BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Meskipun hakim dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh serta rekomendasi pihak manapun juga, tetapi dalam melaksanakan tugas pekerjaanya,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. commit to user

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan dengan asas-asas dan norma-normanya dan juga oleh

III. METODE PENELITIAN. hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tersendiri. Pelaksanaan jual beli atas tanah yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. adalah termasuk perbankan/building society (sejenis koperasi di Inggris),

BAB I PENDAHULUAN. Berawal dari sebuah adegan di film Arwah Goyang Karawang, Julia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang dalam melakukan kehidupan sehari-hari, seringkali tidak pernah lepas dalam melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun

BAB I PENDAHULUAN. yang telah didaftarkan di kepaniteraan pengadilan agama. Pencabutan gugatan

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan,

BAB I PENDAHULUAN. diperiksa oleh hakim mengenai kasus yang dialami oleh terdakwa. Apabila

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap pelanggaran kaedah hukum pada dasarnya harus dikenakan sanksi : setiap pembunuhan, setiap pencurian harus ditindak, pelakunya harus dihukum. Tetapi ada perbuatan-perbuatan tertentu yang pada hakekatnya merupakan pelanggaran kaedah hukum, akan tetapi tidak dikenakan sanksi atau pelanggarnya tidak dihukum. Misalnya dengan perumusan ancaman pidana 5 (lima) tahun penjara bagi seorang pencuri dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau yang disingkat KUHP. Bukan berarti seorang hakim harus menjatuhkan pidana penjara selama 5 tahun, akan tetapi bisa saja 5 tahun penjara itu dapat diperingan, diperberat bahkan dihilangkan atau pelakunya tidak dipidana Di dalam sistem hukum pidana di Indonesia dianut suatu prinsip bahwa penerapan sanksi pidana kepada seseorang pelaku tindak pidana adalah penerapan yang tidak bersifat statis, melainkan penerapan yang bersifat dinamis. Penerapan sanksi pidana kepada seorang pelaku tindak pidana adalah penerapan yang mengarah pada persoalan penghapusan, peringanan, dan pemberatan pidana. Kalau terhadap tindak pidana tertentu ini pelakunya dihukum, justru akan menimbulkan keresahan di dalam masyarakat, karena dirasa kurang layak dan akan mengganggu keseimbangan di dalam masyarakat (Sudikno Mertokusumo, 2005 : 23). Sifat umum dari undang-undang pidana mengandung kemungkinan akan dijatuhkannya hukuman yang tidak adil, dengan kata lain, kemungkinan bahwa seseorang yang tidak bersalah masih juga dihukum (E. Utrecht, 1986 : 343). Keadaan ini dapat terjadi apabila orang itu melakukan suatu perbuatan yang sesuai dengan perbuatan yang dilarang undang-undang, tetapi orang tersebut sama sekali tidak bermaksud melanggar ketentuan undang-undang, bahkan sama sekali tidak mempunyai niat tertentu untuk melakukan

2 perbuatan yang dilarang itu. Namun apabila perbuatan yang dilarang itu masih juga dilakukannya karena adanya paksaan dari luar, misalnya dalam Pasal 48 KUHP, yang menjelaskan bahwa, Barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh suatu kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum, maka orang tersebut tidak dapat dihukum. Adanya faktor yang membuat seseorang tidak dapat dipidana merupakan termasuk dalam alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana adalah suatu hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan seeorang yang telah melakukan suatu perbuatan pidana tidak dapat dijatuhi pidana. Dari pengertian tersebut, berarti apabila ada hal atau keadaan yang memungkinkan hapusnya ancaman pidana, maka seorang meskipun melakukan suatu perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pidana dapat dibebaskan dari ancaman pidana. Keadaan atau hal yang dapat menghapus pidana ini termuat dalam Bab III Buku 1 KUHP. Tetapi keadaan atau hal yang disebut dalam KUHP tersebut tidak bersifat limitatif, sehingga diluar KUHP pun dimungkinkan adanya keadaan atau hal yang dapat menghapus pidana (Soemitro dkk., 1984 : 127). Dasar dari peniadaan pidana juga terdapat di luar undang-undang, dimana terbagi atas yang umum dan yang khusus. Yang umum misalnya tiada pidana tanpa kesalahan dan tidak melawan hukum secara materiel. Sedangkan yang khusus, mengenai kewenangan-kewenangan tertentu (menjalankan pencaharian tertentu) misalnya pekerjaan dokter, olahraga seperti tinju dan lain-lain. Alasan peniadaan pidana terbagi atas yang merupakan alasan pembenar (tidak ada melawan hukum) dan yang merupakan dasar pemaaf (tidak ada kesalahan) (Andi Hamzah, 2008 : 152). Alasan penghapus pidana dalam KUHP menurut ilmu pengetahuan yang merupakan alasan pembenar yaitu apabila terjadi keadaan darurat (noodtoestand) yang terdapat dalam Pasal 48 KUHP, adanya pembelaan terpaksa (noodweer) yang terdapat dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP, melaksanakan perintah jabatan yang terdapat dalam Pasal 51 KUHP dan

