Executive Summary Model Proyeksi Penerimaan Perpajakan

dokumen-dokumen yang mirip
PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Asia Tenggara dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 250 juta

BAB I PENDAHULUAN. dan komponen terbesar dalam negeri untuk menopang pembiayaan operasional

B. Realisasi Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2013

INFOGRAFIS REALISASI PELAKSANAAN APBN 2017

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 30 SEPTEMBER 2009

BAB I PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut tertuang dalam Anggaran Penerimaan

BAB IV ANALISIS PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM TERHADAP EFEKTIVITAS PENGUMPULAN PPN DALAM PENDAPATAN PAJAK DI KANTOR KPP PRATAMA SEMARANG BARAT A.

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam

INFOGRAFIS REALISASI PELAKSANAAN APBN 2017

SURVEI PROYEKSI INDIKATOR MAKRO EKONOMI

INFOGRAFIS REALISASI PELAKSANAAN APBN 2017

BAB I PENDAHULUAN. Fungsi pemerintah dalam suatu negara adalah : 1) fungsi stabilisasi, yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah juga terus memperhatikan kondisi ekonomi Indonesia dan kondisi

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang ada di Asia Tenggara.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional di beberapa bidang, Pemerintah Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Dalam melaksanakan pemerintahan suatu negara, terutama di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. merupakan dua hal penting dalam perpsektif kebijakan fiskal. Pada tahun 2013,

OPTIMALISASI PENERIMAAN NEGARA DALAM RAPBNP 2011

I. PENDAHULUAN. B. Belanja Negara (triliun Rupiah)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk dapat merealisasikan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

REALISASI SEMENTARA APBNP

REALISASI PENDAPATAN NEGARA SEMESTER I 2012

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar Pembangunan Nasional difasilitasi oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB III PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii

1 Universitas Indonesia

BAB II PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH RAPBN-P 2008

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Realisasi Penerimaan Negara ( Milyar rupiah ) Tahun Sumber Penerimaan. Penerimaan.

OPTIMALISASSI PENERIMAAN PPh MIGAS

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu peran penting Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Ketentuan Umum Perpajakan Pasal 1, pengertian Pajak adalah kontribusi

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri

EVALUASI PENERIMAAN PAJAK TAHUN 2013

PEREKONOMIAN INDONESIA TAHUN 2007: PROSPEK DAN KEBIJAKAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 27/PJ/2017

Perekonomian Indonesia

Tabel 1a APBN 2004 dan APBN-P 2004 (miliar rupiah)

BAB I PENDAHULUAN. salah satunya berasal dari penerimaan pajak.

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan perdagangan internasional berawal dari adanya perbedaan

2015, No Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan ekonomi negara tersebut. Indonesia adalah salah satu negara

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NOTA KEUANGAN DAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan tahun 2012 terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 1.1 Perkembangan Penerimaan Pajak (triliun rupiah)

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban

ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL/KEUANGAN DAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2010

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/PMK.011/2014 TENTANG

Kajian Potensi Penerimaan Perpajakan Berdasarkan Pendekatan Makro. Ringkasan eksekutif

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA

V. PERKEMBANGAN KOMPOSISI ANGGARAN PEMERINTAH, PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA, DAN KEMISKINAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan penerimaan dari sektor pajak sangatlah penting, karena dana

Realisasi Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBNP 2015

BAB I PENDAHULUAN. konsisten, perekonomian dibangun atas dasar prinsip lebih besar pasak dari pada

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. khususnya sektor ekonomi. Naiknya harga minyak dunia, tingginya tingkat inflasi,

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan internasional. Perdagangan internasional merupakan faktor yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat telah menganggap pajak sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan, pemerintah. membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dana tersebut dikumpulkan dari

Dradjad H Wibowo Yogyakarta, 7 November 2015

BAB I PENDAHULUAN. negeri berasal dari penjualan migas dan nonmigas serta pajak. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

BAB I PENDAHULUAN. berbeda pendapat mengenai pengaruh dari penerimaan pajak terhadap

