KEJADIAN INFEKSI CACING DAN GAMBARAN KEBERSIHAN PRIBADI PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR DI YAYASAN NANDA DIAN NUSANTARA 2011

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. 7 Infeksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

xvii Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PREVALENSI CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN KEROKAN KUKU PADA SISWA SDN PONDOKREJO 4 DUSUN KOMBONGAN KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. infeksi parasit usus merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang diperhatikan dunia global,

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia,

ABSTRAK. Kata Kunci: Cirebon, kecacingan, Pulasaren

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melalui tanah atau biasa disebut dengan cacing jenis soil transmitted

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit.

BAB I PENDAHULUAN. (cacing) ke dalam tubuh manusia. Salah satu penyakit kecacingan yang paling

BAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

CACING TAMBANG. Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Rusmartini, 2009). Cacing ini ditularkan melalui telur cacing yang

BAB 1 PENDAHULUAN. diarahkan guna tercapainya kesadaran dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk fillum Nematohelminthes

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda

BAB 1 PENDAHULUAN. tanah untuk proses pematangan sehingga terjadi perubahan dari bentuk non-infektif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing

Distribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichuria), dan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang kurang bersih. Infeksi yang sering berkaitan dengan lingkungan yang kurang

Gambaran Kejadian Kecacingan Dan Higiene Perorangan Pada Anak Jalanan Di Kecamatan Mariso Kota Makassar Tahun 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

2. Strongyloides stercoralis

ABSTRAK. Antonius Wibowo, Pembimbing I : Meilinah Hidayat, dr., M.Kes Pembimbing II : Budi Widyarto Lana, dr

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat sehingga perlu dipersiapkan kualitasnya dengan baik. Gizi dibutuhkan

Efektifitas Dosis Tunggal Berulang Mebendazol500 mg Terhadap Trikuriasis pada Anak-Anak Sekolah Dasar Cigadung dan Cicadas, Bandung Timur

Lampiran I. Oktaviani Ririn Lamara Jurusan Kesehatan Masyarakat ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang dan beriklim tropis, termasuk Indonesia. Hal ini. iklim, suhu, kelembaban dan hal-hal yang berhubungan langsung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. rawan terserang berbagai penyakit. (Depkes RI, 2007)

PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK BALITA DI PUSKESMAS BLIMBING MALANG. Oleh Ma rufah Prodi Analis Kesehatan-AAKMAL Malang ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5

I. PENDAHULUAN. tropis dan subtropis. Berdasarkan data dari World Health Organization

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dibutuhkan zat gizi yang lebih banyak, sistem imun masih lemah sehingga lebih mudah terkena

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit infeksi cacing usus terutama yang. umum di seluruh dunia. Mereka ditularkan melalui telur

PREVALENSI INFEKSI CACING USUS YANG DITULARKAN MELALUI TANAH PADA SISWA SD GMIM LAHAI ROY MALALAYANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Helminthiasis atau kecacingan menurut World Health Organization (WHO)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk dalam filum. Nematohelminthes dan merupakan kelas Nematoda. Masing-masing spesies

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan infeksi cacing yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

FREKUENSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI NO. 32 MUARA AIR HAJI KECAMATAN LINGGO SARI BAGANTI PESISIR SELATAN

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. depan yang perlu dijaga, ditingkatkan dan dilindungi kesehatannya. Sekolah selain

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH (Soil Transmitted Helminth) adalah cacing golongan nematoda

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PENANGGULANGAN CACINGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

HUBUNGAN ANTARA HIGIENE PERORANGAN DENGAN INFESTASI CACING PADA PELAJAR SEKOLAH DASAR NEGERI 47 KOTA MANADO

BAB I PENDAHULUAN. Helminthes (STH) merupakan masalah kesehatan di dunia. Menurut World Health

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI

ABSTRAK PERBANDINGAN PREVALENSI INFEKSI CACING TULARAN TANAH DAN PERILAKU SISWA SD DI DATARAN TINGGI DAN SISWA SD DI DATARAN RENDAH

SUMMARY PERBEDAAN HIGIENE PERORANGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT KECACINGAN DI SDN 1 LIBUO DAN SDN 1 MALEO KECAMATAN PAGUAT KABUPATEN POHUWATO

Transkripsi:

KEJADIAN INFEKSI CACING DAN GAMBARAN KEBERSIHAN PRIBADI PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR DI YAYASAN NANDA DIAN NUSANTARA 2011 Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN OLEH: Iin Citra Liana Hasibuan NIM : 109103000011 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1433 H/2012 M i

KATA PENGANTAR Puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah swt atas rahmat dan karunia-nya serta nikmat yang begitu besar kepada peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan riset yang berjudul Kejadian Infeksi Cacing dan Gambaran Kebersihan Pribadi pada Anak Usia Sekolah Dasar di Yayasan Nanda Dian Nusantara 2011. Sholawat serta salam peneliti hadiahkan kepada Rasulullah saw, semoga kita semua mendapatkan syafaatnya di akhirat nanti. Amin. Peneliti menyadari bahwa laporan ini tidak akan selesai tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. DR. (HC) dr. MK Tadjudin, Sp. And, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak DR. Syarief Hasan Lutfie, Sp. RM, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter. 3. Ibu Silvia Fitriana, M.Biomed, selaku dosen pembimbing pertama yang telah banyak membimbing peneliti menyusun laporan ini. 4. Ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes, selaku dosen pembimbing kedua yang telah banyak membimbing peneliti menyusun laporan ini. 5. Bapak/Ibu dosen Program Studi Pendidikan Dokter yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat dan semoga dapat diaplikasikan dalam kehidupan peneliti. 6. Mba Evi sebagai laboran parasit yang setia menemani dan mengajari selama penggunaan Laboratorium Parasit. 7. Ayah dan Ibu tersayang, yang tiada hentinya mendoakan, memotivasi, dan menasehati peneliti agar tetap semangat untuk mecapai impian peneliti. 8. Adikku tercinta Dede Citra Liana Hasibuan yang selalu memotivasi saya untuk menyelesaikan riset ini. 9. Sahabat terbaikku Munirah Siregar dan Neneng Nurlaila atas dukungan, kebersamaan, motivasi kepada penulis selama penyusunan riset ini. v

10. Sahabat-sahabatku di Prodi Pendidikan Dokter angkatan 2009 atas motivasi untuk menyelesaikan riset ini. 11. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan riset ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih untuk semuanya. Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan riset ini masih kurang dari sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan di masa yang akan datang. Jakarta, 17 September 2012 Peneliti vi

