Bab 1. PENDAHULUAN. Tesis ini akan mengkaji isu representasi politik perempuan dan upaya-upaya

dokumen-dokumen yang mirip
Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 5 KESIMPULAN. kebutuhan untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih spesifik bagi para aktor

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih mulia yaitu kesejahteraan rakyat.

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1

BAB IV ANALISIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERPILIHNYA 11 ORANG CALEG PEREMPUAN

Menuju Pemilu Demokratis yang Partisipatif, Adil, dan Setara. Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia Jakarta, 16 Desember 2015

I. PENDAHULUAN. Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan yang signifikan dalam

I. PENDAHULUAN. pendidikan, pekerjaan, dan politik. Di bidang politik, kebijakan affirmative

BAB I PENDAHULUAN. putra-putri terbaik untuk menduduki jabatan-jabatan politik dan pejabatpejabat

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

A. Kesimpulan BAB V PENUTUP

Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. dengan seluruh rakyatnya, baik itu laki-laki maupun perempuan. Seluruh rakyat berperan

Penguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tentang perempuan di masyarakat tidak jarang menimbulkan

I. PENDAHULUAN. melalui penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya

Hambatan terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran

Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Politik pada Pemilu Legislatif Nurul Arifin

BAB II ASPEK HISTORIS KELUARNYA KETETAPAN KUOTA 30% BAGI PEREMPUAN DAN KELUARNYA KEPUTUSAN MAHKAMAH

PENGARUSUTAMAAN GENDER SEBAGAI UPAYA STRATEGIS UNTUK MEWUJUDKAN DEMOKRATISASI DALAM BIDANG EKONOMI. Murbanto Sinaga

Laporan Penyelenggaraan Seminar Publik Representasi Politik Perempuan: RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender 16 Januari 2014 Grand Kemang Hotel

FORMAPPI JAKARTA, 3 APRIL 2014

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara

SINERGI ANGGOTA PARLEMEN, MEDIA DAN OMS UNTUK MENDORONG KEBIJAKAN YANG BERFIHAK PADA PEREMPUAN MISKIN

2015 MODEL REKRUTMEN DALAM PENETUAN CALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) PROVINSI JAWA BARAT

ADVOKASI UNTUK PEMBAHASAN RUU PEMILU

PEMILU & PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK. MY ESTI WIJAYATI A-187 DPR RI KOMISI X Fraksi PDI Perjuangan

Penyelenggara Pemilu Harus Independen

BAB V PENUTUP. dipilih melalui pemilihan umum. DPR memegang kekuasaan membentuk. undang-undang. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan

PANDUAN AKUNTABILITAS POLITIK

STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif

BAB I PENDAHULUAN. Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem

BAB I PENDAHULUAN. ranah pemerintah daerah seperti Desa Pakraman kebijakan tentang hak-hak

RENCANA AKSI GLOBAL MENANG DENGAN PEREMPUAN: MEMPERKUAT PARTAI PARTAI POLITIK

BAB I PENDAHULUAN. paradigma Good Governance, dimana keterlibatan pihak-pihak selain pemerintah

Analisis Perolehan Suara dalam Pemilu 2014: OLIGARKI POLITIK DIBALIK KETERPILIHAN CALEG PEREMPUAN

P E N G A N T A R. Pengantar J U L I E B A L L I N G T O N

Tujuan, Metodologi, dan Rekan Survei

Asesmen Gender Indonesia

MEMAKNAI ULANG PARTISIPASI POLITIK WARGA: TAHU, MAMPU, AWASI PUSAT KAJIAN POLITIK FISIP UNIVERSITAS INDONESIA 28 JANUARI 2015

PERAN PARTAI POLITIK DALAM MEWUJUDKAN DEMOKRASI YANG SANTUN DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT Oleh I Gde Made Metera 1

DAFTAR INVENTARIS MASALAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG PARTAI POLITIK DAN MASALAH KETERWAKILAN PEREMPUAN. PG Tetap PDIP PPP PD PAN PKB PKS BPD PBR PDS

Perempuan di Ranah Politik Pengambilan Kebijakan Publik

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan menurut UUD. Dalam perubahan tersebut bermakna bahwa

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan

PANDANGAN AKHIR FRAKSI PARTAI DAMAI SEJAHTERA DPR-RI TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTAI POLITIK

Partisipasi LSM..., Firsty Husbani, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia. Mundurnya Demokrasi di Indonesia. Demos.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan

Prosiding SNaPP2015 Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Al Rafni

BAB I PENDAHULUAN. Partai politik merupakan fenomena modern bagi negara-negara di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 14 PERWUJUDAN LEMBAGA DEMOKRASI YANG MAKIN KUKUH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

BAB 12 PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN

DISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Adanya korupsi di berbagai bidang menjadikan cita-cita demokrasi

BAB 2 DATA DAN ANALISA. Metode yang digunakan untuk mendapatkan data antara lain: - Tinjauan Pustaka : Buku Mengapa Kami Memilih Golput.

Demokrasi Berbasis HAM

BAB V KESIMPULAN. standar Internasional mengenai hak-hak perempuan dan diskriminasi peremupuan

BAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan. 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Aksesibilitas Pemilu

Demokrasi Sebagai Kerangka Kerja Hak Asasi Manusia

Agen-Agen Perubahan dan Aksi Tanpa Kekerasan

KETERWAKILAN POLITIK KAUM PEREMPUAN PADA PEMILU LEGISLATIF PERIODE DI KOTA PONTIANAK. Oleh: David Heriyanto Simamora NIM. E.