TINJAUAN PERENCANAAN PENERIMAAN PERPAJAKAN DAN REALISASINYA D R A F T I. Oleh : Kelompok II. M. Yus Iqbal Eny Sulistiowati Ikawati Martiasih Nursanti

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Meningkatkan Tax Ratio Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. lalu-lintas modal, dan neraca lalu-lintas moneter. perdagangan dan neraca jasa. Terdapat tiga pokok persoalan dalam neraca

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

PENURUNAN TARIF LISTRIK SEBAgAI DAmPAK TURUNNyA. David Firnando Silalahi Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 230/PMK.011/2008 TENTANG

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 2003

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara sedang berkembang selalu berupaya untuk. meningkatkan pembangunan, dengan sasaran utama adalah mewujudkan

Embun Rahmawati. Universitas Bina Nusantara Palem Puri No 2 Rt 005/007, Pondok Aren Tangerang 15229, , 1 Murtedjo, Ak.

SURVEI PERSEPSI PASAR. Triwulan IV

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 248/PMK.011/2014 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. objek pajaknya, seiring dengan meningkatnya perekonomian dan taraf hidup

Adi Syahputra: Perpajakan, 2006 USU Repository 2006

Transkripsi:

Executive Summary Model Proyeksi Penerimaan Perpajakan Penerimaan perpajakan merupakan sumber pendapatan yang utama dalam APBN. Selama lima tahun terakhir, penerimaan perpajakan rata-rata sekitar 70 persen dari total pendapatan negara. Hal ini menunjukkan bahwa peran pajak dalam membiayai APBN semakin besar. Peran pajak tersebut akan semakin besar untuk masa yang akan datang karena pemerintah ingin mengurangi peran utang dalam mendanai APBN. Karena peranan pajak semakin penting, maka penerimaan perpajakan membutuhkan sistem pengelolaan yang semakin baik sehingga penerimaan perpajakan semakin optimal sesuai dengan kondisi ekonomi dan kemampuan masyarakat. Oleh karena itu perlu disusun suatu perencanaan angka target penerimaan perpajakan yang tepat dan optimal dengan menggunakan model proyeksi penerimaan perpajakan yang mampu menghasilkan angka proyeksi yang sesuai dengan kondisi ekonomi yang sedang dan akan terjadi, dan mampu menjelaskan pengaruh kebijakan pemerintah terhadap penerimaan perpajakan. Beberapa model yang dipakai sebagai alat untuk menghitung target penerimaan perpajakan adalah: 1) Model Monitoring Penerimaan Perpajakan (Model bulanan); 2) Model target penerimaan perpajakan (Model tahunan); 3) Model Dampak Kebijakan terhadap Penerimaan Perpajakan; 4) Model Perhitungan Potensi Penerimaan Perpajakan; dan 5) Model target penerimaan perpajakan per sektor. Dalam rangka menghasilkan angka target yang lebih realistik, terus dilakukan upaya penyempurnaan dan pengembangan terhadap kelima model tersebut. Upaya penyempurnaan dilakukan melalui update database dan perbaikan tampilan. Salah satu contoh adalah model monitoring penerimaan perpajakan (model bulanan) yang mengalami penyempurnaan berupa: (1) mempermudah dalam memasukan data realisasi yang terbaru; (3) merubah tampilan tabel dan grafik untuk menganalisa perkembangan realisasi; (4) memasang tombol cepat untuk merubah tampilan tabel dan grafik; serta (5) menyajikan perbandingan data perkembangan realisasi penerimaan perpajakan dan perkembangan kondisi perekonomian sebagai alat bantu dalam menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan perpajakan. Dari hasil model monitoring penerimaan perpajakan yang sudah mengalami penyempurnaan, penerimaan perpajakan pada tahun 2010 diperkirakan hanya akan mencapai 98,2 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN-P 2010, atau masih mengalami short fall Rp13,2 triliun, sebagaimana disajikan dalam Tabel 1. Angka perkiraan realisasi tersebut dihitung berdasarkan angka realisasi penerimaan perpajakan pada Oktober 2010. Salah satu penyebabnya adalah belum direalisasikannya subsidi pajak dan bea masuk ditanggung pemerintah (DTP) yang secara total mencapai Rp16 triliun.

