PEMILIHAN TIPE PESAWAT TERBANG UNTUK RUTE YOGYAKARTA JAKARTA BERDASARKAN PERKIRAAN BIAYA OPERASIONAL

dokumen-dokumen yang mirip
Perhitungan Break Event Point untuk Jalur Penerbangan Domestik Rute Semarang-Jakarta dengan Pesawat Boeing CFM56-3C

ANALISIS DIRECT OPERATING COST DALAM SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN PENENTUAN TIPE PESAWAT TERBANG UNTUK PEMBUKAAN RUTE BARU PENERBANGAN

Oleh : BAGUS DWIPURWANTO

HAK PENUMPANG JIKA PESAWAT DELAY

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

BAB V PENUTUP. 1. Implementasi Sistem Manajemen K3 pada PT.Merpati terbagi menjadi tiga

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 072 TAHUN 2018 TENTANG

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 707 TAHUN 2012

NOMOR: PM 17 TAHUN 2014

BAB II STUDI LITERATUR

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan penerbangan semakin ketat. Penumpang transportasi udara terus

2017, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubung

BAB I PENDAHULUAN. Total Penumpang

PA U PESAW PESA AT A T TER

2 Kementerian Negara, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 135 Tahun 2014; 3. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tenta

2015, No Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2015 tentang Kementerian Perhubungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 75); 4

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB IV ANALISIS DATA. yang bertempat di Pool DAMRI jalan Tipar Cakung No. 39 Jakarta Timur.

FRACTIONAL AIRCRAFT OWNERSHIP

BAB I PENDAHULUAN. memperlancar perekonomian sebagai pendorong, penggerak kemajuan suatu wilayah.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Spesifikasi Bandara Radin Inten II

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peningkatan keselamatan penerbangan merupakan hal yang menjadi

III ASPEK ORGANISASI, ISSUE-ISSUE DAN PERMASALAHAN DALAM INDUSTRI PENERBANGAN

PERTEMUAN KE - 1 PENGENALAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR: PK.14/BPSDMP-2017 TENTANG

Jurnal Penelitian Perhubungan Udara WARTA ARDHIA

BAB IV ANALISA DAN PENGOLAHAN DATA

BAB 2 GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. kita baru saja membenahi kondisi perekonomian yang cukup pelik,

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. bagi pemenuhan kebutuhan transportasi yang cepat dan aman. Perkembangan

ANALISA INVESTASI PROYEK PERLUASAN APRON BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA

BAB III REKONTRUKSI TERBANG DENGAN PROGRAM X-PLANE

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (Lembaran Negara Republik Indon

BAB I PENDAHULUAN. secara global akan meningkatkan perjalanan udara sebesar 1 2.5%

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang luas yang terdiri dari banyak pulau.

BAB 4 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH Model Rumusan Masalah dan Pengambilan Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. dan tentu saja akan meningkatkan kebutuhan akan transportasi.

PENENTUAN SUBCLASSES BERDASARKAN TIPE PESAWAT

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENETAPAN TARIF ANGKUTAN PENUMPANG. Adapun dasar hukum penetapan tarif angkutan penumpang yaitu:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Boks 2. Kesuksesan Sektor Jasa Angkutan Udara di Provinsi Jambi

PERENCANAAN SISTEM PENANGANAN BAGASI PADA TERMINAL 1B DI BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA SURABAYA

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBllK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan global diproyeksikan tumbuh sebesar 3,5 % pada

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 69 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan, mendukung mobilitas manusia, barang dan jasa serta

PERENCANAAN STRUKTUR PERKERASAN LANDAS PACU BANDAR UDARA SYAMSUDIN NOOR BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (Airport) berfungsi sebagai simpul pergerakan penumpang atau barang dari

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan transportasi udara adalah tersedianya Bandar Udara (Airport)

BAB 3 METODOLOGI 3.1 LANGKAH PENYUSUNAN TUGAS AKHIR 3.2 PENGUMPULAN DATA

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011

BAB VI INTEGRASI ANALISA CRUISE, LANDING, DAN TAKEOFF

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 89 TAHUN 2015 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sandhyavitri (2005), bandar udara dibagi menjadi dua bagian

