PENERAPAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN. Drs. Razali, SH, MM. M.Pd. 1

dokumen-dokumen yang mirip
MANAJEMEN MUTU BERBASIS SEKOLAH

BUPATI SIDOARJO PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 43 TAHUN 2012 TENTANG

Unang Supriyatna, S.Pd. SD. NIP ABSTRAK

HAKIKAT MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) 1 (School Based Management/SBM)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan

BAB I PENDAHULUAN. baik dalam penguasaan materi maupun metode pembelajaran selalu

Manajemen Mutu Pendidikan

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat

BAB I PENDAHULUAN. Tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut merupakan akibat dari sistem

MATERI KULIAH MANAGEMEN BERBASIS SEKOLAH. By: Estuhono, S.Pd, M.Pd

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Efektivitas proses..., Hani Khotijah Susilowati, FISIP UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. harkat dan martabat manusia dapat ditingkatkan. Melalui pendidikan manusia

SIGNIFIKANSI PERAN MASYARAKAT DALAM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)

PENINGKATAN EFEKTIVITAS SEKOLAH

Inisiasi 1 Manajemen Berbasis Sekolah

Prof. Dr. H. D. Budimansyah, M.Si.

BAB I PENDAHULUAN. reformasi diindikasikan dengan adanya perombakan di segala bidang kehidupan,

SEJARAH MBS DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kependidikan sebagai unsur yang mempunyai posisi sentral dan strategis

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH. Cicih Sutarsih, M.Pd

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia adalah kualitas pendidikan.

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

BAB I PENDAHULUAN. mengamanatkan bahwa pemerintah daerah, yang mengatur dan mengurus

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ANALISIS DAMPAK AKREDITASI SEKOLAH DALAM PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN (Studi Kasus Di SD Negeri Donohudan 3 Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. investasi. Dengan demikian nilai modal ( human capital ) suatu bangsa tidak hanya

PERUMUSAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH Oleh : Suyanto SMK 2 Wonosobo. Faktor keberhasilan pendidikan di SMK yang dapat dilihat secara umum

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan manusia yang bersifat universal. Di

BAB II TELAAH PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, serta efisiensi manajemen pendidikan dalam menghadapi tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan

Manajemen Berbasis Sekolah

MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU GURU MATEMATIKA

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya manusia tidak terlepas dari kegiatan-kegiatan atau proses

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Republik

Bab I Pendahuluan. A. Latar Belakang

PENINGKATAN MUTU MADRASAH (Analisis Keefektifan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Madrasah) Buna i

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bahwa pendidikan juga merupakan cara yang efektif sebagai proses nation and

UNJUK KERJA KOMITE SEKOLAH DI SMA NEGERI 3 SEMARANG TESIS

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dengan pesat. Salah satu bentuk perkembangan ilmu pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan merupakan kehidupan yang penuh dengan tantangan

BAB V PENYAJIAN DAN PEMBAHASAN. secara berurutan sebagaimana telah disajikan dalam

APA ITU DAERAH OTONOM?

BAB I PENDAHULUAN. zaman yang semakin berkembang. Berhasilnya pendidikan tergantung pada

BAB II KERANGKA TEORITIS

Kata Kunci : Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. siswa. Berdasarkan program pendidikan tersebut siswa melakukan berbagai kegiatan belajar,

BAB I PENDAHULUAN. manfaat penelitian secara teoritik dan praktis, serta penegasan istilah.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

STRATEGI PENCAPAIAN STANDAR PENGELOLAAN SMP

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Di era persaingan global, Indonesia memerlukan sumber daya manusia

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) DAN RELEVANSINYA DI ERA PENDIDIKAN MASA KINI. DR. H. Ma mur Sutisna WD, M.M.Pd Dosen FKIP Universitas Subang ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi merupakan era kemajuan ilmu pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Dasar (SD) Negeri Wirosari memiliki visi menjadikan SD

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di sekolah sehingga apa yang menjadi kelebihan sekolah dapat lebih

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN. dan globalisasi yang semakin terbuka. Sejalan tantangan kehidupan global,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia saat ini tidak terlepas dari masalah dalam upaya

MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU SEKOLAH. Dalam Konteks MBS

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Dampak diberlakukannya Undang Undang tentang otonomi daerah

ISU-ISU PENDIDIKAN DIY Oleh Dr. Rochmat Wahab, MA

BAB I PENDAHULUAN. inovasi yang berdampak pada meningkatnya kinerja sekolah. seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH. OLEH: ASEP SURYANA,M.Pd.

