2015 ANALISIS STRATEGI BIAYA PENGALOKASIAN BELANJA LANGSUNG PADA APBD PEMERINTAH DAERAH

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. keuangan tahunan pemerintah daerah yang memuat program program yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memasuki era otonomi daerah lebih mendasar daripada berbagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan perubahan peraturan perundangan yang mendasari pengelolaan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi. menjadi suatu fenomena yang umumnya sering terjadi.

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah tentang Otonomi Daerah, yang dimulai dilaksanakan secara efektif

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Setelah beberapa dekade pola sentralisasi dianut oleh Bangsa Indonesia.

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

KINERJA APBD DAN CELAH PENYIMPANGANNYA

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan hasil kesimpulan dapat disimpulkan bahwa : 2. Pengeluaran (belanja) Kabupaten Manggarai tahun anggaran 2010-

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada era otonomi sekarang ini terjadi pergeseran wewenang dan tanggung

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu

BAB I PENDAHULUAN. tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. provinsi terbagi atas daerah-daerah dengan kabupaten/kota yang masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas ekonomi dan tugas

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH (Realisasi dan Proyeksi)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok,

BAB I PENDAHULUAN. melakukan perubahan secara holistik terhadap pelaksaaan pemerintahan orde baru.

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia dilandasi oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. pencapaian tujuan-tujuan. Kinerja terbagi dua jenis yaitu kinerja tugas merupakan

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pengertian anggaran menurut Mardiasmo (2004:62) menyatakan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Transformasi sistem pemerintahan dari sentralisasi ke dalam desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

5.1. KINERJA KEUANGAN MASA LALU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Organisasi pemerintah daerah merupakan lembaga yang menjalankan roda

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

ANALISIS RASIO KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PURWOREJO PERIODE

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Tinjauan Teori

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Akuntansi Sektor Publik Pengertian Akuntansi Sektor Publik Bastian (2006:15) Mardiasmo (2009:2) Abdul Halim (2012:3)

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BEBERAPA CATATAN ATAS APBD PROVINSI RIAU TAHUN 2012 FORUM INDONESIA UNTUK TRANSPARANSI ANGGARAN (FITRA RIAU) APBD 2012 Bagi-Bagi Untuk Siapa?

BAB I PENDAHULUAN. adanya akuntabilitas dari para pemangku kekuasaan. Para pemangku. penunjang demi terwujudnya pembangunan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan yang sangat berarti. Melalui Undang-Undang No. 22 Tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal

Arah Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Daerah

ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAERAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN ANGGARAN

1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pemerintahan merupakan organisasi sektor publik proses

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), Sisa

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. daerah, maka semakin besar pula diskreasi daerah untuk menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. sangat mendasar terhadap hubungan Pemerintah Daerah (eksekutif) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah pusat tersebut menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus. dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan baru dari pemerintah Republik Indonesia yang mereformasi

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun anggaran 2001, pemerintah telah menerapkan UU No. 25 Tahun 1999 yang kemudian di revisi menjadi UU nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-undang tersebut, membawa Indonesia memasuki era baru dalam desentralisasi di bidang fiskal (fiscal decentralization atau fiscal federalism). Dampaknya terjadi perubahan struktural, di mana pada era sebelumnya pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara sentralisasi kemudian berubah menjadi desentralisasi. Tujuan umum dari perubahan tersebut adalah untuk membentuk dan membangun sistem publik yang dapat menyediakan barang dan jasa publik lokal yang semakin efektif dan efisien, dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi. Hal ini akan berwujud dalam bentuk pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat kepada daerah (Iskandar, 2012) Kebijakan tersebut berdampak pada bertambahnya jumlah pekerjaan yang dimiliki pemerintah daerah, salah satunya penganggaran. Penganggaran ini bersifat desentralisasi, artinya pemerintah daerah dituntut untuk mampu memiliki kemampuan manajerial untuk memaksimalkan segala sumber daya untuk mengumpulkan sebanyak mungkin pendapatan dan mengalokasikannya ke dalam belanja pemerintahan yang proporsional. FITRA Riau (2012) menyatakan kebijakan pendapatan daerah perlu memiliki strategi belanja daerah yang tidak boros terutama pada belanja aparatur dan tidak pelit terutama pada belanja sektor strategis pengungkit pertumbuhan ekonomi dan indikator kesejahteraan masyarakat. Kebijakan pendapatan tersebut dimaksudkan agar pengelolaan anggaran daerah mampu memberikan efek positif terhadap meningkatnya pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan dan daya saing daerah. Berbeda pada kenyataannya, merujuk pada laporan pelaksanaan spending performances yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan tahun 2014, kebijakan anggaran pemerintahan Indonesia kini menggunakan defisit anggaran, dimana