BAB III PEMBAHASAN Pengertian Menurut Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Yang Berhubungan Dengan Pajak Penghasilan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan informasi yang sudah diproses dan dilakukan penyimpanan

BAB V HASIL DAN ANALISIS

BAB 3 ANALISIS SISTEM SEDANG BERJALAN

BAB IV DATA DAN ANALISIS. yang telah ditentukan Kementerian Perhubungan yang intinya dipengaruhi oleh

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN

Unit kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, melakukan penilaian pelanggaran terhadap hasil pemeriksaan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara terbesar di dunia dengan jumlah penduduk yang

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN M E M U T U S K A N : NOMOR : KM 81 TAHUN 2004

mempengaruhi eksistensi maskapai penerbangan di Indonesia pada umumnya, karena setiap pelaku usaha di tiap kategori bisnis dituntut untuk memiliki

PENANGANAN PENUMPANG WCHR (WHEEL CHAIR) DI PT. GAPURA ANGKASA BANDARA SOEKARNO-HATTA CENGKARENG JAKARTA. Vidyana Mandrawaty STTKD Yogyakarta

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : SKEP / 195 / IX / 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERSETUJUAN TERBANG (FLIGHT APPROVAL)

BAB III SLOT TIME DAN IDSC (INDONESIA SLOT COORDINATOR) tersibuk nomor tiga setelah Bandara Internasional Soekarno Hatta Jakarta

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR: KP.289 TAHUN 2012 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bandara atau bandar udara yang juga populer disebut dengan istilah airport

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN. sejarah PT Garuda Indonesia sebagai induk dari SBU Citilink. Sebagai national

Evaluasi Kinerja Gate Assignment pada Terminal 1 Keberangkatan Domestik Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya

BAB III LANDASAN TEORI. maskapai dengan sistem penerbangan full service carrier. kenyamanan dan pelayanan diberikan secara maksimal..

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pangsa pasar terbesar di dunia. Pertumbuhan industri penerbangan juga cenderung

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tent

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERHITUNGAN VEHICLE OPERATION COST GUNA KESINAMBUNGAN PERUSAHAAN: (STUDI KASUS SHUTTLE SERVICE TUJUAN BANDUNG-BANDARA SOEKARNO HATTA)

Evaluasi dan Perencanaan Posisi Parkir Pesawat pada Apron Bandara Husein Sastranegara Bandung

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : KP. 572 TAHUN 2011 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada tahun 2010, Indonesia yang memiliki populasi 237 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bandar Udara dan Sistem Lapangan Terbang. Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation Organization):

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ini telah menjadikan peranan transportasi menjadi sangat

BAB V ANALISA KEBUTUHAN RUANG BANDARA PADA TAHUN RENCANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. efisien, sehingga pesawat udara adalah pilihan yang tepat dalam transportasi.

2015, No Kementerian Negara, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 135 Tahun 2014; 4. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kondisi ekonomi, sosial dan pertumbuhan penduduk

-9- keliru. Personel AOC melakukan landing yang menyimpang dari prosedur

Transkripsi:

PEMILIHAN TIPE PESAWAT TERBANG UNTUK RUTE YOGYAKARTA JAKARTA BERDASARKAN PERKIRAAN BIAYA OPERASIONAL Didik Prihananto Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto Jl. Janti Blok R Lanud Adisutjipto, Yogyakarta e-mail : didik_prihananto@yahoo.com ABSTRACT Biaya operasional merupakan salah satu pertimbangan dalam pemilihan jenis pesawat terbang. Biaya operasional terdiri dari biaya operasional langsung (DOC = direct operating cost) dan biaya operasional tidak langsung (IOC = indirect operating cost). Dengan biaya operasional yang rendah, maka dapat diperoleh tingkat keuntungan yang lebih tinggi. Makalah ini memperkirakan besar biaya operasional untuk beberapa jenis pesawat yang memungkinkan dioperasikan pada rute Yogyakarta Jakarta untuk beberapa tahun ke depan. Jenis pesawat yang dipergunakan sebagai alternatif adalah yang diproduksi setelah tahun 2000 dan memungkinkan untuk dipergunakan oleh airline di Indonesia untuk menggantikan armada yang sekarang. Biaya operasional diperhitungkan berdasarkan biaya awak pesawat, biaya bahan bakar, biaya sewa, biaya asuransi, biaya perawatan dan ditambah biaya tidak langsung. Penentuan jenis pesawat dengan membandingkan biaya operasional, dimana pesawat yang dipilih adalah yang mempunyai biaya operasional paling rendah. Untuk rute Yogyakarta Jakarta, pesawat Airbus A320-200 mempunyai biaya operasional per ASK (available seat kilometer) paling kecil disamping itu untuk mencapai break event point, pesawat Airbus A320-200 membutuhkan load factor paling rendah dibandingkan pesawat lainnya yang setara. Dengan pertimbangan tersebut, maka untuk menggantikan armada yang sekarang beroperasi, pesawat Airbus A320-200 merupakan tipe yang tepat untuk dioperasikan pada rute Yogyakarta Jakarta dilihat dari sisi biaya operasi Keywords : biaya operasional, jenis, pesawat terbang, ASK 1. PENDAHULUAN Rute Yogyakarta Jakarta merupakan salah satu rute domestik yang cukup ramai dalam persaingannya. Pada rute ini tidak kurang dari enam maskapai penerbangan menerbanginya dengan pesawat yang beragam. Keenam maskapai tersebut adalah Lion Air, Wings Air, Mandala Air, Adam Air, Batavia Air, dan Garuda Indonesia dengan berbagai jenis pesawat yaitu MD-82, Boeing 737-200, Boeing 737-300 dan Boeing 737-400. Jenis pesawat yang dioperasikan merupakan pesawat dengan usia yang cukup tua (produksi tahun 1980-1990). Sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 05 Tahun 2006, tentang Peremajaan Armada Pesawat Udara Kategori Transport Untuk Angkutan Udara Penumpang, yang mengatur batas maksimum umur pesawat yang boleh beroperasi di Indonesia, maka perlu dikaji tentang jenis pesawat yang dapat dipergunakan untuk beberapa tahun kedepan. Dengan adanya perbedaan jenis pesawat dengan kapasitas penumpang yang berbeda terbang pada rute yang sama, dapat diperkirakan bahwa biaya operasi yang harus dikeluarkan oleh perusahaan akan berbeda. Suatu perusahaan penerbangan akan efisien diantaranya bila menggunakan pesawat yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan jumlah penumpang serta mempunyai biaya operasional yang rendah. C 1