BAB I PENGANTAR. keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi aktif untuk menentukan jalannya

Kesimpulan K E S I M P U L A N. DALAM TAHUN 1965, JUMLAH TOTAL PEREMPUAN YANG MENJABAT sebagai anggota

BAB I PENDAHULUAN. politik yang secara legal masuk dalam Undang-undang partai politik merupakan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN

PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS

Pembaruan Parpol Lewat UU

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung. Oleh karena itu, dalam pengertian modern, demokrasi dapat

Akuntabilitas. Belum Banyak Disentuh. Erna Witoelar: Wawancara

I. PENDAHULUAN. Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan

TUGAS MATA KULIAH POLITIK GENDER DAN DEMOKRASI DINAMIKA KESETARAAN GENDER DALAM KEHIDUPAN POLITIK DI INDONESIA

Demokrasi Sudah Digagas Jauh Sebelum Merdeka

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini kehidupan politik di Indonesia sangat dinamis. Ini dapat

PROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dalam segala bidang, tidak terkecuali dalam bidang politik. Keputusan

I. PENDAHULUAN. basis agama Islam di Indonesia Perolehan suara PKS pada pemilu tahun 2004

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perjalanan politik di Indonesia selama ini telah menorehkan sejarah panjang

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum adalah suatu sarana demokrasi yang digunakan untuk memilih

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

Transkripsi:

Bab 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tesis ini akan mengkaji isu representasi politik perempuan dan upaya-upaya politik yang dilakukan oleh perempuan dalam proses politik. Kajian ini akan memfokuskan pada dua level konstituen yaitu perempuan yang memperoleh advokasi politik oleh organisasi masyarakat sipil dan yang tidak. Setelah keruntuhan Orde Baru tahun 1998, Indonesia memasuki era demokrasi. Proses demokratisasi telah banyak melahirkan perubahan, teristimewa menyangkut aspek-aspek hak dan kebebasan sipil dan politik, serta aspek-aspek yang berkaitan dengan penciptaan pemerintahan yang bersih. 1 Pada aspek hak-hak sosial, ekonomi dan budaya, proses demokratisasi cenderung tidak membawa perubahan yang cukup berarti. Salah satu persoalan penting yang tidak kunjung teratasi pasca-reformasi adalah buruknya kondisi kesetaraan gender. Hasil survei Demos pada tahun 2009 memperlihatkan stagnasi kondisi kesetaraan gender jika dibandingkan dengan hasil survey pada 2003/2004. 2 Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi-kondisi yang tidak 1 Sebuah survey demokrasi yang dilakukan Demos lembaga kajian HAM dan demokrasi memperlihatkan bahwa dalam rentang 1998-2007 perubahan positif terutama terjadi pada aspek-aspek kebebasan sipil dan politik, serta aspek-aspek yang berkaitan dengan pemerintahan yang bersih dan transparan. Perbaikan sangat sedikit terjadi di bidang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, bahkan cenderung menurun atau setidaknya stagnan. Untuk mendapatkan gambaran situasi demokrasi Indonesia berdasarkan hasil lengkap survey tersebut, lihat Samadhi dan Warouw (eds.) (2009). 2 Menurut survey tersebut, kondisi kesetaraan gender memperoleh skor indeks 46, atau turun dari skor 47 berdasarkan survey tahun 2003/2004. Ibid. Survei Demos memang tidak memberikan data yang pasti mengenai indikasi-indikasi buruknya kesetaraan gender, namun data-data dari beberapa sumber lain bisa memperlihatkan kondisi itu. Misalnya, data Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada 2002 mengungkap setidaknya terdapat 5.563 perempuan atau meningkat 63 persen dibanding data tahun 2001 yang mengalami berbagai bentuk kekerasan. Selain itu, undang-undang yang mengatur perkara kekerasan terhadap perempuan juga sangat minim, yaitu UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) No 23/2004. Tingkat buta huruf di kalangan perempuan (13,85 persen) juga dua kali lebih besar dibanding laki-laki (6,26 persen). Lihat Mulia dan Farida (2005), hal 24-26. 1

menguntungkan perempuan sebagaimana terjadi pada era pra-demokratisasi terus berlanjut. 3 Kenyataan bahwa kondisi kesetaraan gender masih belum membaik sesungguhnya agak mencengangkan, mengingati isu pemberdayaan perempuan adalah salah satu isu paling menonjol dalam era reformasi. Misalnya, Unit Pengarus-utamaan Gender di era pemerintahan Abdurrahman Wahid diterapkan pada semua jajaran instansi baik di tingkat pusat maupun daerah. Demikian pula dengan advokasi pemberdayaan perempuan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil. Salah satu isu paling penting dalam advokasi perempuan adalah memperjuangkan kesadaran politik dan keterwakilan politik perempuan. Gagasan ini didorong oleh kenyataan bahwa jumlah perempuan anggota parlemen masih sangat minim. Kecilnya jumlah perempuan di parlemen dipercaya sebagai penyebab utama lemahnya posisi dan peran perempuan. 4 Karena itu, untuk memperbaikinya, posisi dan peran perempuan secara politik harus ditingkatkan. Diasumsikan, dengan meningkatnya posisi dan peran politik perempuan, kebijakan-kebijakan politik bisa diharapkan akan lebih memihak kepentingan perempuan. Center for Electoral Reform (CETRO) dan Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia (KPPI) mengusulkan beberapa hal yang sangat penting dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan. Perempuan semestinya memperoleh kesempatan yang sama untuk berperan aktif dalam kepengurusan partai, melalui proses yang demokratis, adil, dan transparan. Mempromosikan program-program yang dapat menarik pemilih perempuan untuk merekrut serta meningkatkan kemampuan berpolitik bagi kader-kader 3 Lihat Mulia dan Farida (2005), hal 96-101. 4 Pada periode 1999-2004 jumlah perempuan anggota DPR hanya 45 orang atau sekitar 9 persen. Di lingkungan lembaga hukum, jumlah hakim perempuan pada 1996 hanya sekitar 16 persen sedangkan jumlah hakim agung pada 2000 hanya 8 orang (1,7 persen). Lihat Mulia dan Farida (2005) dan BPS (2000). 2