2 pendapatan di tetapkan lebih rendah sementara belanja di anggarkan lebih tinggi pada batasan maksimal. Meskipun kebijakan anggaran ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain kebijakan tersebut menyebabkan terjadinya budgetary slack. Budgetary slack adalah kondisi dimana terjadi adanya kesenjangan antara jumlah anggaran yang sebenarnya dibutuhkan dengan jumlah anggaran yang diajukan (Anggraeni,2008 dalam Sugiartha, 2014). Sementara Halim dan Abdullah (2008) menyatakan penyebab terjadinya budgetary slack secara konkrit, yaitu akibat adanya perilaku oportunistik dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dengan mengajukan kegiatan yang memberikan keuntungan secara pribadi, menganggarkan jumlah belanja yang terlalu besar, mengalokasikan belanja untuk kegiatan yang tidak terlalu penting dan memperbesar anggaran kegiatan yang sulit diukur hasilnya. Dapat disimpulkan bahwa budgetary slack adalah usaha masing-masing pejabat dalam penganggaran daerah yang berusaha untuk lebih mudah mencapai target, dilihat dari pendapatan dianggarkan lebih rendah dan belanja dianggarkan lebih tinggi. Budgetary slack akan terlihat setelah dilakukan realisasi, sisi pendapatan akan menunjukkan realisasi yang lebih tinggi atau melebihi 100% untuk menunjukkan bahwa pemerintah mampu memaksimalkan sumber daya pendapatan, sementara pada sisi belanja akan menunjukkan nilai yang lebih rendah dibawah 100%, hal ini ingin menunjukkan bahwa pemerintah mampu melakukan efisiensi dalam hal belanja. Secara lebih rinci perhatikan tabel 1.1 tentang capaian APBD Pemerintah daerah se-bandung Raya tahun 2012-2013. Tabel 1.1 Pemda/Indikator Capaian Pendapatan Capaian Belanja 2012 2013 2012 2013 Kota Bandung 108% 118% 96% 88% Kab. Bandung Barat 129% 128% 113% 117% Kota Cimahi 103% 105% 92% 90% Kab. Bandung 119% 125% 105% 113%% Capaian APBD Pemerintah Daerah se-bandung Raya TA 2012-2013

3 Sumber : LRA, data diolah. Warsito dkk (2011, hlm. 187) melakukan klasifikasi pengeluaran pemerintah atau belanja berdasar pada kelompok belanja terdiri dari belanja langsung dan tidak langsung. Belanja langsung didefinisikan sebagai belanja yang dianggarkan secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja langsung terdiri dari 3 kelompok besar belanja diantaranya; (1) Belanja Pegawai; (2) Belanja Barang dan Jasa; (3) Belanja Modal. Ketiga belanja tersebut dialokasikan untuk belanja pelayanan publik. Sementara belanja tidak langsung didefinisikan sebagai belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Artinya belanja tidak langsung digunakan untuk keperluan operasional dari pemerintahan daerah. Adapun kelompok belanja tidak langsung terdiri dari; (1) belanja pegawai; (2) bunga; (3) subsidi; (4) hibah; (5) bantuan sosial; (6) belanja bagi hasil; (7) bantuan keuangan; dan (8) belanja tidak terduga. Dengan adanya dua jenis belanja yang memiliki alokasi berbeda ini, sudah seharusnya pemerintah daerah mampu menyeimbangkan atau membuat belanja tersebut memiliki proporsi yang adil dengan mengutamakan kepentingan masyarakat yang bertujuan jangka pendek dan panjang. Bahkan Menteri Dalam Negeri dalam Peraturan mengenai Pedoman Penyusunan APBD menegaskan bahwa agar lebih mengutamakan keberpihakan untuk kepentingan publik (belanja langsung) daripada kepentingan aparatur (belanja tidak langsung). Berdasar pada publikasi statistik keuangan daerah provinsi yang dikeluarkan oleh BPS Jawa Barat, Pada pos belanja daerah pemerintah provinsi jawa barat baik belanja langsung maupun belanja tidak langsung sejalan dengan peningkatan pendapatann mengalami perkembangan, pada tahun 2011 sebesar Rp10295, 56 M menjadi Rp16.922,48 M atau meningkat 64,37% pada tahun 2012. Berlanjut tahun 2013 belanja daerah kembali meningkat menjadi