Biaya operasional akan mempengaruhi kemampuan finansial dari perusahaan, semakin tinggi biaya operasional maka keuntungan akan semakin rendah dan sebaliknya. Sehingga perlu dilakukan analisis untuk menentukan jenis pesawat yang akan dioperasikan. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka makalah ini bertujuan untuk memperkirakan besar biaya operasi dari beberapa jenis pesawat terbang yang memungkinkan untuk dioperasikan pada rute Yogyakarta Jakarta, kemudian dari biaya operasional tersebut akan ditentukan jenis pesawat yang tepat ditinjau dari biaya operasional yang paling rendah. Dalam pemilihan pesawat, beberapa kriteria pemilihan diantaranya adalah kapasitas jumlah penumpang, jarak tempuh, kecepatan terbang, konsumsi bahan bakar dan lainnya. Pemilihan jenis pesawat dilakukan dengan mempertimbangkan kapasitas jumlah penumpang sebanyak-banyaknya dengan tujuan agar jumlah penerbangan yang dibutuhkan dapat dikurangi dengan membawa penumpang yang banyak namun harus mempertimbangkan kemampuan dari bandar udara asal dan tujuan. Dalam menetapkan biaya per komponen didasarkan pada standar biaya operasional dari Air Transport Association (ATA) yang tercantum dalam ATA Cost Index 2007 dan ATA Cost Method. Data dari PT. Angkasa Pura I Bandara AdisutjiptoYogyakarta menunjukkan bahwa pertumbuhan penumpang dari tahun 1999 hingga 2006 dan perkiraan hingga tahun 2008 dengan regresi linier seperti pada gambar 1. Dengan bertambahnya jumlah penumpang yang berangkat maupun datang, mestinya dibutuhkan pesawat yang lebih besar atau dengan frekuensi penerbangan yang lebih banyak. Gambar 1. Perkiraan pertumbuhan penumpang Yogyakarta Jakarta sampai 2008 2. LANDASAN TEORI Analisis biaya operasional merupakan salah satu pertimbangan dalam menentukan dan merencanakan armada yang akan dioperasikan oleh suatu perusahaan penerbangan. beberapa pertimbangan lain yang digunakan sebagai parameter dalam pemilihan jenis pesawat diantaranya adalah (1) karakteristik pesawat udara, yang meliputi prestasi pesawat udara (aircraft performance), berat pesawat (aircraft weight), kehandalan (reliability) dan keterawatan (maintainability), profil terbang, sertifikasi, peralatan dan fasilitas pendukung, perbandingan pesawat udara, (2) analisis biaya operasional pesawat, yang meliputi biaya operasional langsung dan baya operasional tidak langsung, (3) penggunaan dan jadwal penerbangan (4) analisis ekonomi dan finansial, (5) pendanaan pengadaan pesawat, dan (6) kecenderungan pembelian. 2.1 Waktu Operasional Penggunaan pesawat pada dasarnya tergantung pada jarak penerbangan masing-masing rute. Untuk rute dengan jarak yang pendek, maka pesawat dapat melakukan penerbangan dengan jumlah yang banyak, dan kebalikannya untuk rute dengan jarak yang semakin jauh, maka pesawat dapat C 2

melakukan jumlah penerbangan pada rute tersebut yang semakin sedikit. Penggunaan pesawat ini disebut utilisasi. Utilisasi adalah penggunaan pesawat (jam terbang atau trip) dalam satu periode waktu tertentu, umumnya adalah dalam satu tahun. Operasional pesawat selalu diperhitungkan berdasarkan jam operasi atau disebut dengan jam terbang. Secara umum jam terbang dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu flight time dan block time. Flight time merupakan jam terbang pesawat mulai dari tinggal landas hingga mendarat kembali ditambah dengan 0,1 jam untuk waktu pergerakan di udara (manuever time). Block time adalah waktu mulai pesawat bergerak dari apron hingga berhenti lagi setelah mendarat. Block time diperhitungkan dengan flight time ditambah waktu pergerakan didarat sebesar 0,5 jam. 2.2 Pembiayaan Airline Dalam hal finansial (keuangan), airline mendapatkan pemasukan dari penjualan tiket penumpang, kargo, biaya kelebihan bagasi, pos (mail), pendapatan sewa dan pendapatan lain seperti pemasangan iklan, leasing, bunga piutang, pendapatan dari pelatihan dan lainnya. Pada dasarnya pendapatan merupakan tanggung jawab bagian pemasaran. Pembiayaan airline pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu biaya non operasional dan biaya operasional. Biaya non operasional merupakan biaya yang tidak ada kaitannya dnegana pengoperasian pesawat, sedangkan biaya operasional merpakan biaya untuk pengoperasiaan pesawat. Biaya operasional terdiri dari biaya operasi langsung (DOC = Direct Operating Cost) dan biaya operasi tidak langsung (IOC = Indirect Operating Cost). DOC merupakan biaya yang berhubungan langsung dengan penerbangan suatu pesawat, sedangkan IOC merupakan biaya pendukung yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan manajemen perusahaan, namun dapat diperkirakan kebutuhan untuk IOC ini. Kedua jenis biaya operasi ini (DOC dan IOC) merupakan salah satu faktor dalam mempertimbangkan jenis pesawat yang akan dioperasikan untuk suatu rute tertentu. 2.2.1 Biaya Operasi Langsung (Direct operating cost) Merupakan seluruh biaya yang berhubungan langsung dengan dan tergantung kepada jenis pesawat udara yang dioperasikan dan akan berubah untuk jenis pesawat yang berbeda. Direct operating cost ini dapat dikelompokkan menjadi : 1. Flight operation cost adalah biaya yang harus dikeluarkan sehubungan dengan pengoperasian pesawat tersebut. Komponen biaya ini meliputi beberapa unsur yaitu biaya awak pesawat (air crew), biaya bahan bakar, biaya leasing, biaya asuransi 2. Maintenance cost, biaya yang harus dikeluarkan akibat adanya perawatan pesawat. Terdiri dari biaya tenaga kerja dan biaya material 3. Depresiasi dan amortisasi. Depresiasi merupakan biaya akibat turunnya nilai nominal atau harga pesawat seiring dengan berjalannya waktu sejak produk tersebut keluar. Sedangkan amortisasi merupakan penyisihan uang secara berkala untuk biaya-biaya seperti pelatihan awak kabin, biaya pengembangan dan pra-operasi yang berhubungan dengan pengembangan rute atau penggunaan pesawat baru. 2.2.2 Biaya Operasi Tidak langsung Merupakan seluruh biaya yang tetap tidak terpengaruh dengan perubahan jenis pesawat udara karena tidak tergantung secara langsung dengan operasi pesawat udara tersebut. Biaya ini terdiri dari station and ground cost (biaya penanganan dan pelayanan pesawat di darat), passenger service cost (biaya pelayanan penumpang), ticketing, sales dan promotion cost, dan biaya administrasi. C 3

