KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 oleh Ening Ariningsih

dokumen-dokumen yang mirip
KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAH TANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: ANALISIS DATA SUSENAS 1999, 2002, DAN 2005

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh

PENDAHULUAN. tahun 2004, konsumsi protein sudah lebih besar dari yang dianjurkan yaitu

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp

Tabel 1. Data produksi dan konsumsi beras tahun (dalam ton Tahun Kebutuhan Produksi Tersedia Defisit (impor)

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA

ABSTRACT. Keywords : Food Security, Household, Ordinal Logistik Regression

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI

I. PENDAHULUAN. dan siap untuk dimakan disebut makanan. Makanan adalah bahan pangan

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

I. PENDAHULUAN. salah satu cara memperbaiki keadaan gizi masyarakat (Stanton, 1991).

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam pembangunan. Komponen ini memberikan kontribusi. dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN

I. PENDAHULUAN. yang mendasar atau bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang penyelenggaraannya

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gizinya (BKP, 2013). Menurut Suhardjo dalam Yudaningrum (2011), konsumsi

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN

AGRIC Vol.22, No. 1, Juli 2010:67-74 PENDAHULUAN

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO

PERUBAHAN KONSUMSI DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PERDESAAN: Analisis Data SUSENAS Handewi P.Saliem dan Ening Ariningsih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

IV. POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

POLA PANGAN HARAPAN (PPH)

BAB I PENDAHULUAN. Pola konsumsi pangan di Indonesia saat ini belum sesuai dengan. Harapan (PPH) merupakan rumusan komposisi pangan yang ideal yan g

1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis.

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat

BAB I PENDAHULUAN. Declaration and World Food Summit Plan of Action adalah food security

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

PENDAHULUAN Latar Belakang

ICASERD WORKING PAPER No. 1

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DISTRIBUSI PROVINSI DI INDONESIA MENURUT DERAJAT KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA


TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi.

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN. peradaban masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup semakin dituntut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN

22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan

BUPATI KUDUS. PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 Tahun 2010 TENTANG

PENDAHULUAN. Latar Belakang. dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi asupan gizi tubuh. Susu

WAHYUNING K. SEJATI ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi

BAB II T1NJAUAN PUSTAKA

Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan

I. PENDAHULUAN. sebagai manusia sehat yang cerdas, produktif dan mandiri. Upaya peningkatan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengkonsumsi berbagai jenis pangan sehingga keanekaragaman pola

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Konsumsi Pangan

Pola Konsumsi Pangan Penyandang Disabilitas di Kota Malang

5 / 7

BAB I LATAR BELAKANG

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SITUASI PANGAN DAN GIZI WILAYAH (Kasus di Kabupaten Tuban) PENDAHULUAN

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juni 2007 Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. H.

PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis)

BAB 1 PENDAHULUAN. berlanjut hingga dewasa bila tidak diatasi sedari dini.

BAB I PENDAHULUAN. dapat mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

SUBSTITUSI TEPUNG BIJI NANGKA PADA PEMBUATAN KUE BOLU KUKUS DITINJAU DARI KADAR KALSIUM, TINGKAT PENGEMBANGAN DAN DAYA TERIMA

II TINJAUAN PUSTAKA. Juni 2010] 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan. [10

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PETANI MINA MENDONG PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Pangan berfungsi sebagai sumber tenaga

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak

KETERSEDIAAN ENERGI, PROTEIN DAN LEMAK DI KABUPATEN TUBAN : PENDEKATAN NERACA BAHAN MAKANAN PENDAHULUAN

Transkripsi:

Seminar Nasional DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Bogor, 19 Nopember 2008 KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 oleh Ening Ariningsih PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2008

KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 (Consumption and Intake Adequacy of Calorie and Protein of Rural Household in Indonesia: Analysis of SUSENAS data 1999, 2002, and 2005) Ening Ariningsih Staf Peneliti Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian ABSTRAK Pangan dan gizi terkait sangat erat dengan upaya peningkatan sumberdaya manusia, dimana dalam hal ini kecukupan energi dan protein dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi gizi masyarakat. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis keragaan konsumsi dan kecukupan energi dan protein rumah tangga di perdesaan. Data yang digunakan adalah data primer Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 1999, 2002, dan 2005. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan tabulasi silang. Tingkat konsumsi rumah tangga dibandingkan dengan angka kecukupan energi dan protein seperti ditetapkan pada WNPG VIII tahun 2004. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara nasional asupan energi maupun protein rumah tangga di perdesaan sudah mencapai stándar mínimum kecukupan energi dan protein yang direkomendasikan. Walaupun demikian, pada kelompok rumah tangga berpendapatan rendah konsumsi energi dan proteinnya masih di bawah stándar mínimum kecukupan energi maupun protein. Proporsi rumah tangga defisit energi maupun protein di daerah perdesaan masih relatif tinggi, khususnya pada rumah tangga berpendapatan rendah. Beras masih menjadi sumber utama energi dan protein rumah tangga di perdesaan, sementara konsumsi protein hewani masih rendah, sehingga masih di bawah konsumsi protein hewani yang direkomendasikan. Dalam upaya mengatasi permasalahan-permasalahan yang terkait dengan konsumsi energi dan protein hendaknya program-program pemerintah diarahkan pada program-program perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan rumah tangga, disamping peningkatan ketersediaan bahan pangan yang berkualitas (khususnya pangan hewani) dan terdistribusi dengan merata dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat, serta penyuluhan tentang masalah gizi perlu terus diupayakan. Kata kunci: energi, protein, protein hewani, konsumsi, kecukupan, perdesaan PENDAHULUAN Sampai saat ini Indonesia masih dihadapkan pada masalah kualitas SDM yang rendah, yang tercermin dari rendahnya nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM Indonesia di tahun 2006 masih menduduki peringkat ke-107 dari 177 negara dan berada jauh di bawah negara-negara di Asia Tenggara lain seperti Singapura yang berada di peringkat 25, Brunei Darussalam (30), Malaysia (63), Thailand (78), dan Filipina yang berada di peringkat 90. 1

Pangan dan gizi terkait sangat erat dengan upaya peningkatan sumberdaya manusia. Ketersediaan pangan yang cukup untuk seluruh penduduk di suatu wilayah belumlah dapat digunakan sebagai jaminan akan terhindarnya penduduk dari masalah pangan dan gizi, karena selain ketersediaan, juga perlu diperhatikan aspek pola konsumsi atau keseimbangan kontribusi di antara jenis pangan yang dikonsumsi, sehingga memenuhi standar gizi tertentu. Kekurangan konsumsi gizi bagi seseorang dari standar minimum tersebut umumnya akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan, aktivitas dan produktivitas kerja. Dalam jangka panjang kekurangan konsumsi pangan dari sisi jumlah dan kualitas (terutama pada anak balita) akan berpengaruh terhadap kualitas SDM. Dalam hal ini, kecukupan energi dan protein dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi gizi masyarakat dan juga keberhasilan pemerintah dalam pembangunan pangan, pertanian, kesehatan, dan sosial ekonomi secara terintegrasi (Moeloek, 1999). Lebih lanjut Irawan (2002) menyatakan bahwa derajat ketahanan pangan rumah tangga secara sederhana dapat ditentukan dengan mengevaluasi asupan energi dan protein rumah tangga tersebut. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis keragaan konsumsi dan kecukupan energi dan protein rumah tangga. Fakta bahwa sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di pedesaan (56,88% menurut data SUPAS 2005) dan sebagian besar (63,52%) penduduk miskin berada di perdesaan menunjukkan pentingnya analisis untuk difokuskan pada daerah perdesaan. Dengan demikian, diharapkan dapat diambil langkahlangkah kebijakan yang tepat dalam upaya peningkatan kualitas gizi dan SDM masyarakat di perdesaan. METODE ANALISIS Data yang digunakan adalah data primer Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 1999, 2002, dan 2005 yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik. Data yang digunakan dalam analisis mencakup data karakteristik rumah tangga (jumlah anggota rumah tangga, jenis kelamin, dan umur), pengeluaran, dan konsumsi energi dan protein untuk tiap-tiap jenis pangan yang dikonsumsi rumah tangga tersebut. Cakupan analisis adalah daerah perdesaan yang dipilah menurut kelompok pendapatan (menurut World Bank: rendah [40%], sedang [40%], dan tinggi [20%]), wilayah (Jawa - luar Jawa), dan jenis pekerjaan (pertanian - non pertanian). 2

