1 Fajar di pagi ini serasa berbisik, menyuarakan semangat supaya aku menjadi wartawan berbobot. Tak lagi hanya bekerja demi uang, tak lagi hanya bekerja untuk ketenaran. Bekerja untuk diri sendiri, seperti fajar yang memberikan cahaya pada manusia untuk kelangsungan dunia, kelangsungan hidupnya sendiri. Segelas teh hijau sudah ada disamping tempat tidurku. Masih memandangi fajar dibalik jendela, aku melamun jauh memikirkan bagaimana aku akan menjalani hari hariku yang baru sebagai wartawan. Bukan bersemangat tapi sedikit lesu, karena aku tahu hari-hari akan mulai berjalan cepat, tanpa tenggat waktu. Ku paksa tubuh untuk turun dari ranjang, mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi, pagi ini fajar tak memberiku semangat yang menggebu. Entah apa penyebabnya! Pun tak ada semangat saat kumasuki ruang kantor, tak ada yang dapat kuajak bicara, semuanya sibuk. Aku pandangi kawan-kawan satu persatu, otak mulai meracau, menganalisis dan mengambil kesimpulan, bawa dalam 24 jam kehidupan, para pria mampu menggunakan 22 jam untuk bekerja dan 2 jam untuk tidur, tapi aku hanya bisa menggunakan maksimal 12 jam saja untuk bekerja, sisanya beristirahat dengan tenang. Tapi dalam hal berita, aku tak kalah jauh dari mereka. Hanya saja apa yang kutulis selalu melenceng dari pemikiran dan keinginan mereka. Tak pernah bisa membuat berita yang menguntungkan kantor? Ya, selalu tidak bisa membuat berita yang menghibur pembaca? Ya. Aku hanya bisa menulis apa yang kulihat dan kudengar tanpa menambah secuilpun kata. Salah, itu kata mereka. Berita harus menghibur juga. Artinya sedikit menambah fakta demi menghibur pembaca itu diperbolehkan. Katanya harus membuat berita yang berkualitas, katanya tulisanku tak berbobot? Ya kucoba lebih berbobot, tapi hasilnya? entahlah Tapi aku masih juga ditempatkan di desk pemerintah. Kenapa dengan kemampuanku yang rendah, aku masih saja dipertahankan? Apalagi sebagai wanita aku kerap keberatan dengan liputan tengah malam? Apa gunanya aku disini?
Aku pulang ke kantor dengan hati muram. Kenapa? Karena berita yang ada hanya itu-itu saja. Rapat-rapat komisi untuk menentukan anggaran yang keluar masuk? Apa hubungannya denganku? Kurasa rakyatpun tak mau tau, lebih baik menonton Syahrini dengan jambulnya atau Norman Kamaru dengan lagu caiya-caiya nya. Gus, lesu banget mukanya, mana berita? redakturku mulai berkicau meminta berita Iya ada timpalku sekenanya Oh, iya kau liputan khusus ya. Dekati pejabat ini, lalu pejabat itu. Jangan lupa bikin janji sama pejabat yang itu, terus datang kerumah pejabat ini ya? Bikin liputan apa? Ribet amat, mesti ke rumah pejabat segala? Ya, tentang program-program mereka. Lumayan buat tambah-tambah upahmu Upah? Apa maksudnya? Ah entahlah mungkin itu dana kampanye yang diperuntukkan bagi wartawan. Ahh bonus donk. Baru memikirkannya saja, semangatku membuncah. Ku tarik sepeda motor yang ada diparkiran, laju nya ku percepat menjadi 100 km/jam. Hujanpun tak menyurutkan langkahku melakukan liputan khusus. Sebenarnya, aku tak pernah tahu, apa itu liputan khusus. Bagaimana sistem penulisan ataupun fungsinya bagi pembaca. Yang kutahu, bonus menanti didepan mata. Jurnalis kan juga manusia, butuh uang saku. Walikota