah 842.228 100 566.526 100 Sumber : Sakernas, 2002 dan 2003. Sebagaimana diuraikan pada tabel di atas, pekerja anak lebih banyak berada di perdesaan dibandingkan perkotaan, padahal perdesaan erat kaitannya dengan sektor pertanian. Keadaan tersebut dapat dilihat dari tabel di bawah ini, dimana sebagian besar anak yang bekerja di sektor pertanian. Pada tahun 2002, 74 persen bekerja di sektor pertanian. Pada tahun 2003, jumlah tersebut menurun menjadi sebesar 63 persen. Selain itu, anak- anak yang bekerja pada sektor industri, pada tahun 2002, sebesar 25 dan menurun menjadi sebesar 19 persen pada tahun 2003. Sedangkan pekerja anak pada sektor jasa,

mengalami peningkatan dari sebesar 1 persen pada tahun 2002 menjadi sebesar 18 persen pada tahun 2003. Tabel 2 Jumlah Anak Usia < 15 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2002-2003 Lapangan Usaha 2002 % 2003 % 1. Pertanian 622.181 74 355.988 63 2. Industri 210.663 25 108.735 19 3. Jasa 9.385 1 101.804 18 Jumlah 842.228 100 566.526 100 Sumber : Sakernas 2002 dan 2003 Tabel 3 Status Pekerja Anak Tahun 2002-2003 Status 2002 % 2003 % Berusaha sendiri 33.084 4 23.993 4 Berusaha dibantu buruh 77.257 9 17.544 3 Pekerja tetap 463 0 0 0 Buruh/Karyawan 106.200 13 78.704 14 Pek. Bebas Pertanian 24.402 3 14.905 3 Pek. Bebas Non-Pertanian 18.198 2 12.512 2 Pekerja tak dibayar 582.624 69 418.868 74 Jumlah 842.228 100 566.526 100 Sumber : Sakernas 2002 dan 2003 Bila dilihat menurut status pekerjaan, anak-anak lebih banyak bekerja di sektor non-formal dibandingkan sektor formal. Sektor non formal terdiri atas berusaha sendiri, misalnya menjadi penjual koran, penyesemir sepatu, tukang parkir, atau jenis pekerjaan lain. Selain itu, yang bekerja bebas di sektor pertanian dan non pertanian serta sebagai pekerja tak dibayar berjumlah 78 persen pada tahun 2002. Dari jumlah tersebut, ternyata sebagian besar (69 persen) adalah pekerja tidak dibayar karena harus membantu usaha orang tua atau keluarga. Pada sektor formal, anak-anak yang bekerja sebagai pekerja tetap, pada tahun 2002 adalah 13 persen menjadi sebesar 14 persen

pada tahun 2003. yakni anak-anak yang bekerja di industri besar sebagai buruh tetap. 3. Status Praktek Pekerja Anak-Anak dan Upah Pekerja Minimum Buruh anak-anak ada baik di kota maupun desa, dan baik di sektor formal maupun non-formal. Sebuah survei oleh Himpunan Kesejahteraan Anak Indonesia pada 1996 menemukan bahwa 1,92 juta anak-anak berumur antara 10 dan 14 tahun bekerja paling tidak 4 jam sehari. Himpunan itu percaya bahwa angka ini berarti 8,5 persen dari semua anak-anak. Namun jumlah keseluruhan anak-anak yang bekerja barangkali jauh lebih tinggi karena dokumen tentang usia anak-anak mudah sekali dipalsukan dan karena anak-anak di bawah 10 tahun tidak disertakan dalam survei itu. Angka itu diyakini sudah lebih tinggi lagi akibat krisis ekonomi 1998. Meskipun data tidak tersedia, masyarakat luas sepakat bahwa sekitar dua juta anak-anak bekerja paling tidak empat jam sehari. Indonesia adalah salah satu negara pertama yang terpilih untuk ikut dalam Program Penghapusan Buruh Anak-Anak Internasional (IPEC), dan menandatangani sebuah nota kesepahaman dengan ILO pada 1992 untuk memimpin kerja sama di bawah program ini. Pemerintah dan ILO menandatangani sebuah nota lain mengenai buruh anak-anak pada Maret 1997 yang mengikat mereka dalam kesepakatan untuk memajukan persyaratan yang memungkinkan pemerintah melindungi buruh anak-anak dan secara bertahap melarang, membatasi dan mengatur buruh anak-anak dengan tujuan akhir menghapuskannya. Pemerintah mengakui adanya golongan anak-anak yang harus bekerja karena alasan sosial-ekonomi, dan pada 1987 Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan sebuah peraturan, "Perlindungan bagi Anak-Anak Yang Terpaksa Bekerja." Peraturan ini mengizinkan penggunaan anakanak di bawah usia 14 tahun yang terpaksa bekerja untuk membantu pendapatan keluarga mereka. Peraturan ini juga mewajibkan adanya izin orang-tua, melarang pekerjaan yang berbahaya dan berat, membatasi lama kerja empat jam sehari, dan mewajibkan majikan untuk melaporkan jumlah anak yang bekerja di bawah ketentuan ini. Namun peraturan ini tidak menetapkan usia minimum untuk anak-anak dalam kategori ini, yang secara efektif menggantikan ordinansi pemerintah kolonial tahun 1925 tentang "Upaya Membatasi Buruh Anak-Anak dan Kerja Malam bagi Wanita" yang masih berlaku sebagai undang-undang sampai sekarang tentang buruh anak-anak dan yang menetapkan batas usia kerja minium 12 tahun. Peraturan tahun 1987 itu tidak diberlakukan. Belum ada majikan yang diajukan ke pengadilan atas pelanggaran terhadap peraturan tentang hakikat pekerjaan anak-anak, dan belum