Data dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan tabulasi silang. Untuk tiaptiap rumah tangga dihitung konsumsi energi dan protein perhari dan dibandingkan dengan angka kecukupan energi dan protein (AKEP) yang telah ditetapkan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 (Hardinsyah dan Tambunan, 2004), namun karena dalam data SUSENAS tidak tersedia data ibu hamil dan menyusui, maka dalam analisis ini tidak diperhitungkan tambahan kebutuhan ibu hamil dan menyusui akan energi dan protein. Angka kecukupan energi dan protein secara rinci untuk masing-masing kelompok umur dan unit ekuivalen dewasa (UED) untuk masing-masing kelompok umur tersebut dapat disimak pada Tabel Lampiran 1. Adapun perhitungan konsumsi dan kecukupan energi dan protein adalah sebagai berikut: Konsumsi energi perkapita = ART Konsumsi protein perkapita = ART Konsumsi energi per UED energi = Konsumsi protein per UED protein = RT Kecukupan energi = Konsumsi energi per UED energi / AKE UED x 100% Kecukupan protein = Konsumsi protein per UED protein / AKP UED x 100% dimana: Angka Kecukupan Energi (AKE) UED = 2350 kkal, Angka Kecukupan Protein (AKP) UED = 60 gram HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi dan Kecukupan Energi dan Protein Penggunaan nilai kalori (energi) dan nilai protein sudah cukup untuk menggambarkan kecukupan pangan rumah tangga karena konsumsi kalori terkait erat dengan kemampuan manusia untuk hidup secara aktif sedangkan konsumsi protein dibutuhkan untuk memulihkan sel-sel tubuh yang rusak pada usia dewasa atau untuk menjamin pertumbuhan normal pada usia muda (Malassis dan Ghersi (1992) seperti dikutip Irawan (2002)). Namun demikian, bukan hanya jumlahnya harus mencukupi, tetapi keanekaragaman pangan sumber energi yang dikonsumsi tidak kalah juga pentingnya. Menurut Hardinsyah dan Tambunan (2004) secara umum pola pangan yang baik adalah bila perbandingan komposisi energi dari karbohidrat, protein dan lemak adalah 50-65% : 10-20%: 20-30%. 3

Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa secara nasional asupan energi maupun protein rumah tangga di perdesaan sudah mencapai stándar mínimum kecukupan energi dan protein yang direkomendasikan dengan kecenderungan peningkatan konsumsi energi dan protein dari tahun ke tahun selama periode 1999-2005. Walaupun demikian, nampak bahwa pada kelompok rumah tangga berpendapatan rendah konsumsi energi dan proteinnya masih di bawah stándar mínimum kecukupan energi maupun protein. Di sisi lain, pada kelompok rumah tangga berpendapatan tinggi terjadi kelebihan asupan energi maupun protein, sehingga kita dihadapkan pada masalah gizi ganda. Lebih lanjut Tabel 1 dan 2 juga menunjukkan bahwa asupan dan kecukupan energi dan protein rumah tangga perdesaan di Jawa lebih rendah daripada di luar Jawa. Masih melimpahnya sumber makanan di wilayah luar Jawa di satu sisi, serta tingkat kepadatan penduduk yang lebih tinggi di Jawa yang dihuni sekitar 59 persen penduduk Indonesia di sisi lain menyebabkan ketersediaan makanan secara keseluruhan (dilihat dari ketersediaan energi dan protein secara total) per kapita lebih tinggi di luar Jawa. Tabel 1. Konsumsi dan kecukupan energi rumah tangga di perdesaan menurut wilayah dan kelompok pendapatan, tahun 1999, 2002, dan 2005 Cakupan Kel. Pendapatan 1999 2002 2005 Konsumsi Kecukupan Konsumsi Kecukupan Konsumsi (Kkal/Kap/Hari) (%) (Kkal/Kap/Hari) (%) (Kkal/Kap/Hari) Kecukupan (%) - Rendah 1701.51 87.67 1858.35 95.70 1850.56 97.30 - Sedang 2194.92 111.40 2400.10 121.77 2453.97 124.16 - Tinggi 2600.28 129.64 2848.40 142.04 3268.94 155.19 Wilayah - Jawa 1890.16 96.38 2033.17 103.88 2055.95 105.15 - Luar Jawa 2049.03 104.47 2178.32 111.12 2282.16 116.70 Jenis Pekerjaan - Pertanian 1978.67 100.35 2118.49 107.68 2208.54 112.15 - Nonpertanian 1973.46 101.40 2120.00 109.02 2162.26 111.76 Total Perdesaan 1976.56 100.78 2119.03 108.16 2189.97 111.99 Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, dan 2005 (diolah) Apabila dilihat dari jenis pekerjaannya, nampak bahwa konsumsi dan kecukupan energi dan protein rumah tangga yang bermata pencaharian utama sebagai petani lebih rendah daripada rumah tangga yang bermata pencaharian utama di luar pertanian. Nampaknya lapangan usaha pertanian relatif kurang dapat menjamin aksesibilitas terhadap pangan dibandingkan lapangan usaha non pertanian. Mentri Pertanian Anton 4