BAB I PENDAHULUAN. bangsa dan bertujuan untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang positif bagi

yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, propinsi, kabupaten dan kota.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan sangat ditentukan oleh perkembangan dunia

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah dan Penegasan Judul. berlangsung sepanjang sejarah dan berkembang sejalan dengan perkembangan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH PADA ERA GLOBALISASI. Paningkat Siburian. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. akan terwujud dengan baik apabila didukung secara optimal oleh pola. upaya peningkatan pola manajerial sekolah.

BAB I PENDAHULUAN. Secara konseptual desentralisasi pendidikan adalah suatu proses dimana suatu

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, yang secara umum bertumpu pada dua paradigma baru yaitu

BAB II TELAAH PUSTAKA

IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH PADA PENDIDIKAN MENENGAH

BAB I PENDAHULUAN. pada mutu output pengajarannya. Bila seluruh guru menunjukkan. pemimpin pengajaran yang bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang berkualitas dan bermutu. Oleh karena, itu bagi sebuah bangsa

Strategi Pengembangan Sekolah Efektif untuk Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi

Pelita V diusahakan untuk berubah ke laju peningkatan pemerataan rendah tapi

BAB I PENDAHULUAN. hampir semua aspek kehidupan manusia. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB V PENGEMBANGAN MODEL STRATEGI PENGELOLAAN MADRASAH ALIYAH NEGERI DI KOTA JAMBI

PENDIDIKAN MANAJEMEN OUT PUT MENINGKATKAN MUTU SEKOLAH. Oleh, Fauziah Zainuddin,S.Ag.,M.Ag.

KTSP (KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN) DALAM PRESPEKTIF TEKNOLOGI PENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

T E S I S. Oleh : SUTADI NIM : Q Program Studi : Magister Manajemen Pendidikan Konsentrasi : Sistem Pendidikan

Transkripsi:

PENERAPAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN Drs. Razali, SH, MM. M.Pd. 1 Abstrak Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan manajemen berbasis sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan. Metode penulisan menggunakan metode library research. Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dengan maksud agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan. MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dengan maksud agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan. 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka sebagai bangsa kita perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa ini kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut. Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan ( sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri. 1 Dosen Universitas Samudera Langsa, Langsa 1

Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa komleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat. Diundangkannya UU No. 22 tentang Pemerintahan Daerah pada hakikatnya memberi kewenangan dan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan diberikan kepada daerah kabupaten dan kota berdasarkan asas desentralisasi dalam wujud otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab. Otonomi luas adalah kewenangan dan keleluasan pemerintah dalam menyelenggarakan seluruh bidang kehidupan kecuali politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fisikal, agama serta bidang yang diterapkan oleh peraturan pemerintah (pasal 7). Otonomi luas secara menyeluruh penyelenggaraan pemerintahan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Kewenangan daerah kabupaten dan kota, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 11, mencakup semua bidang pemerintahan, yakni pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi serta tenaga kerja. Dengan demikian, jelaslah bahwa kebijakan pendidikan berada dibawah kewenangan daerah kabupaten dan kota. Ketentuan otonomi daerah yang dilandasi oleh undang-undang nomor 22 dan nomor 25 tahun 1999, telah membawa perubahan dalam berbagai didang kehidupan termasuk penyelenggaraan pendidikan. Bila sebelumnya manajemen pendidikan merupakan wewenang pusat, dengan berlakunya undang-undang tersebut, kewenangan tersebut dialihkan kepemerintah kota dan kabupaten. Akibat desentralisasi pendidikan menyebabkan terjadinya reformasi manajemen persekolahan. Perubahan manajemen sekolah yang signifikan dan mendasar adalah diterapkannya manajemen berbasis sekolah atau School-Based Manajement. Pendekatan MBS merupakan salah satu sistem yang dikembangkan dalam rangka pemberia kewenangan luas kepada sekolah. Pendekatan ini berpijak pada anggapan dasar bahwa dengan memberikan kewenangan dan kemandirian kepala sekolah akan menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam pengelolaan sekolah. Penerapan MBS akan meningkatkan partisipasi warga sekolah (guru, siswa, staf, dan masyarakat) dalam proses persekolahan sehingga pada gilirannya meningkatkan akuntabilitas sekolah kepada warganya. 2

