BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Arsyad (1999) dalam Setiyawati (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber pendapatan daerah. DAU dialokasikan berdasarkan presentase tertentu

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dibahas lebih mendalam mengenai teori-teori dan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. yang mana dinyatakan oleh Jansen dan Meckling (1976), bahwa hubungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB II TELAAH PUSTAKA DAN PERUMUSAN MODEL PENELITIAN

Oleh: Syaiful, SE, Ak., MM*

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Timur dan 7,12 hingga 8,48 Lintang Selatan. Sedangkan luas Provinsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH DANA ALOKASI UMUM (DAU), PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD), SISA LEBIH PEMBIAYAAN ANGGARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. wujud dari diberlakukannya desentralisasi. Otononomi daerah menurut UU No.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Pengertian pertumbuhan ekonomi seringkali dibedakan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Belanja modal termasuk jenis belanja langsung dan digunakan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran menurut Yuwono (2005:27) adalah rencana terinci yang

Daerah (PAD), khususnya penerimaan pajak-pajak daerah (Saragih,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian DAK diatur dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

Pengaruh Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) Terhadap Belanja Modal

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan insfratruktur menjadi tolak ukur kemajuan suatu daerah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan Peraturan

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

3. Bagi peneliti selanjutnya, hasil peneletian ini diharapkan bisa menjadi. sumber referensi dalam melakukan peneletian lainnya yang sejenis.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

1. PENDAHULUAN. merupakan salah satu unsur belanja langsung. Belanja modal merupakan

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Undang Nomor 32 tahun 2004) tentang pemerintah daerah menerangkan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi Secara umum pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran rakyat meningkat. Arsyad (1999) dalam Setiyawati (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan kenaikan Gross Domestic Product (GDP) atau Gross National Product (GNP) tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Menurut Saad (2009) dalam Mawarni et al (2013) Pertumbuhan ekonomi merupakan dasar untuk pembangunan berkelanjutan. Pemerintah dapat memperbaiki kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dengan memprioritaskan: perbaikan infrastruktur; peningkatan pendidikan; pelayanan kesehatan; membangun fasilitas yang dapat mendorong investasi baik asing maupun lokal; menyediakan perumahan dengan biaya rendah; melakukan restorasi lingkungan; serta penguatan di sektor pertanian. Ciri-ciri pertumbuhan ekonomi berdasarkan produk nasional dan komponennya menurut Kuznet dalam Jhingan (2000): (1) laju pertumbuhan penduduk dan produk perkapita; 11

12 (2) peningkatan produktivitas; (3) laju perubahan struktural yang tinggi; (4) urbanisasi; (5) ekspansi negara maju;dan (6) arus barang, modal dan orang antar bangsa. 2.1.2 Belanja Modal Belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah dimana aset tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja dan bukan untuk dijual (PMK No.91/PMK.06/2007). Sedangkan menurut Perdirjen Perbendaharaan Nomor PER-33/PB/2008 yang dimaksud dengan belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap atau aset lainnya yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset. Peraturan pemerintah no. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi pemerintahan mendefinisikan belanja modal sebagai pengeluaran anggaran yang digunakan untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya. Syaiful (2006) dalam Kusnandar dan Siswantoro (2012) menyatakan Belanja Modal dapat dikategorikan menjadi 5

13 (lima) kategori utama yaitu Belanja Modal Tanah, Belanja Modal Peralatan dan Mesin, Belanja Modal Gedung dan Bangunan, Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan, dan Belanja Modal Fisik Lainnya. 1. Belanja Modal Tanah Belanja modal tanah adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/pembelian/pembebasan baik untuk penyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengurungan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat, dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan sampai tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai. 2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin Belanja Modal Peralatan dan Mesin adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan dan sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai. 3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan Belanja Modal Gedung dan Bangunan adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, serta termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan, dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai.