ada laporan yang dikumpulkan dari perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan anak-anak. Undang-Undang No. 1 tahun 1951 dimaksudkan untuk melaksanakan upaya perburuhan tertentu, termasuk ketentuan mengenai buruh anak-anak yang akan menggantikan perundangundangan tahun 1925 itu. Namun, peraturan pelaksanaan untuk ketentuan pekerja anak-anak belum pernah dikeluarkan. Jadi ketentuan buruh anak-anak tahun 1951 itu masih belum sah. Pemerintah melarang kerja paksa dan terikat bagi anak-anak, tapi tidak melaksanakan larangan ini secara efektif (lihat Bagian 6.c.) Undang-Undang Ketenagakerjaan tahun 1997 melarang majikan mempekerjakan anak-anak di bawah umur 15 tahun, namun mereka boleh mempekerjakan anak-anak yang terpaksa bekerja karena alasan ekonomi. Undang-undang baru itu, yang dijadwalkan berlaku pada 1999, mengandung larangan serupa dengan yang ada pada peraturan tahun 1987 mengenai majikan yang mempekerjakan anak-anak. Undangundang ini juga menyatakan bahwa remaja (antara 15 dan 17 tahun) tidak boleh bekerja pada jam-jam tertentu di malam hari, di bawah tanah, di pertambangan, atau pada pekerjaan yang bisa memberi dampak negatif pada moral, seperti di tempat-tempat hiburan. Menurut data perburuhan pemerintah, kebanyakan buruh anakanak bekerja di sektor pertanian, meskipun jumlah pekerja anak-anak di kota-kota sudah meningkat besar karena urbanisasi. Sebuah LSM terkemuka memperkirakan pada 1998 bahwa 1,92 juta anak-anak bekerja lebih dari empat jam sehari. Dari jumlah ini, 1,67 juta bekerja di desa-desa dan 249.000 bekerja di kota-kota. Menurut perkiraaan LSM itu, jumlah buruh anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan di pedesaan: 1,01 juta anak laki-laki dan 662.000 anak perempuan bekerja. Sebaliknya di kota-kota jumlah anak perempuan yang bekerja melampaui anak laki-laki: 119.402 anak laki-laki dan 130.000 anak perempuan bekerja. Anak-anak lebih banyak bekerja di sektor non-formal ketimbang sektor formal. Di sektor formal pekerjaan anak-anak cenderung ada di garis batas antara ekonomi formal dan non-formal, seperti bersamasama dengan orang tua mereka di industri rumah tangga dan di perkebunan, di toko milik keluarga atau pabrik kecil, terutama pabrik yang merupakan "satelit" bagi industri besar. Ada juga anak-anak yang bekerja di industri besar meskipun jumlahnya tidak diketahui, terutama karena dokumen yang membuktikan usia mereka mudah dipalsukan. Di sektor informal, mereka menjadi tukang koran, tukang semir, tukang parkir, atau cara lain untuk mendapatkan uang. Banyak anak-anak bekerja di lingkungan yang berbahaya seperti menjadi pemulung dan