perempuan partai, mendorong kader perempuan partai untuk posisi-posisi kepemimpinan dalam partai, dan menominasikan calon legislatif (caleg) perempuan partai untuk ikut dalam pemilu. Lebih lanjut, CETRO dan KPPI merumuskan rancangan program-program yang berpihak kepada kepentingan perempuan dan turut memperjuangkan isu-isu perempuan, mendorong tindakan afirmatif (affirmative action) untuk mengejar ketertinggalan perempuan dalam politik dan mendongkrak kontribusi perempuan dalam politik formal; dan penerapan tindakan afirmatif tersebut dapat mereka lakukan melalui UU Partai Politik yang memuat penegakan demokrasi internal partai dalam penyeleksian kepemimpinan dan kader dalam organisasi partai, baik melalui kepengurusan partai, mekanisme pemilihan pengurus partai, dan kriteria yang dibuat tentang kandidat pengurus partai. 5 Dari cara berpikir seperti itulah muncul gagasan untuk memperjuangkan kuota minimum jumlah perempuan di dalam parlemen. Perjuangan ini relatif berhasil yaitu dengan ditetapkannya kuota 30 persen bagi perempuan di dalam daftar caleg yang diajukan setiap partai. Pengaturan itu dilakukan melalui UU No 31/2002 tentang Partai Politik dan UU No 12/2003. Pada praktiknya, pengaturan kuota tersebut lebih merupakan formalitas belaka. 6 Pengaturan kuota minimum hanya diberlakukan pada tahap pencalonan, bukan terhadap 5 Dikutip dalam Asyari-Afwan (2007). 6 Tindakan afirmasi berupa kuota perempuan di parlemen merupakan salah satu cara yang dilakukan juga di beberapa Negara lain untuk meningkatkan jumlah perempuan di parlemen. Di Mozambique, Uganda dan Afrika Selatan kebijakan kuota terbilang efektif. Namun peningkatan proporsi perempuan di parlemen tidak selalu efektif meningkatkan keterwakilan kepentingan perempuan. Di Bangladesh, kuota memang berhasil meningkatkan jumlah perempuan di parlemen namun tidak menjamin keterwakilan perempuan di dalam proses pembuatan kebijakan karena kendala kultural dan tingkat buta huruf yang masih tinggi (Panday, 2008:508). Dalam kasus Indonesia, fenomena serupa setidaknya terjadi di kalangan konstituten PKS. Partisipasi politik perempuan yang relatif tinggi di PKS, tidak diikuti representasi politik yang sepadan. Kuatnya pengaruh paham Islamic exceptionalism bahwa tempat yang layak bagi mar ah al-shalihah (perempuan salehah) adalah rumah, segregasi seksual dalam ruang publik seperti tergambarkan dalam pembentukan Departemen Kewanitaan di 3

jumlah pasti keanggotaan di dalam parlemen. Misalnya, caleg perempuan yang diajukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada Pemilu 2004 persentasenya mencapai 40,3%, jauh melebihi kuota 30%. Namun hanya 10,41% caleg perempuannya yang melenggang ke Senayan. 7 Proporsi keanggotaan perempuan di parlemen setelah kedua UU yang mengatur kuota tersebut diberlakukan memang memperlihatkan kenaikan dari pemilu ke pemilu, akan tetapi persentasenya masih jauh di bawah angka 30 persen. Lihat Tabel 1.1. Tabel 1.1. Proporsi Perempuan dalam Keanggotaan DPR RI 1999 2009* Pemilu 1999 2004 2009 Jumlah anggota 545 550 560 parlemen Jumlah perempuan 45 61 101 Persentase 9,00 11,09 17,49 *Data 1999 dan 2004 diperoleh dari Puskapol FISIP UI dan The Asia Foundation (2009), data 2009 diperoleh dari www.cetro.or.id Selain karena faktor lemahnya peraturan, penyebab lainnya adalah masih sangat sedikitnya jumlah perempuan yang menjadi kader di dalam partai-partai politik. Hal itu menyulitkan partai untuk menyodorkan nama-nama calon perempuan untuk dipilih di dalam pemilu. Di samping itu, para pemimpin partai politik umumnya mengaku sulit mengajak perempuan membicarakan persoalan politik, apalagi mengajak mereka terlibat di dalam politik praktis. Catatan Almanak Parpol Indonesia (1999) mengungkapkan juga gagasan kuota sebenarnya sempat ditolak oleh mayoritas partai politik (Suseno, 2002). 8 Lihat Tabel 1.2. DPP/DPW/DPC PKS, dan afirmasi positif para konstituen PKS atas agenda-agenda Islamis, diyakini sebagai penyebab rendahnya representasi politik perempuan di partai dakwah ini (Burhanudin, 2006). 7 Burhanudin (2006). 8 Gagasan kuota juga ditentang oleh Presiden (ketika itu) Megawati Soekarnoputri. Dalam pidato peringatan Hari Ibu tanggal 27 Desember 2001, Megawati menyatakan bahwa kuota sebenarnya akan menurunkan 4