3 melaksanakan ketentuan undang-undang yang diatur dalam Pasal 50 KUHP. Sedangkan untuk alasan penghapus pidana yang merupakan alasan pemaaf yaitu tidak mampu bertanggungjawab yang diatur dalam Pasal 44 KUHP, adanya overmacht (daya paksa) yang diatur dalam Pasal 48 KUHP, adanya pembelaan terpaksa yang melampui batas (noodweer exces) yang diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP dan mlakukan atau menjalankan perintah jabatan yang tidak sah yang diatur dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP. Tidak dipidananya si pembuat karena alasan pemaaf (faitd excuse) walaupun perbuatannya terbukti melanggar undang-undang, yang artinya perbuatannya itu tetap bersifat melawan hukum, namun karena hilang atau hapusnya kesalahan pada diri si pembuat, perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan (ontoerekeningsvatbaarheid) kepadanya, sehingga dia dimaafkan atas perbuatannya tersebut. Contoh orang gila memukul orang lain sampai mati. Berlainan dengan alasan pembenar, tidak dipidananya si pembuat, karena perbuatan tersebut kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. Walaupun dalam kenyataannya perbuatan si pembuat telah memenuhi unsur tindak pidana, tetapi karena hapusnya sifat melawan hukum pada perbuatan itu, si pembuat tidak dapat dipidana.(adami Chazawi, 2011 : 19). Shidarta dalam jurnal berjudul Dalih Keadilan Dan Error Juris Sebagai Alasan Melepaskan Terdakwa Dari Segala Tuntutan Hukum menjelaskan bahwa : Secara umum dapat dikatakan bahwa alasan pembenar adalah dalih yang dipakai oleh hakim untuk menyatakan bahwa oleh karena ada keadaan khusus yang terjadi, maka perbuatan itu tidak sepantasnya dikategorikan tindak pidana. Dengan perkataan lain, kondisi tertentu telah membuat perbuatan itu menjadi dapat dibenarkan. Di sini terlihat bahwa aspek perbuatannyalah yang menjadi titik perhatian hakim. Lain halnya dengan alasan pemaaf. Dalam alasan pemaaf, yang menjadi titik perhatian hakim adalah si subjek pelaku, yaitu

4 oleh karena ada keadaan khusus yang terjadi, maka si pelaku tidak sepantasnya dicela. Dengan perkataan lain, kondisi tertentu telah membuat si pelaku dapat dimaafkan Dalam menentukan suatu perbuatan seseorang yang melakukan suatu tindak pidana itu haruslah memenuhi syarat-syarat yang telah diatur dan yang mempunyai kewenangan untuk menentukan suatu perbuatan tersebut termasuk alasan penghapus pidana adalah Hakim. Putusan pengadilan yang pada tingkat tertinggi dan terakhir dipegang oleh Mahkamah Agung, haruslah memuat alasan dan dasar peraturan perundang-undangan yang tertulis ataupun sumber hukum tidak tertulis dalam pertimbangan hukumnya untuk memberikan putusan. Hakim pada tingkat pertama hingga terakhir tidak selalu cermat dalam memeriksa suatu perkara, sehingga dapat berdampak kesalahan dalam menerapkan hukum untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana. Kesalahan yang sering terjadi karena hakim tidak cermat, mendapatkan sorotan yang tajam, terutama ditujukan kepada Mahkamah Agung, diantaranya terdapat dalam hasil eksaminasi Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyimpulkan bahwa majelis hakim Mahkamah Agung tidak cermat dalam menilai kekeliruan-kekeliruan majelis hakim dibawahnya. Dapat dilihat dari putusan Mahkamah Agung Nomor 1688/K/Pid/2000, yang mana hakim Mahkamah Agung tidak cermat dalam menilai kekeliruankekeliruan majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan didalam menerapkan hukum. Kekeliruan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan dibawahnya tersebut adalah tidak mempertimbangkan dakwaan-dakwaan lain selain dakwaan primer serta tidak komprehensif dan tidak konsisten dalam membuat pertimbangan hukum. Hasil poling pendapat harian Kompas tanggal 26 juni 2006, menunjukan bahwa sebanyak 68,7% rakyat tidak puas terhadap hakim. khusus untuk Mahkamah Agung 65,7% rakyat tidak puas dan menyatakan bahwa Mahkamah Agung tidak bebas dari korupsi adalah sebanyak 85,6% (Newsletter KHN Volume 6 Nomor 1 Juni-Juli, 2006 :35).