Apriyantono mensinyalir bahwa sekitar 70 persen penduduk miskin di Indonesia adalah petani, terutama buruh tani yang jumlahnya sangat besar dan memang rawan terhadap kemiskinan. Tabel 2. Konsumsi dan kecukupan protein rumah tangga di perdesaan menurut wilayah dan kelompok pendapatan, tahun 1999, 2002, dan 2005 1999 2002 2005 Cakupan Konsumsi Kecukupan Konsumsi Kecukupan Konsumsi Kecukupan Kel. Pendapatan (Gram/Kap/Hari) (%) (Gram/Kap/Hari) (%) (Gram/Kap/Hari) (%) - Rendah 42.62 85.02 47.53 94.77 48.29 98.00 - Sedang 57.36 111.94 65.09 126.82 67.93 131.81 - Tinggi 71.89 137.57 82.74 158.23 95.88 174.67 Wilayah - Jawa 49.16 96.06 54.50 106.45 56.70 110.68 - Luar Jawa 52.66 103.96 57.33 113.29 61.34 121.01 Jenis Pekerjaan - Pertanian 50.07 97.76 55.20 108.08 58.83 114.76 - Nonpertanian 52.53 104.17 57.92 114.82 60.37 119.84 Indonesia 51.06 100.36 56.17 110.50 59.45 116.80 Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, dan 2005 (diolah) Proporsi Rumah Tangga Defisit Energi dan Protein Berdasarkan acuan dari Depkes (1996) (BKP, 2008), di mana tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein < 70% dikategorikan sebagai defisit energi atau protein tingkat berat, tingkat kecukupan konsumsi antara 70 - <80% sebagai defisit tingkat sedang, dan tingkat kecukupan konsumsi antara 80 90 persen sebagai defisit tingkat ringan maka secara umum Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa rumah tangga di perdesaan Indonesia belum dapat dikategorikan sebagai defisit energi maupun protein. Akan tetapi, Tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa masih terdapat rumah tangga yang defisit energi dan protein dalam proporsi yang cukup signifikan, baik dalam kategori ringan, sedang, maupun berat, walaupun selama periode 1999-2005 cenderung menurun. Fokus perhatian hendaknya ditujukan pada rumah tangga yang mengalami defisit energi ataupun protein pada tingkatan berat yang pada tahun 2005 mencapai sekitar 11 persen dari rumah tangga yang ada di perdesaan, atau sekitar 13,35 juta jiwa. 5

Tabel 3. Proporsi rumah tangga defisit energi di perdesaan, tahun 1999, 2002, dan 2005 (%) Cakupan 1999 2002 2005 Kel. Pendapatan B S R B S R B S R - Rendah 20.51 19.39 19.85 12.98 14.72 17.68 16.89 13.22 15.65 - Sedang 4.38 7.31 11.73 2.24 4.63 7.99 4.24 5.40 8.40 - Tinggi 2.73 3.16 6.50 1.26 2.10 4.76 2.67 2.46 4.58 Wilayah - Jawa 14.53 15.70 17.16 9.62 12.24 15.23 11.48 11.41 14.76 - Luar Jawa 10.99 11.09 14.03 7.40 8.84 12.00 10.68 8.06 10.18 Jenis Pekerjaan - Pertanian 12.94 13.15 15.49 8.47 10.22 13.51 11.54 9.30 11.58 - Nonpertanian 12.10 13.25 15.41 8.01 10.25 12.97 10.21 9.62 12.74 Indonesia 12.60 13.19 15.46 8.30 10.23 13.32 11.00 9.43 12.05 Keterangan: B = Defisit berat: < 70% AKE, S = Defisit sedang: 70% s/d <80% AKE, R = Defisit ringan: 80% s/d <90% AKE Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, dan 2005 (diolah) Tabel 4. Proporsi rumah tangga defisit protein di perdesaan, tahun 1999, 2002, dan 2005 (%) Cakupan 1999 2002 2005 Kel. Pendapatan B S R B S R B S R - Rendah 26.43 19.28 18.67 15.84 14.78 16.80 18.00 12.26 14.32 - Sedang 5.15 7.51 11.16 2.02 3.88 7.07 3.42 3.84 6.95 - Tinggi 2.10 3.43 5.13 0.93 1.35 2.47 2.15 1.50 3.01 Wilayah - Jawa 17.77 15.14 15.89 10.76 11.48 13.94 11.09 9.78 12.72 - Luar Jawa 14.36 11.65 13.32 9.20 8.88 11.23 11.38 7.18 9.22 Jenis Pekerjaan - Pertanian 17.70 13.53 14.65 10.85 10.53 12.92 12.59 8.56 10.70 - Nonpertanian 13.29 12.82 14.27 8.02 8.88 11.29 9.28 7.76 10.58 Indonesia 15.92 13.24 14.50 9.84 9.94 12.33 11.26 8.24 10.65 Keterangan: B = Defisit berat: < 70% AKP, S = Defisit sedang: 70% s/d <80% AKP, R = Defisit ringan: 80% s/d <90% AKP Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, dan 2005 (diolah) Tingkat pendapatan yang semakin tinggi akan semakin menjamin aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan. Namun demikian, Tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa 6