tukang sampah, atau di jermal ikan dan kapal nelayan. Sebuah LSM terkemuka memperkirakan bahwa pada 1998, 3.200 anak-anak bekerja di jermal-jermal lepas pantai, sering dalam kondisi yang mengenaskan. Banyak pembantu rumah tangga adalah wanita di bawah usia 15 tahun. Meskipun angka yang tepat tidak tersedia, diperkirakan jumlah pembantu rumah tangga anak-anak mencapai 1,5 juta. Para pengamat sepakat bahwa jumlah ini naik pada 1998 sebagai akibat dari krisis ekonomi. Sebuah survei yang dilakukan pada 1995 mengungkapkan bahwa jam kerja anak-anak ini panjang, upah mereka kecil dan mereka sering tidak sadar akan hak mereka serta sering jauh dari keluarga. Sebuah undang-undang tahun 1994 memperpanjang masa wajib belajar dari enam tahun menjadi sembilan tahun, tapi undang-undang itu belum sepenuhnya dilaksanakan karena tidak memadainya fasilitas sekolah serta kurangnya sumber daya keuangan keluarga untuk menunjang agar anak-anak tetap bersekolah. Sebuah LSM terkemuka melaporkan bahwa 8 juta anak-anak putus sekolah dasar setelah krisis ekonomi mulai pada 1997. Sejumlah majikan mempekerjakan anak-anak karena mereka lebih mudah diatur ketimbang orang dewasa, dan cenderung tidak membentuk serikat pekerja atau mengajukan tuntutan kepada majikan. Anak-anak yang bekerja di pabrik biasanya bekerja sama lamanya dengan orang dewasa. Anak-anak bekerja antara lain di industri perabotan rumah tangga dari rotan dan kayu, industri pakaian, industri sepatu, pengolahan makanan, dan pabrik mainan anak-anak. 4. Penanggulangan Pekerja Anak Upaya penanggulangan pekerja anak perlu dilakukan secara terpadu antar sektor di pusat dan daerah. Penanggulangan pekerja anak merupakan dilema pemerintah ingin melarang pekerja anak dan mengharapkan semua anak usia sekolah dapat mengembangkan intelektualitasnya di sekolah, untuk mendapatkan sumber daya manusia yang bermutu di masa depan. Sementara di sisi lain pemerintah pun tidak dapat menghindar dari kenyataan bahwa masih banyak keluarga miskin, sehingga mengijinkan anak-anak terpaksa harus bekerja. Pada intinya pengentasan pekerja anak ini diupayakan melalui akarnya, yaitu dari sisi keluarga, yakni keluarga miskin. Bagi anak-anak yang terpaksa karena alasan sosial - ekonomi, dalam upaya menambah pendapatan keluarga, maka pada tahun 1987 Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan peraturan, "Perlindungan bagi Anak-Anak Yang Terpaksa Bekerja". Dalam ketentuan ini pemerintah mengijinkan penggunaan anak-anak di bawah usia 14 tahun dengan mewajibkan adanya izin orang-tua dan melarang pekerjaan yang berbahaya, serta pekerjaan berat dan membatasi lama kerja empat jam

sehari. Di samping itu, pengusaha wajib melaporkan jumlah anak yang bekerja di bawah ketentuan tersebut. Perlindungan dari sisi penawaran dilaksanakan melalui program lintas sektor yang dimaksudkan untuk membatasi pekerja anak dari sumber atau institusi yang melahirkan pekerja anak dengan melalui tindakan preventif. Program-program aksi antara lain Gerakan Pembangunan Keluarga Sejahtera, Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE), Tabungan Keluarga Sejahtera, Kredit Usaha Keluarga Sejahtera, Pengembangan Usaha Ekonomi Produktif, Kemitraan Dalam Berusaha, Gerakan Wajib Belajar, Gerakan Nasional Orangtua Asuh. Dari sisi permintaan, upaya penanggulangan pekerja anak dilakukan melalui industri atau perusahaan yang mempekerjakan anak. Ditengarai masih ada perusahaan yang mempekerjakan anak karena beberapa hal antara lain upah yang lebih murah, biaya produksi lebih sedikit, usia mereka relatif muda sehingga sangat mudah diatur, tidak banyak menuntut seperti pekerja dewasa. 5. Model pemecahan Mengingat betapa pentingnya untuk menyelamatkan masa depan pekerja anak, tentu diperlukan model pemecahan yang bersifat holistikkomprehensif. Dari berbagai pendekatan yang bisa dilakukan, ada pendekatan yang bersifat client centered (berpusat pada klien/pekerja anak) yang juga direkomendasikan Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Unika Atmajaya (2000), yakni pendekatan manajemen kasus. Dalam pendekatan manajemen kasus ada langkah-langkah yang bisa dilakukan. Pertama, penggalian kebutuhan. Tahap ini dilakukan untuk mengenal dan memahami kebutuhan pekerja anak. Di samping itu digali pula tentang kemampuan anak dan kelompok terdekatnya (keluarga atau teman sebaya) dalam memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan emosionalnya. Di samping itu juga dilakukan upaya untuk menggali sumber daya lembaga formal (sekolah, lembaga sosial dan lain-lain) untuk mengidentifikasi bantuan yang dapat diberikan kepada pekerja anak tersebut. Kedua, perencanaan pelayanan. Untuk tahap ini dibentuk tim penanganan kasus yang terdiri dari berbagai profesi/lembaga yang terkait sesuai dengan masalah yang dihadapi pekerja anak. Ketiga, pengadaan pelayanan. Tahap ini merupakan tahap implementasi dengan cara menghubungkan pekerja anak dengan pihakpihak yang berkompeten untuk mendapatkan pelayanan.