1.2. Tujuan Penulisan Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan manajemen berbasis sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan 2. Uraian Teoritis 2.1. Pengertian dan tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dengan maksud agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan. MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dengan maksud agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan. Pada sistem MBS sekolah dituntut secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggung-jawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah. MBS juga merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi siswa. Hal ini juga berpotensi untuk meningkatkan kinerja staf, menawarkan partidipasi langsung kepada kelompok-kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman kepada masyarakat terhadap pendidikan. Pengertian MBS Suatu konsep yang menempatkan kekuasaan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pendidikan diletakkan pada tempat yang paling dekat dengan proses belajar mengajar Tujuan MBS Tujuan utama penerapan MBS pada intinya adalah untuk penyeimbangan struktur kewenangan antara sekolah, pemerintah daerah pelaksanaan proses dan pusat sehingga manajemen menjadi lebih efisien. Kewenangan terhadap pembelajaran di serahkan kepada unit yang paling dekat dengan pelaksanaan proses pembelajaran itu sendiri yaitu sekolah. Disamping itu untuk memberdayakan sekolah agar sekolah dapat melayani masyarakat secara maksimal sesuai dengan keinginan masyarakat tersebut. Tujuan penerapan MBS adalah untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya MBS bertujuan untuk: 1. meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia; 2. meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; 3. meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orangtua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan 3

4. meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai. Prinsip dan Implementasi MBS Prinsip utama pelaksanaan MBS ada 5 (lima) hal yaitu: 1. Fokus pada mutu 2. Bottom-up planning and decision making 3. Manajemen yang transparan 4. Pemberdayaan masyarakat 5. Peningkatan mutu secara berkelanjutan 2.2. Prinsip MBS Dalam mengimplementasikan MBS terdapat 4 (empat) prinsip yang harus difahami yaitu: kekuasaan; pengetahuan; sistem informasi; dan sistem penghargaan. 1. Kekuasaan Kepala sekolah memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk mengambil keputusan berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sekolah dibandingkan dengan sistem pendidikan sebelumnya. Kekuasaan ini dimaksudkan untuk memungkinkan sekolah berjalan dengan efektif dan efisien. Kekuasaan yang dimiliki kepala sekolah akan efektif apabila mendapat dukungan partisipasi dari berbagai pihak, terutama guru dan orangtua siswa. Seberapa besar kekuasaan sekolah tergantung seberapa jauh MBS dapat diimplementasikan. Pemberian kekuasaan secara utuh sebagaimana dalam teori MBS tidak mungkin dilaksanakan dalam seketika, melainkan ada proses transisi dari manajemen yang dikontrol pusat ke MBS. Kekuasaan yang lebih besar yang dimiliki oleh kepala sekolah dalam pengambilan keputusan perlu dilaksanakan dengan demokratis antara lain dengan: melibatkan semua fihak, khususnya guru dan orangtua siswa. membentuk tim-tim kecil di level sekolah yang diberi kewenangan untuk mengambil keputusan yang relevan dengan tugasnya menjalin kerjasama dengan organisasi di luar sekolah. 2. Pengetahuan Kepala sekolah dan seluruh warga sekolah harus menjadi seseorang yang berusaha secara terus menerus menambah pengetahuan dan ketrampilan dalam rangka meningkatkan mutu sekolah. Untuk itu, sekolah harus memiliki sistem pengembangan sumber daya manusia (SDM) lewat berbagai pelatihan atau workshop guna membekali guru dengan berbagai kemampuan yang berkaitan dengan proses belajar mengajar. Pengetahuan yang penting harus dimiliki oleh seluruh staf adalah: pengetahuan untuk meningkatkan kinerja sekolah, 4

