Pengaruh Pasar Terhadap Industri Kehutanan Nasional

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

I PENDAHULUAN Latar Belakang

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

REVITALISASI KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN. komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adalah

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

BABI PENDAHULUAN merupakan salah satu prod uk dari industri pengolahan kayu hilir

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara terbesar penghasil rotan di dunia. Selain itu

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, yaitu sekitar 14,43% pada tahun

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

Analisis Perkembangan Industri

BAB I PENDAHULUAN. yang memerlukan komponen yang terbuat dari karet seperti ban kendaraan, sabuk

I. PENDAHULUAN. Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

PROFIL INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA UTARA IWAN RISNASARI, S. HUT PROGRAM ILMU KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu subsektor pertanian yang berpotensi untuk dijadikan andalan

BAB I PENDAHULUAN. KAWASAN HUTAN/Forest Area (X Ha) APL TOTAL HUTAN TETAP PROPINSI

Perkembangan Ekspor Indonesia Biro Riset LMFEUI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran Hutan Alam

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi bukanlah merupakan hal yang baru bagi kita. Globalisasi

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI FEBRUARI 2015

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI DESEMBER 2014

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI APRIL 2015

BAB I PENDAHULUAN. keberlangsungan suatu negara dan diyakini merupakan lokomotif penggerak dalam

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI MARET 2015

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pangan nasional. Menurut Irwan (2005), kedelai mengandung protein. dan pakan ternak serta untuk diambil minyaknya.

I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

PROVINSI JAWA BARAT MARET 2016

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

POSTUR INDUSTRI DAN PERDAGANGAN PRODUK KEHUTANAN

Pengelolaan Dana Reboisasi: Analisis Kebijakan Sistem dan Prosedur

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

HUBUNGAN KAUSALITAS ANTARA EKSPOR NON MIGAS TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN SKRIPSI

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

Analisis Perkembangan Industri

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

USAID LESTARI DAMPAK PELARANGAN EKSPOR ROTAN SEMI-JADI TERHADAP RISIKO ALIH FUNGSI LAHAN, LINGKUNGAN DAN KESEJAHTERAAN PETANI

PERKEMBANGAN EKSPOR, IMPOR, DAN NERACA PERDAGANGAN

Ketua Komisi VI DPR RI. Anggota Komisi VI DPR RI

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam

V. DESKRIPSI PERKEMBANGAN MIGRASI, PASAR KERJA DAN PEREKONOMIAN INDONESIA. penting untuk diteliti secara khusus karena adanya kepadatan dan distribusi

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berlebih, yang bisa mendatangkan suatu devisa maka barang dan jasa akan di ekspor

Sektor kehutanan merupakan sektor yang memberikan kontribusi pang

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi yang bergulir dengan cepat dan didukung oleh kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan global di masa mendatang juga akan selalu berkaitan dengan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Industri pulp dan kertas merupakan salah satu industri di Indonesia yang memiliki

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI 2016

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat

I. PENDAHULUAN. Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR JAWA TENGAH NOPEMBER 2008

BPS PROVINSI JAWA BARAT

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT MEI 2016

BPS PROVINSI JAWA BARAT

I. PENDAHULUAN. Ekonomi merupakan salah satu sektor yang memainkan peranan yang sangat

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI DAN EKSPOR KOMODITI TEH INDONESIA. selama tahun tersebut hanya ton. Hal ini dapat terlihat pada tabel 12.

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI 2016

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

IV. GAMBARAN UMUM. yang yang hanya memiliki luas Ha sampai Ha saja.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian tampaknya masih menjadi primadona perekonomian di

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR JAWA TENGAH SEPTEMBER 2008

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara sedang berkembang selalu berupaya untuk. meningkatkan pembangunan, dengan sasaran utama adalah mewujudkan

PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN BERBASIS HUTAN TANAMAN penyempurnaan P.14/2011,P.50/2010, P.38 ttg SVLK) dan update peta P3HP.

