BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi.

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

GUBERNUR JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasarkan status sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi

BAB IV GAMBARAN UMUM

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BAB I BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan

I. PENDAHULUAN. negara untuk mengembangkan outputnya (GNP per kapita). Kesejahteraan

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab.

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016

GUBERNUR JAWA TENGAH,

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

GUBERNUR JAWA TENGAH

PENEMPATAN TENAGA KERJA

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah,

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 116 TAHUN 2016 TENTANG

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal

RUANG LINGKUP KERJA DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PROVINSI JAWA TENGAH

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S --

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

PEDOMAN PENYUSUNAN JAWABAN TERMOHON TERHADAP PERMOHONAN PEMOHON (PERSEORANGAN CALON ANGGOTA DPD)

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH

KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 561.4/52/2008 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009

GUBERNURJAWATENGAH. PERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOM0R '2 TAJroJii 2e15 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015

I. PENDAHULUAN. Tahun Budidaya Laut Tambak Kolam Mina Padi

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. Kabupaten yang berada di wilayah Jawa dan Bali. Proses pembentukan klaster dari

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Beras merupakan komoditi yang penting bagi Indonesia. Hal ini

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

GUBERNUR JAWA TENGAH

BERITA RESMI STATISTIK

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem. pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat

PEMODELAN PROFIL KESRA PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN. kepada pemerintah pusat. Penulis melakukan pengambilan data

BAB I PENDAHULUAN. 80-an telah berubah, dari paradigma government driven growth ke public

DAFTAR NOMINASI SEKOLAH PENYELENGGARA UN CBT TAHUN 2015

DINAS ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PROVINSI JAWA TENGAH

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BOKS PERKEMBANGAN KINERJA BPR MERGER DI JAWA TENGAH

KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DERAH

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013).

IR. SUGIONO, MP. Lahir : JAKARTA, 13 Oktober 1961

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang senantiasa memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional, guna mewujudkan cita-cita bangsa yang sesuai dengan Undang- Undang Dasar 1945, yaitu meningkatkan kemakmuran dan kesejahterahan rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan dengan berbagai cara, salah satunya meningkatkan perekonomian bangsa. Kesuksesan sistem perekonomian dapat dilihat dari besarnya pendapatan Negara, terutama pendapatan daerah. Semakin besar pendapatan daerah yang diterima pemerintah semakin besar dana yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan dan meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem pemerintahan. Beberapa dekade terakhir desentralisasi fiskal diterapkan di berbagai belahan dunia. Sebagai contoh desentralisasi pengambilan kebijakan fiskal dan administrasi publik di negara-negara Amerika Latin dan reformasi ekonomi dari sentralistik menjadi desentralisasi di Negara- 1

2 negara Asia. Desentralisasi fiskal telah dilaksanakan oleh berbagai Negara di dunia termasuk Indonesia. (Bakti dan Kodoatie, 2012) Pada awal tahun 2001 Indonesia melakukan perombakan besarbesaran terhadap sistem pengelolaan pemerintahan. Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya perubahan pola hubungan yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah setelah diberlakukannya Undang Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang kemudian UU tersebut disempurnakan menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004. Pada prinsipnya desentralisasi bertujuan pada efisiensi sektor publik dalam produksi dan distribusi pelayanan, meningkatkan kualitas pembuatan keputusan dengan menggunakan informasi lokal, meningkatkan akuntabilitas dan meningkatkan respon terhadap kebutuhan dan kondisi lokal. (Ahmad, 2010) Otonomi daerah merupakan amanat konstitusi dan kebutuhan objektif dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kebijakan ini diharapkan mampu menunjang tujuan nasional Indonesia. Dalam pembentukan otonomi daerah harus memperhatikan faktor-faktor kemampuan ekonomi, jumlah penduduk, luas daerah, pertahanan, dan keamanan nasional serta syarat-syarat lain yang mendukung. Selain itu diberlakukannya pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Otonomi yang nyata dapat diartikan bahwa kewenangan, tugas, dan kewajiban pemerintah daerah dilaksanakan berdasarkan potensi dan kekhasan daerah sedangkan pengertian otonomi