memahami dan dapat melaksanakan berbagai aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan quality assurance, quality control, self assessment, school review, bencmarking, SWOT, dan lain-lain). 3. Sistem Informasi Sekolah yang melakukan MBS perlu memiliki informasi yang jelas berkaitan dengan program sekolah. Informasi ini diperlukan agar semua warga sekolah serta masyarakat sekitar bisa dengan mudah memperoleh gambaran kondisi sekolah. Dengan informasi tersebut warga sekolah dapat mengambil peran dan partisipasi. Disamping itu ketersediaan informasi sekolah akan memudahkan pelaksanaan monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas sekolah. Infornasi yang amat penting untuk dimiliki sekolah antara lain yang berkaitan dengan: kemampuan guru dan Prestasi siswa 4. Sistem Penghargaan Sekolah yang melaksanakan MBS perlu menyusun sistem penghargaan untuk memberikan penghargaan kepada warga sekolah yang berprestasi. Sistem penghargaan ini diperlukan untuk mendorong karier warga sekolah, yaitu guru, karyawan dan siswa. Dengan sistem ini diharapkan akan muncul motivasi dan ethos kerja dari kalangan sekolah. Sistem penghargaan yang dikembangkan harus bersifat adil dan merata. Kewenangan yang Didesentralisasikan : 1. Perencanaan dan Evaluasi Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sekolah sesuai dengan kebutuhannya (school-based plan). Oleh karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan mutu dan berdasarkan hasil analisis kebutuhan mutu inilah kemudian sekolah membuat rencana peningkatan mutu. Sekolah diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan secara internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk memantau proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil programprogram yang telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya. 2. Pengelolaan Kurikulum Kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum standar yang berlaku secara nasional. Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Oleh karena itu, dalam impelentasinya sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya, dan memodifikasi), namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional. Selain itu, sekolah diberi kebebasan untuk mengembanhgkan kurikulum muatan lokal. 3. Pengelolaan Proses Belajar Mengajar Proses belajar mengajar merupakan kegiatan utama sekolah. Sekolah diberi kebebasan memilih strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran dan penagjaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik 5

siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah. Secara umum, strategi/metode/teknik pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered) lebih mampu memberdayakan pembelajaran siswa. 4. Pengelolaan Ketenagaan Pengelolaan ketenagaaan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, rekrutmen, pengembangan, hadiah dan sanksi (reward and punishment), hubungan kerja, sampai evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran, dan sebagainya) dapat dilakukan oleh sekolah, kecuali yang menyangkut pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen guru pegawai negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh Pemerintah Pusat/Daerah. 5. Pengelolaan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan) Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai pengembangan. Hal ini didasarkan oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya. 6. Pengelolaan Keuangan Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling memahami kebutuhannya sehingga desentraslisasi pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan (income generating activities) sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah. 7. Pelayanan Siswa Pelayanan siswa, mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan/pembinaan/ pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga sampai pada pengurusan alumni, sebenarnya dari dahulu sudah didesentralisasikan. Karena itu, yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya. 8. Hubungan Sekolah-Masyarakat Esensi hubungan sekolah-masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan finansial. Dalam arti yang sebenarnya, hubungan sekolah-masyarakat dari dahulu sudah didesentraslisasikan. Oleh karena itu, sekali lagi yang dibutuhkan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan sekolah-masyarakat. 9. Pengelolaan Iklim Sekolah Iklim sekolah (fisik dan non fisik) yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan/espektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered 6

activities) adalah contoh-contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklmi sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah sehingga yang diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstensif. 2.3. Pengertian Mutu Pendidikan Secara umum, mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan. Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud berupa sumberdaya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsunnya proses. Input sumber daya meliputi sumberdaya manusia (kepala sekolah, guru termasuk guru BP, karyawan, siswa) dan sumberdaya selebihnya (peralatan, perlengkapan, uang, bahan, dan sebagainya. Input perangkat lunak meliputi struktur organisasi sekolah, peraturan perundangundangan, deskripsi tugas, rencana, program, dan sebagainya. Input harapan-harapan berupa visi, misi, tujuan, dan sasaran- sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah. Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik. Oleh karena itu, tinggi rendahnya mutu input dapat diukur dari tingkat kesiapan input. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Proses Pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input sedangkan sesuatu dari hasil proses disebut output. Dalam pendidikan bersekala mikro (ditingkat sekolah), proses yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, proses yang dimaksud adalah proses pengembilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi, dengan catatan bahwa proses belajar memiliki tingkat kepentingan tertinggi dibanding dengan proses- proses lainnya. Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan penyerasian serta pemaduan input sekolah (guru, siswa, kurikulum, uang, peralatan dan sebagainya) dilakukan secara harmonis, sehingganya mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Kata memberdaykan mengandung arti bahwa peserta didik tidak sekadar menguasai pengetahuan yang diajarkan oleh gurunya, akan tetapi pengetahuan tersebut juga telah menjadi muatan nurani peserta didik, dihayati, diamalkan dalam kehidupan sehari-hari 7