Tabel 1.2 Sikap Partai Politik mengenai Kuota bagi Perempuan Sikap Jumlah % Setuju 3 6,3 Tidak setuju 36 75 Tidak menjawab 9 18,8 Total 48 100 Sumber: Dikutip dari Suseno, dkk (2002) Masalah kesetaraan gender dan perlindungan atas hak-hak perempuan sesungguhnya telah semakin banyak disuarakan oleh pusat-pusat kajian perempuan, baik di lembaga pendidikan maupun institusi-institusi swasta. Di banyak universitas telah berdiri pusat-pusat kajian wanita atau gender. Organisasi masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga semakin banyak yang melakukan advokasi bagi pemberdayaan perempuan. Kondisi ini setidaknya telah membuka peluang bagi meningkatnya kuantitas perempuan di dalam jabatan-jabatan politik. Akan tetapi, seluruh upaya itu tetap saja tidak mampu menghapus marginalisasi perempuan di dalam proses-proses politik. Persoalannya, antara lain, titik berat para pemerhati masalah perempuan umumnya lebih ditujukan bagi ini upaya-upaya pemberdayaan perempuan, perlindungan hukum, dan kesetaraan gender. 9 Upaya-upaya advokasi dan kajian yang diarahkan pada hubungan antara kandungan (content) isu-isu yang diperjuangkan oleh gerakan-gerakan perempuan dan kadar keterwakilan isu-isu tersebut di dalam proses politik tergolong masih jarang dilakukan. Sehubungan dengan hal itu, kemandegan dalam pemberdayaan hak-hak politik perempuan mungkin bukan semata-mata disebabkan oleh terlalu sedikitnya jumlah perempuan yang terlibat di dalam kedudukan wanita, dan memberikan beban yang berlebih baik bagi perempuan itu sendiri maupun bagi institusi-institusi yang akan mereka tempati. 9 Lihat misalnya tulisan Otto Adi Yulianto (2003) mengenai isu dan strategi gerakan perempuan berdasarkan pengalaman empat organisasi perempuan: Kalyanamitra, LBH APIK, Forum Pemerhati Masalah Perempuan (FPMP), dan Rifka Annisa. 5

proses politik atau pembuatan kebijakan publik. Secara hipotetis penyebab lain yang tidak kalah penting adalah ketidaksesuaian antara kepentingan yang dipikirkan oleh perempuan dan isu-isu yang dibahas di dalam proses politik formal. Dalam hal ini, penulis melihat persoalan ini dari sudut pandang yang lain, yaitu representasi. Studi ini, karena itu, meletakkan persoalan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan sebagai sebuah aspek dalam kajian politik representasi. Asumsi yang mendorong penulis meletakkan fokus seperti itu adalah keterwakilan perempuan seharusnya dilihat dari keterwakilan kepentingan dan kebutuhan perempuan di dalam proses politik. Hal ini penting karena keterwakilan perempuan akan membaik apabila isuisu yang dibahas di dalam proses-proses politik mencerminkan kepentingan dan kebutuhan yang dipikirkan dan dipedulikan oleh para perempuan. Pemikiran seperti ini bukan mengabaikan pentingnya faktor kuantitas keberadaan dan keterlibatan perempuan di dalam proses politik, seperti misalnya kuota 30 persen keanggotaan di dalam parlemen. Bagaimanapun, jumlah perempuan di dalam keanggotaan parlemen tetap saja merupakan hal yang penting. Karena itu, upaya untuk mendorong pemberlakuan kuota minimum jumlah anggota perempuan di parlemen tetap harus dilakukan. Akan tetapi, upaya semacam itu harus dibarengi dengan upaya memadupadankan isu-isu dan kepentingan perempuan pada umumnya dengan isu-isu yang dibahas di dalam parlemen. Selama proses politik di parlemen tidak mencerminkan atau mewakili kepentingan perempuan, sulit untuk diharapkan adanya pertumbuhan kepedulian dan kesadaran perempuan terhadap pentingnya proses-proses politik. Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, affirmative action untuk meningkatkan jumlah perempuan di dalam parlemen penting dikritisi untuk memahami representasi 6

perempuan dalam proses-proses politik, apakah hal tersebut telah memenuhi keterwakilan dalam hal kepentingan dan kebutuhan perempuan. 1.2. Pertanyaan Studi Pemaparan pada bagian terdahulu telah cukup menggambarkan bahwa persoalan yang dihadapi oleh upaya-upaya mewakili kepentingan perempuan adalah bagaimana memperkuat representasi politik perempuan. Studi ini secara khusus mengangkat pertanyaan pokok: Apakah upaya-upaya untuk keterwakilan perempuan dalam proses politik telah sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan perempuan? Dalam rangka menjawab pertanyaan pokok tersebut, studi ini akan mencoba mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan berikut untuk menemukan rekomendasi yang bermakna bagi keterwakilan perempuan dalam politik: 1. Bagaimana perempuan mengaitkan diri ke dalam politik agar kepentingan dan kebutuhan mereka terwakili? 2. Adakah alternatif praktek politik untuk menarik minat perempuan terhadap politik sehingga bisa memperkuat representasi perempuan? 1.3. Tujuan Studi Demokratisasi adalah proses terus-menerus yang mengarah pada terbukanya kontrol publik terhadap urusan-urusan publik. Perempuan merupakan sebuah kelompok yang tidak terpisahkan dari publik, dan karena itu harus memiliki kapasitas dan akses yang memadai untuk melakukan kontrol terhadap urusan-urusan publik. Ketertinggalan dan keterpinggiran perempuan di dalam proses-proses politik demokratis merupakan 7