3 yang bertanggung jawab adalah tujuan ekonomi daerah itu sendiri termasuk meningkatkan kesejahterahan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. (Darise, 2006) Kebijakan otonomi daerah tidak hanya berhenti pada pembagian dana pengembangan yang relative adil antara pemerintah pusat dan daerah yang diwujudkan dalam bentuk dana perimbangan (balancing fund), tetapi keberhasilan otonomi daerah juga diukur dari seberapa besar porsi sumbangan masyarakat lokal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan produk domestik regional bruto (PDRB). Produk domestik regional bruto adalah kegiatan perekonomian masyarakat daerah atau regional yang menghasilkan barang atau jasa dalam waktu atau periode tertentu dan biasanya satu tahun. Produk domestik regional bruto digunakan sebagai salah satu indikator ekonomi yang memuat berbagai instrumen perekonomian, agar dapat melihat keadaan makro ekonomi suatu daerah yang mengacu pada pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita dan berbagai instrumen lainnya. Oleh karana itu kesuksesan otonomi daerah tidak hanya tanggung jawab penyelenggara pemerintah daerah yakni bupati atau walikota serta perangkat daerah lainnya. Tetapi juga seluruh masyarakat lokal tiap-tiap daerah. (Saragih, 2003 dalam Sianturi, 2011) Menurut Sasana (2009) pelaksanaan desentralisasi fiskal akan memberikan manfaat yang optimal jika diikuti oleh kemampuan finansial yang memadai oleh daerah otonom. Sumber penerimaan yang digunakan untuk pendanaan pemerintah daerah dalam pelaksanaan desentralisasi

4 fiskal menurut UU No. 33 Tahun 2004 adalah: Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah. Menurut UU No. 33 Tahun 2004, dana perimbangan bertujuan untuk mengurangi vertical (center region) dan horizontal (region-region) imbalances antar daerah. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan suatu sistem pembiayaan pemerintah dalam kerangka negara kesatuan yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Berdasarkan amanat UU No. 33 tahun 2004, penerimaan daerah selain dana perimbangan dari pusat dapat berasal dari pendapatan asli daerah dan lain-lain pendapatan yang sah. Dalam hal ini, tindakan yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah adalah melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi terhadap pendapatan asli daerahnya. Jadi, pelaksanaan desentralisasi fiskal juga mendorong daerah untuk lebih giat lagi dalam menggali sumber-sumber pendapatan asli daerah. Desentralisasi fiskal dianggap sebagai alat untuk mendekatkan pengembalian kebijakan penyediaan barang publik agar lebih efisien dan sesuai dengan permintaan masyarakat diharapkan mampu membuka akses barang publik. Di Indonesia desentralisasi fiskal tercermin dalam kebijakan pendapatan asli daerah dan pengeluaran pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. (Bakti dan Kodoatie, 2012) Perubahan sistem keuangan yang dilakukan oleh pemerintah diharapkan mampu memberikan manfaat diberbagai sektor, seperti sektor

5 publik, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Manfaatnya antara lain: Pertama, mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong perataan hasil-hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah. Kedua, memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengembalian keputusan publik ketingkat pemerintah yang paling rendah yang memiliki informasi yang paling lengkap. (Shah, 1997 dalam Mardiasmo, 2002) Dalam rangka memenuhi penyediaan pelayanan publik bidang pendidikan pemerintah daerah telah mengalokasikan belanja pendidikan melalui belanja urusan pendidikan. Belanja urusan pendidikan merupakan urusan wajib yang harus diselenggarakan oleh pemerintah daerah dan berhak diterima secara minimal oleh masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang SISDIKNAS 2003. Apabila dilihat pada capaian pendidikan berupa tingkat partisipasi sekolah dimana pada tingkat sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan masih sebesar 60% dimana angka tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Pada kondisi tingkat putus sekolah tingkat menengah atas dan sekolah menengah kejuruan juga menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Undang-undnag sistem pendidikan dasar yang mengamanatkan 20% alokasi belanja daerah untuk sektor pendidikan belum dapat memberikan hasil yang maksimal

6 dalam pencapaian pada outcomes bidang pendidikan. (Huda dan Sasana, 2013) Pendidikan merupakan jalur untuk meraih cita-cita. Banyak orang yang percaya bahwa pendidikan dapat mempengaruhi status sosial seseorang. Semakin tinggi pendidikan maka semakin tinggi status sosial seseorang. Begitu sebaliknya pendidikan yang rendah maka semakin rendah pula status sosialnya. Tingginya minat masyarakat dalam melanjutkan sekolah dapat diketahui dengan besarnya angka partisipasi sekolah. Semakin tinggi angka partisipasi sekolah menjadi tanda upaya pemerintah untuk meningkatkan pendidikan diberbagai daerah telah berhasil. Sebaliknya apabila angka partisipasi sekolah rendah maka pemerintah belum maksimal dalam upaya peningkatan pendidikan.