14 4. Belanja Modal Jalan, Irigasi, dan Jaringan Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian/peningkatan pembangunan/pembuatan serta perawatan, termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan, dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai. 5. Belanja Modal Fisik Lainnya Belanja Modal Fisik Lainnya adalah pengeluaran/ biaya yang digunakan baik untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian/ peningkatan pembangunan/ pembuatan serta perawatan terhadap fisik lainnya yang tidak dapat dikategorikan ke dalam kriteria belanja modal sebelumnya, termasuk dalam belanja ini adalah belanja modal kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku, serta jurnal ilmiah. Jumlah nilai belanja yang di kapitalisasi menjadi aset tetap adalah semua belanja yang dikeluarkan sampai dengan aset tersebut siap digunakan atau biaya perolehan. Dalam penelitian Kusnandar dan Siswantoro (2012) anggaran belanja modal disesuaikan dengan kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintah maupun untuk fasilitas publik. Sesuai dengan peruntukannya tersebut, maka belanja modal dibagi dalam 2 kategori yaitu belanja publik dan belanja aparatur. Belanja publik adalah belanja modal yang manfaatnya bisa dirasakan oleh masyarakat secara langsung,

15 sedangkan belanja aparatur adalah belanja modal yang manfaatnya dirasakan secara langsung oleh aparatur pemerintahan. 2.1.3 Derajat Desentralisasi Dalam Undang-Undang no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dijelaskan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Diberlakukannya desentralisasi fiskal dimaksudkan agar pemerintah dapat melaksanakan dan mengatur rumah tangganya secara mandiri. Namun pemerintah pusat masih memberikan dana perimbangan kepada pemerintah daerah hanya sebagai stimulus bagi daerah. Derajat Desentralisasi merupakan tingkat kemampuan daerah dalam kemandirian fiskal. Derajat desentralisasi merupakan sebuah rasio yang mengindikasikan kontribusi PAD terhadap total Pendapatan daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD, maka semakin tinggi pula kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi. Rumus yang digunakan dalam menghitung Derajat Desentralisasi adalah sebagai berikut.

16 2.1.4 Dana Alokasi Umum (DAU) Menurut Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah Dana Alokasi Umum merupakan sarana untuk mengatasi ketimpangan fiskal antar daerah dan di sisi lain juga memberikan sumber pembiayaan daerah. Terdapat 2 Kriteria DAU menurut UU no 33 tahun 2004, yaitu: 1. jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negri Neto yang ditetapkan dalam APBN. 2. DAU untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Hal tersebut mengindikasikan bahwa DAU lebih diprioritaskan untuk daerah yang mempunyai kapasitas fiskal yang rendah. DAU bersifat Block Grant yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka otonomi daerah (Kusnandar dan Siswantoro, 2012). Menurut Harianto dan Adi (2007) DAU berfungsi untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi potensi penerimaan daerah yang ada, sehingga distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan yang relatif besar akan lebih kecil dan begitu pula sebaliknya. DAU dihitung dengan menggunakan pendekatan celah fiskal (fiscal gap) yaitu selisih antara kebutuhan fiskal (fiscal needs) dikurangi dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity) daerah dan Alokasi Dasar AD berupa jumlah gaji PNS. Formula DAU tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:

17 DAU = AD + CF Dimana: DAU = Dana Alokasi Umum AD = Alokasi Dasar CF = Celah Fiskal Alokasi Dasar (AD) dihitung berdasarkan realisasi gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah tahun sebelumnya (t-1) yang meliputi gaji pokok dan tunjangan-tunjangan yang melekat sesuai dengan peraturan penggajian PNS yang berlaku. Celah Fiskal (CF) merupakan selisih dari kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal (KbF KpF). Dengan demikian, daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi dengan kebutuhan fiskalnya rendah maka perolehan Dana Alokasi Umum yang akan didapatkan jumlahnya akan kecil. Dan sebaliknya bagi daerah yang kapasitas fiskalnya rendah, sementara kebutuhan akan fiskalnya tinggi, sudah dipastikan Dana Alokasi Umum yang akan didapatkan jumlahnya akan besar. Jika dalam perhitungan menghasilkan celah fiskal negatif maka jumlah DAU yang diterima oleh Pemda sebesar alokasi dasar setelah diperhitungkan dengan celah fiskalnya. Celah fiskal negatif atau kapasitas fiskal yang lebih besar dari kebutuhan fiskal menandakan bahwa pendapatan daerah yang berasal dari PAD, Dana Bagi Hasil Pajak, dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam dari Pemda tersebut sudah cukup tinggi sehingga daerah tersebut lebih sedikit atau tidak membutuhkan alokasi dari pusat untuk membiayai belanja daerah.