indikasi demokratisasi belum berjalan dengan baik. Oleh karena itu, proses demokratisasi tidak bisa melepaskan diri dari berbagai upaya yang terarah pada peningkatan kapasitas keterlibatan (engagement capacity) serta akses perempuan untuk melakukan kontrol dan memberi pengaruh di dalam proses pembuatan kebijakan publik, baik secara langsung maupun melalui jalur-jalur representasi yang demokratis. Secara khusus, studi ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai: 1. Apa yang dibayangkan perempuan mengenai kepentingan-kepentingan yang mereka miliki. 2. Upaya-upaya yang telah dan sedang mereka dilakukan oleh konstituen, anggota parlemen, dan masyarakat sipil untuk meningkatkan keterwakilan kepentingan perempuan di dalam proses-proses politik. 3. Kesesuaian antara isu-isu dan kepentingan yang disuarakan oleh konstituen, anggota parlemen, dan masyarakat sipil di dalam proses-proses politik, di satu pihak, dan kepentingan perempuan pada umumnya, di pihak lain. 1.4. Kerangka Pemikiran 1.4.1. Perempuan dan politik Istilah politik, termasuk urusan-urusan kenegaraan, sudah sejak lama diasosiasikan dengan kekuasaan atau kekerasan, dan karena itu kerap lebih diidentikkan dengan urusan kaum laki-laki. Hampir semua filsuf tentang Negara dan politik seolaholah berpikir bahwa politik dan urusan Negara berjenis kelamin laki-laki. Sejarah awal pemikiran politik (Barat) bahkan mencatat bahwa Plato menempatkan perempuan sebagai 8

milik Negara, sama kedudukannya dengan anak-anak dan harta yang tidak boleh dimiliki secara pribadi. Gagasan politik Machiavelli tertuang dalam Sang Pangeran, sementara Thomas Hobbes mengandaikan Negara sebagai monster Leviathan. 10 Pada perkembangannya, memang, politik lebih terbuka terhadap keterlibatan perempuan. Hal itu seiring dengan mulai meluasnya gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki, termasuk dalam pemenuhan hak-hak politik. Akan tetapi perjuangan gerakan perempuan untuk untuk berpartisipasi dalam urusan politik merupakan perjalanan panjang yang tidak serta-merta membuka kesempatan dan kesetaraan akses perempuan. Gerakan perjuangan hak perempuan untuk ikut dalam pemilihan umum baru dimulai sekitar 150 tahun yang lalu (Reingold, 2000:13) atau menjelang abad ke-20, sebagai bagian dari gelombang pertama feminisme (Ritzer and Goodman, 2004:491). 11 Di Amerika Serikat dan Inggris, perempuan baru memiliki hak pilih penuh masing-masing pada 1920 dan 1928, dan kursi parlemen bagi perempuan di Inggris baru terisi pada 1929 (Ritzer and Goodman, 2004:491; Lovenduski, 2005:13). 12 Strategi yang lebih efektif untuk mengintegrasikan perempuan ke dalam politik, yaitu dengan strategi pengarusutamaan gender (gender mainstreaming), baru mulai digencarkan pada dekade 1990-an berdasarkan Platform for Action yang dihasilkan di Beijing (Lovenduski and Campbell, 2002:42). 10 Lihat, misalnya, Suhelmi (2007). Penilaian serupa dinyatakan Arivia (2003:5-9) yang menyebutkan bahwa karya-karya filsafat filsuf laki-laki sering memberikan pernyataan yang bersifat misogini alias kebencian terhadap perempuan. 11 Lihat juga Crawford (1999) untuk referensi sejarah gerakan hak pilih perempuan. 12 Akan tetapi, bahkan pada 2002 masih terjadi insiden di dalam parlemen Inggris ketika seorang anggota parlemen, Ken Brennan, diperintahkan keluar ruangan hanya karena tidak mengenakan dasi. Selain kewajiban mengenakan dasi, sampai 1998, baik laki-laki maupun perempuan anggota parlemen Inggris dituntut menggunakan topi ketika bersidang. Lihat Lovenduski (2008:56-57). 9

Catatan-catatan itu memperlihatkan bahwa upaya gerakan perempuan untuk terlibat di dalam politik pada umumnya mengarah pada keterlibatan perempuan di dalam aktivitas politik formal. Kecenderungan itu didasarkan atas keyakinan bahwa kehadiran perempuan di dalam proses-proses politik, yaitu proses pengambilan keputusan publik, akan membawa perubahan. Women in politics make a difference. Tune in to any discussion about the increasing number of women in politics, write journalist Linda Witt, political scientist Karen Paget, and historian Glenna Matthews (1994:265), and you will hear that women s presence makes a difference. (Kutipan dari Reingold (2000:13)). Namun pada kenyataannya, kehadiran perempuan di dunia politik bukanlah solusi tunggal persoalan keterpinggiran perempuan. Lebih dari sekadar kehadiran perempuan secara fisik di dalam dunia politik, persoalan keterwakilan perempuan di dalam politik memiliki dimensi lainnya yaitu keterwakilan kepentingan. Hal ini mengemuka karena sebuah fakta bahwa perempuan bukanlah sekelompok yang homogen. Dengan kata lain, kehadiran perempuan di dalam proses politik tidak serta-merta menjamin terwakilinya kepentingan-kepentingan perempuan yang beraneka ragam. Terdapat begitu banyak kepentingan dan kebutuhan perempuan yang belum tentu bisa disalurkan dan tersalurkan melalui proses-proses politik formal seperti halnya di dalam parlemen atau partai politik. Oleh sebab itu, istilah politik seharusnya juga tidak dimaknai melulu sebagai proses pengambilan keputusan di lembaga-lembaga politik formal. Politik bisa kita petakan ke dalam dua wilayah (lembaga), yaitu formal dan informal. Politik formal merujuk pada legislatif, eksekutif, partai politik, pemerintahan, distribusi sumber daya dan proses pembuatan serta penerapan kebijakan publik. 10