7 Gambar 1.1 Presentase Angka Partisipasi Sekolah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011 dan 2012 Kota Tegal Kota Pekalongan Kota Semarang Kota Salatiga Kota Surakarta Kota Magelang Kab. Brebes Kab. Tegal Kab. Pemalang Kab. Pekalongan Kab. Batang Kab. Kendal Kab. Temanggung Kab. Semarang Kab. Demak Kab. Jepara Kab. Kudus Kab. Pati Kab. Rembang Kab. Blora Kab. Grobogan Kab. Sragen Kab. Karanganyar Kab. Wonogiri Kab. Sukoharjo Kab. Klaten Kab. Boyolali Kab. Magelang Kab. Wonosobo Kab. Purworejo Kab. Kebumen Kab. Banjarnegara Kab. Purbalingga Kab. Banyumas Kab. Cilacap 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 201 2 2011 Sumber: BPS Jawa Tengah Berdasarkan gambar 1.1 bahwa angka partisipasi sekolah tingkat SMP di 35 Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah mengalami fluktuasi positif. Daerah yang memiliki angka partisipasi sekolah tingkat SMP

8 tertinggi terdapat di Kota Salatiga, kedua adalah Kota Surakarta dan yang ketiga adalah Kabupaten Klaten. Angka partisipasi sekolah tingkat SMP terendah terdapat di Kabupaten Brebes. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa desentralisasi fiskal belum teralokasi secara merata demi memenuhi pelayanan publik. Selain angka partisipasi sekolah angka putus sekolah juga menjadi salah satu penyebab pendidikan diberbagai daerah belum berhasil. Beberapa alasan anak-anak putus sekolah biasanya terjadi karena orang tua mereka memerlukan mereka untuk ikut membantu bekerja. Selain itu, karena tidak mampu membayar biaya sekolah dan biaya lainnya. Seharusnya hal seperti itu tidak terjadi, bagi sebagian orang tua menganggap bahwa membayar uang sekolah untuk anak adalah hal yang wajib. Namun, berbeda halnya dengan keluarga yang miskin yang beranggapan bahwa untuk mereka makan saja mengalami kesusahan dan memilih anaknya lebih baik tidak melanjutkan sekolah.

9 Gambar 1.2 Presentase Angka Putus Sekolah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011 dan 2012 Kota Tegal Kota Pekalongan Kota Semarang Kota Salatiga Kota Surakarta Kota Magelang Kab. Brebes Kab. Tegal Kab. Pemalang Kab. Pekalongan Kab. Batang Kab. Kendal Kab. Temanggung Kab. Semarang Kab. Demak Kab. Jepara Kab. Kudus Kab. Pati Kab. Rembang Kab. Blora Kab. Grobogan Kab. Sragen Kab. Karanganyar Kab. Wonogiri Kab. Sukoharjo Kab. Klaten Kab. Boyolali Kab. Magelang Kab. Wonosobo Kab. Purworejo Kab. Kebumen Kab. Banjarnegara Kab. Purbalingga Kab. Banyumas Kab. Cilacap 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 2012 2011 Sumber: BPS Jawa Tengah Berdaarkan gambar 1.2 secara umum angka putus sekolah tingkat SMP dapat disimpulkan bahwa daerah yang paling tinggi angka putus sekolah adalah Kabupaten Semarang, yang kedua adalah Kabupaten

10 Wonosobo dan yang ketiga adalah Kabupaten Kudus. Sedangkan Kabupaten/Kota yang tidak memiliki angka putus sekolah ada beberapa kabupaten/kota. Seperti yang telah ditunjukkan oleh gambar 1.1 dan gambar 1.2 tentang indikator pencapaian hasil akhir (outcomes) bidang pendidikan yang diukur dengan angka partisipasi sekolah dan angka putus sekolah tingkat SMP. Bahwa sistem desentralisasi belum mampu menyediakan pelayanan publik bagi masyarakat secara optimal. Hal ini dapat dilihat belum meratanya pembangunan dan kesejahterahan masyarakat di berbagai daerah khususnya di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan latar belakang di atas penulis ingin mengetahui sejauh mana pengaruh desentralisasi fiskal terhadap outcomes pelayanan publik bidang pendidikan yaitu berupa angka partisipasi sekolah dan angka putus sekolah tingkat SMP di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa tengah. Provinsi Jawa Tengah dipilih karena beberapa pertimbangan. Pertama, karena masih sedikitnya penelitian tentang desentralisasi fiskal yang dilakukan di Provinsi Jawa Tengah. Kedua, letak geografis Provinsi Jawa Tengah yang berada ditengah-tengah Jawa Barat dan Jawa Timur. Ketiga, latar belakang sosial ekonomi penduduk yang bermacam-macam di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Keempat, kondisi kultural masyarakatnya. Dalam penelitian ini penulis mengembangkan penelitian yang telah dilakukan oleh Huda dan Sasana (2013) dengan penggantian variabel independen menjadi desentralisasi fiskal yang dilihat dari sisi pendapatan