Tabel 1. Tampilan Tabel Perkembangan Realisasi Penerimaan Perpajakan Jenis Pajak 2009 2010 APBN-P Realisasi Realisasi % thd % thd APBN-P Realisasi % thd Perk.Realisasi % thd Selisih Oktober APBN-P Realisasi Oktober APBN-P Akhir Tahun APBN-P thd APBN-P A. Penerimaan DJP 528,353.3 494,489.6 385,799.1 73.0 78.0 606,116.2 426,198.9 70.3 586,621.7 96.8 (19,494.5) PPh (Nonmigas) 291,175.8 267,571.3 213,031.2 73.2 79.6 306,836.6 235,591.5 76.8 311,679.0 101.6 4,842.4 PPN dan PPnBM 203,084.0 193,067.5 146,757.4 72.3 76.0 262,963.0 160,799.1 61.1 234,856.3 89.3 (28,106.6) PBB 23,863.6 24,270.2 18,950.3 79.4 78.1 25,319.1 22,059.7 87.1 28,923.9 114.2 3,604.7 BPHTB 6,980.0 6,464.5 4,532.2 64.9 70.1 7,155.5 5,098.8 71.3 7,761.4 108.5 605.8 Pajak Lainnya 3,250.0 3,116.0 2,528.0 77.8 81.1 3,841.9 2,649.9 69.0 3,401.1 88.5 (440.8) B. Penerimaan DJBC 74,568.1 75,388.9 61,748.6 82.8 81.9 81,827.2 71,408.2 87.3 90,934.4 111.1 9,107.2 Cukai 54,545.0 56,718.5 46,523.7 85.3 82.0 59,265.9 52,336.0 88.3 66,667.2 112.5 7,401.4 Bea Masuk 18,623.5 18,105.5 14,675.0 78.8 81.1 17,106.8 15,283.9 89.3 19,290.2 112.8 2,183.4 Bea Keluar 1,399.6 565.0 550.0 39.3 97.3 5,454.6 3,788.3 69.5 4,977.0 91.2 (477.6) C. PPh Migas 49,033.4 50,043.7 42,021.0 85.7 84.0 55,382.4 42,190.2 76.2 52,443.4 94.7 (2,939.0) Total Penerimaan Perpajakan 651,954.8 619,922.2 489,568.8 75.1 79.0 743,325.9 539,797.3 72.6 729,999.5 98.2 (13,326.3) Upaya penyempurnaan juga dilakukan melalui revisi besaran elastisitas pada Model Target Penerimaan Perpajakan Tahunan. Dengan terjadinya perubahan series data realisasi tahun 2009, maka besaran elastisitas bagi masing-masing jenis pajak akan mengalami perubahan, dan secara langsung akan berpengaruh pada perhitungan besaran target penerimaan perpajakan. Perbandingan elastisitas lama (data 1969-2008) dan elastisitas baru (data 1969-2009) adalah sebagai berikut: Tabel 2 Perbandingan Elastisitas Lama dengan Elastisitas Baru Tax Base Elastisitas Lama growth inf kurs Tax Base Ealstisitas Baru growth inf kurs Konsumsi Dalam Negeri 1.04 1.24 0.08 Konsumsi Rumah Tangga 1.99 (0.22) 0.16 Impor Kena Bea Masuk 1.18 (0.09) 0.48 Pendapatan Nasional 2.91 (0.25) 0.07 PDB Sektor Bangunan (Kumulatif) 0.00 0.00 0.00 PDB Sektor Bangunan (Flow) 0.94 1.88 0.29 PDB Sektor Perbankan 2.40 1.47 (0.23) PDB Sektor Perkebunan 3.61 2.99 (0.22) PDB Sektor Perhutanan 0.50 1.46 (0.17) Nilai Produk Migas 0.00 0.00 0.00 Konsumsi Dalam Negeri 0.92 1.18 0.06 Konsumsi Rumah Tangga 1.20 1.30 0.09 Impor Kena Bea Masuk 0.07 (0.16) 0.25 Pendapatan Nasional 1.63 0.86 0.24 PDB Sektor Bangunan (Kumulatif) 0.00 0.00 0.00 PDB Sektor Bangunan (Flow) 5.82 1.45 0.33 PDB Sektor Perbankan 1.52 0.51 0.33 PDB Sektor Perkebunan 5.66 0.47 0.31 PDB Sektor Perhutanan 4.67 (0.56) 0.15 Nilai Produk Migas 19.07 0.27 0.99 Beberapa perubahan terjadi dalam perhitungan elastisitas baru. Pertama, nilai koefisien dari beberapa variabel ekonomi makro mengalami penurunan, hal ini mengindikasikan bahwa perubahan besaran pertumbuhan ekonomi, inflasi dan kurs mempunyai pengaruh lebih kecil terhadap perubahan tax base antara lain konsumsi dalam negeri, impor kena bea masuk (dutiable impor), dan pendapatan nasional. Kedua, tanda dari koefisien inflasi mengalami perubahan dari negatif menjadi positif pada konsumsi rumah tangga dan pendapatan nasional, hal ini berarti peningkatan inflasi akan