4 Rp18.396,75 milyar atau tumbuh sebesar 8,71%. Tahun 2014 peningkatan berlanjut menjadi Rp20.797,99 M atau tumbuh sebesar 13,05%. Dalam APBD 2015 dianggarkan sebesar 19,02% dibandingkan realisasi belanja tahun 2014. Pada belanja daerah terdapat pos belanja pegawai (belanja langsung dan tidak langsung) pemprov jabar, dimana besaran nominal rupiah untuk belanja pegawai mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dari Rp1.759,97 M pada tahun 2011 menjadi Rp 1.916 M pada tahun 2012 atau meningkat 8,86% dan pada tahun 2013 menjadi Rp1.962,54 M atau 2,43%. Berlanjut tahun 2014 menjadi Rp 1.874,13 M (-4,5%) dan pada APBD 2015 dianggarkan Rp 1.987,78 M (6,06%). Secara ringkas data APBD di beberapa daerah di Provinsi Jawa Barat pada tahun anggaran 2013 dan 2014 sebagai berikut: Gambar 1.1 Rekapitulasi Anggaran dan Realisasi APBD Pemda Prov. Jabar Sumber: Data diolah. Berdasarkan gambar 1.1 alokasi anggaran belanja langsung pada APBD dari total belanja, perbandingan realisasi belanja langsung dari total belanja, dan perbandingan realisasi belanja terhadap pendapatan. Pada penganggaran belanja langsung, Kab. Kuningan (2013) menganggarkan 29% dan merealisasikan seluruh anggarannya, Kota Bandung menganggarkan 46% dan hanya terealisasi 43%, Majalengka menganggarkan 35% dan merealisasikan seluruhnya, Kab Bogor hanya menganggarkan 17% dan meningkatkan realisasi menjadi 49%, kemudian Kab. Bogor (2014) meningkatkan jumlah anggarannya menjadi 50% dan

5 terealisasi sejumlah 47%, Kab. Karawang merealisasikan belanja 43%, berlanjut tahun 2014 merealisasikan 42% dari jumlah anggaran 43%, kemudian Kab. Bandung merealisasikan 34% (2013) dan meningkat 37% (2014) dari jumlah anggaran 39%. Kab. Kuningan (2013) memiliki total belanja 138% dari pendapatan artinya seluruh pendapatan digunakan untuk belanja dengan kekurangan dari pendapatan 38%, Kota Bandung 93%, Kab. Majalengka 96%, Karawang (2013) membelanjakan seluruh pendapatan dengan kekurangan dari pendapatan 3% sementara total belanja menurun menjadi 99% (2014). Kab. Bogor memiliki kesamaan dengan Karawang, tahun 2013 101% dan tahun 2014 menurun menjadi 91%. Sementara Kab. Bandung membelanjakan 96% dan 95 % pendapatan pada tahun 2013 dan 2014 secara berurutan. Memerhatikan komposisi belanja langsung dari total belanja daerah jika dibandingkan teori komposisi berdasar Octaviani (2009) yang menyatakan komposisi harapan perbandingan belanja langsung dengan tidak langsung adalah 70 berbanding 30 (70 : 30), maka pemerintah daerah di Provinsi Jawa Barat harus melakukan evaluasi. Angka tertinggi hanya menunjukkan 49% atau masih kurang 21% dari angka harapan. Hal ini bisa terjadi sedikitnya karena dua hal, (1) masih digunakannya incremental budgeting atau belum maksimalnya pelaksanaan performance budgeting; (2) adanya politik anggaran yang tidak pro-rakyat. Merujuk kepada penelitian Riyanto (2012) politik anggaran adalah penetapan berbagai kebijakan tentang proses anggaran yang mencakupi berbagai pertanyaan bagaimana pemerintah membiayai kegiatannya; bagaimana uang publik didapatkan, dikelola dan di distribusikan; siapa yang diuntungkan dan dirugikan; peluang-peluang apa saja yang tersedia baik untuk penyimpangan negatif maupun untuk peningkatan pelayanan publik. Pada intinya, politik anggaran yang memutuskan bagaimana dana anggaran di peroleh dan di distribusikan. Peningkatan pelayanan publik akan selalu menjadi tujuan dari kegiatan pemerintah daerah, hal ini akan terlihat pada jumlah dana yang dianggarkan untuk pelayanan publik atau belanja langsung, namun seperti yang telah di paparkan sebelumnya, belanja langsung selalu mendapat komposisi lebih