2.2.3 Biaya Operasi Total Jumlah dari biaya operasi langsung dan biaya operasi tidak langsung. Biaya operasi ini dinyatakan dalam setiap seat yang tersedia per jarak misal per ASK (available seat kilometer) atau per ASM (available seat mile). 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut, pertama menentukan jenis pesawat alternatif, pesawat yang dipilih adalah dengan kapasitas seat yang banyak, diproduksi dalam 10 tahun terakhir sehingga masa pakainya masih lama, dengan dibatasi panjang landasan di Bandara Adisutjipto Yogyakarta dan Bandara Soekarno Hatta Jakarta. Tahap kedua yaitu mengitung biaya operasi baik biaya operasi langsung, biaya operasi tidak langsung dan biaya operasi total per ASK sesuai spesifikasi masing-masing pesawat. Selanjutnya dari masing-masing jenis pesawat tersebut dibandingkan besar biaya operasi. Pesawat yang paling menguntungkan adalah dengan biaya operasi per ASK paling kecil, sehingga dengan jumlah penumpang biaya yang harus dikeluarkan plaing kecil dan keuntungan bisa lebih besar. Langkah selanjutnya adalah dengan menghitung break event point (BEP) dari tiap pesawat. Untu ini dipergnakan harga tiket adalah rata-rata dari harga yang berlaku pada rute Yogyakarta Jakarta dari beberapa airline yang beroperasi saat ini. BEP dinyatakan dalam load factor minimum, yaitu perbandingan jumlah penumpang dengan kapasitas seat tersedia. 4. HASIL Dan PEMBAHASAN 4.1 Pemilihan Jenis Pesawat Alternatif Mengacu pada peraturan keselamatan penerbangan sipil di Indonesia, CASR Part 91, General Flight Rules, pesawat diijinkan mendarat pada suatu bandara bila panjang landasan yang dibutuhkan (sesuai dengan spesifikasi dari pabrik pesawat) tidak lebih dari 70% dari panjang landasan bandara tersebut. Dengan panjang landasan di Bandara Adisutjipto adalah 2200 meter dan di bandara Soekarno Hatta adalah 3600 meter, maka pesawat yang dipilih harus mempunyai kebutuhan panjang landasan untuk mendarat maksimal 1540 meter. Dari spesifikasi beberapa tipe pesawat, dipilih beberapa alternatif sebagai berikut: Tabel 1. Jenis Pesawat Terbang untuk Rute Yogyakarta Jakarta Jenis Pesawat Jumlah Crew Jumlah Seat Berat (Kg) Panjang landasan(meter) Empty MTOW MLW Take off landing Airbus A319-100 2 153 40.600 64.000 60,999 1463 1433 Airbus A320-200 2 179 42.400 73.500 64,499 1798 1463 Airbus A321-100 2 185 48.200 83.007 74,389 1920 1524 Boeing 737-500 2 130 31.234 52.390 49,895 1859 1356 Boeing 737-600 2 132 36.301 65.998 55,111 1798 1341 Boeing 737-700 2 149 38.147 70.080 58,604 1676 1433 Boeing 737-800 2 189 41.326 79.016 66,361 2210 1539 C 4