ABSTRAK Iin Citra Liana. Perogram Studi Pendidikan Dokter. Kejadian Infeksi Cacing dan Gambaran Kebersihan Pribadi pada Anak Usia Sekolah Dasar di Yayasan Nanda Dian Nusantara 2011 Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Prevalensi infeksi cacing di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit ini, yaitu sekitar 40-60 %. Hasil survei infeksi cacing Sekolah Dasar di 27 Propinsi Indonesia padatahun 2002-2008 menurut jenis cacing penyebabnya didapatkan Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan Hookworm. Hasil penelitian didapatkan bahwa jumlah anak yang positif terinfeksi cacing sebanyak 25,7%. Sedangkan berdasarkan hasil identifikasi jenis cacing yang menginfeksi, ditemukan spesies terbanyak adalah cacing tambang (55,6%), cacing Fasciolopsis buski (11,1%), cacing Strongyloides stercoralis (11,1%), dan bentuk larva yang tidak teridentifikasi (22,2%). Angka kejadian infeksi cacing lebih banyak ditemukan pada kelompok responden yang tidak mencuci tangan dan sering kontak dengan tanah. Pada kelompok responden yang kebersihan kukunya buruk dan tidak menggunakan alas kaki justru angka kejadian infeksi cacingnya rendah. Kata Kunci : Infeksi cacing, cuci tangan, kontak dengan tanah, penggunaan alas kaki, kebersihan kuku. ABSTRACT Iin Citra Liana. Study Programe Of Medical Education. The Victim Of Worm Infection And Descriptive Of Personal Hygiene At Primary School Age Children At Yayasan Nanda Dian Nusantara. 2011 Worm disease is a contagious disease that remains a public health problem in Indonesia. The prevalence of worm infection in Indonesia is remained high, mostly for people under prosperousity is the highest risk of the infection, about 40-60%. As the result of survey on worm infection in Elementary student from 27 provinces in Indonesia in 2002 to 2008 was identified some species as follows : Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, and Hookworm. The research showed that sum of positif infected children is 25,7%. Otherways, according to identification of type of worm that infected, found out that Hookworm is the most. (55,6%), Fasciolopsis buski (11,1%), Strongyloides stercoralis (11,1%), and unidentified larva (22.2%). The highest number of infection was found in subject with lack of handwashing practice and frequently exposure to soil. In contrary, subject with dirty nail and barefoot habit were found low infection of the worm. Keyword : worm infection, washing hand, soil contact, footwear habit, finger hygiene. vii

DAFTAR ISI JUDUL... i LEMBAR PERNYATAAN... ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN... iv KATA PENGANTAR... v ABSTRAK... vii ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xi DAFTAR BAGAN... xii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 2 1.3 Tujuan Penelitian... 2 1.3.1 Tujuan Umum... 2 1.3.2 Tujuan Khusus... 3 1.4 Manfaat Penelitian... 3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Cacing Pada Manusia... 4 2.2 Jenis-jenis Nematoda Usus Yang Ditularkan Melalui Tanah (Soil- 4 Transmited Helminths)... 2.2.1 Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)... 5 2.2.2 Trichuris trichiura ( Cacing Cambuk )... 10 2.2.3 Ancylostoma duodenale Dan Necator americanus (Cacing 14 Tambang)... 2.2.4 Strongyloides stercoralis... 17 2.1 Epidemiologi Infeksi Cacing Oleh Cacing Yang Ditularkan Melalui 20 Tanah... 2.2 Faktor Kebersihan Pribadi Yang Berhubungan Dengan Infeksi 21 Cacingan... 2.3 Kerangka Teori... 23 2.4 Kerangka Konsep... 24 2.5 Definisi Operasional... 24 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian... 25 3.2 Lokasi dan waktu Penelitian... 25 3.3 Populasi dan Sampel... 25 3.4 Cara Kerja Penelitian... 26 3.5 Managemen Data... 29 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 30 4.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar Di Yayasan Nanda Dian Nusantara... 30 viii

4.3 Distribusi, Frekuensi Minum Obat Cacing... 31 4.4 Distribusi, Frekuensi Kejadian Infeksi Cacing... 31 4.5 Distribusi, Frekuensi Spesies Cacing... 32 4.6 Distribusi, Frekuensi Indikator Kebersihan Pribadi... 33 BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 36 5.2 Saran... 36 DAFTAR PUSTAKA... 37 LAMPIRAN... 39 ix

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Cacing Ascaris lumbricoides dewasa... 6 Gambar 2.2 Telur Ascaris lumbricoides... 6 Gambar 2.3 Daur Hidup Ascaris lumbricoides... 7 Gambar 2.4 Cacing Trichuris trichiura dewasa... 11 Gambar 2.5 Telur Trichuris trichiura... 11 Gambar 2.6 Daur Hidup Trichuris trichiura... 12 Gambar 2.7. Siklus hidup Hookworm... 15 Gambar 2.8 Cacing Strongyloides stercoralis... 17 Gambar 2.9 Daur Hidup Strongyloides stercoralis... 19 x

DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Lokasi dan waktu Penelitian... 25 Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar di Yayasan Nanda Dian Nusantara... Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Minum Obat Cacing Anak Usia Sekolah Dasar Di Yayasan Nanda Dian Nusantara... Tabel 4. 3 Distribusi Frekuensi Kejadian Infeksi Cacing Pada Anak Usia Sekolah Dasar Di Yayasan Nanda Dian Nusantara... Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Spesies Cacing Hasil Pada Anak Usia Sekolah Dasar Di Yayasan Nanda Dian Nusantara... Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Cuci Tangan Pada Anak Usia Sekolah Dasar Di Yayasan Nanda Dian Nusantara... Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Kontak Dengan Tanah Pada Anak Usia Sekolah Dasar Di Yayasan Nanda Dian Nusantara... Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Penggunaan Alas Kaki Pada Anak Usia Sekolah Dasar Di Yayasan Nanda Dian Nusantara... Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Kebersihan Kuku Pada Anak Usia Sekolah Dasar Di Yayasan Nanda Dian Nusantara... 30 31 31 32 33 33 34 34 xi

DAFTAR BAGAN Bagan 2.1 Kerangka Teori... 23 Bagan 2.2 Kerangka Konsep... 24 Bagan 3.1 Alur Penelitian... 29 xii

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. WHO tahun 2006 mengatakan bahwa kejadian infeksi cacing di dunia masih tinggi yaitu 1 miliar orang terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides, 795 juta orang terinfeksi cacing Trichuris trichiura dan 740 juta orang terinfeksi cacing Hookworm. 1 Prevalensi infeksi cacing di Indonesia pada umumnya juga sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit ini yaitu sekitar 40-60 %. 2 Prevalensi infeksi cacing pada anak lebih tinggi karena mereka belum mengerti benar arti kesehatan dan kebersihan. Hasil survei infeksi cacing Sekolah Dasar di 27 Provinsi Indonesia menurut jenis cacing penyebabnya didapatkan bahwa pada tahun 2002 prevalensi Ascaris lumbricoides 22,0%, Trichuris trichiura 19,9%, dan Hookworm 2,4%. Tahun 2003 prevalensi Ascaris lumbricoides 21,7%, Trichuris trichiura 21,0%, dan Hookworm 0,6%. Tahun 2004 prevalensi Ascaris lumbricoides 16,1%, Trichuris trichiura 17,2%, dan Hookworm 5,1%. Tahun 2005 prevalensi Ascaris lumbricoides 12,5%, Trichuris trichiura 20,2%, dan Hookworm 1,6%. Dan pada tahun 2006 prevalensi Ascaris lumbricoides 17,8%, Trichuris trichiura 24,2%, dan Hookworm 1,0%. 3 Pada tahun 2008 pemeriksaan tinja dilaksanakan di 8 propinsi, mempunyai range yang cukup tinggi yaitu antara 2,7% - 60,7%. Prevalensi terendah di Sulawesi Utara (2,7%) dan tertinggi di Banten (60,7%). 4 Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi cacing di Indonesia diantaranya adalah sanitasi lingkungan yang belum memadai, kebersihan pribadi (Personal Hygiene), tingkat pendidikan, sosial ekonomi