pendapatan rumah tangga yang relatif tinggi tidak sepenuhnya menjamin kecukupan energi dan protein rumah tangga tersebut. Nampak bahwa pada kelompok rumah tangga berpendapatan tinggi pun masih terdapat rumah tangga yang tergolong defisit energi dan protein, walaupun dalam proporsi yang sangat kecil dibandingkan rumah tangga berpendapatan rendah. Nampak secara jelas bahwa proporsi rumah tangga defisit energi dan protein di Jawa lebih tinggi daripada di luar Jawa. Selain ketersediaan pangan perkapita yang relatif rendah dibandingkan di luar Jawa, Ketimpangan distribusi pendapatan yang relatif lebih tinggi menyebabkan ketimpangan aksesibilitas terhadap pangan yang cukup tinggi di Jawa. Hal tersebut berakibat tingginya proporsi rumah tangga defisit energi maupun protein di Jawa, relatif terhadap luar Jawa. Proporsi rumah tangga defisit energi maupun protein relatif lebih tinggi pada rumah tangga yang bermata pencaharian utama di bidang pertanian daripada rumah tangga yang bermata pencaharian utama di luar pertanian. Hal tersebut menunjukkan perlunya fokus perhatian ditujukan pada upaya peningkatan kesejahteraan rumah tangga pertanian. Proporsi Jenis Pangan Terhadap Konsumsi Energi dan Protein Tabel 5 menunjukkan bahwa beras yang merupakan pangan pokok utama bagi sebagian besar masyarakat Indonesia menjadi sumber energi utama bagi rumah tangga di perdesaan, sementara kontribusi pangan pokok lainnya seperti jagung dan ubikayu sangat kecil. Ariani (2004) menyatakan bahwa di Indonesia beras telah dijadikan komoditas politik dan strategis, sehingga kebijakan pangan yang ditetapkan oleh pemerintah bias pada beras, termasuk diantaranya kebijakan raskin. Kebijakan yang bias pada beras ini berdampak pada pergeseran pola konsumsi pangan pokok, dari jagung atau umbi-umbian ke beras. Upaya diversifikasi pangan di Indonesia dinilai gagal karena ketergantungan terhadap beras masih tinggi meskipun potensi bahan pangan lain sangat besar. Hal ini nampak dari kecenderungan penurunan konsumsi pangan pokok lokal lain seperti jagung dan ubi kayu. Di sisi lain, konsumsi konsumsi mie dan bahan pangan lain yang berbahan baku terigu (gandum) yang merupakan bahan pangan impor cenderung semakin meningkat. Hasil kajian Hasibuan (2001) menyimpulkan bahwa mie instan berpotensi sebagai makanan sumber energi kedua setelah beras, tetapi belum berkedudukan sebagai makanan sumber energi pengganti beras. 7

Tabel 5. Konsumsi energi rumah tangga di perdesaan menurut jenis pangan, tahun 1999, 2002, dan 2005 1999 2002 2005 Jenis Pangan Konsumsi Proporsi Konsumsi Proporsi Konsumsi Proporsi (Kkal/Kap/Hari) (%) (Kkal/Kap/Hari) (%) (Kkal/Kap/Hari) (%) - Beras 1135.12 57.43 1115.36 52.64 1101.66 50.30 - Jagung 40.85 2.07 47.28 2.23 42.49 1.94 - Ubi kayu 56.31 2.85 57.47 2.71 54.69 2.50 - Mie 7.71 0.39 11.89 0.56 35.78 1.63 - Pangan lain 736.57 37.26 887.03 41.86 955.35 43.63 Total 1976.56 100.00 2119.03 100.00 2189.97 100.00 Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, dan 2005 (diolah) Tabel 6 menunjukkan bahwa beras juga menjadi sumber protein utama bagi rumah tangga di daerah perdesaan, walaupun selama periode 1999 2005 proporsinya menunjukkan penurunan dari sekitar 51,98 persen pada tahun 1999 menjadi 43,30 pada tahun 2005. Sementara itu, kontribusi kedelai dan produk-produk olahannya yang merupakan pangan sumber protein nabati pada tahun 2005 sekitar 7,67 persen., meningkat dari tahun 1999 yang hanya sekitar 6,92 persen. Seiring dengan menurunnya proporsi protein yang berasal dari beras, proporsi protein yang berasal dari bahan pangan hewani menunjukkan kenaikan, dari sekitar 17,43 persen pada tahun 1999 menjadi 22,54 persen pada tahun 2005, dengan proporsi terbesar berasal dari protein ikan. Jika dilihat proporsinya, maka proporsi protein asal bahan pangan hewani tersebut sudah memenuhi proporsi yang direkomendasikan. Menurut Hardinsyah dan Tambunan (2004) guna memperoleh mutu protein dan mutu zat gizi mikro yang baik, paling tidak seperlima (20%) AKP dipenuhi dari protein hewani. Walaupun secara umum proporsi protein yang berasal dari bahan pangan hewani sudah mencapai angka yang direkomendasikan, namun hasil kajian Ariningsih (2002) menunjukkan bahwa pada rumah tangga berpendapatan rendah di perdesaan konsumsi protein yang bersumber dari bahan pangan nabati masih dominan. Ditinjau dari aspek mutu gizi, ketergantungan yang tinggi terhadap protein nabati kurang baik karena kurang lengkapnya kandungan asam amino esensial protein nabati. Penduduk dengan pola konsumsi pangan tinggi serealia dan kurang beragam, serta konsumsi pangan hewani yang rendah seperti di Indonesia umumnya mengalami defisit beberapa asam amino dalam menu makanannya. Lima asam amino esensial yang sering defisit dalam pola konsumsi pangan di Indonesia adalah lisin, treonin, triptofan, dan asam amino yang 8