18 2.1.5 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) menurut Permendagri Nomor 13 tahun 2006 adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. SiLPA berfungsi untuk menutupi defisit anggaran jika realisasi pendapatan lebih kecil dari pada realisasi belanja, mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung, dan menandai kewajiban lain yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum terselesaikan. SiLPA tahun anggaran sebelumnya mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada fihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan. SiLPA adalah suatu indikator yang menggambarkan efisiensi pengeluaran pemerintah. SiLPA sebenarnya merupakan indikator efisiensi, karena SiLPA hanya akan terbentuk bila terjadi Surplus pada APBD dan sekaligus terjadi Pembiayaan Neto yang positif, dimana komponen Penerimaan lebih besar dari komponen Pengeluaran Pembiayaan (Balai Litbang NTT, 2008). 2.1.6 Luas Wilayah Menurut Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.

19 2.1.7 Jumlah Penduduk Negara yang sedang berkembang mengalami ledakan jumlah penduduk. Indonesia termasuk negara berkembang yang akan selalu mengkaitkan antara kependudukan dengan pembangunan ekonomi (Pribadi dan Nuria, 2015). Jumlah penduduk yang besar di Indonesia oleh para perencana pembangunan dipandang sebagai aset modal dasar pembangunan tetapi sekaligus juga sebagai beban pembangunan. Sebagai aset apabila meningkatkan kualitas maupun keahlian atau keterampilan sehingga akan meningkatkan produksi nasional. Jumlah penduduk yang besar akan menjadi beban jika struktur persebaran dan mutunya sedemikian rupa sehingga hanya menunut pelayanan sosial dan tingkat produksinya rendah, sehingga menjadi tanggungan penduduk yang bekerja secara efektif (Budiharjo; 2003 dalam Pribadi dan Nuria; 2015). 2.2 Kerangka Pemikiran Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh Derajat Desenralisasi, Dana Alokasi Umum (DAU), Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA), Luas Wilayah, dan Jumlah Penduduk terhadap Alokasi Belanja Modal dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi pada Kabupaten/Kota di Pulau Sulawesi. Kerangka pemikiran berdasarkan uraian di atas yang menggambarkan hubungan antar variabel dilihat pada gambar berikut.

20 Derajat Desentralisasi Dana Alokasi Umum (DAU) H 2 (+) H 1 (+) Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Luas Wilayah H 3 (+) H 4 (+) H 5 (+) Belanja Modal Jumlah Penduduk Gambar 2.1 Kerangka Penelitian Teoritis Model 1 Belanja Modal H 6 (+) Pertumbuhan Ekonomi Gambar 2.2 Kerangka Penelitian Teoritis Model 2

21 2.3 Pengembangan Hipotesis 2.3.1 Pengaruh Derajat Desentralisasi terhadap Alokasi Belanja Modal Derajat desentralisasi mengindikasikan besarnya kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah. Semakin besar persentase kontribusi PAD, maka semakin mandiri pula daerah dalam mengasilkan pendapat dan sesuai asas daerah otonom. Sularso dan Restianto (2010) memperoleh kesimpulan derajat desentralisasi tidak mempengaruhi alokasi belanja modal, penelitian ini menggunakan metode SEM dengan analisis AMOS yang menghubungkan derajat desentralisasi dengan belanja modal dan pertumbuhan perekonomian daerah. Ini berbanding terbalik dengan hasil penelitian dari Primaresti (2012) menunjukkan bahwa derajat desentralisasi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pengalokasian belanja modal. Berbeda pula dengan hasil penelitian dari Gantara (2014) yaitu derajat desentralisasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal. Semakin tinggi kontribusi PAD, maka semakin tinggi pula kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi. Derajat desentralisasi merupakan tolok ukur kemandirian sebuah daerah. Semakin tinggi derajat desentralisasi semakin tinggi pula tingkat kemandirian daerah. Pemerintah daerah dapat mengelola pendapatan mereka sendiri untuk pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pengalokasian untuk belanja-belanja daerah secara terorganisir. Berdasarkan paparan tersebut, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut. H 1 : Derajat Desentralisasi berpengaruh positif terhadap Alokasi Belanja Modal.