meningkatkan pengeluaran konsumsi rumah tangga, yang berujung pada meningkatnya penerimaan PPN, dan meningkatkan pendapatan nasional, yang berujung pada meningkatnya PPh nonmigas. Ketiga, nilai koefisien dari variabel ekonomi makro mengalami peningkatan secara signifikan, khususnya untuk PDB sektor bangunan, perkebunan dan perhutanan. Hal ini berarti bahwa penerimaan PBB dari ketiga sektor tersebut sangat sensitif terhadap perkembangan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, upaya pengembangan model perpajakan dilakukan melalui pembaharuan model perhitungan target bea masuk dan bea keluar. Secara umum, target penerimaan bea masuk dihitung berdasarkan formula: Besarnya target penerimaan bea masuk dipengaruhi oleh besarnya tarif bea masuk, dutiable import, dan kurs. Kebijakan yang diambil pemerintah dapat berpengaruh terhadap besarnya tarif dan dutiable import. Besarnya dutiable import akan ditarget berdasarkan realisasi persentase dutiable import tahuntahun sebelumnya. Dalam model perhitungan target penerimaan bea masuk sebelumnya, variabel yang dipakai sebagai tax base adalah total nilai impor dan selanjutnya dikalikan dengan persentase besaran dutiable import yang besaran angkanya diperoleh dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Dari hasil perhitungan tersebut diperoleh nilai nominal dutiable import yang selanjutnya akan dikalikan dengan tarif bea masuk rata-rata sehingga menghasilkan angka target penerimaan bea masuk. Untuk besaran tarif menggunakan data yang berasal dari masukan DJBC. Kekurangan dari model ini adalah kesulitan dalam menentukan besaran persentase dutiable import yang lebih akurat dan besaran tarif, dan sangat ketergantungan kepada pihak lain. Untuk menutupi kekurangan tersebut, dibangun suatu model perhitungan target penerimaan bea masuk yang langsung menggunakan variabel nilai dutiable import sebagai tax base. Dalam hal ini, perhitungan dutiable import dilakukan dengan menggunakan metode forecasting secara ekonometrik dimana variabel dutiable import berperan sebagai variabel dependen, sedangkan variabel independennya adalah PDB, tarif bea masuk, dan nilai tukar rupiah terhadap US$. Dari persamaan tersebut dapat dijelaskan bahwa nilai dutiable import sangat dipengaruhi oleh: 1) perkembangan ekonomi yang dalam hal ini diwakili oleh variabel PDB; 2) perkembangan tingkat tarif bea masuk yang berlaku; dan 3) perkembangan nilai tukar rupiah. Dari ketiga variabel tersebut, hanya variabel