2 rendah, dan perilaku hidup sehat yang belum memadai. 5 Kebersihan pribadi yang kurang memadai merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi infeksi cacing pada anak. Anak usia sekolah dasar masih suka bermain di tanah yang kemungkinan besar telah terkontaminasi telur cacing akibat pembuangan tinja di sembarang tempat apalagi dengan tempat tinggal yang dikelilingi tumpukan sampah dan kurang menjaga kebersihan dirinya, antara lain tidak mencuci tangannya ketika selesai bermain dan sebelum makan, tidak memakai alas kaki tertutup seperti sepatu, serta kurang menjaga kebersihan kukunya, sehingga memperbesar resiko mereka untuk terinfeksi cacing. 6 Pada lokasi pemukiman dan sekolah bagi anak usia Sekolah Dasar Yayasan Nanda Dian Nusantara di kampung pemulung Ciputat ditemukan lingkungan yang masih sangat kotor dan anak-anak yang kurang menjaga kebersihan dirinya. Namun, informasi tentang kejadian kecacingan belum pernah dipublikasikan. Berdasarkan latar belakang diatas maka dilakukan penelitian untuk mengetahui tentang kejadian infeksi cacing dan gambaran kebersihan pribadi pada anak usia Sekolah Dasar di Yayasan Nanda Dian Nusantara. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana kejadian infeksi cacing dan gambaran kebersihan pribadi pada anak usia Sekolah Dasar di Yayasan Nanda Dian Nusantara 2011? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui kejadian infeksi cacing dan gambaran kebersihan pribadi pada anak usia Sekolah Dasar di Yayasan Nanda Dian Nusantara 2011.

3 1.3.2 Tujuan Khusus Untuk mengetahui spesies cacing penyebab infeksi pada anak usia Sekolah Dasar di Yayasan Nanda Dian Nusantara. 1.4 Manfaat Penelitian Sebagai informasi tentang data kejadian infeksi cacing pada anak usia Sekolah Dasar di wilayah Ciputat serta pentingnya masalah kebersihan pribadi untuk mengurangi angka kejadian kecacingan tersebut. Serta bahan evaluasi program penanggulangan infeksi cacing khususnya bagi dinas pelayanan kesehatan setempat.

4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Cacing Pada Manusia Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di negaranegara yang sedang berkembang di daerah tropik adalah infeksi cacing usus. Infeksi cacing adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan, minuman, atau melalui kulit dimana tanah sebagai media penularannya yang disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichuria), cacing tambang (Ancylostoma duodenale, Necator americanus), 7 dan Strongyloides stercoralis. Cacing umumnya tidak menyebabkan penyakit berat sehingga seringkali diabaikan walaupun sesungguhnya memberikan gangguan kesehatan. Tetapi dalam keadaan infeksi berat atau keadaan yang luar biasa, infeksi cacing cenderung memberikan analisa yang keliru ke arah penyakit lain dan tidak jarang dapat berakibat fatal. Infeksi cacing banyak terdapat pada anak usia Sekolah Dasar yang dapat merugikan pertumbuhan anak. 2.2 Jenis-jenis Nematoda Usus yang Ditularkan Melalui Tanah (Soil transmitted helminths) Nematoda mempunyai jumlah spesies yang terbesar di antara cacingcacing yang hidup sebagai parasit. Cacing ini berbeda-beda dalam habitat, daur hidup, dan hubungan hospes-parasit (host-parasite relationship). 8 Nematoda usus di Indonesia lebih sering disebut sebagai cacing perut. Sebagian penularannya terjadi melalui tanah, maka mereka digolongkan dalam kelompok cacing yang ditularkan melalui tanah atau Soil transmitted helminths. 9 Kelainan patologik akibat infeksi cacing usus dapat ditimbulkan oleh cacing dewasa maupun oleh larvanya, tergantung siklus hidup cacing dan dipengaruhi oleh lokasi stadium cacing usus di dalam tubuh manusia. Cacing dewasa dapat menimbulkan gangguan pencernaan, perdarahan, anemia, alergi, obstruksi usus, iritasi usus, dan perforasi usus tergantung cara hidup cacing

minggu. 8 Cacing jantan mempunyai ujung posterior yang 5 dewasa, sedangkan larvanya dapat menimbulkan reaksi alergik dan kelainan jaringan di tempat hidupnya. 9 2.2.1 Cacing gelang (Ascaris lumbricoides) Jumlah orang di dunia yang terinfeksi Ascaris mungkin hanya kedua setelah infeksi cacing kremi, Enterobius vermicularis. Ascaris lumbricoides lebih banyak terdapat di daerah yang beriklim panas dan lembab, tetapi dapat juga hidup di daerah yang beriklim sedang. 10 2.2.1.1 Morfologi dan Daur Hidup Manusia merupakan satu-satunya hopses Ascaris lumbricoides. Penyakit yang disebabkannya disebut askariasis. 8 Ascaris lumbricoides jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan yang betina 22-35 cm. Stadium dewasa hidup di rongga usus. Ascaris lumbricoides betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi. 8 Telur yang dibuahi, besar kurang lebih 60 x 45 mikron dan yang tidak dibuahi 90 x 40 mikron. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 runcing, melengkung ke arah ventral, mempunyai banyak papil kecil dan juga terdapat 2 buah spekulum yang melengkung, masing-masing berukuran panjang sekitar 2 mm. Cacing betina mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat (conical) dan lurus. 9

6 Gambar 2.1 Cacing Ascaris lumbricoides dewasa (A: betina dan B: jantan) 23 (Sumber:www.dpd.cdc.gov/DPDx/HTML/Image_Library.htm) Telur yang dibuahi berbentuk avoid dan berukuran 60-70 x 30-50. Bila baru dikeluarkan tidak infektif dan berisi satu sel tunggal. Sel ini dikelilingi membran vitelin yang tipis. Di sekitar membran ini ada kulit bening dan tebal yang dikelilingi lagi oleh lapisan albuminoid yang tidak teratur. lapisan albuminoid ini kadang-kadang hilang atau dilepaskan oleh zat kimia dan menghasilkan telur tanpa kulit (decorticated). Di dalam rongga usus, telur memperoleh warna kecoklatan dari pigmen empedu. Telur yang tidak dibuahi berukuran 88-94 x 40-44 dengan lapisan albuminoid yang kurang sempurna dan isi nya tidak teratur. Larva Ascaris lumbricoides dapat terlihat di dalam paruparu yang kena infeksi dan panjangnya dapat sampai 2 mm dengan diameter 75. Larva mempunyai usus di bagian tengah, sepasang saluran ekskresi dan ala yang nyata. 11 Gambar 2.2 Telur Ascaris lumbricoides 23 (www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/image_library.htm)

7 Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan oleh manusia akan menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. 8 Dari trakea larva ini menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju usus halus. Di usus halus berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih dua bulan. 8 Gambar 2.3 Daur Hidup Ascaris lumbricoides 23 (www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/image_library.htm) Keterangan : 1. Cacing dewasa hidup di saluran usus halus, seekor cacing betina mampu menghasilkan telur sampai 240.000 perhari yang akan keluar bersama feses.