Sedangkan politik informal merujuk pada apa yang berlangsung dalam wilayah masyarakat luas, komunitas, lingkungan sekitar dan organisasi, termasuk di dalam keluarga. Oleh karena itu, semua hal yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat (dan kehidupan perempuan) sesungguhnya bersifat politis, mulai dari ruang lingkup rumah tangga sampai ruang lingkup pemerintahan dan negara. Setiap kegiatan yang memiliki hubungan kekuasaan dan ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki dapat dimaknai sebagai aktivitas politik. 13 Melalui peta semacam inilah kita lebih mungkin untuk melihat bagaimana perempuan berpartisipasi di dalam proses politik. 1.4.2. Representasi Representasi merupakan sebuah konsep yang kompleks dan beragam artinya. Kendati begitu, para teroretisi demokrasi pada umumnya sepakat bahwa merupakan salah satu unsur terpenting dalam proses demokratisasi. Indikasi keberhasilan atau kegagalan demokrasi dapat dilihat dari seberapa bekerjanya dan seberapa efektifnya lembagalembaga perwakilan atau institusi representasi. Karena itu, dalam studi-studi demokrasi, ada cukup banyak dan ragam kajian yang mengulas persoalan representasi. Salah satu karya penting dalam kajian representasi adalah yang disampaikan oleh Pitkin (1967). Menurut Pitkin, representasi mengasumsikan adanya wakil, orang-orang yang diwakili, sesuatu yang diwakili, dan konteks politik tertentu yang melingkupinya. Dinamika representasi terutama menyangkut penggunaan kewenangan serta akuntabilitas, yang mengasumsikan adanya transparansi dan daya tanggap. 13 Mulia dan Farida (2005), hal 22. 11

Lebih lanjut, Pitkin (1967:60-143) menggolongkan representasi berdasarkan sifatnya, yaitu substantif, deskriptif atau simbolik. Representasi substantif adalah ketika sang wakil bertindak untuk (acting for) mereka yang diwakili, seperti misalnya seorang pemimpin (wakil) memperjuangkan kepentingan buruh (yang diwakili). Representasi deskriptif adalah ketika wakil berdiri untuk (standing for) orang-orang yang memiliki kesamaan secara objektif. Misalnya, seorang perempuan mewakili kaum perempuan atau seorang penduduk desa mewakili keseluruhan penduduk desanya. Mirip dengan representasi deskriptif, sifat yang ketiga adalah representasi simbolik yaitu ketika seorang aktor dianggap oleh mereka yang diwakili, juga, berdiri untuk (standing for) mereka, tetapi kali ini dalam pengertian kesamaan kebudayaan dan identitas. Misalnya, raja sebuah negeri atau seorang kepala suku yang secara simbolik mewakili rakyatnya, bisa pula seorang jenderal yang mewakili institusi kemiliterannya. Berbeda dengan Pitkin, Birch (1978:124) membedakan representasi ke dalam empat bentuk: representasi simbolik, representasi delegatif, representasi mikrokosmik, dan representasi pemilihan. Akan tetapi Birch mengakui istilah perwakilan (representative) biasa digunakan dalam tiga pengertian yang relatif serupa dengan pola kategorisasi Pitkin yaitu: 1. To denote an agent or spokesman who acts on behalf of his principal 2. To indicate that a person shares some of the characteristics of a class of persons 3. To indicate that a person symbolizes the identity or qualities of a class of persons. (Birch, 1978: 15). Birch memang tidak memberi label dalam kategorisasi yang dibuatnya, terutama menyangkut tipe pertama dan kedua. Namun ketika menerangkan pengertian yang ketiga, 12

ia kerap menyebutnya sebagai symbolic representation dan memberikan sorotan khusus: This usage is neither as common nor as important as the other two kinds of usage, but it most not be ignored because symbolic representation and the demand for symbolic representation plays a significant part in political activity. (Birch, 1978: 18) Itu sebabnya representasi simbolik dapat pula dipahami secara lebih luas, sebagaimana ditulis Bourdieu [lihat misalnya Wacquant (2005) dan Stokke (2002; 2009)]. 14 Representasi simbolik bisa diartikan sebagai sesuatu yang mengonstruksi demos, kelompok-kelompok dan berbagai kepentingan yang diwakili dan menyatakan diri sebagai otoritas yang absah sebagai seorang wakil. Dengan mengatakan itu, Bourdieu ingin mengingatkan bahwa representasi simbolik bisa pula terjadi dalam bentuk klaim wakil atas orang-orang yang diwakilinya. Karena itu, persoalan otorisasi atau proses pendelegasian kewenangan dan mekanisme akuntabilitas adalah juga persoalan penting untuk dicermati saat menganalisis representasi. Berdasarkan fungsi representasi, Birch (1978:107-108) menyatakan ada tiga fungsi umum representasi, yang masing-masing memiliki beberapa fungsi spesifik: 1. Kontrol popular (Popular control), dengan fungsi spesifik (a) Responsiveness, (b) Accountability, dan (c) Peaceful change. 2. Kepemimpinan (Leadership), dengan fungsi spesifik: (a) Rekrutmen dan mobilisasi, dan (b) Pertanggungjawaban (responsibility). 3. Pemeliharaan system (System maintenance), dengan fungsi spesifik: (a) Legitimasi, (b) Kepatuhan (consent), dan (c) Peredam ketegangan (relief of pressure). 14 Lihat Törnquist and Warouw (2009) dalam Samadhi and Warouw (2009:29). 13

