7. 5 METODE RADIUS VARIABEL BITTERLICH'S

dokumen-dokumen yang mirip
Pokok Bahasan Teknik sampling titik (point sampling)

IV. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Analisis Vegetasi Hutan Alam

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.

3. Bagaimana cara mengukur karbon tersimpan?

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem

Inventarisasi hutan dalam Indentifikasi High Carbon StoCck

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

II. METODOLOGI. A. Metode survei

METODE PENELITIAN. Waktu Dan Tempat penelitian

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

III. METODE PENELITIAN

Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru 2 )Mahasiswa Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru ABSTRACT

III. METODE PENELITIAN

STEREOSKOPIS PARALAKS

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi Penelitian 3.2 Objek dan Alat Penelitian

BAB VII TEKNIK INVENTARISASI

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

METODE PENELITIAN. A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat

II. METODE PENELITIAN

PANDUAN PENGELOLAAN RIPARIAN

III. METODE PENELITIAN

Matriks Pembelajaran: Kemampuan akhir yang diharapkan 1 Dapat menjelaskan filosofi dan lingkup mata kuliah ekologi. Minggu Ke-

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode

III. METODOLOGI PE ELITIA

BAB III METODE PENELITIAN

Identitas, bilangan identitas : adalah bilangan 0 pada penjumlahan dan 1 pada perkalian.

PENGUKURAN BIODIVERSITAS

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januarisampai dengan Februari


METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM

BAB III METODE PENELITIAN. deskriptif digunakan untuk menggambarkan kondisi pohon pelindung di jalan

III. METODE PENELTTIAN Tempat dan Waktu. Penelitian dilaksanakan di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu,

BAB III METODE PENELITIAN

TEKNIK PENGUKURAN DIAMETER POHON DENGAN BENTUK YANG BERBEDA. Bentuk pohon Diagram Prosedur pengukuran. Pengukuran normal

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dan kuantitatif.

EKOLOGI VEGETASI O R D I N A S I

METODOLOGI PENELITIAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013.

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

KETELITIAN PENGUKURAN TINGGI POHON DENGAN MENGGUNAKAN HAGAMETER

METODOLOGI PENELlTlAN

Lokasi Penelitian Penetapan Lokasi Kajian Analisa Data

Deskripsi ALAT PENGUKUR BIOMASSA KARBON PADA POHON

SURVEYING (CIV -104)

BAB III METODE PENELITIAN

Hak Cipta pada Pusat Berbagi Ilmu Pendidikan PUSBILDIK

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

WESYAN ALAT UKUR DIAMETER POHON YANG RINGAN, CEPAT DAN AKURAT LATAR BELAKANG

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Pengambilan

PREDIKSI SOAL UAN MATEMATIKA 2009 KELOMPOK TEKNIK

III. BAHAN DAN METODE

BAB III METODE PENELITIAN. Ciparay, pada ketinggian sekitar 625 m, di atas permukaan laut dengan jenis tanah

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem yang sangat. berguna bagi manusia (Soerianegara dan Indrawan. 2005).

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

1 C17. C. Rp B. Rp

INVENTARISASI TEGAKAN TINGGAL WILAYAH HPH PT. INDEXIM UTAMA DI KABUPATEN BARITO UTARA KALIMANTAN TENGAH

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, NOMOR : 201 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU DAN PEDOMAN PENENTUAN KERUSAKAN MANGROVE

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. komparatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif eksploratif dengan metode

KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT

III. BAHAN DAN METODE. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

MATEMATIKA EBTANAS TAHUN 2002

STRUKTUR VEGETASI. Boy Andreas Marpaung / DKK-002

> MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

7. 5 METODE RADIUS VARIABEL BITTERLICH'S Bitterlich (1948) menemukan suatu cara yang efisien untuk mengukur diameter pohon dengan menerapkan prinsip titik frekuensi. Diameter batang sama halnya dengan luas bidang dasar, dan luas bidang dasar adalah satu unit dasar untuk penentuan volume pohon, metoda tersebut mempunyai manfaat besar dalam inventarisasi hutan (Grosenbaugh, 1952). Selain itu,diameter batang suatu jenis dipakai untuk menentukan dominasi suatu jenis dan dominasi merupakan satu parameter kuantitatif yang sangat penting dalam ekologi vegetasi, metode Bitterlich telah menjadi suatu metode kuantitatif penting, terutama ekologi vegetasi di Amerika Utara. 7.5.1 Teknik Pohon-pohon dihitung dalam suatu lingkaran dari pusat titik pengamatan dengan meteran sudut tertentu. Pohon-pohon yang berdiameter besar dapat dihitung dengan sudut tertentu. Sedangkan pohon-pohon yang lainnya diabaikan. Oleh karena itu, titik pusat pengamatan memiliki radius yang tidak tetap; radius bervariasi dengan diameter setiap pohon yang dapat dihitung. Pohon-pohon dihitung dengan cara menggunakan sudut pandang, jumlahnya sebanding dengan dimeter batang atau luas bidang dasar per unit area. Ketika pohonpohon dihitung dalam meteran sudut utama, jumlahnya adalah sebanding untuk batang atau luas bidang dasar per unit area penutup. Standar meteran sudut yang umumnya dipakai di Amerika Utara adalah dengan menggunakan tongkat yang panjangnya 33 inci. Akhirnya disimpulkan bahwa lebar papan ukur 1 inci, plastik, atau cross-piece logam dan yang terakhir adalah suatu potongan serupa dengan suatu lubang pengintip. Meteran sudut dibantu dengan lubang pengintip di mata seperti Abneylevel dan yang ditunjuk dengan papan ukur yang lebarnya 1 inci yang secara horisontal pada masing-masing pohon sekitar titik pengamatan. Titik pengamatan diarahkan pada masing-masing pohon yang tingginya telah ditetapkan, khususnya setinggi dada. Perbandingan yang sama atau sudut 1 45'' dapat diperoleh dengan panjang 33 Cm dan lebarnya 1 cm. Ketika menggunakan suatu tongkat, perlu adanya suatu lubang pengintip. Hanya pohon yang diameternya melebihi balok bawah itu yang dapat dihitung. Oleh karena itu, pohon yang diameternya kecil dapat dihitung jika pohon tersebut dekat dengan pengamat, sedangkan untuk diameter pohon yang besar di tentukan jarak yang lebih jauh dari pengamat. Dengan meteran 1: 33, pohon yang diameternya dapat dihitung 33 kali tidak akan lebih jauh dari pengamat atau titik sampel. Begitu juga, pohon dengan diameter 14 inci ( 10 cm) harus ada dalam titik sampel 4 X 33= 132 inci ( 3.35 m),sedang pohon dengan diameter 20 inci dimasukkan dalam 20 X 33= 660 inci ( 16.8 m). Pemilihan perbandingan meteran 1:33 untuk konstruksi, atau pengamatan sejenis dengan sudut 1 45'', direkomendasikan oleh GROSENBAUGH ( 1952), sebab pohon yang terhitung pada sudut ini dapat ditentukan luas bidang dasarnya dalam feet kuadrat per acre. Ini dilaksanakan dengan perhitungan perkalian 10. Begitu juga, jika terdapat 12 pohon yang dapat dihitung, maka luas bidang dasar per acre adalah 120 ft². Jika, sebagai contoh, 10 pohon Pinus dan jika 2 pohon Spruce terdapat pada suatu luas bidang dasar per acre 100 pohon Pinus dan spurce 20. Tentu saja, ini harus menunjukkan jumlah perkiraan rata-rata sampel per acre.