adalah pejabat yang pertama kudatangi. Jika dikira-kira rumahnya 5 kali lebih besar dari luas rumahku yang berdiri diatas 9 tombak tanah. Gerbangnya terbuat dari besi yang menjulang tinggi, sekitar 4 meter. Lalu ada pos satpam juga, berisi 3 orang. Dari luar, rumah itu tampak seperti rumah hantu, tak ada suara tak ada tanda-tanda kehidupan. Prediksiku, si satpam tengah tertidur pulas. Dari luar pagar, aku bisa melihat pohon-pohon mahoni yang sengaja ditanam agar udara lebh sejuk, lalu ada juga taman kecil yang ditumbuhi rumput jepang berjejer rapih. Turun dari motor, kupencet bel pagar. Tak ada yang membukakan gerbang. Kupencet lagi hingga tiga kali tak jua ada tanda tanda manusia. Aku ketok ketok gembok pagar itu, kuhantam keras-keras pada engselnya. Terdengar derap langkah kaki. Ah akhirnya si satpam membukakan pintu
Maaf belnya rusak. Ada perlu apa ya mba? Saya Agus dari harian Parahyangan Post. Saya ada perlu wawancara dengan Walikota. Bapanya ada ditempat? Maaf sudah bikin janji? Belum Kalau begitu, maaf anda tidak boleh masuk. Harus bikin janji dulu mba. Lagipula pa Walkotnya sedang tidak ada di rumah tuh, paling baru pulang tengah malam nanti, ada rapat penyusunan anggaran Kalau menunggu sampai tengah malam, boleh pa? Maaf mba harus bikin janji dulu Tapi kantor saya katanya sudah bikin janji dengan pa Walkot Kalau begitu tunggu sebentar, saya konfirmasi dulu ke pa Walkotnya Si satpam yang berbaju dinas hubung-hubungan itu terlihat berbicara dengan seseorang melalui walkie talkienya. Ini sudah pukul 3 sore, cuaca juga sedang mendung, gelap. Sebentar lagi pasti gerimis, aku butuh berteduh aku butuh masuk ke rumah itu. Baik mba, kata pa Walkot silahkan menunggu di ruang tunggu Pintu gerbangpun dibuka. Pemandangan yang pertama kulihat adalah satu mobil Terrios hitam, satu sedan klasik merah dan satu mobil keluarga bermerek APV. Itu halamannya, tempat parkirnya? Aku tak tahu. Dari pintu gerbang kami pun menuju rumah, tak terlalu jauh, sederhana tapi mewah. Aku tak diperkenankan lewat pintu depan. Katanya harus lewat pintu belakang, yang langsung mengarah ke ruang keluarga. Dan terpaksa aku masuk melewati garasi, oh ternyata masih ada 3 mobil didalam garasi, dan satu vespa yang teronggok di sudut ruangan. Untuk garasinya saja, dibutuhkan seluruh areal rumahku. Masih mencoba sadar, tak ternganga dengan pandangan didepanku, aku melangkah memasuki ruang keluarga, eits si satpam berteriak mencoba mencegahku masuk Mba, tolong sepatunya dilepas
Wahaha,,,aku tertawa sendiri, rupa-rupanya di rumah pejabat, sang tamu harus melepas sepatu, padahal si satpam sendiri masuk dengan menggunakan sepatu! Aku turuti saja apa maunya satpam, bukankah aku ini hanya orang biasa? Ruang keluarga itu mungkin berkuruan 4x8 m. Dengan meja lebih mirip meja makan dengan 6 kursi di sudut kiri, dan dua kursi santai disudut kanan, tergeletak catur diatasnya, pasti pa Walkot itu pintar strategi ya, mainannya saja catur. Aku belum dipersilahkan duduk, masih memandangi dinding yang dipenuhi lukisan pahlawan Sunda yang entah siapa, lalu lukisan Bandung tempo dulu, ada juga beberapa artikel yang terkait dengan Walkot. Simpel, sangat simple, tidak ada patung-patung artistik.