Sumbangan Pitkin dan Birch mengenai tipologi representasi sangat berguna untuk menganalisis fenomena keterwakilan perempuan di dalam proses politik demokratis. Tiga tipologi representasi yang dipaparkan Pitkin dapat membantu kita melakukan pemetaan mengenai situasi keterwakilan perempuan, apakah sifatnya simbolik (klaim) ataukah deskriptif belaka ataukah mengarah pada terbangunnya representasi substantif. Pemetaan semacam itu bisa juga menjadi dasar bagi penyusunan rekomendasi strategi advokasi untuk meningkatkan kualitas keterwakilan perempuan. Secara ideal, dapat dikatakan di sini bahwa penguatan representasi perempuan seharusnya dilakukan dengan langkahlangkah yang terarah pada terbangunnya representasi substantif. Akan tetapi, Laclau (2005:158) mengingatkan representasi bukanlah sesuatu yang statis, melainkan hal yang dinamis. Representasi bukan hasil, melainkan proses. Ada dua dimensi proses dalam representasi, yaitu proses yang bergerak dari para terwakil kepada wakil, dan proses sebaliknya yang bergerak dari wakil kepada orang-orang yang diwakilinya. Karena itu, representasi sesungguhnya menjadi garis yang memisahkan antara wakil dan orang-orang yang diwakili. Dalam konteks seperti itu, sangat mungkin terjadi hegemoni mengingat masyarakat terwakil tidaklah homogen. Ada pengelompokan sektoral yang memicu fragmentasi di kalangan masyarakat. Itu sebabnya Laclau menilai representasi yang sempurna sebagai bagian dari proses demokrasi mengandung ketidakmungkinan logis (logical impossibility), kendati bukannya tidak mungkin sama sekali (Laclau, 2007:98-99) Untuk keluar dari kondisi seperti itu, perlu ada rantai ekuivalensi (chain of equivalent) yang mempersatukan kepentingan dan kebutuhan dari beragam kelompok hingga terbentuk sebuah titik temu (nodal point) (Laclau, 2005:157-171; juga lihat Laclau dan Mouffe (2008)). Arti penting gagasan Laclau bagi studi ini 14

adalah bahwa keterwakilan politik perempuan seharusnya dibaca sebagai keterwakilan gagasan, bukan semata-mata keterwakilan tubuh perempuan di dalam institusi representasi politik. 1.5. Metode Penelitian 1.5.1. Sifat Studi Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan mengambil studi kasus yang memfokuskan pada proses-proses politik bagaimana perempuan membangun keterkaitan dirinya secara politik agar kepentingan dan kebutuhan mereka dapat teraspirasikan. Dalam hal ini studi kasus akan meliputi: 1. Studi kasus mengenai keterlibatan perempuan dalam proses politik di tingkat desa dalam memenuhi kepentingan dan kebutuhan mereka. Studi ini akan memfokuskan pada level komunitas perempuan yang menjadi dampingan dari CSO yang melakukan advokasi agar perempuan menjadi lebih berdaya untuk menyampaikan kepentingan dan kebutuhan mereka. 2. Studi kasus pada kelompok perempuan yang tidak memperoleh dampingan CSO. Fokus dari studi ini akan melihat bagaimana perempuan dalam kelompok ini terlibat dalam proses politik di tingkat desa dan untuk mengkaji pemahaman mereka tentang politik dan upaya mereka dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingan mereka melalui proses-proses politik. 15

3. Studi kasus pada upaya-upaya yang dilakukan oleh anggota legislatif (DPRD) dan organisasi masyarakat sipil dalam mewakili kaum perempuan sebagai konstituen mereka dan kelompok dampingan mereka. Studi kasus tersebut memaparkan kasus-kasus dalam proses politik pada ketiga kelompok masyarakat tersebut di atas. Tujuannya adalah agar kita dapat memahami isuisu politik apa yang menarik minat perempuan untuk terlibat dalam politik; dan bagaimana mereka memperkuat keterwakilannya dalam mengaspirasikan kepentingan dan kebutuhan mereka. Selain itu juga untuk melihat bagaimana perempuan merepresentasikan dirinya secara lebih substantif. 1.5.2. Lokasi Studi Studi kasus dilakukan di wilayah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Wilayah ini penting untuk studi karena secara geo-budaya berada di wilayah perbatasan dari dua kekuatan budaya feodal, yaitu Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Lebih dari itu juga secara historis kepentingan ekonomi politik kraton pernah hadir di wilayah Klaten melalui usaha-usaha perkebunan. Aspek ini penting untuk dipertimbangkan karena relasi kuasa antara kekuatan Keraton dan desa ada dalam situasi yang asimetris. Demikian pula relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan yang dalam beberapa hal ada dalam konteks budaya feodal. Meskipun demikian Klaten merupakan wilayah pinggiran dari dua kekuatan budaya tersebut sehingga ada elemen-elemen yang relatif egaliter dalam relasi kuasa laki-laki dan perempuan pada kehidupan sehari-hari mereka. Kondisi tersebut secara politis merupakan faktor penting untuk memaknai seberapa jauh minat perempuan untuk terlibat di dalam proses-proses politik, khususnya pasca-reformasi. 16