Sumber : spesifikasi dari pabrik MTOW MLW = Maximum Take Off Weight = Maximum Landing Weight 4.2 Perhitungan Biaya Operasi dan Break Even Point Dikarenakan harga bahan bakar berfluktuasi sesuai dengan nilai tukar Dollar, maka dalam penelitian ini digunakan asumsi bahwa harga bahan bakar Avtur adalah tetap yaitu dengan harga tertinggi pada tahun 2006 sebesar Rp. 5531,33 atau US$ 0,601 per gallon dengan kurs 1 US$ = Rp. 9.200,-. Pengadaan pesawat adalah diasumsikan dengan dry leasing (sewa) sehingga biaya depresiasi tidak ada. Untuk perhitungan yang memerlukan kecepatan digunakan block speed, yaitu kecepatan yang diperhitungkan berdasarkan jarak tempuh Yogyakarta Jakarta dibagi dengan block time masing-masing pesawat. Jarak tempuh Yogyakarta Jakarta diasumsikan 550 km. Dari hasil perhitungan terhadap maing-masing komponen biaya operasi dapat dipaparkan sepertti pada tabel-tabel berikut: Tabel 2. Direct Operating Cost (US$/per jam terbang) Jenis Pesawat Bahan bakar Crew Asuransi Leasing Perawatan Jumlah Airbus A319-100 1308,12 26,44 27,40 751,53 215,93 2329,42 Airbus A320-200 1534,73 30,31 29,92 820,64 226,70 2642,29 Airbus A321-100 1840,92 34,18 36,22 993,41 261,33 3166,06 Boeing 737-500 1254,43 22,19 23,27 638,17 160,14 2098,19 Boeing 737-600 1446,33 27,19 25,25 692,68 189,29 2380,74 Boeing 737-700 1612,87 28,85 28,57 783,60 200,37 2654,25 Boeing 737-800 1732,41 32,40 34,33 941,63 219,60 2960,37 Perhitungan biaya bahan bakar disesuaikan fase penerbangan, yaitu bahan bakar untuk penerbangan cruising (jelajah) dan bahan bakar selain cruising (untuk lepas landas dan taxiing atau pergerakan di darat). Biaya untuk bahan bakar masing-masing pesawat berbeda disebabkan jenis mesin (engine) yang dipergunakan dan berat pesawat berbeda. Perhitungan crew adalah untuk pilot dan co-pilot, diperhitungkan berdasarkan berat pesawat. Biaya asuransi dan leasing diperhitungkan berdasarkan harga pesawat baru. Harga pesawat mengacu pada harga pesawat baru dari pabrik pada tahun 2007. Biaya perawatan meliputi biaya tenaga kerja dan biaya material termasuk suku cadang. Tabel 3. Indirect Operating Cost (US$/per jam terbang) Palayanan Tiket & Pelayanan Jenis Pesawat Administrasi darat Sales Penumpang IOC Airbus A319-100 292,84 96,68 103,16 195,05 687,73 Airbus A320-200 310,17 112,48 112,05 199,75 734,46 Airbus A321-100 354,11 116,91 120,94 201,07 793,02 C 5