Transkripsi:

Pengaruh Pasar Terhadap Industri Kehutanan Nasional Herry Suhermanto *) I Pendahuluan Hutan merupakan elemen alam yang dapat diperbaharui (renewable). Oleh karenanya, pemerintah memandang hutan sebagai modal bagi pertumbuhan ekonomi dan bagi penopang sistem kehidupan. Hal ini tegas dikemukakan didalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Kebijakan sektor kehutanan dalam RPJM tersebut, pada prinsipnya, diarahkan pada bagaimana memperbaiki sistem pengelolaan hutan, agar pembangunan sektor kehutanan dapat berkelanjutan. Prospek industri kehutanan memang sedang dipertanyakan sehubungan dengan menurunnya pasokan produk hutan akibat deforestasi yang berkepanjangan. Pasokan produk hutan ini meliputi kayu, non-kayu dan jasa lingkungan. Meskipun telah diupayakan peningkatannya, pasokan produk hutan non kayu masih belum memperoleh permintaan pasar yang cukup menarik untuk dapat dikelola dalam skala ekonomis. Sementara itu, produk hutan jasa lingkungan hutan tampaknya lambat laun mulai memasyarakat terkait dengan produk jasa ekoturisme. Tantangan jangka menengah yang dihadapi revitalisasi hutan. Tujuannya adalah agar hutan dapat berfungsi optimal dan berkelanjutan; tanpa harus mengorbankan kepentingan pemenuhan kebutuhan produk hutan pada generasi yang akan datang. Persoalannya adalah: apakah masih ada peluang bagi kita untuk mengembangkan industri kehutanan yang memanfaatkan produk hutan kayu? Telaahan di bawah ini, barangkali dapat memberikan gambaran, setidaknya perihal bagaimana mengisi upaya revitalisasi kehutanan kita. Pemerintah sendiri telah memberlakukan berbagai peraturan dan perundangan mengenai pemanfaatan sumberdaya hutan, namun tetap dirasakan belum cukup efektif untuk menahan laju deforestasi yang mengancam kehidupan manusia. Meskipun demikian, peran pemerintah tetap diperlukan, terutama sebagai fasilitator dan pemberi insentif kepada dunia usaha. Yang dibutuhkan tampaknya adalah pelaksanaan good governance dari pemerintah, sehingga ada mutual trust dari seluruh parapihak kehutanan. Hal ini menuntut adanya pengelolaan sumberdaya hutan yang tepat, dalam arti perencanaan, pemeliharaan, dan pemanfaatan hutan, serta penciptaan iklim usaha bidang kehutanan yang kondusif terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip sustainable forest management (SFM). II Sektor Kehutanan Dalam Perekonomian Nasional Luas kawasan hutan 1 yang dikuasai negara saat ini mencapai areal seluas 120,35 juta hektar. Di dalamnya terdapat hutan produksi seluas 43,95 juta hektar, yang terdiri dari 16,21 juta hektar hutan produksi terbatas dan 27,74 juta hektar hutan produksi. Adapun hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 13,67 juta hektar. Selain itu, masih ada bermacam *) Dr. Ir. Herry Suhermanto, MCP adalah Staf Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, Kementerian Negara PPN/Bappenas-red. 1 Dirjen Bina Produksi Kehutanan 1

kawasan hutan, seperti hutan lindung (3,3 juta hektar), hutan konservasi (23,2 juta hektar), dan hutan suaka alam serta hutan wisata (keduanya seluas 1,5 juta hektar). Sumbangan kehutanan kepada pembentukan PDB nasional relatif kecil, rata-rata 1,61% per tahun dalam periode 1995-2003. Sebagai bagian dari sektor pertanian, dalam periode tersebut, kehutanan menyumbang sekitar 10,01% per tahun kepada pembentukan PDB Pertanian. Sektor pertanian sendiri menyumbang rata-rata 16,15% pertahun kepada pembentukan PDB Nasional. Perkembangannya dapat dilihat pada kolom (5), (6) dan (7) dari tabel 1. Tabel 1 PDB Kehutanan 1995-2003 1 PDB (miliar Rp.) Kontribusi (%) Kehutanan Pertanian Nasional (2)/(4) (2)/(3) (3)/(4) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1995 6303,6 61766,8 383767,6 1,6 10,21 16,09 1996 6444,1 63827,8 413798,0 1,6 10,10 15,42 1997 7189,8 64468,0 433245,9 1,7 11,15 14,88 1998 6580,7 63609,5 376375,0 1,7 10,35 16,90 1999 6288,1 64985,2 379352,3 1,7 9,68 17,13 2000 6388,9 66208,9 398017,3 1,6 9,65 16,63 2001 6556,2 67318,5 411753,6 1,6 9,74 16,35 2002* 6682,2 68669,7 426942,9 1,6 9,73 16,08 2003** 6658,9 70374,4 444453,8 1,5 9,46 15,83 Sumber: - Pendapatan Nasional Indonesia, 1998-2001, BPS - Statistik Indonesia, 1999, dan 2001, BPS - 2000-2003 dari sumber : Statistik Indonesia 2003, BPS Keterangan : 1) Atas dasar harga konstan 1983 *) Angka sementara **) Angka sangat sementara Bila dibandingkan perkembangan kontribusi kehutanan relatif terhadap pertanian dan pertanian relatif terhadap PDB nasional, tampak ada kontraksi seperti terlihat pada diagram Kontribusi Relatif Kehutanan, 1995-2003. Kontribusi kehutanan yang meningkat terhadap sektornya (pertanian) tidak cukup signifikan untuk meningkatkan konstribusi pertanian terhadap PDB nasional. Bahkan sebaliknya, peningkatan kontribusi pertanian terhadap PDB nasional justru terjadi pada saat kontribusi kehutanan yang relatif menurun. Namun demikian, belakangan tampak ada keselarasan perkembangan, dimana kontribusi relatif keduanya cenderung menurun, yakni kontribusi relatif kehutanan kepada pertanian dan pertanian kepada PDB nasional sama-sama menurun.