mengandung sulfur, yaitu sistin dan metionin. Hal tersebut menjadi masalah karena kekuranglengkapan asam amino esensial dalam pangan akan menyebabkan mutu cerna (digestibility) dan daya manfaat (utilizable) protein yang dikonsumsi menjadi rendah (Muhilal et al., 1993). Di samping itu, sisa-sisa (racun) dari protein nabati yang dikeluarkan oleh ginjal lebih banyak daripada protein hewani, sehingga lebih memberatkan kerja ginjal. Tabel 6. Konsumsi protein rumah tangga di perdesaan menurut jenis pangan, tahun 1999, 2002, dan 2005 1999 2002 2005 Jenis Pangan Konsumsi Proporsi Konsumsi Proporsi Konsumsi Proporsi (Kkal/Kap/Hari) (%) (Kkal/Kap/Hari) (%) (Kkal/Kap/Hari) (%) - Beras 26.54 51.98 26.08 46.42 25.74 43.30 - Kedelai 3.53 6.92 4.37 7.78 4.56 7.67 - Daging ternak 0.96 1.89 1.51 2.68 2.00 3.37 - Ikan 6.84 13.40 8.23 14.65 9.31 15.66 - Telur 0.89 1.74 1.35 2.40 1.60 2.69 - Susu 0.20 0.40 0.32 0.57 0.49 0.82 - Pangan lain 12.10 23.67 14.31 25.50 15.75 26.49 Total 51.06 100.00 56.17 100.00 59.45 100.00 Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, dan 2005 (diolah) Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi V (LIPI, 1994) memberikan rekomendasi bahwa untuk mencapai mutu gizi konsumsi pangan yang baik, dari kecukupan konsumsi protein rata-rata per kapita per hari hendaknya 15 gram diantaranya dipenuhi dari pangan hewani, dengan perincian 9 gram dari protein ikan dan 6 gram dari protein ternak. Rekomendasi ini didasarkan pada keunggulan-keunggulan yang dimiliki protein hewani dibandingkan protein nabati, yaitu: (1) mempunyai komposisi asam amino yang lebih lengkap, (2) mengandung vitamin yang mudah diserap, (3) mengandung zat besi (haem) yang mudah diserap, dan (4) nilai cerna protein dan zat besi lebih baik daripada bahan pangan nabati. Protein hewani dalam pangan merupakan bagian yang sangat penting karena sifatnya yang tidak mudah diganti (indispersible). Di samping itu, protein hewani bahkan merupakan pembawa sifat keturunan dari generasi ke generasi dan berperan pula dalam proses perkembangan kecerdasan manusia. Oleh sebab itu, protein hewani dipandang dari sudut peranannya layak dianggap sebagai agent of development bagi pembangunan bangsa, baik untuk masa sekarang maupun masa mendatang (Soehadji, 1994). 9

Ditinjau dari acuan tersebut, Tabel 7 menunjukkan bahwa walaupun secara total konsumsi protein di Indonesia sudah melampaui jumlah yang direkomendasikan, terlihat bahwa konsumsi protein hewani masih rendah. Dari konsumsi protein hewani sebanyak 15 gram per kapita sehari yang direkomendasikan, pada tahun 1999 hanya sekitar 59,33 persen dari rekomendasi tersebut yang terpenuhi, yang pada tahun 2005 meningkat menjadi 89.33 persen. Rendahnya konsumsi protein hewani tersebut terkait erat dengan harga pangan hewani yang relatif mahal dibandingkan dengan pangan nabati. Oleh karena itu, faktor daya beli sangat menentukan tingkat konsumsi pangan hewani, dimana semakin tinggi pendapatan maka konsumsi pangan hewani cenderung semakin tinggi. Tabel 7. Konsumsi dan kecukupan protein hewani rumah tangga di perdesaan menurut wilayah dan kelompok pendapatan, tahun 1999, 2002, dan 2005 1999 2002 2005 Cakupan Konsumsi Kecukupan Konsumsi Kecukupan Konsumsi Kecukupan Kel. Pendapatan (Gram/Kap/Hari) (%) (Gram/Kap/Hari) (%) (Gram/Kap/Hari) (%) - Rendah 5.80 38.67 7.79 51.93 8.74 58.27 - Sedang 10.96 73.07 14.85 99.00 16.79 111.93 - Tinggi 17.60 117.33 24.22 161.47 29.37 195.80 Wilayah - Jawa 5.77 38.47 7.72 51.47 9.59 63.93 - Luar Jawa 11.53 76.87 13.96 93.07 16.02 106.80 Jenis Pekerjaan - Pertanian 8.41 56.07 10.80 72.00 13.01 86.73 - Nonpertanian 9.62 64.13 12.49 83.27 13.98 93.20 Total 8.90 59.33 11.41 76.07 13.40 89.33 Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, dan 2005 (diolah) Apabila dibandingkan antara Jawa dan luar Jawa, nampak bahwa tingkat konsumsi protein hewani di Jawa jauh lebih rendah daripada di luar Jawa. Hasil kajian Ariningsih (2002) menunjukkan bahwa tingginya konsumsi protein hewani di luar Jawa tersebut bersumber dari tingginya konsumsi ikan. Di Jawa, tingkat konsumsi protein ikan jauh lebih rendah daripada di luar Jawa, sementara tingkat konsumsi protein hasil ternak (daging, telur, dan susu) lebih tinggi di Jawa. Rendahnya konsumsi ikan di Jawa disebabkan penduduk Jawa menganut tradisi tani yang hampir tak kenal ikan (Hardjana, 10