PDB yang mempunyai pengaruh positif terhadap dutiable import. Secara singkat, persamaan ekonometrik yang digunakan dalam menghitung nilai dutiable import adalah sebagai berikut: DLDM c DLPDB DTDM DLKURS e...(persamaan 1) t t t t Keterangan: DLDM adalah delta log dutiable import, c adalah konstanta, DLPDB adalah delta log PDB riil, DTDM adalah delta tarif dutiable import, DLKURS adalah delta log kurs, dan e adalah error. Selain melakukan forecasting nilai dutiable import, model perhitungan target penerimaan bea masuk yang baru juga melakukan forecasting terhadap besaran tarif bea masuk dengan menggunakan metode ARMA. Dari hasil forecasting tersebut bisa dihitung besaran tarif bea masuk untuk periode mendatang. Dari hasil forecasting terhadap nilai dutiable import dan tarif bea masuk, dan dengan menggunakan asumsi nilai tukar rupiah terhadap US$ yang ditetapkan untuk tahun anggaran ke depan, maka bisa dihitung target penerimaan bea masuk untuk tahun depan. Untuk perhitungan target penerimaan bea keluar, secara umum formula yang digunakan adalah sebagai berikut: Besarnya bea keluar dipengaruhi oleh besarnya volume ekspor, harga patokan ekspor (HPE), tarif bea keluar, dan kurs. HPE merupakan harga patokan ekspor yang dikeluarkan setiap bulan oleh kementerian perdagangan melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag), dan dihitung berdasarkan rata-rata harga referensi satu bulan sebelumnya. Harga referensi merupakan rata-rata harga CPO di pasar Rotterdam yang dijadikan acuan bagi penetapan besaran tarif bea keluar sesuai dengan PMK no 67/PMK.011/2010. Model perhitungan target penerimaan bea keluar terbaru menghitung target penerimaan bea keluar dari hasil forecasting volume ekspor CPO dan turunannya, harga referensi CPO di pasar Rotterdam dan harga patokan ekspor (HPE) dari CPO, dan kemudian dikalikan dengan besaran tarif bea keluar sesuai dengan PMK no 67/PMK.011/2010. Dalam melakukan forecasting volume ekspor CPO dan turunannya, persamaan model ekonometrik yang digunakan adalah sebagai berikut: Log(CPO) t = c + Log(HCPO) t +TCPO t + e...(persamaan 2) Log(CPKO)t = c + Log(HCPO)t + TCPKOt + Log(Kurs)t + e....(persamaan 3)

Log(Lain) t = c + Log(HCPO) t + TLain t + Log(Kurs) t + e...(persamaan 4) Keterangan: CPO adalah volume ekspor Crude Palm Oil, CPKO adalah volume ekspor Crude Palm Kernel Oil, Lain adalah volume ekspor turunan CPO selain CPO dan CPKO, c adalah konstanta, HCPO adalah harga CPO referensi di pasar internasional (Rotterdam), TCPO adalah tarif bea keluar ekspor CPO, TCPKO adalah tarif bea keluar ekspor CPKO, TLain adalah tarif bea keluar ekspor turunan CPO selain CPO dan CPKO, kurs adalah nilai rupiah terhadap dollar Amerika, dan e adalah error. Model target ekspor CPO dan turunannya di atas menggunakan data ekspor triwulanan mulai tahun 2000 triwulan 1 sampai dengan tahun 2009 triwulan 3. Model ekspor CPO dikembangkan hanya tiga model dengan pertimbangan bahwa data ekspor CPO dan turunannya dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok tersebut. Dalam menghitung perkiraan harga CPO referensi, digunakan teknik forecasting melalui metode ARIMA. Dengan diketahuinya perkiraan harga CPO referensi maka dapat ditetapkan target besaran tarif bea keluar yang berlaku sesuai dengan PMK Nomor 67/PMK.011/2010. Misalnya, jika harga CPO referensi sebesar $875 maka tarif yang berlaku untuk ekspor CPO adalah 6 persen. Sama halnya dengan perhitungan harga CPO referensi, perhitungan perkiraan HPE juga dilakukan melalui metode ARMA atau model ARMA yang menggabungkan variabel harga CPO referensi sebagai variabel bebas. Data yang digunakan adalah data bulanan dari tahun 2008 sampai dengan bulan Mei tahun 2010. Perkiraan besaran tarif dan HPE yang semula dihitung secara bulanan untuk selanjutnya akan dijadikan perkiraan dalam periode triwulanan melalui pendekatan tarif dan HPE rata-rata. Setelah memperoleh target volume ekspor CPO, tarif, HPE, dan kurs triwulanan maka target bea keluar CPO triwulanan dapat dihitung dengan menggunakan rumus matematis sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Target bea keluar CPO tahunan merupakan penjumlahan dari target bea keluar CPO triwulan I, II, III, dan IV. Dari perhitungan dengan menggunakan persamaan 2, 3, dan 4 diketahui bahwa volume ekspor atas CPO, CPKO dan turunan CPO lainnya sangat dipengaruhi oleh harga CPO di pasar internasional secara positif. Hal ini berarti bahwa kenaikan harga CPO di pasar Rotterdam akan meningkatkan jumlah volume ekspor dari dalam negeri. Namun di sisi lain, kenaikan tarif bea keluar akan menyebabkan volume ekspor menurun. Sementara itu, variabel nilai tukar rupiah hanya mempunyai pengaruh pada volume ekspor CPKO dan turunan CPO lainnya. Kenaikan denominasi rupiah (depresiasi rupiah) membawa pengaruh positif bagi peningkatan volume ekspor CPKO dan turunan CPO lainnya. Sedangkan untuk