8 2. Telur yang sudah dibuahi mengandung embrio dan menjadi infective setelah 18 hari sampai beberapa minggu di tanah. 3. Tergantung pada kondisi lingkungan (kondisi optimum, lembab, hangat, tempat teduh) 4. Telur infective tertelan 5. Masuk ke usus halus dan menetas mengeluarkan larva yang kemudian menembus mukosa usus, masuk kelenjar getah bening dan aliran darah dan terbawa sampai ke paru-paru 6. Larva mengalami pendewasaan di dalam paru-paru (10 14), menembus dinding alveoli, naik ke saluran pernapasan dan akhirnya terlelan kembali. Ketika mencapai usus halus, larva tumbuh menjadi cacing dewasa. Waktu yang diperlukan mulai tertelan telur infeksi sampai menjadi cacing dewasa sekitar 2 sampai 3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup 1 sampai 2 tahun dalam tubuh. 12 2.2.1.2 Patologi dan Gejala Klinis Gejala yang timbul pada penderita Ascariasis dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi saat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam, eosinofilia, dan pada foto toraks tampak infiltrat. Pada kasus ini sering terjadi kekeliruan diagnosis karena mirip dengan gambaran TBC, namun infiltrat ini menghilang dalam waktu 3 minggu, setelah diberikan obat cacing pada penderita. Keadaan ini disebut sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami

9 gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. 8 2.2.1.3 Pengobatan dan Pencegahan Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) a) Pengobatan Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara massal pada masyarakat. Untuk perorangan dapat dipergunakan bermacam-macam obat misalnya piperazin, pirantel pamoat atau mebendazol. 8 b) Penyuluhan kesehatan Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik, higiene keluarga dan higiene pribadi seperti : 1. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman. 2. Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan dicuci terlebih dahulu menggunakan sabun. 3. Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan, hendaklah dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat. Karena telur cacing Ascaris dapat hidup dalam tanah selama bertahun-tahun, pencegahan dan pemberantasan di daerah endemic adalah sulit. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah sebagai berikut : 1. Mengadakan kemoterapi misal setiap 6 bulan sekali di daerah endemic ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit ascariasis. 2. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.

10 3. Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus hidup cacing misalnya memakai jamban/wc. 4. Makan makanan yang dimasak saja. 5. Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang menggunakan tinja sebagai pupuk. 2.2.2 Trichuris trichiura ( Cacing Cambuk ) Infeksi cacing ini (cacing cambuk) lebih sering terjadi di daerah panas, lembab dan sering terlihat bersama-sama dengan infeksi Ascaris. Jumlah cacing dapat bervariasi, apabila jumlahnya sedikit, pasien biasanya tidak terpengaruh dengan adanya cacing ini. 10 Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing cambuk (Trichuris trichiura) adalah Trichuriasis. 2.2.2.1 Morfologi dan Daur Hidup Trichuris trichiura termasuk nematoda usus yang biasanya dinamakan cacing cambuk, karena tubuhnya menyerupai cemeti dengan bagian depan yang tipis dan bagian belakangnya yang jauh lebih tebal. Cacing ini pada umumnya hidup di sekum manusia, sebagai penyebab Trichuriasis dan tersebar secara kosmopilitan. 13 Trichuris trichiura jauh lebih kecil dari Ascaris lumbricoides, anterior panjang dan sangat halus, posterior lebih tebal. Betina panjangnya 35-50 mm, dan jantan panjangnya 30-45 mm. Telur berukuran 50-54 x 32 mikron, bentuk seperti tempayan/tong, di kedua ujung ada operkulum (mukus yang jernih) berwarna kuning tengguli, bagian dalam jernih, dan dalam feses segar terdapat sel telur. 14

11 Gambar 2.4 Cacing Trichuris trichiura dewasa 23 (www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/image_library.htm) Telur dengan ukuran 50-55 m x 22-24 m berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih. 8 Gambar 2.5 Telur Trichuris trichiura 23 (www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/image_library.htm) Telur yang keluar bersama tinja penderita belum mengandung larva, oleh karena itu belum infektif. Jika telur jatuh di tanah yang sesuai, dalam waktu 3-4 minggu telur berkembang menjadi infektif. Bila telur yang infektif termakan manusia, di dalam usus halus dinding telur pecah dan larva cacing keluar menuju sekum untuk selanjutnya tumbuh menjadi dewasa. Untuk mengambil makanannya, cacing memasukkan bagian anterior tubuhnya ke dalam mukosa usus hospes. Satu bulan sejak masuknya telur ke dalam mulut, cacing dewasa telah mulai mampu bertelur. Cacing ini dapat hidup beberapa tahun lamanya di dalam usus manusia. 9

12 Gambar 2.6 Daur Hidup Trichuris trichiura 23 (www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/image_library.htm) 2.2.2.2 Patologi dan Gejala Klinis Pada umunya Trichuris trichiura dapat menimbulkan efek traumatic dan efek toksik pada penderita. Kerusakan terjadi pada tempat melekat cacing pada mukosa usus daerah sekum, sedangkan pada infeksi yang berat akan terjadi penyumbatan apendiks dan proses peradangan pada sekum calon dan apendiks tersebut. Pada infeksi berat juga dapat terjadi intoksikasi dan anemia tetapi mekanismenya belum jelas. Cacing yang menghasilkan substansi litik juga menghisap darah penderita. Urtikari dan gejala-gejala alergi lain dapat pula dijumpai pada penderita Trichuris trichiura. 15 Infeksi Trichuris trichiura tanpa komplikasi umumnya menunjukkan gejala-gejala dan keluhan nyeri epigastrum, nyeri perut dan punggung, muntah, konstipasi dan vertigo. Pada infeksi berat sering dijumpai prolaps rektum. Beberapa menunjukkan gambaran mirip infeksi cacing tambang yang berat dengan edemapada muka dan tangan, dispnea, dilatasi jantung, insomnia, sakit kepala dan demam ringan. 15

13 Pada anak-anak, cacing ini tersebar di seluruh colon dan rectum. Kadang-kadang terlihat mukosa rectum yang mengalami prolaps akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatnya dapat terjadi pendarahan. Disamping itu cacing ini menghisap darah hospesnya, sehingga menyebabkan anemia. 15 Bila infeksi yang berat dan menahun menunjukkan gejala-gejala nyata seperti diare yang sering diselingi dengan sindrom disentri, anemia, berat badan turun dan kadang-kadang disertai prolaps rektum pada anak. 15 Bila infeksi ringan, biasanya asimtomatis (tanpa gejala). Bila jumlah cacingnya banyak, biasanya timbul diare dengan feses yang berlendir, nyeri perut, dehidrasi, anemia, lemah dan berat badan menurun. 16 2.2.2.3 Pengobatan dan Pencegahan Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) Dahulu infeksi Trichuris trichiura sulit sekali diobati. Obat seperti tiabendazol dan ditiazinin tidak memberikan hasil yang memuaskan. Sekarang dengan adanya mebendazol dengan dosis 2 x 100 mg selama 3 hari atau dosis tunggal 500 mg, albendazol dosis tunggal 400 mg dan oksantel pirantel pamoat dosis tunggal 10-15 mg/kgbb, infeksi cacing Trichuris trichiura dapat diobati dengan hasil yang cukup baik. 15 Sedangkan pencegahannya dapat dilakukan dengan cara yaitu dalam hal pembuangan tinja haruslah memenuhi syarat sehingga dapat mengurangi jumlah infeksi dan jumlah cacing. Hal ini penting diperhatikan bila