Secara historis pada era Orde Lama, Klaten merupakan basis massa yang cukup signifikan Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan pada tahun 1950-an wilayah tersebut pernah menjadi tempat penyelenggaraan Kongres Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Hal ini menunjukkan bahwa secara historis kaum perempuan di wilayah ini pernah memiliki kemampuan politik yang kuat. Dalam konteks politik masa kini, seperti halnya yang terjadi di wilayah lain, situasi kepartaian di Klaten pasca-1998 juga sangat beragam. Namun demikian, hasil Pemilu 1999-2009 memperlihatkan ada tiga partai politik yang mempunyai konstituen yang secara signifikan berpengaruh dalam situasi sosial politik, yaitu Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Secara demografis jumlah perempuan lebih banyak dibanding laki-laki (51% berbanding 49%). Secara ekonomi-politik, wilayah Klaten merupakan basis ekonomi yang beragam yaitu sektor pertanian, perdagangan dan industri. Kaum perempuan terlibat secara penuh di dalam ruang-ruang ekonomi yang beragam tersebut sehingga secara sosiologis situasi sosial dan politik juga menjadi sangat beragam. Demikian pula dengan kepentingan ekonomi, politik dan kebutuhan sosial mereka. 1.5.3. Teknik Pengumpulan Data Untuk mencari data-data yang dibutuhkan guna menjawab pertanyaan penelitian, penulis mengombinasikan kegiatan wawancara mendalam termasuk menggali life history dari tokoh yang ada di dalam setiap kasus, dan diskusi kelompok terfokus. Wawancara mendalam dilakukan terhadap perempuan informan yang dianggap memiliki pengetahuan 17

memadai mengenai persoalan perempuan dan politik. Pengertian dari pengetahuan memadai adalah bahwa para informan itu sudah tercerahkan melalui berbagai kegiatan advokasi perempuan yang disengaja. Sedangkan diskusi kelompok terfokus melibatkan lima peserta perempuan dengan beragam latar belakang. Mereka adalah perempuan biasa yang sama sekali belum pernah bersentuhan dengan kegiatan advokasi perempuan yang dilakukan secara sengaja. Baik untuk wawancara mendalam maupun diskusi kelompok terfokus, penulis menggunakan pertanyaan semi-berstruktur dengan pertanyaan-pertanyaan kunci sebagai berikut: o Bagaimana informan mengartikan politik? o Apakah informan merasa kebutuhannya harus dipenuhi melalui proses politik? o Apakah informan merasa ada proses politik yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan kebutuhan/kepentingannya? o Apakah informan mengetahui gerakan perempuan? o Apakah informan mengetahui apa yang dikerjakan gerakan perempuan? o Bagaimana penilaian terhadap kuota? o Affirmative action: apakah yang dibayangkan informan tentang hal tersebut? Bagaimana informan menilainya? Selain itu, penulis melakukan wawancara mendalam terhadap aktivis gerakan advokasi perempuan yang melakukan aktivitasnya di lokasi yang sama, serta dengan perempuan anggota DPRD. Wawancara mendalam terhadap aktivis dibutuhkan untuk memperoleh deskripsi atau gambaran mengenai sejarah gerakan advokasi perempuan di Klaten. Sedangkan terhadap anggota DPRD wawancara mendalam dilakukan untuk 18

mengetahui lebih jauh apakah sebagai anggota parlemen mereka merasa mewakili kepentingan perempuan ataukah tidak. Untuk melengkapi data-data primer tersebut, penulis juga mengumpulkan dan menggunakan data-data sekunder berupa buku, laporan penelitian, internet, serta bahanbahan literatur lain yang secara substantif memiliki relevansi dengan tema studi ini. 1.6. Sistematika Penulisan Bab 1 Pendahuluan memaparkan mengapa isu representasi politik perempuan penting untuk dikaji. Pada bab ini diterangkan pula tujuan studi serta pertanyaanpertanyaan yang dijawab melalui studi ini. Kajian literatur mengenai perempuan dan politik serta representasi politik yang ditulis di dalam bab ini merupakan kerangka yang mengarahkan studi ini dan berguna dalam pembahasan yang dilakukan pada babbab selanjutnya. Bab 2 menggambarkan tentang wilayah penelitian di Kabupaten Klaten. Di dalam bab ini akan diungkap beberapa aspek penting mengenai sejarah sosial-politik wilayah tersebut, mulai dari periode 1950-1965, era Orde Baru ketika wilayah itu mengalami diferensiasi sosio-ekonomi, dan era pasca-reformasi 1998-2010. Uraian ini dimaksudkan untuk memperjelas konteks situasi dan problematika di wilayah studi. Bab 3 mendeskripsikan temuan-temuan studi kasus, yaitu tentang bagaimana perempuan di Klaten terlibat dan melibatkan diri di dalam proses politik. Deskripsi didasarkan atas hasil-hasil kegiatan studi lapangan yang penulis lakukan, yaitu pengamatan dan wawancara terhadap dua kelompok perempuan. Kelompok yang pertama adalah perempuan biasa yang belum pernah mengalami advokasi, sedangkan kelompok 19

yang kedua adalah perempuan yang sudah pernah mengalami advokasi. Selain itu, di sini akan dipaparkan pula bagaimana gerakan advokasi perempuan serta wakil perempuan di DPRD Klaten menjalankan program-program yang mewakili kepentingan perempuan di kabupaten itu. Temuan-temuan kegiatan lapangan akan dianalisis di dalam Bab 4. Analisis terutama diarahkan pada upaya menjawab pertanyaan studi yang dirumuskan di dalam Bab 1. Pada bab ini penulis menguraikan persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan dalam memenuhi kepentingan dan kebutuhan mereka, apa saja dan bagaimana upaya mengubah keterwakilan perempuan dari keterwakilan simbolik menjadi substantif, serta bagaimana perempuan di wilayah studi melibatkan diri mereka ke dalam proses politik. Melalui bab terakhir, Bab 5, penulis menyampaikan kesimpulan dari studi kasus tentang keterwakilan perempuan di Klaten, serta serangkaian rekomendasi aksi dan strategi yang mungkin dan perlu dilakukan sebagai kegiatan-kegiatan advokasi bagi kelompok perempuan. *** 20