6 sedikit daripada belanja aparatur. Hal ini salah satunya muncul dari perilaku oportunistik legislatif ketika memandang anggaran dalam hal siapa yang diuntungkan, maka muncullah istilah bagi-bagi anggaran. Penelitian Abdullah dan Asmara (2006) dalam Iskandar dkk (2013), memperkuat pernyataan sebelumnya, yang membuktikan bahwa: (1) legislatif melakukan political corruption melalui realisasi discretionary power yang dimilikinya dalam penganggaran; (2) DPRD membuat keputusan anggaran melalui penggunaan kenaikan anggaran PAD sebagai sumber pembiayaan untuk usulan kegiatan baru; (3) pengalokasian anggaran yang diusulkan legislatif tidak didasarkan pada prioritas anggaran; (4) APBD digunakan oleh legislatif sebagai alat untuk memenuhi kepentingan pribadinya; (5) perilaku oportunistik legislatif seakan-akan didukung oleh perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan hasil penelitian tersebut, maka jelaslah penyebab fenomena pelayanan publik yang selalu tidak terpenuhi. Penyebab berikutnya adalah masih digunakannya sistem incremental budgeting untuk mempermudah pekerjaan petugas yang berwenang atau belum maksimalnya pelaksanaan performance budgteting sehingga penganggaran masih merujuk pada incrementalism. Incremental budgeting menurut Mardiasmo (2009) adalah teknik penganggaran yang hanya menambah dan mengurangi nominal pada item-item anggaran yang sudah ada tahun sebelumnya sebagai dasar untuk penyesuaian anggaran tanpa melalui kajian yang dalam. Sementara dalam Permendagri nomor 13 tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah mengatur secara implisit bahwa anggaran harus berbasis kinerja (performance budget), dimana setiap program yang diajukan harus disertai dengan capaian kinerja yang diwujudkan dengan kualitas, kuantitas, efisiensi dan efektifitas pelaksanaan dari setiap program dan kegiatan. Sementara menurut Bastian (2010) kendala utama di semua negara terutama negara berkembang seperti Indonesia dalam menerapkan performance budgeting adalah dalam menetapkan pengukuran output pada sektor publik yang tidak mudah seperti pada sektor bisnis.

7 Untuk melakukan kajian secara mendalam penentuan input atau biaya, diperlukan teknik analisis biaya, analisis biaya berupa pengidentifikasian jenis dan perilaku biaya, perubahan biaya dan volume kegiatan. Manajemen organisasi perlu menentukan pemicu biaya (cost driver) agar dapat melakukan strategi efisiensi biaya. Berdasar pada Blocher et al (2010) cost driver adalah faktor yang mengubah jumlah biaya total, dengan kata lain, ketika pemerintah daerah mampu melakukan penganggaran dengan terlebih dahulu menganalisis dan menentukan cost driver-nya maka akan terjadi efisiensi biaya. Berdasarkan uraian diatas dan fenomena yang terjadi, khususnya di Bandung Raya, penulis ingin mengetahui strategi dalam pengalokasian belanja langsung pada pemerintah daerah. Ketertarikan penulis terhadap strategi pengalokasian belanja langsung pada pemerintah daerah se-bandung Raya akan dituangkan dalam skripsi berjudul: Analisis Strategi Biaya Pengalokasian Belanja Langsung pada APBD Pemerintah Daerah (Studi Kasus pada Pemerintah Daerah Se-Bandung Raya) 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang sebelumnya, dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti yaitu bagaimana strategi biaya dengan pendekatan analisis pemicu biaya dalam pengalokasian belanja langsung APBD pemerintah daerah se- Bandung Raya. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis penerapan strategi biaya belanja langsung dalam APBD pemerintah daerah se-bandung Raya. 1.3.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penerapan strategi biaya belanja langsung dengan pendekatan analisis pemicu biaya dalam APBD pemerintah daerah se-bandung Raya.

8 1.4 Manfaat Penelitian Sebuah penelitian haruslah memiliki manfaat atau kontribusi, baik dalam teori, akademis, praktis atau bahkan manfaat untuk penegakan kebijakan. Penelitian ini disusun dengan harapan memberikan manfaat pada: 1.4.1 Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan sebagai sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu akuntansi sektor publik. Selain itu, diharapkan bisa menjadi referensi bagi peneliti berikutnya dalam mengembangkan keilmuan. 1.4.2 Manfaat Praktis dan Kebijakan Penelitian ini diharapkan memberikan rekomendasi bagi pemerintah daerah di Bandung Raya dalam mengalokasikan biaya langsung.