Keempat, pemantauan. Hal ini perlu dilakukan secara terusmenerus agar dapat diketahui perkembangan kemajuan klien (pekerja anak), dan pelayanan yang diberikan tidak terputus di tengah jalan. Inilah bagian kecil dari upaya yang bisa dilakukan. Bila dalam pelaksanaannya ada perhatian dan keterpaduan semua pihak, bukan mustahil eksploitasi anak bisa dikikis, atau setidaknya bisa mengurangi penderitan pekerja anak dalam menjalani kehidupannya. 6. Penutup Permasalahan pekerja anak di Indonesia akan semakin pelik jika dibiarkan saja. Semakin hari semakin meningkat jumlah anak yang menjadi pekerja, jika tidak dilindungi oleh undang-undang, maka semakin besar pula peluang pengekploitasian hak asasi anak dan memperbesar angka kemiskinan penduduk baik di desa maupun di kota. Banyak penyebab anak sebagai pekerja, salah satu yang paling mendasar adalah alasan kebutuhan sosial-ekonomi, selain seorang anak memutuskan untuk menjadi pekerja anak adalah keinginan sendiri. Pekerja anak tersebar pada beberapa sektor baik formal maupun informal dengan tingkat pendapatan rendah dan perlindungan ketenagakerjaan yang tidak pasti. Untuk mengatasi masalah pekerja anak dan anak putus sekolah, seyogianya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil, seperti menyediakan lapangan kerja, memberikan bekal keterampilan dan modal usaha yang dapat dikembangkan, misalnya melalui koperasi unit desa. Hal yang tidak kalah penting adalah sosialisasi atau kampanye mengenai pentingnya pendidikan. Memberikan pemahaman tentang arti pendidikan bagi generasi lanjut sangat mendesak dilakukan. Hal ini mengingat para orang tua dan anak cenderung berpikir pendek, yakni bekerja mencari uang untuk bertahan hidup. Sosialisasi bisa dilakukan siapa saja, baik oleh lembaga pemerintahan maupun organisasi kemasyarakatan. Daftar Pustaka Davis, Shelley.1997. Child Labor in Agriculture. ERIC Clearinghouse for Social Studies/Social Science Education Bloomington IN. Hafid. 2004. Hentikan Eksploitasi terhadap Anak-anak.Artikel pada Pikiran-Rakyat Sabtu, 26 Juni 2004. Hamot, Gregory E. - Jensen, Elizabeth S.2003. Teaching about Child Labor and International Human Rights. ERIC Clearinghouse for Social Studies/Social Science Education Bloomington IN.

Keputusan Menteri Dalam Negeri Dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001 Tanggal 8 Januari 2001 Tentang Penanggulangan Pekerja Anak. Laporan Amerika Serikat Tentang Pelaksanaan Hak Asasi Manusia Di Indonesia Tahun 1998. Kedutaan Besar Amerika Serikat. Jakarta. Supenti, Titin. 2003. DATA DAN ANALISIS Perkembangan Pekerja Anak Tahun 2002-2003. Pusdatinaker, Balitfo. Vaknin, Sam. The Morality of Child Labor. United Press International (UPI) Thomas R. DeGregori. 2002. Child Labor or Child Prostitution?. Iowa State Press. UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.