Gambar 1 Kontribusi Relatif Kehutanan, 1995-2003 18,00 16,00 14,00 Persentase 12,00 10,00 8,00 6,00 Hutan- Pertanian Pertanian- Nasional Non Migas 4,00 2,00 0,00 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002* 2003** Akan halnya produk hasil hutan kayu, tampaknya pada periode 1994-2002, penebangan hutan resmi yang dilakukan tidak cukup untuk meningkatkan PDB sektor kehutanan. Tabel 2 kolom 5 menunjukkan adanya perkembangan kontribusi hasil penebangan resmi terhadap pembentukan PDB kehutanan yang relatif menurun. Perkembangan antara 1994-1997 menunjukkan adanya peningkatan, dengan kontribusi tertinggi terjadi pada tahun 1997 (10,24%). Perkembangannya kemudian cenderung menurun, dan pada tahun 2002 kontribusinya hanya mencapai 7,49%. Peningkatan pendapatan dari hasil tebangan resmi ini tampaknya tidak cukup berarti untuk meningkatkan PDB sektor kehutanan. Peningkatan PDB sektor kehutanan diperkirakan berasal dari pendapatan kegiatan usaha selain penebangan kayu. Selain itu, perlu dipertimbangkan juga laju inflasi akibat depresiasi rupiah terhadap mata uang asing terutama pada waktu resesi yang puncaknya terjadi pada tahun 1997-1998, saat mana volume tebangan mengalami penurunan yang cukup berarti. Tabel 2 Penebangan, Nilai Tebangan, PDB, dan Perubahan Stok Hutan Indonesia, 1990-2002 Penebangan PDB Hutan Berlaku D-Stok Share 000 m 3 Miliar Rp. Miliar Rp. Penebangan 000 m 3 (%) (1) (2) (3) (4) (5)=(3)/(4) (6) 1990 28553,9 349,1-1446,8 1991 28137,7 369,1-2725,1 1992 28689,4 393,5-21245,5 1993 29553,8 522,1-29931,2 1994 29701,4 631,1 6897,4 9,15-19894,2 1995 29666,9 691,2 7390,4 9,35-20474,3 1996 30093,0 744,0 8170,5 9,11-13091,2 1997 34230,2 1004,1 9806,5 10,24-57182,1 1998 25532,7 945,8 11700,5 8,08-60329,1 1999 25740,0 1204,1 13803,8 8,72-72729,8 2000 26264,2 1229,9 14947,8 8,23-62656,5 2001 25889,9 1243,7 15597,4 7,97-83415,3 2002 25371,2 1270,3 16952,9 7,49-117682,6 Sumber: Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi Indonesia, 1990-1995, BPS Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi Indonesia, 1996-2000, BPS Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi

Indonesia, 1998-2002, BPS Stok fisik sumberdaya hutan antara tahun 1990 hingga 2002 mengalami perubahan dalam arti pengurangan. Berdasarkan data pada Tabel NH.01 dan Tabel NH.01a (terlampir), diperoleh gambaran mengenai pengurangan tersebut. Perubahan stok dihitung berdasarkan perbedaan antara Persediaan Akhir dan Persediaan Awal sumber daya hutan di Indonesia. Pada Tabel 2, perubahan tersebut tercermin pada kolom (6) dan disebut sebagai D-Stok. D- stok ini merupakan perubahan negatif relatif terhadap stok sumber daya hutan, dimana persediaan akhir cenderung menurun relatif terhadap persediaan awal. Bila D-stok (kolom 6) dibandingkan dengan volume tebangan seperti yang disajikan pada kolom (2), diperoleh gambaran gap antara stok dan tebangan sebagai berikut: Gambar 2 Penebangan dan Perubahan Stok Hutan, 1990-2002 140000,0 120000,0 100000,0 Penebangan Ribu meter kubik 80000,0 60000,0 Perubahan Stok Hutan 40000,0 20000,0 0,0 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 Hingga tahun 1996 penebangan kayu di hutan, baik resmi maupun tidak resmi, tidak mengakibatkan perubahan stok sumberdaya hutan secara berarti (significant). Setelah tahun 1996, justru pada saat hasil penebangan kayu resmi relatif menurun, malah terjadi perubahan stok sumberdaya hutan yang sangat besar. Gap antara penebangan dan perubahan stok sumber daya hutan cenderung semakin melebar dalam kurun waktu 1996-2002. Melebarnya gap tersebut mengindikasikan adanya penurunan sumber daya hutan yang disebabkan oleh kegiatan penebangan tidak resmi. Dari sisi ketenagakerjaan, Soewarni (2005) 2 mencatat jumlah tenaga kerja yang terlibat langsung di kehutanan adalah 2.345.150 jiwa, dan tenaga kerja tidak langsungnya mencapai lebih kurang 1,5 juta jiwa. Dengan asumsi setiap tenaga kerja menanggung 2 anak dan 1 istri, diperkirakan sektor kehutanan menghidupi 15,4 juta jiwa. Bappenas 3 mencatat sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan pada tahun 2003 memberikan 2 Sumber data PDPI dan BRIK 2005 3 Berdasarkan Lampiran Memorandum Direktur Industri,Perdagangan dan Pariwisata No.89/ Dt.4.5/ 09/ 2004.

kesempatan kerja kepada 42,0 juta jiwa. Relatif terhadap data Bappenas, kehutanan menampung lebih dari sepertiga (36,7%) tenaga kerja di sektor pertanian dalam arti luas. Tenaga kerja di kehutanan ini umumnya ditampung pada unit-unit usaha seperti: HPH, HTI, Plymill, Sawmill-Woodworking, Pulp & Papper, Furniture, dan Pertukangan/ pengrajin. III Perkembangan Harga dan Ekspor Kayu Kayu merupakan penghasil devisa terbesar setelah minyak dan gas bumi. Perkembangan total perdagangan ekspor hasil industri kehutanan pada periode tahun 1985-2004, dapat dilihat pada tabel E.04a (terlampir). Di situ diperlihatkan total nilai ekspor produk industri hutan cenderung meningkat. Pada periode waktu 1985-2004 tersebut, penerimaan dari ekspor industri kehutanan berkembang dengan pertumbuhan rata-rata 6,61% per tahun. Secara perlahan namun pasti kontribusi devisa yang cukup besar dari produk kayu lapis (wood panel) beralih ke produk pulp & paper. Namun demikian, pendapatan ekspor dari pulp & paper tidak banyak berubah pada tiga tahun terakhir. Diagram di bawah ini memberikan gambaran yang lebih jelas tentang perkembangan kontribusi masing-masing komoditi ekspor produk industri kehutanan relatif terhadap nilai total ekspor produk tersebut. Gambar 3 Perkembangan Nilai Ekspor Produk Industri Kehutanan, 90,00 1985-2004 80,00 70,00 Kayu lapis 60,00 Persentase 50,00 40,00 30,00 Kayu Gergajian Wood Working Pulp & Paper 20,00 10,00 Wooden Furniture 0,00 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005-10,00 Devisa yang diperoleh dari ekspor produk kayu lapis tampak mengalami penurunan sejak tahun 1990. Beberapa produk yang semula mengalami peningkatan nilai ekspornya, seperti produk wood working dan wooden furniture tampak mengalami penurunan pada kurun waktu yang berbeda. Pendapatan dari ekpor produk wood working mengalami penurunan setelah tahun 1994, sedangkan produk wooden furniture mengalami rebound pada tahun 1999, namun cenderung menurun pada 3 tahun terakhir. Dari data di atas, hanya produk pulp & paper dan kayu gergajian yang mengalami peningkatan.