14 berhubungan dengan anak-anak yang melakukan defekasi di tanah. 10 2.2.3 Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (Cacing Tambang) Infeksi cacing tambang ditemukan pada daerah hangat yang lembab dan mengakibatkan berbagai penyakit pada manusia, meski morbiditasnya lebih banyak dibanding mortalitasnya. Meskipun secara morfologik terdapat perbedaan yang nyata antara dua cacing tambang yang umum terdapat pada manusia (cacing dewasanya), stadium diagnostiknya (telur) ternyata identik. 10 Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing tambang (Ancylostoma duodenale/ Necator americanus) adalah ancylostomiasisdan nekatoriasis. 2.2.3.1 Morfologi dan Daur Hidup Cacing dewasa hidup di dalam usus halus manusia, cacing melekat pada mukosa usus dengan bagian mulutnya yang berkembang dengan baik. Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui penetrasi kulit oleh larva filariform yang ada di tanah. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti hurup S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang dimulai dari keluarnya telur cacing bersama feses, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rhabditiform. 8 Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan larynk. Dari larynk, larva ikut

15 tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan. 8 Gambaran umum siklus hidup cacing Ancylostoma duodenale dan Necator americanus dapat dilihat pada gambar berikut ini: Gambar 2.7. Siklus hidup Hookworm 23 (www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/image_library.htm) Keterangan : Larva cacing tambang pada suhu hangat dan lembab mengalami pertumbuhan dalam 3 tahap. Pada tahap akhir, larva-larva ini akan naik ke permukaan tanah. Dengan bentuk tubuh yang runcing di bagian atas, larva ini akan masuk menembus kulit dan ikut ke dalam aliran darah sampai ke organ hati. Melalui pembuluh darah larva ini akan terbawa ke paru-paru. Larva cacing tambang kemudian bermigrasi ke bagian kerongkongan dan kemudian tertelan. Larva kemudian menuju usus halus dan menjadi dewasa dengan menghisap darah penderita. Cacing tambang bertelur di usus halus yang kemudian dikeluarkan bersama dengan feses dan akan menyebar kemana-mana. 17

16 2.2.3.2 Patologi dan Gejala Klinis Gejala klinik Hookworm dapat ditimbulkan oleh cacing dewasa maupun oleh larvanya. Larva yang masuk ke dalam kulit akan menimbulkan gatal-gatal yang disebut ground-itch, sedang larva yang mengadakan migrasi paru (Lung migration) hanya menimbulkan gangguan yang ringan. Pemeriksaan darah menunjukkan eosinofili. 9 Cacing dewasa yang menghisap darah penderita akan menimbulkan anemia hipokrom mikrositer. Seekor cacing Necator americanus dapat menimbulkan kekurangan darah sampai 0,1 cc sehari, sedangkan Ancylostoma duodenale sampai 0,34 cc sehari. Akibat terjadi anemia, maka penderita akan mengalami gangguan perut, penurunan keasaman lambung, sembelit dan steatore. Penderita tampak pucat, perut buncit, rambut kering dan mudah lepas. 9 2.2.3.3 Pengobatan dan Pencegahan Cacing Ancylostoma duodenale dan Necator americanus Pirantel pamoat (Combantrin, Pyrantin, Pirantel, dll) dan mebendazol (Vermox, Vermona, Vercid, dll) memberikan hasil cukup baik, bilaman digunakan beberapa hari berturut-turut. 15 Sedangkan pencegahannya didalam masyarakat, infeksi cacing tambang dapat dikurangi atau dihindarkan dengan : a. Sanitasi pembuangan tinja b. Melindungi orang-orang yang mungkin mendapat infeksi (susceptible). c. Mengobati orang-orang yang mengandung parasit.

17 2.2.4 Strongyloides stercoralis Manusia merupakan hospes utama cacing ini. Parasit ini dapat menyebabkan strongiloidiasis. 8 2.2.4.1 Morfologi dan Daur Hidup Strongyloides stercoralis betina berukuran 2,2 x 0,04 mm, tak berwarna, semi transparan dengan kutikula yang bergaris-garis. Cacing ini mempunyai rongga mulut yang pendek dan esofagus ramping, panjang dan silindris. Cacing betina badannya licin, lubang kelamin terletak diperbatasan antara 2/3 badan. Betina yang hidup bebas lebih kecil dari yang betina parasitik. Strongyloides stercoralis jantan mempunyai ekor yang melengkung. Telur dari yang parasitis berukuran 54 x 32 mikron. 13 Gambar 2.8 Cacing Strongyloides stercoralis 23 (www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/image_library.htm) Strongyloides stercoralis mempunyai tiga macam daur hidup : 1. Siklus langsung Sesudah 2 sampai 3 hari di tanah, larva rhabditiform yang berukuran kira-kira 225 x 16 mikron berubah menjadi larva filariform dengan bentuk langsing dan merupakan bentuk yang infektif, panjangnya kirakira 700 mikron. Bila larva filariform menembus kulit manusia, larva tumbuh, masuk ke dalam peredaran darah vena dan kemudian melalui jantung

18 kanan sampai ke paru. Dari paru parasit yang mulai menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakea dan laring. Setelah sampai di laring terjadi batuk sehingga perasit tertelan kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur ditemukan kira-kira 28 hari sesudah infeksi. 8 2. Siklus tidak langsung Pada siklus tidak langsung, larva rhabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk-bentuk bebas ini lebih gemuk dari bentuk parasitik. Cacing yang betina berukuran 1mm x 0,06 mm, yang jantan berukuran 0,75 mm x 0,04 mm, mempunyai ekor melengkung dengan 2 buah spikulum. Sesudah pembuahan cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rhabditiform dan selama beberapa hari menjadi larva filariform yang infektif dan masuk dalam hospes baru atau larva rhabditiform dapat mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung ini terjadi bila keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk hidup parasit ini. 8 3. Autoinfeksi Larva rhabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus atau di sekitar anus, misalnya pada pasien yang menderita obstipasi lama sehingga bentuk rhabditiform sempat berubah menjadi filariform di dalam usus, pada penderita diare menahun dimana kebersihan kurang diperhatikan, bentuk rhabditiform akan menjadi filariform pada tinja yang masih melekat di sekitar dubur. Adanya