5 Alasan pembenar yang digunakan oleh hakim dalam membebaskan seorang sopir truk yang melakukan pekerjaannya mengangkut kayu hasil hutan atas perintah pemilik sebuah perusahaan menimbulkan sebuah kejanggalan. Seorang sopir yang karena kelalaiannya terbukti melakukan tindak pidana pengangkutan hasil hutan tanpa disertai dengan surat sah pengangkutan hasil hutan, oleh Pengadilan Tinggi Riau membatalkan putusan Pengadilan Negeri Pelalawan, yang menyebabkan Terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum dengan alasan pertimbangan hakim bahwa terjadi ancaman dan serangan kelaparan dan penyakit yang terjadi pada diri Terdakwa maupun keluarganya, dimana oleh hakim Pengadilan Tinggi Riau hal tersebut termasuk dalam alasan pembenar, yang kemudian dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam putusannya karena menganggap bahwa hakim Pengadilan Tinggi Riau yang menangani kasus tersebut tidak salah dalam menerapkan hukumnya. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan penulis tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan penulisan hukum dengan judul KAJIAN HUKUM PIDANA MENGENAI DAYA PAKSA SEBAGAI ALASAN PEMAAF DALAM KASUS TINDAK PIDANA PENGANGKUTAN HASIL HUTAN ATAS PERINTAH ATASAN (ANALISIS KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NOMOR 265K/PID.SUS/2008). B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka penulis akan mengemukakan beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu : 1. Apakah alasan ancaman atau serangan kelaparan dan penyakit bisa menjadi alasan pemaaf dalam kasus pengangkutan hasil hutan atas perintah atasan tanpa disertai dengan surat sahnya hasil hutan?

6 2. Apakah pertimbangan hakim dalam menerapkan pembelaan terpaksa sebagai alasan pembenar telah sesuai Pasal 49 ayat (1) Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP)? 3. Pertimbangan hakim seperti apakah yang seharusnya diformulasikan agar penerapan pembelaan terpaksa sebagai alasan pembenar sesuai dengan Pasal 49 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)? C. Tujuan Penelitian Suatu penelitian dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tujuan yang dikenal dalam suatu penelitian ada dua macam, yaitu tujuan obyektif dan tujuan subyektif. Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif a) Untuk mengetahui hal-hal yang termasuk dalam alasan pemaaf dan alasan pembenar dalam hukum pidana Indonesia. b) Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam penerapan alasan pemaaf dan alasan pembenar dalam tindak pidana illegal logging. c) Untuk mengetahui formulasi pertimbangan hakim seperti apakah yang sesuai dengan penerapan pembelaan terpaksa sebagai alasan penghapus pidana dalam kasus illegal loging 2. Tujuan subyektif a) Untuk melatih kemampuan penulis dalam mempraktekkan teori ilmu hukum, mengembangkan, dan memperluas pemikiran serta pengetahuan yang didapat selama masa perkuliahan guna mengkaji mengenai alasan-alasan penghapus pidana. b) Untuk memenuhi syarat akademis guna memperoleh gelar akademik sarjana dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

7 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya. b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur, referensi, dan bahan-bahan informasi ilmiah, khususnya mengenai pembelaan terpaksa yang merupakan alasan penghapus pidana. 2. Manfaat Praktis a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang akan diteliti. b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan sumbangan pemikiran pada pihak-pihak terkait tentang alasan pembenar dan alasan pemaaf dalam kasus tindak pidana pengangkutan hasil hutan tanpa disertai surat keterangan sahnya hasil hutan. c) Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pola pikir kritis bagi masyarakat dan juga penulis sendiri sekaligus mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. E. Metode Penelitian Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan kebenaran koherensi, yaitu menemukan apakah aturan hukum yang ada sudah sesuai dengan norma hukum, apakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum dan apakan tindakan seseorang sudah sesuai dengan norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2013 : 47). Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Penulis untuk menyusun penulisan hukum ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, yaitu suatu penelitian hukum yang bersifat