1994), di samping tingkat ketersediaan ikan di Jawa yang jauh lebih rendah di Jawa daripada di luar Jawa. Konsisten dengan konsumsi total protein yang lebih rendah, konsumsi protein hewani juga lebih rendah pada rumah tangga pertanian dibandingkan rumah tangga non pertanian. Hal ini semakin menguatkan fakta bahwa sebagian besar rumah tangga miskin merupakan rumah tangga pertanian. Upaya Peningkatan Konsumsi Energi dan Protein dan Kaitannya dengan Kualitas SDM Dari uraian di atas nampak bahwa masalah-masalah utama dalam konsumsi energi dan protein adalah tidak tercukupinya standar kecukupan minimum baik energi maupun protein pada rumah tangga berpendapatan rendah, sehingga pada kelompok ini masih terdapat banyak rumah tangga yang defisit energi maupun protein, ketergantungan yang tinggi pada beras sebagai sumber energi maupun protein, dan masih sangat rendahnya konsumsi pangan hewani yang sangat penting peranannya dalam upaya peningkatan kualitas SDM. Kunci permasalahan-permasalahan tersebut terletak pada rendahnya pendapatan rumah tangga, oleh karena itu program-program pemerintah hendaknya diarahkan pada program-program perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan rumah tangga., disamping peningkatan ketersediaan bahan pangan yang berkualitas (khususnya pangan hewani) dan terdistribusi dengan merata dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat, serta penyuluhan tentang masalah gizi perlu terus diupayakan. Mengingat relatif tingginya proporsi rumah tangga defisit energi dan protein di daerah pedesaan, maka penanganan masalah pelaksanaan pembangunan nasional khususnya pemantapan ketahanan pangan perlu lebih memprioritaskan daerah pedesaan umumnya agar kesenjangan antara kesenjangan desa - kota tidak semakin melebar. KESIMPULAN Secara nasional asupan energi maupun protein rumah tangga di perdesaan sudah mencapai stándar mínimum kecukupan energi dan protein yang direkomendasikan dengan kecenderungan peningkatan selama periode 1999-2005. Walaupun demikian, pada kelompok rumah tangga berpendapatan rendah konsumsi energi dan proteinnya masih di bawah stándar mínimum kecukupan energi maupun protein. Konsumsi dan kecukupan energi dan protein rumah tangga perdesaan di Jawa lebih rendah daripada di 11