19 autoinfeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis menahun pada penderita. 8 Gambar 2.9 Daur Hidup Strongyloides stercoralis 23 (www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/image_library.htm) 2.2.4.2 Patologi dan Gejala Klinis Kelainan patologik dapat ditimbulkan oleh larva pada waktu menembus kulit, sehingga terjadi dermatitis disertai dengan pruritis dan urtikaria. Selain itu jika larva filaform yang menembus kulit banyak jumlahnya, maka akibat migrasi paru yang berat dapat menimbulkan kelainan pada paru penderita, misalnya pneumonia dan batuk berdarah. Cacing dewasa yang menembus mukosa usus dapat menimbulkan diare yang berdarah dan berlendir. Seperti halnya infeksi dengan cacing yang disertai dengan siklus migrasi paru, maka penderita pada pemeriksaan darah menunjukkan adanya eosinofili dan leukositosis. Infeksi yang berat pada penderita dapat menimbulkan kematian. 9

20 2.2.4.3 Pengobatan dan Pencegahan Cacing Strongyloides stercoralis Penularan Strongyloides dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan tanah, tinja atau genangan air yang diduga terkontaminasi oleh larva infektif 2.3 Epidemiologi Kecacingan Oleh Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah Di Indonesia, infeksi cacing merupakan masalah kesehatan yang sering dijumpai. Angka kejadian infeksi cacing yang tinggi tidak terlepas dari keadaan Indonesia yang beriklim tropis dengan kelembaban udara yang tinggi serta tanah yang subur yang merupakan lingkungan yang optimal bagi kehidupan cacing. Infeksi cacing tersebar luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Hasil survei infeksi cacing di Sekolah Dasar di beberapa propinsi pada tahun 1986-1991 menunjukkan prevalensi sekitar 60% - 80%, sedangkan untuk semua umur berkisar antara 40% - 60%. Hasil survei subdit diare pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 Sekolah Dasar di 10 provinsi menunjukkan prevalensi berkisar antara 2,2% - 96,3%. 21 Pada banyak penelitian, intensitas dan prevalensi infeksi cacing meningkat pada anak-anak dan remaja. Kurva intensitas menurun sejalan dengan bertambahnya usia. Puncak intensitas terjadi antara umur 5-10 tahun untuk Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura, sedangkan cacing tambang pada umur 10 tahun. 21 Infeksi cacing juga dipengaruhi oleh perilaku individu. Intensitas dan prevalensi yang tinggi pada anak disebabkan oleh kebiasaan memasukkan jarijari tangan yang kotor ke dalam mulut. Pada infeksi cacing tambang, prevalensi yang tinggi di dapatkan pada anak dengan umur lebih tua, hal ini kemungkinan disebabkan oleh mobilitas anak. 15 2.4 Faktor Kebersihan Pribadi yang Berhubungan dengan Infeksi Cacing Kebersihan pribadi adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang yaitu kesejahteraan fisik dan psikis untuk mencegah timbulnya penyakit pada diri sendiri maupun orang lain. 24

21 Higiene merupakan hal yang sangat penting diperhatikan terutama pada masa-masa perkembangan. Dengan kesehatan pribadi yang buruk pada masa tersebut akan dapat mengganggu perkembangan kualitas sumber daya manusia. Higiene yang belum memadai merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi infeksi cacing.. Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya untuk mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan. Keadaan higiene yang tidak baik seperti tangan dan kuku yang kotor, kebersihan diri dan penggunaan alas kaki hal ini dapat menimbulkan infeksi cacing. 18 Untuk menjaga kesehatan pribadi tentu saja tidak lepas dari kebiasaankebiasaan sehat yang dilakukan setiap hari. Higiene perorangan pada anak sekolah dasar meliputi : 1. Kebersihan Kulit Kebersihan kulit biasanya merupakan cerminan kesehatan yang paling pertama memberikan kesan. Oleh karena itu, perlunya memelihara kesehatan kulit sebaik-baiknya. Pemeliharaan kesehatan kulit tidak terlepas dari kebersihan lingkungan, makanan yang dimakan serta kebiasaan hidup sehari-hari. Untuk selalu memelihara kebersihan kulit, kebiasaan-kebiasaan yang sehat harus selalu diperhatikan, seperti: a. Mandi minimal 2x sehari b. Mandi memakai sabun c. Menjaga kebersihan pakaian d. Menjaga kebersihan lingkungan e. Makan yang bergizi terutama sayur-sayuran dan buah-buahan f. Menggunakan barang-barang keperluan sehari-hari milik sendiri. 19 2. Kebersihan Tangan, Kaki, dan Kuku Kuku yang terawat dan bersih juga merupakan cerminan kepribadian seseorang, kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat

22 melekatnya berbagai kotoran yang mengandung berbagai bahan dan mikro organisme diantaranya bakteri dan telur cacing. Penularan kecacingan diantaranya melalui tangan yang kotor, kuku yang kotor yang kemungkinan terselip telur cacing akan tertelan ketika makan, hal ini diperparah lagi apabila tidak terbiasa mencuci tangan memakai sabun sebelum makan. 20 Kuku yang kotor dapat menyebabkan penyakit-penyakit tertentu : a. Pada kuku sendiri : 1. Cantengan yaitu radang bawah/pinggir kuku 2. Jamur kuku b. Pada tempat lain : 1. Luka infeksi pada tempat garukan 2. Cacingan Untuk menghindari hal-hal tersebut di atas, perlu diperhatikan sebagai berikut : 1. Membersihkan tangan sebelum makan 2. Memotong kuku secara teratur 3. Membersihkan lingkungan 4. Mencuci kaki sebelum tidur

23 2.5 Kerangka Teori Agent/Spesies cacing : Spesies Siklus hidup Habitat Cara penularan/transmisi Parasite load Vektor : Spesies penular/transmitter Habitat Cara penularan/perilaku vector Populasi /jumlah vektor Infeksi Cacing Faktor Kebersihan pribadi Kebiasaan mencuci tangan Kebiasaan memakai alas kaki Kebersihan kuku Kebiasaan kontak dengan tanah Bagan 2.1 Kerangka Teori

24 2.6 Kerangka Konsep Kebersihan pribadi adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorangyaitu kesejahteraan fisik dan psikis untuk mencegah timbulnya penyakit pada diri sendiri maupun orang lain. 24 Kebersihan pribadi meliputi kebersihan semua anggota tubuh, tetapi variabel yang diteliti adalah sesuai dengan kerangka konsep sebagai berikut: Variabel Independen Variabel Dependen cuci tangan kontak dengan tanah penggunaan alas kaki kebersihan kuku Infeksi cacing Angka infeksi Spesies cacing Bagan 2.2 Kerangka Konsep 2.7 Definisi Operasional No Variabel Defenisi Alat ukur Cara ukur Hasil ukur 1 Cuci tangan Tindakan membersihkan tangan dan jari dengan menggunakan air dan sabun Kuesioner Wawancara 1.Tidak 2.Ya Skala penguku ran Ordinal 2 Kontak dengan tanah 3 Penggunaan alas kaki Kebiasaan bermain di lapangan dan terpapar tanah Selalu menggunakan alas kaki saat keluar dari rumah Kuesioner Wawancara 1. Ya 2.Tidak Kuesioner Wawancara 1.Tidak 2.Ya Ordinal Ordinal 4 Kebersihan kuku Kuku pendek dan bersih Kuesioner Wawancara 1.Buruk 2.Baik Ordinal 5 Infeksi kecacingan Ditemukannya satu atau lebih telur cacing atau larva golongan Soil Transmitted Helminth melalui pemeriksaan feses Mikroskop Pemeriksaan telur dan larva 1.Negatif 2.Positif Nominal