Boeing 737-500 237,56 80,39 90,32 148,64 556,91 Boeing 737-600 269,40 83,61 105,28 149,60 607,89 Boeing 737-700 285,22 94,38 109,11 152,81 641,52 Boeing 737-800 320,95 119,99 117,76 202,00 760,69 Perhitungan untuk IOC berdasarkan jumlah kapasitas penumpang dan berat pesawat (MTOW) dan mengunakan indeks yang telah ditetapkan sebagai standar. Tabel 4. Total Operating Cost (US$/per jam terbang) Jenis Pesawat Jumlah seat ASK DOC IOC TOC TOC/ASK Airbus A319-100 153 84150 2329,42 687,73 3017,15 0,0359 Airbus A320-200 178 97900 2642,29 734,46 3376,75 0,0345 Airbus A321-100 185 101750 3166,06 793,02 3959,08 0,0389 Boeing 737-500 130 71500 2098,19 556,91 2655,10 0,0371 Boeing 737-600 132 72600 2380,74 607,89 2988,63 0,0412 Boeing 737-700 149 81950 2654,25 641,52 3295,77 0,0402 Boeing 737-800 189 103950 2960,37 760,69 3721,06 0,0358 Total operating cost merupakan jumlah dari direct operating cost dan indirect operating cost. Perhitungan dilakukan untuk tiap available seat kilometer (ASK). ASK merupakan hasil kali jumlah seat dengan jarak (550 km). dengan perhitungan per ASK maka biaya tersebut merupakan biaya yang harus ditanggung oleh tiap penumpang setiap jarak satu kilometer. Untuk membandingkan biaya operasi pesawat, perhitungan biaya operasi per ASK merupakan cara yang tepat karena diperhitungkan berdasarkan tiap seat (penumpang) pada jarak yang sama. Break even point (BEP) akan tercapai bila pemasukan yang diperoleh mampu menutupi total pembiayaan yang harus dikeluarkan. Untuk analisis BEP ini diasumsikan bahwa harga tiket digunakan rata-rata harga tiket dari airline yang beroperasi pada rute Yogyakarta Jakarta sekarang ini. Dari hasil pemantauan harga tiket rata-rata adalah Rp. 381.500,-. Sehingga untuk mencapai BEP, jumlah penumpang yang harus terangkut adalah diperhitungkan dengan biaya operasi dibagi dengan harga tiket atau dengan persamaan sebagai berikut. Pemasukan = Biaya operasi harga tiket seat terjual = biaya operasi biaya operasi seat terjual minimum = harga tiket seat terjual load factor minimum = 100% kapasitas seat maksimum Dalam hal ini perlu diperhitungkan biaya operasi untuk satu kali penerbangan (trip). Biaya ini diperhitungkan dengan biaya operasi per jam dkalikan dengan block time masing-masing pesawat. C 6