dan lebih penting lagi peserta didik tersebut mampu belajar secara terus menerus (mampu mengembangkan dirinya). 3. Pembahasan Komponen yang didesentralisasikan Menurut Wohlstetter dan Mohrman terdapat empat sumber daya yang harus didesentralisasikan yang pada hakikatnya merupakan inti dan isi dari MBS yaitu power/authority, knowledge, information dan reward. Keempatnya merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan yang terdiri dari : 1. Kekuasaan/kewenangan (power/authority) harus didesentralisasikan ke sekolah-sekolah secara langsung yaitu melalui dewan sekolah. Sedikitnya terhadap tiga bidang penting yaitu budget, personnel dan curriculum. Termasuk dalam kewenangan ini adalah menyangkut pengangkatan dan pemperhentian kepala sekolah, guru dan staff sekolah. 2. Pengetahuan (knowledge) juga harus didesentralisasikan sehingga sumberdaya manusia di sekolah mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi kinerja sekolah. Pengetahuan yang perlu didesentralisasikan meliputi: keterampilan yang terkait dengan pekerjaan secara langsung (job skills), keterampilan kelompok (teamwork skills) dan pengetahuan keorganisasian (organizational knowledge). Keterampilan kelompok diantaranya adalah pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan keterampilan berkomunikasi. Termasuk dalam pengetahuan keorganisasian adalah pemahaman lingkungan dan strategi merespon perubahan. 3. Hakikat lain yang harus didensentralisasikan adalah informasi (information). Pada model sentralistik informasi hanya dimiliki para pimpinan puncak, maka pada model MBS harus didistribusikan ke seluruh constituent sekolah bahkan ke seluruh stakeholder. Apa yang perlu disebarluaskan? Antara lain berupa visi, misi, strategi, sasaran dan tujuan sekolah, keuangan dan struktur biaya, isu-isu sekitar sekolah, kinerja sekolah dan para pelanggannya. Penyebaran informasi bisa secara vertikal dan horizontal baik dengan cara tatap muka maupun tulisan. 4. Pengaharhaan (reward) adalah hal penting lainnya yang harus didesentralisasikan. Penghargaan bisa berupa fisik maupun non-fisik yang semuanya didasarkan atas prestasi kerja. Penghargaan fisik bisa berupa pemberian hadiah seperti uang. Penghargaan non-fisik berupa kenaikan pangkat, melanjutkan pendidikan, mengikuti seminar atau konferensi dan penataran. Sementara itu menurut Depdiknas fungsi-fungsi yang dapat didesentralisaskan ke sekolah t telah berusaha menerapkan fungsi-fungsi tersebut adalah : 8

1. Perencanaan dan evaluasi program sekolah. Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya, pada fungsi ini telah disusun rencana strategis (renstra) yang memuat rencana pengembangan sekolah dalam jangka waktu lima tahun kedepan dan renop (rencana operasional) yeng merupakan rencana tahunan. Dan setiap akhir bulan atau semester termasuk akhir tahun diadakan evaluasi pelaksanaan program. 2. Pengelolaan kurikulum. Sekolah dapat mengembangkan, namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional yang dikembangkan oleh Pemerintah Pusat. Pada fungsi ini telah dikembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar melalui penjabaran kedalam indikator-indikator setiap mata pelajaran dan juga pengembangan kurikulum muatan lokal. 3. Pengelolaan proses belajar mengajar. Sekolah diberi kebebasan untuk memilih strategi, metode dan teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah. Pada fungsi ini, guru telah diberi kebebasan memilih metodemetode yang tepat dalam proses pembelajaran yang intinya adalah peruses pembelajaran konstruktif. 4. Pengelolaan ketenagaan. Pengelolaan ketenagaan mulai dari analisis kebutuhan perencanaan, rekrutmen, pengembangan, penghargaan dan sangsi, hubungan kerja hingga evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah dapat dilakukan oleh sekolah kecuali guru pegawai negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi di atasnya. Fungsi ini telah dilaksanakan dalam bentuk pengadaan guru tidak tetap dan pegawai tidak tetap berdasar kepada kompetensi dasar bagi guru dan pegawai administrasi, pelatihan yang erus menerus. 5. Pengelolaan peralatan dan perlengkapan. Pengelolaan fasilitas seharusnya dilakukan oleh sekolah mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan hingga pengembangannya. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas baik kecukupan, kesesuaian dan kemutakhirannya terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar. Fungsi ini telah dilaksanakan dalam bentuk pengadaan barang yang didahului oleh analisis skala prioritas, perbaikan/penggantian sarana dan prasarana belajar termasuk pengembangannya dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan. 6. Pengelolaan keuangan. Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan, sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah. Fungsi ini ditandai dengan penggunaan 9