2 Mba, ini bu Dami, istrinya pa Walkot (hah? Kenapa bu Walkot? Aku kan kesini mau wawancara pa Walkot) Si satpam pun pergi meninggalkan aku yang tertegun sendiri harus memulai pembicaraan dengan topik apa. Sungguh sangat sederhana ibu yang satu ini. Hanya memakai daster yang kerap dipakai ibuku dirumah. Tapi dari balik kesederhanannya, terlihat memang dia bukan wanita biasa. Wajahnya mulus, putih, dan bermake up. Tak seperti ibuku yang hitam lebam karena terik matahari, juga bibir hitam yang tak pernah dipolesi. Kubayangkan ibuku seperti itu, pasti cantik luar biasa. Ahh wanita ini sungguh beruntung bersuamikan lelaki berpangkat. Silahkan neng, duduk aja, si akang belum pulang, baru nanti mungkin jam 10. Gapapa nunggu lama? Ga papa bu, sudah tugas saya menunggu narasumber Oh iya makan siang dulu atu neng, belum makan kan? Oh gapapa bu, saya tadi udah makan di kantor Ah jangan pura-pura, saya tahu ko kerjanya wartawan kaya apa, butuh banyak energi. Ayo kita makan sama-sama Ah tak kuasa perut ini menolak ajakan makan sang ibu Walkot. Kuturuti saja kemauannya, ku susuri ruang keluarga itu, ternyata masih ada ruang keluarga lain. Maksudnya, ruangan yang tadi aku tempati itu khusus untuk keluarga jauh, yaitu teman teman yang sudah dianggap keluarga, diruang keluarga yang tengah aku sambangi ini, adalah ruang keluarga yang khusus untuk keluarga, dan tidak terlalu luas. Lagi-lagi aku ternganga, melihat bagaimana kami akan makan. Bukan di meja makan seperti para pejabat di tivi-tivi, tapi lesehan dilantai beralaskan tikar. Disitu sudah ada nasi merah dengan tahu dan tampe goreng, ada juga gurame goreng, sambel, kangkung, lalapan dan makanan Sunda lainnya. Sungguh diluar dugaan, ku kira bu Walkot akan memesan 14042 atau sepotong pitza, ini sih lebih mirip di warung ampera.
Dan kamipun makan. Canggung, benar-benar canggung. Kami hanya berdua, sudah seperti anak dan ibu saja. Wajahnya selalu tersenyum saat melihatku, dan aku menimpalinya dengan senyuman tanpa perkataan. Neng dari koran apa? Parahyangan Post bu Oh yang mana ya? Saya ga pernah baca? Hee iya, memang bukan koran terkenal bu Oh udah lulus ato masih kuliah neng? Masih kuliah bu, semester3. Tapi ya gini sambil nyambi kerja Oh hebat atuh neng, ibumah malah ga lulus S1. Keburu kawin sama si akang Ya gapa bu, kan masih bisa belajar dari akangnya eh dari pa Walkot Eh..si eneng, da saya mah cuma bantu-bantu si akang aja, kalo ikut-ikut rapat mah ga ngerti saya teh Hee..iya kan bukan bidang ibu itu mah. Yang penting mendukung suami ya bu Ya mendukung juga atu neng, kudu nyata. Ari kaya saya mah gimana atuh ya, mau mendukung secara politis da ga ngerti. Cuma bisa kasih semangat aja ibu mah Kan dengan ibu membantu mempersiapkan barang-barang kerjaan bisa disebut dukungan juga Ya cuma beda neng. Istri-istri pejabat lain mah, bisa mendukung secara politis. Tau gak neng, kami- kami itu dituntut untuk tampil cantik, pintar, merakyat, nurut sama suami, tapi juga bisa ngurus rumah 100%. Kan susah Aku hanya mendengarkan. Bu walkot, meminum seteguk air putih, dan kembali bercerita Dengan tanggung jawab besar, kami para istri juga tidak bisa berleha-leha neng. Kami harus mengikuti kemajuan jaman, membuat agenda-agenda yang memasyarakat, biar dapat kesan positif. Padahal, mengurusi rumah dan