22 2.3.2 Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Alokasi Belanja Modal Dana Alokasi Umum (DAU) menurut Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan untuk menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar pemerintah daerah serta untuk memberikan dana terkait dengan kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU merupakan suatu pembiayaan aktivitas pemerintah daerah yang menopang sebagian besar pendapatan dalam APBD. Pengalokasian DAU dari Pemerintah Pusat berpengaruh sangat dominan bagi Pemerintah Daerah. Beberapa penelitian terkait DAU dengan belanja modal adalah penelitian yang dilakukan oleh Sumarmi (2007) menunjukan bahwa DAU berpengaruh negatif terhadap pengalokasian belanja modal. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Kusnandar dan Siswantoro (2012) DAU berpengaruh positif dan tidak signifikan. Menurut Yovita (2011) dan Wandira (2013) DAU berpengaruh negatif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal. Namun beberapa penelitian serupa dengan hasil yang berbeda, yaitu penelitian dari Pradita (2014) dan Gantara (2014) DAU berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. DAU yang dialokasikan dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah yang berupa belanja rutin maupun belanja yang sifatnya jangka panjang.

23 DAU memiliki peran penting dalam penentuan besarnya alokasi belanja modal. Dari uraian di atas, hipotesis yang didapat adalah sebagai berikut. H 2 : DAU berpengaruh positif terhadap Alokasi Belanja Modal. 2.3.3 Pengaruh Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) terhadap Alokasi Belanja Modal SiLPA merupakan selisih lebih atau kurang realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran dalam satu periode pelaporan. Terjadi pergeseran fungsi SiLPA yang sebelumnya sebagai penutup defisit menjadi salah satu sumber pembiayaan yang berguna untuk penyediaan infrastruktur pelayanan publik. Beberapa penelitian yang menghubungkan SiLPA dengan Belanja Modal yaitu penelitian Kusnandar dan Siswantoro (2012), Ardhini (2011), Menes (2013), dan Gantara (2014) dengan hasil bahwa SiLPA berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Beberapa penelitian tersebut cukup menguatkan sehingga dapat diambil hipotesis sebagai berikut. H 3 : SiLPA berpengaruh positif terhadap Alokasi Belanja Modal. 2.3.4 Pengaruh Luas Wilayah terhadap Alokasi Belanja Modal Setiap Daerah memiliki luas yang berbeda-beda, sehingga berbeda pula kebutuhan setiap daerah dalam menyediakan layanan publik. Penelitian sebelumnya yang menghubungkan luas wilayah dengan belanja modal yaitu Kusnandar dan Siswantoro (2012) dan Menes (2013) yang mengemukakan bahwa luas wilayah berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal.

24 Semakin luas sebuah daerah tersebut, maka semakin banyak pula kebutuhan untuk menyediakan sarana dan prasarana publik. Dengan kata lain pengalokasian belanja modal di setiap daerah juga dipengaruhi oleh Luas Wilayah. Dari uraian di atas dapat ditarik hipotesis sebagai berikut. H 4 : Luas Wilayah berpengaruh positif terhadap alokasi Belanja Modal. 2.3.5 Pengaruh Jumlah Penduduk terhadap Alokasi Belanja Modal Setiap daerah memiliki jumlah penduduk yang beragam, hal ini berpengaruh terhadap kebutuhan akan ketersediaan sarana dan prasarana di masing masing daerah. Semakin tinggi jumlah penduduk maka permintaan infrastruktur daerah akan berubah. Hal ini dikarenakan sifat penduduk yang selalu berubah. Selain itu dalam Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah disebutkan jumlah penduduk sebagai variabel yang mencerminkan kebutuhan akan penyediaan sarana publik. Hal ini didukung dengan penelitian Menes (2013) yang mengemukakan bahwa jumlah penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Maka dapat diambil sebuah hipotesis sebagai berikut. H 5 : Jumlah Penduduk berpegaruh positif terhadap Alokasi Belanja Modal.

25 2.3.6 Pengaruh Belanja Modal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran rakyat meningkat. Pendorong pertumbuhan ekonomi adalah meningkatkan investasi dengan infrastruktur yang memadai. Untuk meyediakan infrastruktur yang memadai diperlukan pengelolaan pendapatan yang baik dan pengalokasian terhadap belanja belanja daerah. Pengadaan infrastruktur daerah kaitannya dengan pengalokasian belanja modal. Pembangunan sarana prasarana dan insfratruktur yang digunakan untuk kepentingan pelayanan publik didanai dari alokasi belanja modal. Jika pertumbuhan ekonomi suatu daerah meningkat maka pemerintah daerah akan meningkatkan belanja modal untuk memperbaiki dan melengkapi infrastruktur dan sarana prasarana dengan tujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih baik (Verawati et al, 2014). Belanja modal menurut Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Dari uraian di atas, hipotesis yang didapat adalah sebagai berikut. H 6 : Belanja Modal berpengaruh positif terhadap Pertumbuhan Ekonomi.