Bab 5 Ringkasan Sutedi (2003, hal.2), menjelaskan bahwa bahasa adalah alat komunikasi untuk menyampaikan suatu ide, pikiran, hasrat, dan keinginan. Sedangkan Green (1972, hal.25), berpendapat bahwa bahasa diidentifikasikan sebagai perangkat kalimat yang mungkin; dan tata bahasa suatu bahasa sebagai aturan-aturan yang membedakan antara kalimat dan yang bukan kalimat.dalam sebuah bahasa, pasti memiliki perbedaan-perbedaan maupun persamaan yang diakibatkan oleh faktor budaya.selain itu, bahasa juga memiliki banyak hal menarik untuk dipelajari. Salah satunya ada pelajaran semantik yang menerangkan tentang gaya bahasa. Menurut Setiawati (2005, hal.114), menerangkan bahwa semantik merupakan bidang linguistik yang mempelajari makna tanda bahasa. Didalam gaya bahasa terdapat sebuah majas yang disebut majas eufemisme yang tercipta karena adanya perubahan intensitas makana dan perubahan acuan. Sedangkan menurut Harimurti Kridalaksana didalam Kamus Linguistik (1982, hal.1), gaya bahasa (style) mempunyai tiga pengertian, yaitu : 1. pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis 2. pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu 3. keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra. Majas eufemisme, menurut Zaimar (2002, hal.2), merupakan ungkapan yang dihaluskan dalam mengemukakan suatu gagasan. Hal ini dilakukan apabila ungkapan
gagasan tersebut secara langsung, bisa menimbulkan perasaan yang tidak enak, atau terasa agak kasar. Kadang kadang, untuk mengemukakan eufemisme ini di gunakan bentuk yang menampilkan makna negatif dari komponen makna pusatnya. Jadi, dapat dikatakan bahwa ada jenis-jenis majas yang menggunakan bentuk bervariasi, kadang-kadang menggunakan bentuk majas lain, kadang-kadang juga bentuk lain. Pemahaman tentang majas eufemisme ini sejalan dengan sebuah konsep atau pola fikir masyarakat tentang emosi marah. Marah secara umum dijelaskan oleh (Carver and Harmon- Jones dalam Ohbuchi, 2009, hal.2), bahwa : 怒りはコミュニケーションの大きな阻害要因の一つであり 怒りをいかに鎮めるかは コミュニケーションを円滑化する上で極めて重要と言いえます 現代社会では 怒りが好きましくない場面や状況は多くあり そのためビジネスシーンでは などです Terjemahan : Salah satu bentuk hambatan terbesar dalam berkomunikasi, perlu adanya sebuah penekanan atau pengendalian diri terhadap terhadap kondisi tersebut didalam berkomunikasi. Dalam kehidupan masyarakat modern, ada banyak keadaan yang menjadi penyebab timbulnya emosi marah, seperti saat dalam berbisnis, dan lain sebagainya. Masyarakat Jepang cenderung mengungkapkan rasa marah menjadi sebuah kata-kata yang sangat halus dan sopan, seolah-olah orang tersebut tidak sedang mengalami kemarahan. Kata-kata yang terkesan halus dan sopan tersebut kadangkala menjadi sebuah kalimat yang memiliki makna tersirat, sehingga lawan bicara memerlukan usaha lebih untuk menyikapi dan mengartikan kata yang diucapkan. Seperti yang diungkapkan oleh Argyle, Henderson,
Bond, Iizuka, &Contarello dalam Tomomi Matsuda (l986, hal.8), dalam mengungkapkan (mengekspresikan) kemarahan, orang Inggris (barat) dibandingkan orang Jepang, akan mengekspresikan kemarahan dengan tingkat yang lebih tinggi (meledak-ledak), ini disebabkan adanya perbedaan budaya dalam ekspresi marah. Dio martin (2006, hal.27), menjelaskan tentang timbulnya emosi marah yang ada di dalam diri manusia akibat adanya jebakan emotional, atau emotional traps, yang membuat seseorang mudah meledak-ledak dan marah, baik dirumah, di kantor, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Jebakan emosi atau emotional traps menurut Dio Martin terbagi menjadi lima, yaitu : 1. Labeling Ditandai dengan seseorang yang sudah dicap sebagai tukang intimidasi, tukang ngadu, si carmuk alias cari muka, atau si licik atau manipulator. Biasanya, jika anda melihat orang yang anda sudah cap seperti tanda-tanda diatas, anda akan langsung menghindar, atau kalau tidak bisa menghindar, anda sudah siap dan pasang kuda-kuda. Bila orang tersebut menggangu, Anda pun sudah siap untuk membalas. 2. Mind Reading
Ditandai dengan tanda yakni mencoba menerka apa yang difikirkan seseorang tanpa konfirmasi dan mengecek kebenarannya. Dikarenakan hal yang telah diterka tersebut belum tentu benar kebenarannya. 3. Fortune telling Jebakan marah ini juga disebut dengan meramal. Ditandai dengan sebuah berprilaku dan bersikap seakan-akan kita tahu apa yang terjadi, sehingga kita menjadi marah dan jengkel. 4. Exaggerating Exaggerating atau melebih - lebihkan. Ditandai dengan sikap membesar - besarkan atau melebih - lebihkan sesuatu yang sebenarnya tidak demikian. Hal tersebut dilakukan karena merasa tidak puas dengan apa yang dilakukan atau dikatankan oleh orang lain, sehingga ingin merendahkan orang tersebut dengan melebih-lebihkan keadaan. 5. Shoulding Jebakan emosi atau emotional traps yang terakhir ialah shoulding atau keharusan. Karena jebakan ini, orang sering menjadi marah karena merasa bahwa orang lain seharusnya begini-begitu. Atau kita mengatakan, semestinya begini-begitu. Kita menjadi menuntut. Kadang kala, tuntutan itu tidak rasional atau tidak masuk akal.
Menelaah dari apa yang telah ada, dapat dikaitkan antara sebuah gaya bahasa berupa majas eufemisme (enkyokuhou) dengan konsep marah 怒り (ikari) yang ada dalam novel Yuki Guni karya Kawabata Yasunari. Keterkaitan inilah yang mendasari penulis untuk menganalisis kasus tersebut. Setelah dijabarkan pada bab sebelumnya, penulis pun dapat menarik kesimpulan akhir dari analisa ini, yakni : 1. Penggunaan majas eufemisme (enkyokuhou) sebagai bentuk representatif terhadap seseorang secara halus agar menghindari konflik yang dihubungkan dengan konsep marah (ikari). 2. Penggunaan majas eufemisme (enkyokuhou) sebagai bentuk penolakan secara halus agar tidak menyinggung atau menyakiti perasaan seseorang yang dihubungkan dengan konsep marah (ikari).