suamipun kami sudah lelah. Belum lagi anak, kan masih butuh banyak perhatian Ia berhenti makan, menyilangkan kaki dan memandang lukisan pa Walkot yang ada didepannya Kadang-kadang saya cape juga neng, mau curhat serba salah, kan lawan politiknya banyak. Takut-takut istri orang juga ember, jadi gak baik buat suami. Yah kaya ke eneng gini. Sebetulnya, saya gak boleh nih curhat gini sama eneng yang wartawan. Jangan dicatet ya neng Iya bu, dijamin cuma jadi cerita diantara kita kamipun tertawa, bu Walkot meneruskan unek-uneknya Saya suka takut sama wartawan. Ngomong ini, diberitainya itu. Pokonya dibalik-balikin gitu. Kan jadi serba salah, dijauhin salah, terlalu deket juga ga baik. Makanya saya juga ga percaya sama eneng, Cuma ya coba dipercayapercayain deh. Saya itu, suka ikut kesana-kemari nemenin si akang, jadi tau mana yang bener-bener kawan mana yang lawan. Kalo udah tahu gitu teh, saya coba jaga jarak sama istri-istrinya, takut ngorek-ngorek info dari saya Ibu takut rahasia ibu dan bapa terbongkar? Kami gak punya rahasia neng, tapi kami punya sesuatu yang berharga yang harus dilindungi. Makanya harus jaga-jaga omongan, takutnya kita kehilangan semua yang berharga Masih mendengarkan cerita, nampaknya perutku masih ingin djejali nasi merah. Aku tambah satu piring lagi. Sepertinya bu Walkot, tak terlalu mempedulikan cara makanku Kalo ada kegiatan teh neng, kita para istri harus bisa menyesuaikan diri. Kadangan sulit, tapi da harus, daripada image bapa turun, mending hati dipaksa-paksa we biar bisa adaptasi. Belum lagi kegiatan ini itu, ibu-ibunya pada gaul semua neng, susah diikutin Ya memang konsekuensi orang penting bu, harus ngikutin kemauan rakyat Ya kan tapi neng kita juga cuma wanita biasa. Ah ibu mah kalo boleh milih mending jadi ibu-ibu biasa yang ngurus anak-anak di rumah. Belum lagi kalo banyak kegiatan pasti banyak pengeluaran, itu yang ibu gak suka. Bukannya belajar hemat malah abur-aburan
Kalo eneng ada diposisi saya, eneng mau gimana? Sederhana bisa mengurangi image bapa dimata kawan-kawan politik, ngikutik kehidupan juga bikin hati gak tenang, bikin istirahat gak teratur Kalo saya sih, mencoba untuk berada di tengah lingkaran itu, jangan terlalu masuk jangan terlalu jauh juga dari mereka. Biasa biasa aja bu. Jangan terlalu melibatkan diri Semua akan berubah, kalo kita sudah memikul tanggung jawab. Kita para istri memang berperan sebagai hiasan saja, cuma pemanis buat para suami. Harus cantik, biar ga nurunin image suami, kalo prestasi gak jadi soal, bodo juga gak papa, yang penting gaul dan narsis..hehehe Bu Walkot mengulun senyum, Ada beberapa kegiatan juga sih, yang diakui eksistensinya. Tapi gak cukup buat membuktikan, bahwa kami para istri itu ada. Bukan hanya sebagai pemanis tapi juga pejuang. Makanya neng, jangan liput korupsi dan rapat-rapat anggaran aja. Kami juga butuh diliput Oh..hahaha..ya nanti saya coba bu. Eksistensi wanita dalam ritme pemerintahan. Gitu kan bu? Iya tapi yang jelek-jelek jangan di tulis neng! Aku hanya tersenyum kecil, tak bisa memberikan janji. Perut rasanya kenyang sudah, ah aku bersukur sementara diluar hujan lebat disertai angin