Menginta biaya operasi ang diperhitungkan dalam nilai Dollar, sedangkan harga tiket dalam Dollar, maka biaya operasi dikonversikan dalam nilai rupiah dengan 1 US$ = Rp. 9.200,-. Dengan persamaan tersebut, maka diperoleh load factor minimum untuk masng-masing pesawat adalah : Tabel 5. Load factor minimum Jenis Pesawat Jumlah seat TOC (US$) TOC (Rp.) Per trip Per jam Per trip seat minimum Load factor minimum Airbus A319-100 153 3017,15 3810,36 35.055.347,05 92 60,06% Airbus A320-200 178 3376,75 4264,50 39.233.367,46 103 57,78% Airbus A321-100 185 3959,08 4999,93 45.999.314,88 121 65,18% Boeing 737-500 130 2655,10 3426,67 31.525.383,44 83 63,57% Boeing 737-600 132 2988,63 3765,38 34.641.498,97 91 68,79% Boeing 737-700 149 3295,77 4152,34 38.201.566,17 100 67,20% Boeing 737-800 189 3721,06 4677,37 43.031.817,56 113 59,68% 4.3 PEMBAHASAN Dari hasil perhitungan terhadap biaya operasi total dan load factor minimal, dapat dijelaskan bahwa jumlah kapasitas penumpang akan mempengaruhi besarnya biaya operasi. Pesawat Boeing 737-500 dengan jumlah kapasitas seat 130 dimana paling sedikit dari beberapa jenis pesawat tersebut, mempunyai biaya operasi yang paling kecil yaitu Rp. 31.525.383,44. Sedangkan pesawat terbang Airbus A321-100 dan Boeing 737-800 yang mempunyai kapasitas seat terbesar mempunyai biaya operasi yang paling besar juga. Bila dikaitkan dengan available seat kilometer (ASK) maka pesawat Airbus A320-200 dengan kapasitas seat 178 mempunyai biaya operasiper ASK paling kecil, yaitu US$ 0,0345 atau Rp. 317,4 per ASK, dan pesawat Boeing 737-600 dengan kapasitas seat 132 mempunyai biaya operasi per ASK paling besar yaitu US$ 0,0412 atau Rp. 379,04. Untuk mencapai break event point yang ditinjau dari load factor minimum yang merupakan perbandingan penumpang yang terangkut atau seat yang terjual, pesawat Airbus A320-200 membutuhkan load factor 57,78% dan paling kecil dibandingkan pesawat jenis lainnya. Sedangkan pesawat Boeing 737-600 membutuhkan load factor paling besar, yaitu 68,79%. Dari pertimbangan biaya operasi dan analisis BEP tersbut, maka pesawat Airbus A320-200 merupakan pesawat yang paling tepat dipergunakan untuk rute Yogyakarta Jakarta pada masa yang akan datang. 5. KESIMPULAN Pertimbangan pemilihan jenis pesawat dapat didasarkan pada besarnya biaya operasi per ASK. Untuk rute Yogyakarta Jakarta, pesawat Airbus A320-200 dengan kapasitas penumpang 178 mempunyai biaya operasi per ASK yang paling kecil. Untuk mencapai break event point (BEP) peawat ini juga membutuhkan load factor paling kecil, sehingga pesawat ini paling tepat untuk dioperasikan pada rute Yogyakarta Jakarta. C 7

6. DAFTAR PUSTAKA Airbus (1998). Getting To Grips With The Cost Index, Issue II, Blacnac Cedex, France: Flight Operations Support & Line Assistance Airbus Departemen Perhubungan Republik Indonesia (2002). Keputusan Menteri Perhubungan No. 9 Tahun 2002, Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi, Jakarta : Departemen Perhubungan Republik Indonesia Departemen Perhubungan Republik Indonesia (2003). Keputusan Menteri Perhubungan RI No 3 Tahun 2003, Penyelenggaraan Angkutan Udara, Jakarta : Departemen Perhubungan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (1997). Civil Aviation Safety Regulation Part 91, General Flight Rules, Departemen Perhubungan Republik Indonesia Federal Aviation Administration (2006). Federal Aviation Regulation (FAR) Cost Principles Guide, Version: July 2006, Washington DC : United States Department of Transportation Harris Franklin D. (2005). An Economic Model of U.S. Airline Operating Expenses, NASA Ames Research Center, California : University of Maryland Horder Peter (2003). Airline Operating Costs, Managing Aircraft Maintenance Costs Conference, Brussel : SH&E International Air Transport Consultancy, Maddalon Dal V (1978). Estimating Airline Operating Cost, NASA Technical Memorandum 78694, Virginia : Langrey Research Center Smith Chris J, Dr. (2003). Airline Operating Costs The Variations, Managing Aircraft Maintenance Cost Conference, Brussel : SH&E International Air Transport Consultancy Smyth Mark, Pearce Brian (2006). Airline Cost Performance, IATA Economics Briefing No.5, Juli 2006, www.iata.org Ssamula, Mistro Del, Visser (2006) Using an operating cost model to analyse the selection of aircraft type on short-haul routes, Journal of the South African Institution of Civil Engineering, Vol 48 No 2, 2006, Pages 2 9, Paper 579 ATA Cost Index 2007, http://www. airlines.org, diakses terakhir tanggal 15 Mei 2007 ATA Cost Method, Standard Method of Estimating Comparative Direct Operating Cost Of Turbine Powered Transport Airplanes, http://adg.stanford.edu/aa241/cost/atamethod.html, diakses terakhir tanggal 20 April 2007 C 8