11 dan pengeluaran pemerintah daerah. Variabel kontrol sedikit berbeda yaitu PDRB per kapita, rasio murid per guru, jumlah penduduk dan jumlah sekolah. Selain itu objek penelitian dan periode penelitian diubah menjadi Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2011 dan 2012. Maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP OUTCOMES PELAYANAN PUBLIK BIDANG PENDIDIKAN (Studi Kasus: Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011 dan 2012) B. RUMUSAN MASALAH 1. Apakah desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap angka partisipasi dan angka putus sekolah tingkat SMP di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2011 dan 2012? 2. Apakah jumlah penduduk berpengaruh terhadap angka partisipasi dan angka putus sekolah tingkat SMP di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2011 dan 2012? 3. Apakah PDRB per kapita berpengaruh terhadap angka partisipasi dan angka putus sekolah tingkat SMP di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2011 dan 2012? 4. Apakah jumlah sekolah berpengaruh terhadap angka partisipasi dan angka putus sekolah tingkat SMP di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2011 dan 2012?

12 5. Apakah rasio murid per guru berpengaruh terhadap angka partisipasi dan angka putus sekolah tingkat SMP di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2011 dan 2012? C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap angka partisipasi sekolah dan angka putus sekolah tingkat SMP di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2011 dan 2012. 2. Untuk menganalisis pengaruh jumlah penduduk terhadap angka partisipasi dan angka putus sekolah tingkat SMP di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2011 dan 2012. 3. Untuk menganalisis pengaruh PDRB per kapita terhadap angka partisipasi dan angka putus sekolah tingkat SMP di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2011 dan 2012. 4. Untuk menganalisis pengaruh jumlah sekolah berpengaruh terhadap angka partisipasi dan angka putus sekolah tingkat SMP di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2011 dan 2012. 5. Untuk menganalisis pengaruh rasio murid per guru berpengaruh terhadap angka partisipasi dan angka putus sekolah tingkat SMP di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2011 dan 2012.

13 D. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk berbagai pihak, antara lain: 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam menambah pengetahuan untuk akademis dan profesi dalam rangka mengkaji dan mengembangkannya. 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah dalam merumuskan kelanjutannya terkait dengan desentralisasi fiskal di bidang pendidikan. 3. Penelitian ini dapat digunakan untuk melihat pengaruh desentralisasi fiskal terhadap outcomes bidang pendidikan sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan. 4. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi bagi pembaca serta menjadi rujukan bagi mahasiswa dalam mengkaji dan mengembangkannya. E. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan ini bertujuan untuk memudahkan pembaca dalam memahami isi penelitian. Secara garis besar penelitian ini disusun dalam lima bab. BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang latar belakang masalah yang menjelaskan mengenai pentingnya menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap

14 outcomes pelayanan publik bidang pendidikan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Pada bagian latar belakang ini akan menjadi dasar perumusan masalah untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal yang diukur dari sisi pendapatan dan sisi pengeluaran terhadap outcomes pelayanan publik bidang pendidikan yaitu angka partisipasi dan angka putus sekolah tingkat SMP di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa tengah. Tujuan penelitian dan manfaat penelitian memberikan masukan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan serta solusi yang terkait dengan pendidikan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang landasan-landasan teori yang menjadi dasar dan berhubungan dengan masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, seperti teori desentralisasi fiskal yang dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi pendapatan dan sisi pengeluaran. Selain itu pada bab ini juga terdapat beberapa penelitian terdahulu yang menjadi dasar replikasi pengembangan bagi penelitian ini, sehingga mampu menyusun kerangka penelitian dan hipotesis. BAB III METODE PENELITIAN Bab ini menjelasakn tentang jenis penelitian, populasi, sampel, dan teknik pengambilan sampel, data dan sumber data, metode pengumpulan

15 data, uji kualitas data, definisi operasional dan pengukuran variabel, teknik analisis data. BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Bab ini menjelaskan gambar umum objek penelitian, seperti letak geografis, pemerintahan, kependudukan, serta pendidikan di provinsi Jawa Tengah. Selain itu bab ini juga memuat hasil analisi data dan pembahasan tentang hasil analisis data tersebut BAB V PENUTUP Dalam bab ini berisi tentang simpulan mengenai hasil penelitian, keterbatasan penelitian, dan saran-saran yang perlu dikemukakan kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan penelitian ini.