keuangan yang ada di sekolah melalui pendistribusian pada RAPBS yang disusun oleh Kepala Sekolah bersama Komite Sekolah serta guru senior. 7. Pelayanan siswa. Fungsi ini telah dilaksanakan dalam bentuk pelayanan siswa mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan, pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga pengurusan alumni dan dari tahun ketahun diadakan peningkatan intensitas dan ekstensitasnya. 8. Hubungan sekolah dan masyarakat. Fungsi ini telah dilaksanakan melalui hubungan sekolah dan msyarakat untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan dan dukungan dari masyarakat, terutama dukungan moral dan finansial yang dari dulu telah didesentralisasikan dan dari tahun ketahun intensitas dan ekstensitasnya terus ditingkatkan. 9. Pengelolaan iklim sekolah. Fungsi ini telah dilaksanakan dalam bentuk menciptakan Iklim sekolah yang kondusif-akademik yang merupakan merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa. Dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah di daerah bukan berarti tidak mendapat hambatan atau tantangan. Adapun tantangan atau hambatan itu antara lain : 1. Peran Dinas Pendidikan masih terlihat kurang mendukung penerapan MBS. Seringkali petugas Dinas Pendidikan tidak sebagai pendukung dari belakang atas pelaksanaan MBS ini tetapi masih sering ingin tampil di depan. Peran yang demikian justru menghambat penerapan MBS dalam rangka terjadinya efektivitas sekolah dan peningkatan mutu pendidikan secara umum. 2. Peran orang tua siswa masih kurang, sehingga harus lebih didorong agar berperan aktif bukan hanya dalam pendanaan sekolah tetapi juga dalam proses pembelajaran. Artinya partisipasi orang tua harus diarahkan untuk memikirkan kemajuan sekolah secara umum dan terutama dalam peningkatan mutu sekolah. Orang tua harus lebih berperan aktif dalam mengembangkan program sekolah serta lebih aktif dalam membimbing belajar anaknya di rumah. 3. Kekuasaan dan kewenangan sekolah masih kurang, sehingga perlu ditingkatkan. Hakikat MBS adalah dimilikinya kekuasaan, kewenangan dan otonomi di tingkat sekolah itu sendiri. Tanpa itu maka sekolah tidak akan dapat menjalankan program-programnya secara lancar dan bertanggung jawab. Secara umum dari rekomendasi di atas tampak sekali bahwa pada masa transisi ini peran birokrat pendidikan masih menonjol, sementar itu sekolah belum sepenuhnya diberdayakan. Kondisi inilah yang sedikit demi sedikit harus dikikis dan sekolah 10

diberikan kekuasaan, kewenangan, dan otonomi yang sebesar-besarnya sehingga bisa mengatur rumah tangganya sendiri dengan leluasa. 4. Sumber daya manusia baik guru maupun pegawai tata usaha masih perlu ditingkatkan agar supaya kinerjanya maksimal. 4. Penutup Bahwa MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dengan maksud agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan. MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dengan maksud agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan. Sumber : Drs. Razali, SH, MM. M.Pd. 2 Daftar Pustaka Depdikbud. 1993. Himpunan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Jakarta: Sekjen Biro Keuangan. Dikmenum, 1999, Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah: Suatu Konsepsi Otonomi Sekolah (paper kerja), Depdikbud, Jakarta. Mulyasa, E. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung.Rosda. Semiawan, Conny R., dan Soedijarto, 1991, Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI, PT. Grasindo, Jakarta. Suseno, Muchlas, 1998, Percepatan Pembelajaran Menjelang Abad 21 (makalah hasil analisis dari Accelerated Learning for 21 st Century oleh Colin Rose and Malcolm J. Nicholl), Pasca Sarjana IKIP Jakarta, Jakarta. Tim Teknis Bappenas, 1999, School-Based Management di Tingkat Pendidikan Dasar, Naskah kerjasama Bappenas dan Bank Dunia, Jakarta. Victorian's Departement of Education, 1997, Developing School Charter: Quality Assurance in Victorian Schools, Education Victoria, Melbourne, Australia. 2 Dosen Universitas Samudera Langsa, Langsa 11