25 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi deskriptif dengan studi Cross sectional. 25 3.2 Lokasi dan waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Yayasan Nanda Dian Nusantara. Jl Jambu, Kelurahan Pisangan, Kecamatan Ciputat Timur, Provinsi Tangerang Selatan.Kegiatan dan waktu penelitian dilakukan sesuai rincian tabel berikut: Tabel 3.1 Lokasi dan waktu Penelitian Kegiatan Waktu Penyusunan proposal 01 Juli 2011-31 Agustus 2011 Pengambilan data 01 Oktober 2011-31 Desember 2011 Pengolahan data 01 Januari 2012 30 Maret 2012 Penulisan laporan 01 Juni 2012 31 Agustus 2012 Pengumpulan laporan riset September 2012 3.3 Populasi Dan Sampel a. Populasi Populasi target dari penelitian ini adalah semua anak usia Sekolah Dasar diyayasan Nanda Dian Nusantara. Populasi sampel dari penelitian ini adalah semua anak usia Sekolah Dasar di Yayasan Nanda Dian Nusantara sesuai kriteria inklusi dan ekslusi. b. Jumlah Sampel Sampel yang digunakan dalam penelitian ini diambil dengan cara consecutive sampling pada anak usia Sekolah Dasar yang berada di bawah binaan Yayasan Nanda Dian Nusantara di Kelurahan Pisangan, Kecamatan Ciputat Timur. 26

26 Jumlah sampel dihitung dengan rumus Keterangan : Z : deviat baku alfa 1,96 Zβ : deviat baku beta 1,036 P2 : proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya 82% (Agustaria Ginting, 2008) Q2 : 1-P2 P1 : proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement peneliti Q1 : 1-P1 P1-P2 : selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna 20% P : proporsi total (P1+P2)/2 Q : 1-P Maka hasil hitung adalah 31. Sampel pada penelitian ini berjumlah 31 siswa, kemudian ditambahkan 10% sebagai cadangan sampel sehingga jumlah sampel seluruhnya adalah sebanyak 35(pembulatan) sampel. c. Kriteria Sampel Kriteria inklusi : 1. Siswa usia Sekolah Dasar di Yayasan Nanda Dian Nusantara. 2. Bersedia menjadi responden dalam penelitian ini sampai akhir penelitian. 3. Bersedia memberikan sampel fesesnya Kriteria ekslusi : 1. Data tidak lengkap 2. Drop out di tengah penelitian 3. Minum obat cacing pada saat pengambilan sampel feses.

27 3.4 Cara Kerja Penelitian Data yang digunakan adalah data primer yang didapat langsung melalui kuesioner, pemeriksaan tinja, dan hasil observasi. a. Kuesioner Kuesioner yang ditujukan kepada anak Sekolah Dasar mencakup identitas diri anak dan pertanyaan variabel yang diteliti. Kuesioner dilakukan dengan wawancara langsung dengan responden. b. Observasi Observasi dilakukan dengan mengamati secara umum kebiasaan/perilaku sehari-hari para responden serta mengukur akurasi dan validitas jawaban dari data kuesioner. Pengamatan lain juga dilakukan meliputi kebersihan lingkungan dan kemungkinan lain yang menyebabkan anak terinfeksi cacing. c. Metode Pemeriksaan feses Pemeriksaan laboratorium sampel feses dilakukan untuk mengetahui responden yang positif kecacingan, serta untuk mengidentifikasi spesies cacing yang menginfeksi. Pemeriksaan dilakukan dengan metode: 1. Pembuatan dan pemeriksaan Sediaan Tinja Basah Apus Bahan: 1. Lidi 2. Kaca objek 3. KOH1% 4. Tinja Cara: 1. Letakkan setetes KOH 1%di atas kaca objek 2. Dengan lididiambil sedikit tinja, kemudian diratakan/homogenisasi di atas kaca objek 3. Sebarkan suspensi tinja di atas kaca objek sehingga terdapat lapisan yang tipis tetapi tetap basah 4. Tutup dengan cover glass 5. Periksa dengan pembesaran lemah(objektif 10x)

28 2. Pembiakan Larva Dengan Cara Harada-Mori Bahan 1. Kantong plastik es mambo 2. Kertas saring 3. Air bersih 4. Api lilin 5. Lidi 6. Tinja Cara: 1. Oleskan tinja secukupnya pada bagian tengah kertas saring 2. Masukkan air keran ke dalam kantong plastik 3. Masukkan kertas saring yang sudah dioles tinja ke dalam kantong plastikyang sudah berisi air tersebut 4. Tutuplah kantong plastik dengan memakai api lilin 5. Gantunglah kantong plastik 6. Biarkan selama 4-7 hari pada suhu kamar (2-30⁰C) 7. Periksalah larva dalam air dari kantong plastik dengan mikroskop binokuler untuk dilakukan identifikasi.

29 Alur Penelitian Pembuatan proposal Survey lapangan dan observasi Pengambilan data: pengisian kuesioner /wawancara pemeriksaan feses: pemeriksaan Sediaan Tinja Basah Apus dan Harada- Mori Pengolahan dan analisis data Penyusunan laporan Bagan 3.1 Alur Penelitian 3.5 Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis univariat untuk menjelaskan angka kejadian infeksi cacing dan distribusi frekuensi usia, spesies cacing, dan kebersihan pribadi yang meliputi kebiasaan cuci tangan, kontak dengan tanah, penggunaan alas kaki, dan kebersihan kuku.

30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Yayasan Nanda Dian Nusantara terletak di Jl. Jambu II Kelurahan Pisangan Ciputat Timur. Merupakan sekolah yang dibangun untuk tempat bersekolah anak-anak di daerah sekitarnya yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah atau sering disebut kampung pemulung. 4.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar Di Yayasan Nanda Dian Nusantara Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar di Yayasan Nanda Dian Nusantara NO Karakteristik Jumlah (%) 1 Populasi Laki-laki 26 47,3 Perempuan 29 52,7 2 Subyek Penelitian Laki-laki 17 48,6 Perempuan 18 51,4 3 Usia Responden Usia 4-6 tahun 8 22,9 Usia 7-9 tahun 13 37,1 Usia 10-12 tahun 14 40,0 Berdasarkan tabel 4.1 jumlah populasi sebanyak 55 orang dan subyek penelitian sebanyak 35 orang. Jumlah sampel didapat berdasarkan hasil penghitungan sampel dengan rumus untuk kriteria sampel yang bersifat kategorik-kategorik tidak berpasangan.