besar, aku malah terlindung dengan pelayanan bu Walkot yang ekstra large. Ya mudah-mudahan ini bukan jaminan agar aku tak menuliskan sesuatu yang membuatnya terancam. Bu Walkot mengajakku duduk di sofa keluarga. Di ruang yang lebar itu, kami hanya duduk berdua, jam sudah menunjukan pukul 5 sore dan aku belum menulis satu beritapun. Duduk di sofa yang lembut plus makanan penuh di perut membuatku ngantuk. Neng nagantuk? Tidur aja dulu diruang tamu, atau mau nonton tv aja? Tidur itu tidak mungkin, guys aku kesini untuk mencari berita bukan menjadi tamu penting sehari dirumah Walikota Nonton tv aja bu
Tv dinyalakan, kamipun nonton bersama. Bukan drama korea kesukaanku yang diputar, tapi tv-tv lokal yang menyiarkan berita suaminya yang diputar. Tuh neng si akang mah, udah cape te ditanya-tanya we terus Ya bu, mau gimana lagi, kan kami juga butuh pernyataan bapa untuk meyakinkan masyarakat kalau bapa kerjanya bener timpalku sambil merenges, takut-takut salah kata Iya juga ya neng. Oh iya neng, saya punya gelang dari ibu-ibu PKK di Kampung Alit. Bagus pisan teh, asli ini mah, kalo beli di toko mah gak ada, da mahal pisan, di export cenah mah ke luar negri Oh ga usah bu, ngerepotin aja Ga papa neng, saya punya banyak ko. Kan sayang kalo cuma jadi pajangan aja, yah-yah mau? bentar ya ibu ambil dulu dikamar Belum sempat aku menolak, bu Walkot sudah pergi begitu saja. Nampaknya ia memang ingin memberikan cendera mata untukku. Nih neng, ada empat sok pilih aja yang neng suka Ada dua gelang dan 2 pasang anting, terbuat dari permata asli. Ada yang berwarna hitam ada perak juga putih mengkilat. Jujur untuk wanita tomboi sepertiku, semua barang itu tak menarik. Tapi mendengar harganya, aku hanya bisa menelan ludah dan tak mau membuang kesempatan. Bu Walkot bahkan mencoba memakaikannya di telinga dan lenganku Neng, yang warna perak bagus buat eneng, keliatan elegan gitu. Kan eneng pinter jadi harus keliatan mewah biar tambah pinter dan cantik Ah ibu bisa aja, saya lebih suka yang putih bu. Sederhana tapi mewah (padahal aku memilih yang putih, agar mudah dijual ke toko perhiasan, masalah warna kan bisa di tambal) Oh ya udah atu neng, sok ambil aja yang eneng mau. Oh iya, ibu juga punya gaun bagus. Mau neng? Tawaran yang menggiurkan, tapi ini sudah keterlaluan, bukan tapi ini menakutkan. Bu Walkot masih saja merengek, memintaku memakai gaungaunnya. Kuturuti saja apa maunya!
Tuh kan neng, si eneng meni cantik, jangan pake jeans wae atu neng, tah pake gaun Dan aku hanya tersenyum. Tet-tet-tet-tet, tiba tiba hp-ku berdering, panggilan dari redaktur, ku angkat telepon Hei Gus, dimana kamu? Belum ketemu pa Walkot kan? Udah tinggal aja dulu, ke kantor dulu ya, ada investor dari Amerika, pengen liat karyawan kita katanya, buruan kesini, nanti balik lagi ke rumah pa Walkot siap Ah akhirnya aku punya senjata untuk melarikan diri dari semua kemewahan yang diberikan bu Walkot. Bu saya ada berita mendadak, saya harus pergi dulu, mungkin nanti saya kembali lagi Loh kok mendadak gitu sih neng? Ya gitulah kerjaan wartawan bu, ada berita mendadak ya harus siap Tapi neng, belum makan brownies buatan ibu Itu bisa nanti malam bu, saya akan kembali kesini ko Dan aku pun mengundurkan diri