BITTERLICH ( 1948) merekomendasikan rasio perbandingan meteran 1.41 cm bagi 100 cm sudut pengamatan yang lebih rendah ( 50') dan lebih dari dua pohon yang terhitung per titik sampel. Pada perbandingan ini, pohon yang terhitung hasilnya dibagi 2 pada luas bidang dasar dalam meter-kuadrat per hektar. Suatu perbandingan yang lebih sederhana untuk kalkulasi 2 cm bagi 100 cm atau 1:50, yang mana setara dengan sudut pengamatan 1 10''. Menghasilkan perhitungan secara langsung sepadan dengan luas bidang dasar dalam meter-kuadrat per hektar yang pada akhirnya menunjukkan penggunaan sudut intensitas sampel yang lebih besar per titik pengamatan dibandingkan sudut pengamatan yang direkomendasikan oleh GROSENBAUGH dan yang digunakan dalam pelajaran ekologi di Amerika Utara ( e. g.,shanks 1954, RICE dan PENFOUND 1955, 1959). Sesudah itu suatu meteran pengukur sudut yang lebih canggih, dikembangkan oleh BITTERLICH, yang disebut " Spiegelrelascope". Ini adalah suatu alat optik kecil, yang sudutnya ditetapkan oleh satu set palang perbandingan. Alat tersebut dilengkapi dengan suatu koreksi terhadap kesalahan yang secara otomatis dapat dimatikan, jika tidak memperoleh data luas bidang dasar untuk diproyeksikan di atas peta. Spiegelrelascope tidak bermanfaat apabila intensitas cahaya rendah, sebab jarak penglihatan melalui alat ini akan semakin lemah. Baru-baru ini ahli lingkungan hidup dan rimbawan sudah mengadopsi prisma kaca sebagai meteran sudut yang paling populer untuk mengukur. Ketika mengamati melalui suatu prisma, batang pohon nampak dipindahkan ke satu sisi. Di mana jarak di dalam dan di luar jalur pengamatan pohon yang terhitung diabaikan. Pohon yang berada pada jalur pengamatan dihitung separuh pohon ( DILWORTH dan BELL, 1972;32). 7.52 Prinsip Untuk memahami bagaimana cara kerja metode Bitterlich, kita dapat mengasumsikan jumlah pohon yang tersedia dalam sampel plot yang berukuran 10 x 10 m. Perkiraan diameter batang atau luas bidang dasar dapat diperoleh dengan pemetaan posisi tegakan membentuk lingkaran dengan skala tertentu. Kemudian sejumlah besar titik-titik diacak dan dipetakan. Menurut prinsip titik frekuensi, jumlah titik acak yang terambil pada area pengamatan merupakan jumlah total titik acak yang akan dibandingkan dengan ratio dari area pengamatan per area total. Sebagai contoh, jika 10.000 titik acak yang digunakan dan diambil 50 lingkaran, perbandingannya akan menjadi 50 per 10.000 atau 0,005 (0,5 persen). Untuk 100 m² plot akan menghasilkan stem cover atau luas bidang dasar 0,005 X 100 = 0,5 M². Nilai dari 0.005 juga menyatakan jumlah rata-rata dari pohon yang diambil per titik sampel. Pengukuran Stem cover akan menjadi lebih kurang efisien, sebab dari proses pemetaan. Kemudian untuk pelaksanaan hasil langsung tidak praktis untuk titik sampel dalam jumlah yang besar akan dibutuhkan untuk mencapai hasil yang akurat. Bitterlich mengembangkan metode matematika yang tepat untuk memperbesar area pengamatan dari tiap-tiap pohon. Pada peta,kami harus mengasumsikan 100 kali perbesaran dari tiap-tiap radius lingkaran kecil. Ini akan menjadi ekivalen untuk stem area atau circle area bertambah menjadi 100 M²,dicatat bahwa rasio keliling diameter (π = 3,14 ) adalah mempertahankan proporsi perbesaran ini.

Kemungkinan keseluruhan peta akan di cover dengan memperbesar lingkaranlingkaran. Selebihnya banyak lingkaran yang diperbesar akan saling tumpang tindih. Hampir setiap 10.000 titik acak akan terambil sekarang dalam lingkaran atau stem area yang diperbesar, dan banyak titik akan terambil beberapa lingkaran yang saling tumpang tindih. Hasil dari latihan geometrik ini akan menjadi efisien untuk setiap titik sampel dalam syarat-syarat pengambilan atau mengenai peningkatan dalam proporsi dari faktor pembesaran stem area, yaitu 100 2. Rata-rata jumlah pohon yang terambil per titik sampel sekarang akan menjadi 0,005 X 10.000 = 50. Bagaimanapun, hasil pemotongan pada masing-masing titik akan bersifat rencana bayangan dalam kaitan dengan area batang yang nyata. Perkiraan yang berlebihan akan sama seperti faktor pelebaran area, yaitu 10.000 kali. Oleh karena itu, untuk mengurangi jumlah pemotongan titik-titik contoh dari rencana bayangan kepada yang nyata, jumlah pemotongan harus dibagi dengan 10.000. Ini dapat dinyatakan sebagai berikut: area batang = jumlah pemotongan x faktor pelebaran area total titik-titik x faktor pelebaran area yang dijadikan contoh bagi kita, area batang= 50 x 10000 = 0.005 10000 x 10000 Di dalam aplikasi bidang metoda Bitterlich, diameter dan batang area diukur dengan meteran sudut. Jika kita meletakkan, sebagai contoh, suatu meteran sudut 1 : 50 dengan mengukur lebarnya 1 cm di atas tongkat yang mempunyai diameter 1 cm, kita sudah memperbesar radius ( R) untuk tongkat itu. Dengan menambah radius 50 cm dari meteran sudut, kita dapat menguraikan suatu area lingkaran yang diameternya kini 100 cm dan yang areanya telah meningkat 100². Faktor pelebaran area menjadi perbandingan dari area yang diperbesar dengan area batang yang nyata. Dalam hal ini adalah 50 2 /0.5 2 = 100 2. Jika tongkat adalah anak pohon di dalam suatu situasi bidang, itu hanya akan tercakup di dalam perhitungan, sebab titik sampel/contoh (menunjukkan posisi pengamatan terakhir dari meteran sudut) yang hanya menggambarkan secara samaran perbesaran area batang. Dengan cara yang sama, jika kita melihat meteran sudut 1 : 50 bagi suatu pohon pada jarak tertentu, area batang pohon itu secara otomatis diperbesar 100 2, jika pohon lebih luas dibanding balok bawah atau hanya yang ditutupi olehnya. Faktor pelebaran area dari 100 2 diperoleh dengan 1: 50 meteran sudut direkomendasikan oleh Bitterlich, sebab hitungan pohon rata-rata per titik sampel kemudian adalah setara dengan area batang atau luas bidang dasar dalam meterkwadrat per hektar. Ini terjadi, sebab faktor pelebaran area sama dengan jumlah dari meter-kwadrat yang terdapat dalam suatu hektar. Ini ditunjukkan dengan menggantikan nilai-nilai ini dalam persamaan dasar berikut : Luas bidang dasar = Rata-rata hitungan tiap titik sampel x unit referensi areal Faktor Pelebaran Area Hasil per hektar untuk meteran 1 :50 dapat diringkas menjadi :

Luas bidang dasar (m 2 ) = Rata-rata hitungan tiap titik sampel x 10000 100 2 Luas bidang dasar (m 2 ) = Rata-rata hitungan tiap titik sampel GROUSENBAUGH ( 1952) merekomendasikan meteran sudut 1: 33 untuk rimbawan Amerika, oleh karena secara umum pilihan mereka untuk menyatakan hasil luas bidang dasar dalam feet kuadrat per acre. Karena tujuan ini, perbandingan 1 : 33 sesuai, karena faktor pelebaran area ( 66²= 4356) tepat sepersepulah jumlah dari feet kuadrat pada suatu acre. Oleh karena itu, dengan meteran sudut 1: 33 persamaan dasarnya menjadi: Luas bidang dasar (ft 2 ) = Rata-rata hitungan tiap titik sampel x 43,560 66 2 Luas bidang dasar (ft 2 ) = Rata-rata hitungan tiap titik sampel x 10 Sesungguhnya pohon terhitung di dalam metode Bitterlich, diperkiraan luas bidang dasar tidak dapat menaksir suatu kepadatan. Tidak dapat menghitung frekuensi dari metoda ini, sebab di sini kehadiran jenis per titik sampling hanya suatu fungsi ukuran diameter, yang bukan area permukaan yang dicontohkan. Oleh karena itu, metoda ini dapat digunakan jika nilai lingkaran batang memuaskan. Kuantitas ini, bagaimanapun, dapat dengan cepat diperoleh. Metoda ini kelihatannya bermanfaat untuk evaluasi pohon pada analisa releve, ketika nilai skala perkiraan digunakan untuk tumbuhan semak belukar. Kedua-duanya adalah metoda survei cepat yang saling melengkapi satu sama lainnya ( BENNINGHOFF dan CRAMER, 1963). 7.5.3 Kalibrasi Meteran Bitterlich Pengukuran Bitterlich yang sederhana dapat digunakan untuk pengukuran luas bidang dasar yang akurat per unit area, jika orang mengetahui bagaimana cara mengkalibrasi alat itu. Untuk kalibrasi orang memilih pohon terdekat dan terlihat di atas alat ukur Bitterlich itu. Perbandingan bar/palang harus secara tepat meliput atau berisi lebar dari pohon. Ini biasanya memerlukan perubahan pada posisi peninjau. Ketika jarak yang benar diperoleh, posisi ditandai ditempat itu. Kemudian jarak dari titik posisi ke pusat dari pohon yang diukur. Yang kedua, diameter dari pohon yang diukur. kedua nilai ini, jarak dan diameter kemudian disubtitusi di dalam persamaan kalibrasi yang ditunjukkan pada gambar 7.2. Prinsip kalibrasi dapat digunakan juga untuk mengukur diameter suatu pohon dari jauh. Ini dapat bermanfaat pada kelerengan yang curam. Di dalam kasus itu, jarak mungkin diperoleh dengan penemu jarak. Bagaimana cara mengkalkulasi diameter pohon dari suatu pengukuran dengan meteran Bitterlich diterangkan pada gambar 7.2.

D ½ d a ½ c b d x ½ c ½ d Gambar 7.2. Kalibrasi Meteran Bitterlich, Keterangan : a = panjang dari meteran Bitterlich, b = lebar tongkat pengukur, d = diameter, D = jarak dari pengukur ke pohon a : D = b : d (1) Untuk kalibrasi (1) ditulis kembali : D = a x d (2) b Untuk menghitung diameter pohon dari jarak (2) ditulis kembali : d = D x b (3) a Bagaimanapun, suatu pohon dapat menjadi lebih besar atau lebih kecil dari b. Dimana d + d menjadi X = diameter dari pohon yang lebih besar :

X : d = (c + b) : b (4) X = ( c + b ) x d (5) b atau X = ( c + b ) x D x b (6) b a DAFTAR PUSTAKA Mueller-Dombois, D. and H. Ellenberg, 1974, Aims and Methods of Vegetation Ecology, John Wiley & Sons, New York.