31 4.3 Distribusi Frekuensi Minum Obat Cacing Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Minum Obat Cacing Anak Usia Sekolah Dasar Di Yayasan Nanda Dian Nusantara No Minum Obat Cacig Jumlah (% ) 1 Pernah 0 0,00 2 Tidak Pernah 35 100,0 Total 35 100,0 Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa 100% responden tidak pernah minum obat cacing. 4.4 Distribusi Frekuensi Kejadian Infeksi Cacing Angka kejadian infeksi cacing pada anak usia Sekolah Dasar di Yayasan Nanda Dian Nusantara dapat dilihat dengan distribusi berikut: Tabel 4. 3 Distribusi Frekuensi Kejadian Infeksi Cacing Pada Anak Usia Sekolah Dasar Di Yayasan Nanda Dian Nusantara No Infeksi Cacing Jumlah (% ) 1 Positif 9 25,7 2 Negatif 26 74,3 Total 35 100,0 sebagai Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui bahwa hasil pemeriksaan feses anak di Yayasan Nanda Dian Nusantara menunjukkan bahwa anak yang positif terinfeksi cacing sebanyak 9 orang (25,7%) dan negatif sebanyak 26 orang (74,3%). Angka tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh hasil penelitian Siti Rahmah (2006) dengan desain cross sectional di kampung pemulung makanan di Kelurahan Padang Bulan Medan menemukan bahwa prevalensi kecacingan sebesar 93,02%. 27 Perbedaan angka infeksi cacing berhubungan dengan faktor resiko dan iklim dari lokasi penelitian, terutama yang berhubungan dengan kondisi sanitasi lingkungan dan higiene perorangan.

32 4.5 Distribusi Frekuensi Spesies Cacing Hasil pemeriksaan feses anak untuk identifikasi spesies cacing pada murid dapat dilihat sebagai berikut: Tabel 4. 4 Distribusi Frekuensi Spesies Cacing Hasil Pada Anak Usia Sekolah Dasar Di Yayasan Nanda Dian Nusantara No Jenis Cacing Jumlah % 1 Cacing Tambang 5 55,6 2 Fasciolopsis buski 1 11,1 3 Strongyloides stercoralis 1 11,1 4 Tidak diketahui 2 22,2 Total 9 100,0 Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat proporsi kejadian infeksi cacing pada anak di Yayasan Nanda Dian Nusantara menunjukkan bahwa 55,6% anak terinfeksi cacing tambang, 11,1% cacing Fasciolopsis buski, 11,1% cacing Strongyloides stercoralis, dan 22,2% tidak teridentifikasi. Tingginya infeksi cacing tambang pada penelitian ini dikarenakan lokasi penelitian merupakan daerah kumuh. Hal ini sesuai dengan penelitian Inge Sutanto dimana sekitar 40% anak sekolah dasar di desa tertinggal (kumuh) terinfeksi cacing tambang 15. Serta tanah merupakan media yang diperlukan oleh cacing tambang dalam siklus hidupnya dan sebagai media penularan. Cacing ini dapat bertahan hidup selama 7-8 minggu di tanah. 15 Strongyloides stercolaris sekarang ini memang sudah jarang ditemukan. Cacing ini membutuhkan lingkunganyang panas, kelembaban tinggi dan sanitasi yang kurang baikuntuk daur hidup tidak langsung, sedangkan siklus langsung di negeri yang lebih dingin. Dan untuk Fasciolopsis buski disebabkan karena kebiasaan memakan keong, ikan air tawar, dan tumbuh-tumbuhan air yang merupakan hospes perantara II dan tidak dimasak sampai matang. 15 Untuk infeksi cacing yang tidak teridentifikasi dikarenakan pada pemeriksaan feses tidak ditemukan stadium telur, sedangkan pada pemeriksaan kultur feses secara Harada-Mori ditemukan munculnya larva setelah 2-3 hari feses ditumbuhkan dalam media air. Namun larva tersebut

33 sulit untuk diidentifikasi secara mikroskopik karena kesamaan morfologi dengan spesies lain. 4.6 Distribusi, Frekuensi Indikator Kebersihan Pribadi 4.5.1 Cuci Tangan Tabel 4.5 Distribusi, Frekuensi Kebiasaan Cuci Tangan Pada Anak Usia Sekolah Dasar Di Yayasan Nanda Dian Nusantara No Cuci Tangan Jumlah (%) 1 Tidak Cuci Tangan 24 68,6 2 Cuci Tangan 11 31,4 Total 35 100,0 Berdasarkan tabel 4.5 dapat dilihat perilaku anak yang tidak mencuci tangan (68,6%), lebih besar daripada yang mencuci tangan dengan baik (31,4%). Angka ini berbeda dibandingkan dengan hasil penelitian Jalaluddin (2009) yang ditemukan persentase anak yang mencuci tangan 46,7% dan yang tidak mencuci tangan 53,3%. 28 Hal ini memperlihatkan kebersihan pribadi pada responden penelitian ini tergolong kurang baik dibandingkan penelitian lainnya. 4.5.2 Kontak Dengan Tanah Tabel 4.6 Distribusi, Frekuensi Kontak Dengan Tanah Pada Anak Usia Sekolah Dasar Di Yayasan Nanda Dian Nusantara No Kontak Dengan Tanah Jumlah (%) 1 Kontak Dengan Tanah 25 71,4 2 Tidak Kontak Dengan Tanah 10 28,6 Total 35 100,0 Berdasarkan tabel 4.6 dapat dilihat perilaku anak yang sering kontak dengan tanah (71,4%), lebih besar daripada yang tidak kontak dengan tanah (28,6%). Kebiasaan kontak dengan tanah pada responden penelitian ini lebih besar dibandingkan penelitian sebelumnya oleh Didik Sumanto (2010) dimana ditemukan

34 persentase anak yang kontak dengan tanah 37,9% dan yang tidak kontak dengan tanah 62,1%. 29 4.5.3 Penggunaan Alas Kaki Tabel 4.7 Distribusi, Frekuensi Kebiasaan Penggunaan Alas Kaki Pada Anak Usia Sekolah Dasar Di Yayasan Nanda Dian Nusantara No Penggunaan Alas Kaki Jumlah (%) 1 Tidak Menggunakan Alas Kaki 7 20,0 2 Menggunakan Alas Kaki 28 80,0 Total 35 100,0 Berdasarkan tabel 4.7 dapat dilihat perilaku anak yang menggunakan alas kaki (80,0%), lebih besar daripada yang tidak menggunakan alas kaki (20,0%). Kebiasaan menggunakan alas kaki pada responden penelitian ini sudah lebih baik dibandingkan subyek penelitian Jalaluddin (2009) dimana ditemukan persentase anak yang menggunakan alas kaki 47,3% dan yang tidak menggunakan alas kaki 52,7%. 2 4.5.4 Kebersihan Kuku Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Kebersihan Kuku Pada Anak Usia Sekolah Dasar Di Yayasan Nanda Dian Nusantara No Kebersihan Kuku Jumlah (%) 1 Buruk 15 42,9 2 Baik 20 57,1 Total 35 100,0 Berdasarkan tabel 4.8 dapat dilihat perilaku anak yang kebersihan kukunya baik (57,1%), lebih besar daripada yang kebersihan kukunya buruk (42,9%). Angka ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Jalaluddin (2009) dimana ditemukan kebersihan kuku anak yang baik 53,3% dan yang kebersihan kuku buruk terdapat 46,7%. 28 Dari keempat faktor yang diteliti, didapatkan bahwa frekuensi penggunaan alas kaki dan kebersihan kuku lebih baik