Pada penelaahan mengapa pendapatan ekspor dari produk kayu lapis terus menurun, sementara pendapatan ekspor kayu gergajian cenderung meningkat, hal tersebut dicoba dijelaskan melalui diagram berikut: Gambar 4 Perkembangan Harga Produk Industri Kehutanan, 1981-2004 1400,00 1200,00 1000,00 Kayu Lapis/ Wood Panel US $/ ton 800,00 600,00 Kayu Gergajian/ Lumber 400,00 200,00 0,00 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 *) Diagram di atas memperlihatkan perkembangan harga/nilai ekspor per unit produksi (ton) untuk produk kayu lapis (wood panel) dan kayu gergajian (lumber). Di situ terlihat bahwa pada tahun 1980an, pasar tampaknya memberikan harga yang lebih baik kepada produk kayu lapis, namun sejak tahun 1990an hingga 2004 harga produk kayu gergajian tampaknya membaik bahkan melebihi harga produk kayu lapis per unit produknya. Harga kedua produk kayu tersebut cenderung meningkat hingga tahun 1995, yang kemudian diikuti oleh penurunan hingga tahun 2001 sebelum mengalami sedikit peningkatan pada dua tahun terakhir. Perbaikan harga produk kayu lapis pada dua tahun terakhir belum mampu memperbaiki posisi kontribusi produk ini terhadap nilai total ekspor produk industri kehutanan. Kecenderungannya tetap menurun. Peningkatan harga produk kayu lapis itu sendiri memberikan indikasi adanya peningkatan permintaan pasar terhadap produk tersebut. Barangkali menurunnya pasokan bahan baku ke industri kayu lapis telah menurunkan produk (output) kayu lapis di pasar. Pada penelaahan harga ekspor kayu lapis berdasarkan negara tujuan ekspor, tampak adanya perkembangan fluktuasi harga permintaan dunia.

Gambar 5 Perkembangan Harga Ekspor Kayu Lapis Menurut Negara Tujuan, 1978-2003 1400,00 1200,00 Jepang Hongkong Korea Selatan US $/ Ton 1000,00 800,00 600,00 400,00 200,00 0,00 1978 1983 1988 1993 1998 2003 Taiwan Singapura Malaysia Saudi Arabia Amerika Serikat Inggris Belanda Jerman Barat Belgia Italia -200,00 Lainnya Diagram di atas menunjukkan adanya suatu band (pita) harga yang cenderung menyeragam (converge) setelah resesi 1998. Sebelumnya terlihat adanya perbedaan harga yang lebar dengan beberapa outlier harga pasar seperti yang dimintakan oleh Malaysia (1983), Belgia (1996/97)), dan Taiwan (1983). Ketidakseragaman harga produk kayu lapis di era sebelum 1998 kiranya merupakan perwujudan dari adanya kompetisi pasar dari sisi permintaan. Hal ini diperkirakan mendorong peningkatan produk kayu lapis nasional, namun belum cukup optimal untuk meningkatkan posisi penerimaan devisa dari produk kayu lapis (yang cenderung menurun). Belakangan, tampak adanya suatu band harga yang lebih sempit pada kisaran US $ 400 hingga US $ 600 per ton produk kayu lapis. Yang perlu dipertanyakan dari perkembangan harga pasar ini adalah mengapa pada saat-saat tertentu kita menjual produk kayu lapis dengan harga yang rendah ke Malaysia, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan pada kurun waktu 1978-1988. Dugaan sementara, diperkirakan hal ini terkait dengan kualitas produk kayu lapis yang rendah atau karena adanya kelebihan penawaran (over supply) di pasaran dunia. Sebaliknya, produk kayu gergajian yang semula dianggap underdog tampaknya memberikan kontribusi yang menarik pada penerimaan devisa hasil ekspor. Harganya cenderung membaik. Meskipun volume produk tidak terlalu besar, namun penerimaan dari ekspor produk ini cenderung meningkat. Belakangan produk kayu gergajian merupakan komoditi ketiga terpenting dalam penerimaan devisa hasil ekspor dari lima komoditi utama ekspor produk industri kehutanan. Dari penjelasan di atas, secara umum tampak bahwa penerimaan ekspor hasil produk industri kehutanan yang berorientasi kayu cenderung mengalami penurunan, seiring dengan menurunnya volume pasokan baik ke industri maupun ke pasar. Upaya peningkatan daya saing nasional melalui sektor kehutanan tampaknya perlu dikaji ulang. V Kesimpulan dan Rekomendasi Peran pemerintah ke depan tampaknya harus semakin berhati-hati dalam pengelolaan hutan, karena kemampuan penyediaan pasokan yang semakin rendah. Kawasan hutan kita