luar Jawa, sementara konsumsi dan kecukupan energi dan protein rumah tangga pertanian lebih rendah daripada rumah tangga non pertanian. Proporsi rumah tangga defisit energi maupun protein di daerah perdesaan masih relatif tinggi, khususnya pada rumah tangga berpendapatan rendah. Proporsi rumah tangga defisit energi maupun protein lebih tinggi di Jawa daripada di luar Jawa, lebih tinggi pada rumah tangga pertanian daripada rumah tangga non pertanian. Beras masih menjadi sumber utama energi dan protein rumah tangga di perdesaan, sementara konsumsi protein hewani masih rendah, sehingga masih di bawah konsumsi protein hewani yang direkomendasikan. Konsumsi dan kecukupan protein hewani rumah tangga perdesaan di Jawa lebih rendah daripada di luar Jawa, sementara konsumsi dan kecukupan protein hewani rumah tangga pertanian lebih rendah daripada rumah tangga non pertanian. Kunci permasalahan-permasalahan tersebut terletak pada rendahnya pendapatan rumah tangga, oleh karena itu program-program pemerintah hendaknya diarahkan pada program-program perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan rumah tangga, disamping peningkatan ketersediaan bahan pangan yang berkualitas (khususnya pangan hewani) dan terdistribusi dengan merata dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat, serta penyuluhan tentang masalah gizi perlu terus diupayakan Mengingat relatif tingginya proporsi rumah tangga defisit energi dan protein di daerah pedesaan, maka penanganan masalah pelaksanaan pembangunan nasional khususnya pemantapan ketahanan pangan perlu lebih memprioritaskan daerah pedesaan umumnya agar kesenjangan antara kesenjangan desa - kota tidak semakin melebar. DAFTAR PUSTAKA Ariani, M. 2004. Analisis Perkembangan Konsumsi Pangan dan Gizi. ICASERD Working Paper No. 67. Ariningsih, E. 2002. Perilaku Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani dan Nabati Sebelum dan Pada Masa Krisis Ekonomi di Jawa. Tesis Magister Sains. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Ketahanan Pangan, 2008. Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan. Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, Jakarta. Hasibuan, A.R. 2001. Perilaku Konsumen Mie Instan Dalam Upaya Mengurangi Ketergantungan Terhadap Makanan Pokok Beras di Yogyakarta. agrumy IX (2): 98-104. 12

Hardinsyah dan V. Tambunan. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Serat Makanan. Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta, 17-19 Mei 2004. Hardjana, A.A. 1994. Orientasi Perilaku Konsumen Tentang Masalah Pangan dan Gizi dari Sumber Hayati Kelautan. Dalam M.A. Rifai et al. (eds.). Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V. Jakarta, 20-22 April 1993. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Irawan, B. 2002. Elastisitas Konsumsi Kalori dan Protein di Tingkat Rumah Tangga. Jurnal Agro Ekonomi 20 (1): 25-47 [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1994. Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V. Jakarta, 20-22 April 1993. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Moeloek, F.A. 1999. Gizi Sebagai Basis Pengembangan Sumberdaya Manusia Menuju Indonesia Sehat 2000. Dalam Pengembangan Gizi dan Pangan dari Perspektif Kemandirian Lokal. Persatuan Peminat Pangan dan Gizi dan Center for Regional Resources Development and Community Empowerment, Jakarta. Muhilal, I. Jus at, H.M. Anwar, F. Djalal, dan Ig. Tarwotjo. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Dalam M.A. Rifai et al. (eds.). Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V. Jakarta, 20-22 April 1993. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Soehadji. 1994. Tanggapan dan Pembahasan Makalah Prof. Dr. Michael Crawford, Prof. Dr. Boedhi-Darmojo, dan Prof Dr. Soekirman. Dalam M.A. Rifai et al. (eds.). Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V. Jakarta, 20-22 April 1993. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. 13

Tabel Lampiran 1. Angka Kecukupan Energi dan Protein 2004 dan Unit Ekuivalen Dewasa No. Umur Berat Tinggi AKE UED AKE AKP UED AKP (kg) (cm) (kkal) (g) Anak: 1. 0-6 bl 6,0 60 550 0,2340 10 0,1667 2. 7-11 bl 8,5 71 650 0,2766 16 0,2667 3. 1-3 th 12,0 90 1000 0,4255 25 0,4167 4. 4-6 th 18,0 110 1550 0,6596 39 0,6500 5. 7-9 th 25,0 120 1800 0,7660 45 0,7500 Pria: 6. 10-12 th 35,0 138 2050 0,8723 50 0,8333 7. 13-15th 48,0 155 2400 1,0213 60 1,0000 8. 16-18 th 55,0 160 2600 1,1064 65 1,0833 9. 19-29 th 60,0 165 2550 1,0851 60 1,0000 10. 30-49 th 62,0 165 2350 1,0000 60 1,0000 11. 50-64 th 62,0 165 2250 0,9574 60 1,0000 12. 65+ th 62,0 165 2050 0,8723 60 1,0000 Wanita: 13. 10-12 th 38,0 145 2050 0,8723 50 0,8333 14. 13-15th 49,0 152 2350 1,0000 57 0,9500 15. 16-18 th 50,0 155 2200 0,9362 55 0,9167 16. 19-29 th 52,0 156 1900 0,8085 50 0,8333 17. 30-49 th 55,0 156 1800 0,7660 50 0,8333 18. 50-64 th 55,0 156 1750 0,7447 50 0,8333 19. 65+ th 55,0 156 1600 0,6809 45 0,7500 Hamil: 20. Trimester 1 + 180 21. Trimester 2 + 300 22. Trimester 3 + 300 Menyusui: 23. 6 bl pertama + 500 24. 6 bl kedua + 550 Keterangan: AKE : Angka Kecukupan Energi AKP : Angka Kecukupan Protein UED : Unit Ekuivalen Dewasa 14