volume ekspor CPO, hasil perhitungan dari persamaan 2 menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap perkembangan volume ekspor CPO. Argumen yang bisa dipakai untuk menjelaskan masalah ini adalah karena volume dan nilai ekspor CPO tiap bulan ratarata paling besar dibanding ekspor turunan CPO lainnya, maka para eksportir CPO lebih berorientasi pada profit yang berasal dari selisih harga dan tarif, bukan dari selisih nilai tukar. Oleh karena itu, dari data realisasi yang diolah dalam model persamaan 2 menunjukkan hasil bahwa nilai tukar tidak berpengaruh secara signifikan terhadap volume ekspor CPO. Sedangkan untuk ekspor CPKO dan CPO lainnya, nilai dan volume ekspornya tidak sebesar ekspor CPO sehingga selain mengharapkan profit dari selisih harga dan tarif, ekportir juga berharap profit dari selisih kurs. Hal ini diketahui dari hasil perhitungan persamaan 3 dan 4 yang menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah mempunyai pengaruh signifikan terhadap volume ekspor meskipun pengaruhnya tidak terlalu besar. Hasil model proyeksi bea masuk dan model proyeksi bea keluar CPO yang dibangun selama tahun 2010 di atas, telah mampu menghasilkan angka proyeksi yang mendekati aktual untuk tahun 2010 sehingga dapat digunakan untuk menghitung angka proyeksi bea masuk dan bea keluar CPO tahun berikutnya. Selain itu, kedua model tersebut mampu menjelaskan secara ekonomi tentang perkembangan penerimaan bea masuk dan bea keluar CPO selama tahun 2010. Namun demikian, kedua model tersebut masih memiliki kelemahan. Untuk model bea masuk, angka proyeksi merupakan total bea masuk dari semua negara, sehingga tidak mampu menjelaskan perkembangan bea masuk dari masing-masing kelompok negara yang memiliki perjanjian perdagangan bebas, seperti IJEPA dan ACFTA. Masing-masing perjanjian perdagangan tersebut memiliki tarif yang berbeda-beda. Untuk model bea keluar, proyeksi harga CPO internasional dilakukan dengan metode ARIMA yang belum mempertimbangkan adanya pengaruh variabel lain selain harga CPO. Pada triwulan IV tahun 2010, harga CPO internasional meningkat cepat melebihi angka proyeksi. Kenaikan harga yang tinggi tersebut dipengaruhi oleh faktor lain yang belum dimasukkan dalam model. Untuk menghasilkan angka proyeksi yang lebih detail dan mampu menjelaskan pengaruh variabel lain yang belum dimasukkan dalam model, maka model proyeksi bea masuk dan bea keluar CPO perlu dilakukan penyempurnaan di tahun 2011.