yang luas, sudah terdegradasi dan kita harus dapat mengoptimalkan pemanfaatan hutan yang ada, baik itu hutan produksi maupun non-produksi. Pemerintah dapat terus mengupayakan pengembalian potensi hutan melalui program-program pembangunannya. Hal ini akan lebih cepat bila diimbangi oleh kemampuan para pengusaha hutan dalam mengelola kawasan hutan yang diberikan secara baik dan benar, tanpa harus merambah ke hutan-hutan lindung dan konservasi. Sementara itu, harga komoditi produk industri kehutanan tidak terlalu menjanjikan. Kayu gergajian yang harganya di pasar internasional cenderung membaik, tampaknya akan di larang untuk di ekspor. Alternatif dan terobosan pasar akan sangat diperlukan, khususnya dalam memasarkan produk-produk industri kehutanan seperti wood furniture. Untuk itu informasi pasar dan pengembangan teknologi di bidang furniture perlu mendapat perhatian pemerintah, setidaknya para perajin kita mendapatkan kemampuan untuk memenuhi permintaan pasar dan tetap memelihara peluang pasar yang ada. Semakin berkurangnya pasokan bahan baku tidak harus berarti mematikan usaha industri kehutanan, namun justru merupakan tantangan untuk dapat memasarkan produkproduk industri kehutanan yang inkonvensional. Yang diperlukan, barangkali menemukan jenis-jenis komoditi yang sarat inovasi baru yang memiliki nilai tambah tinggi. Pemerintah dapat membantu melalui pelaksanaan program Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Sayangnya badan-badan riset di sektor kehutanan belum sepenuhnya berorientasi pasar, ataupun sepenuhnya dikelola oleh lembagalembaga swasta, baik lokal maupun internasional yang berkiprah di negara ini. Desentralisasi di sektor kehutanan tampaknya juga harus digarap, karena kemampuan pengawasan dan penegakan hukum nasional pada akhirnya akan bertumpu kepada aparatur di daerah. Tidak bisa dipungkiri bahwa meskipun lokasi industri kehutanan berada di daerah, namun proses perijinan usaha pada skala tertentu tetap harus diproses melalui Pusat. Ke depan barangkali pemerintah dapat lebih menyederhanakan proses ini melalui deregulasi, yang sekaligus dapat memperkuat otonomi daerah. Pengelolaan secara bertanggungjawab jelas merupakan tugas seluruh parapihak kehutanan. Untuk itu, diperlukan kesepakatan-kesepakatan dan komitmen antar parapihak kehutanan, sejak dari tingkat daerah (lokal) hingga pusat. Peningkatan upaya melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan ini akan memerlukan koordinasi dan peningkatan pengawasan serta penegakan hukum. Pemerintah akan membangun kesadaran masyarakat agar peduli lingkungan hidup (termasuk hutan tentunya), agar mereka dapat berperan sebagai pengawas terhadap perusakan lingkungan di sekitar tempat kehidupan mereka. Industri kehutanan sendiri perlu dikembangkan dengan menjadikan hutan tanaman sebagai tulang punggung industri, dan menyediakan pasokan industri melalui pengembangan hutan tanaman berdaur pendek. Selain itu, perlu terus diupayakan pendekatan pasar melalui cara kemitraan dengan masyarakat. Penyempurnaan peraturan serta perundangan dilakukan terutama untuk melarang ekspor kayu bulat dan kayu gergajian. Deregulasi perijinan diharapkan akan dapat mengundang investor di sektor kehutanan. Berikut dikemukakan beberapa data yang menyangkut kehutanan yang dikutip dari beberapa sumber.