8 preskriptif bukan dekripsif sebagaimana ilmu sosial dan ilmu alam. Penelitian normatif ini meninjau dari ancaman dan serangan penyakit dan kelaparan serta daya paksa sebagai alasan pemaaf dalam alasan penghapusan pidana. 2. Sifat Penelitian Sifat dari penelitian yang dilakukan adalah bersifat preskriptif. Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Karena objek dari ilmu hukum adalah koherensi antara norma hukum dan prinsip hukum, antara aturan hukum dan norma hukum, serta koherensi antara tingkah laku dengan norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2013 : 41). Penelitian hukum dilakukan untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya dilakukan bukan membuktikan kebenaran hipotesis. Preskripsi itu harus timbul dari hasil telaah yang dilakukan, tetapi preskripsi yang diberikan harus koheren dengan gagasan dasar hukum yang berpangkal dari moral (Peter Mahmud Marzuki, 2013 : 69-70). 3. Pendekatan Penelitian Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2010 : 133). Adapun pendekatan penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus (case approach). Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan mempelajari penerapan dan

9 norma-norma kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum. Misalnya mengenai kasus-kasus yang telah diputus dan putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian. Jelas kasus-kasus yang terjadi bermakna empiris, namun dalam suatu penelitian normatif, kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam eksplanasi hukum (Johny Ibrahim, 2006 : 321). 4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum. Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan-bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif, yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatancatatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan-bahan hukum sekunder berupa buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2013 : 181). a) Bahan Hukum Primer 1) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 265K/Pid.Sus/2008 2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan 4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan b) Bahan Hukum Sekunder 1) Buku-buku ilmiah di bidang hukum 2) Hasil karya ilmiah pasa sarjana yang relevan

10 3) Jurnal-jurnal hukum (termasuk yang online) 4) Literatur dan hasil penelitian lainnya 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam penelitian ini teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data yaitu studi kepustakaan (library research), studi kepustakaan sangat penting sebagai dasar teori maupun data pendukung. Dalam studi kepustakaan ini peneliti mengkaji dan mempelajari buku-buku, jurnal, arsip-arsip, dan dokumen maupun peraturan-peraturan yang berhubungan dengan penelitian ini serta melakukan pengumpulan data melalui internet dengan cara melakukan download berbagai artikel yang berkaitan dengan penelitian ini. 6. Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis bahan hukum yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah deduksi silogisme. Yang dimaksud deduksi silogisme dalam hal ini adalah untuk merumuskan fakta hukum dengan cara membuat konklusi atas premis mayor dan premis minor (Peter Mahmud Marzuki, 2013 : 89). Sehingga dapat diambil kesimpulan teknik analisis deduksi silogisme adalah menganalis hukum dalam kenyataan (in concreto) dalam hal ini adalah putusan hakim dengan hukum yang abstrak (in abstracto) yaitu peraturan perundang-undangan untuk diambil suatu kesimpulan. Sehingga dalam hal ini yang merupakan premis mayor diantaranya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 41 Tahun Tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Untuk premis minornya adalah kasus yang diangkat penulis yaitu Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 265K/PID.SUS/2008.

11 F. Sitematika Penulisan Hukum Untuk memberikan gambaran yang jelas secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan dalam penulisan hukum serta untuk mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini, penulisan hukum ini akan dibagi menjadi 4 (empat) bab, dengan menggunakan sistematika sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Pada bab ini, penulis mengemukakan dan menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini penulis menjelaskan bahan kepustakaan yang digunakan berupa teori-teori pendukung dan penelitian dan pembahasan masalah penelitian. Bab ini dibagi kedalam sub bab, yaitu mengenai tinjauan umum hukum pidana, tinjauan umum tentang tindak pidana, tinjauan umum tentang sifat melawan hukum, tinjauan umum tentang alasan penghapus pidana, tinjauan umum mengenai tindak pidana kehutanan. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini penulis menguraikan suatu penjelasan dari penelitian yang dilakukan penulis yang pada pokokya mengenai: Hasil penelitian dan pembahasan 1. Apakah alasan ancaman atau serangan kelaparan dan penyakit bisa menjadi alasan pemaaf dalam kasus pengangkutan hasil hutan atas perintah atasan tanpa disertai dengan surat sah hasil hutan? 2. Apakah pertimbangan hakim dalam menerapkan pembelaan terpaksa sebagai alasan pembenar telah sesuai Pasal 49 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)?

12 3. Pertimbangan hakim seperti apakah yang seharusnya diformulasikan agar penerapan pembelaan terpaksa sebagai alasan pembenar sesuai dengan Pasal 49 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)? BAB IV : PENUTUP Penutup adalah bagian dari akhir penulisan hukum yang berisikan kesimpulan-kesimpulan dan saran-saran sebagai suatu masukan mauapun perbaikan dari apa saja yang telah didapatkan selama penelitian. LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA