BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI PAJAK. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

Catatan : Kebijakan Transfer ke Daerah Dalam rangka RAPBNP Tahun 2011 Kebijakan belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011

UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH

Subbag Hukum BPK Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

Keterangan Pers POKOK-POKOK PENGATURAN UNDANG-UNDANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

PERHITUNGAN ALOKASI DAN KEBIJAKAN PENYALURAN DAK TA 2014, SERTA ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 250/PMK.07/2014 TENTANG PENGALOKASIAN TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUB NOMOR 165/PMK.07/2012 TENTANG PENGALOKASIAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMUTAKHIRAN DATA PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH DIREKTORAT PENDAPATAN DAERAH DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DAERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

RENCANA DAN KEBIJAKAN ALOKASI TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

Jenis Penerimaan & Pengeluaran Negara. Pertemuan 4 Nurjati Widodo, S.AP, M.AP

TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DATA ISIAN SIPD TAHUN 2017 BPPKAD KABUPATEN BANJARNEGARA PERIODE 1 JANUARI SAMPAI DENGAN 8 JUNI 2017

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah)

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

USULAN SCOPING LAPORAN EITI 2014

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG BAGI HASIL PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH UNTUK DESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PROVINSI JAWA TENGAH

2 makro yang disertai dengan perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal, dan pergeseran anggaran antarunit organisasi dan/atau antarprogram yang berdampak

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

Kuliah ke-10. Desentralisasi Ekonomi

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Semakin besar jumlah penduduk maka semakin. jawab pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

BAB 2 LANDASAN TEORI

BUPATI KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI DUS BUPATI KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DANA BAGI HASIL. Novotel, Bogor, 06 September 2015 DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEMENTERIAN KEUANGAN RI KEBIJAKAN FISKAL NASIONAL DAN HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH TAHUN 2012

2017, No melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu membentuk Undang-Undang tent

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan menggali sumber-sumber daya yang ada di setiap daerah untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Tanggal 18 Agustus 2009 REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2018

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

Daerah (PAD), khususnya penerimaan pajak-pajak daerah (Saragih,

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan

KEBIJAKAN DAK BIDANG KESEHATAN 2010

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH

RETRIBUSI TERMINAL SEBAGAI SALAH SATU SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN/KOTA. Oleh. Zainab Ompu Zainah ABSTRAK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

PENGELOLAAN PERBENDAHARAAN NEGARA DAN KESIAPAN PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA MELALUI KPPN

Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3851); Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara

Kajian Perda Provinsi Bali Tentang Bagi Hasil Pajak Provinsi kepada Kab./Kota

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional,

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 21/PMK.07/2009 TENTANG PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH MENTERI KEUANGAN,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi dan Analisis

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN

PEMUNGUTAN PAJAK PARKIR DAN RETRIBUSI PARKIR OLEH PEMERINTAH DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

2016, No menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahu

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

CAPAIAN KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. adalah ketersediaan dana oleh suatu negara yang diperlukan untuk pembiayaan

Transkripsi:

5.1 Umum BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL Implementasi otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggung jawab beserta desentralisasi fiskal yang mengikutinya, saat ini telah memasuki dasawarsa kedua. Perlu dipahami bahwa otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada dasarnya merupakan instrumen yang digunakan dalam penyelenggaraan pembangunan negara dan bukan tujuan bernegara itu sendiri. Instrumen ini digunakan agar pencapaian tujuan bernegara, yaitu kesejahteraan masyarakat, dapat lebih mudah dicapai. Oleh karena itu, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dilakukan dengan menempatkan motor penggerak pembangunan pada tingkatan pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, yaitu pemerintah daerah. Dekatnya tingkat pemerintahan dengan masyarakatnya diharapkan dapat membuat kebijakan fiskal daerah akan benar-benar sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, secara legal formal, dituangkan dalam Undang- Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Kedua UU ini mengatur pokok-pokok penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah serta pendanaan bagi pelaksanaan kewenangan tersebut. Selain itu, terdapat juga Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengatur hal-hal mengenai kewenangan Pemerintah Daerah dalam melakukan pemungutan kepada masyarakat daerah guna mendapatkan sumber pendanaan bagi pembangunan daerah. Kedua UU pokok dan UU mengenai pajak daerah dan retribusi daerah tersebut di atas, pada dasarnya dihubungkan dalam suatu prinsip dasar yang sering disebut sebagai money follows function. Dengan prinsip ini, fungsi yang telah diserahkan ke daerah melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 diikuti dengan pendanaan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi dimaksud. Namun, perlu dipahami bahwa ketersediaan pendanaan selalu mempunyai constraint (kendala), karena pada dasarnya anggaran selalu terbatas. Oleh karena itu, UU Nomor 33 Tahun 2004 mengatur sumber-sumber pendanaan yang terbatas tersebut yang bisa digunakan oleh daerah, yaitu melalui pemanfaatan sumber di daerah itu sendiri maupun melalui transfer ke daerah. Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal, instrumen utama yang digunakan adalah pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak (taxing power) dan transfer ke daerah. Meskipun kewenangan pemerintah daerah untuk memungut pajak daerah masih sangat terbatas, tetapi dari tahun ke tahun terdapat peningkatan peran pendapatan asli daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Secara nominal, pada tahun 2009 dan 2010 jumlah keseluruhan PAD untuk provinsi dan kabupaten/kota masing-masing sebesar Rp62,6 triliun (16,5 persen dari total pendapatan APBD) dan Rp71,8 triliun (17,9 persen dari total pendapatan APBD). UU Nomor 28 Tahun 2009 yang baru saja dikeluarkan dan berlaku efektif sejak 1 Januari 2010 merupakan salah satu wujud upaya penguatan taxing power daerah, yaitu dengan perluasan basis pajak daerah V-1

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan retribusi daerah yang sudah ada, penambahan jenis pajak daerah dan retribusi daerah, peningkatan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, dan pemberian diskresi penetapan tarif pajak. Mengingat bahwa pajak daerah dan retribusi daerah sebagai sumber penerimaan daerah sendiri masih sangat terbatas, maka Pemerintah melakukan transfer ke daerah untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan fungsi-fungsi yang telah diserahkan ke daerah. Transfer ke daerah direalisasikan dalam bentuk transfer Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Alokasi transfer ke daerah terus meningkat seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001. Pada tahun 2005, alokasi transfer ke daerah sebesar Rp150,5 triliun dan terus meningkat hingga menjadi Rp344,6 triliun pada APBN-P tahun 2010. Apabila dilihat dalam konteks yang lebih luas, maka sebenarnya dana Pemerintah yang bergulir ke daerah pada dasarnya tidak hanya yang dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Di daerah, Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk membiayai program dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah dalam bentuk Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan. Jumlah dana tersebut akan menjadi lebih besar lagi apabila ditambahkan dengan dana yang digulirkan ke daerah melalui program nasional yang menjadi Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), serta program nasional melalui subsidi yang sebagian besar juga dibelanjakan di daerah, seperti subsidi energi dan subsidi non-energi. Besarnya dana yang bergulir ke daerah, baik yang dikelola dalam APBD maupun APBN pada tahun 2010 mencapai hingga 60,62 persen dari total belanja dalam APBN-P Tahun 2010 (lihat Grafik V.1). Dalam konteks pendanaan desentralisasi, hal yang sangat krusial untuk dilihat adalah efektivitas dana yang semakin besar bergulir ke daerah dibelanjakan oleh daerah dan dampak kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan suatu daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, antara lain dipengaruhi oleh kebijakan belanja masing-masing pemerintah daerah. Kebijakan belanja pemerintah daerah dapat tercermin dari besaran alokasi belanja untuk tiap fungsi dan jenis belanja. Berdasarkan fungsi, pada tahun 2009 belanja daerah yang digunakan untuk melaksanakan fungsi pelayanan umum menempati urutan teratas yaitu 33,7 persen dari total belanja daerah, dan belanja daerah yang digunakan untuk mendanai fungsi pendidikan mencapai 26 persen, fungsi perumahan dan fasilitas umum 17,1 persen, dan fungsi kesehatan 8,8 persen. Sementara itu, berdasarkan jenis belanja, maka porsi belanja pegawai untuk kabupaten/kota masih menempati peringkat tertinggi yaitu mencapai 44,8 persen di tahun 2010, belanja modal mencapai 21,7 persen dan belanja barang 18,5 persen, serta sisanya sebesar 15,1 persen untuk jenis belanja lainnya. Seiring dengan peningkatan dana yang didesentralisasikan dan diikuti dengan upaya percepatan realisasi belanja dan peningkatan kualitas belanja, telah terjadi perbaikan dalam berbagai indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Dalam dua tahun terakhir, tingkat kemiskinan telah menurun relatif signifikan pada sebagian besar provinsi. Demikian pula, tingkat pengangguran di sebagian besar daerah telah mengalami penurunan yang relatif cukup signifikan. Di samping itu, dalam lima tahun terakhir telah terjadi peningkatan pemerataan pembangunan daerah yang tercermin dari semakin membaiknya indikator statistik pemerataan PDRB antarprovinsi. V-2

Kebijakan desentralisasi fiskal ke depan diarahkan pada upaya untuk melakukan penguatan taxing power daerah dan perbaikan kebijakan transfer. Penguatan taxing power ke daerah telah diawali dengan terbitnya UU Nomor 28 Tahun 2009 dengan menyerahkan sebagian kewenangan perpajakan ke daerah, terutama dilakukan melalui penyiapan daerah untuk menghadapi transisi pengalihan beberapa jenis pajak pusat menjadi pajak daerah, baik melalui penguatan sistem di daerah maupun capacity building. Sementara itu, kebijakan anggaran transfer ke daerah pada tahun 2011 akan diarahkan diantaranya untuk mendukung kesinambungan fiskal nasional (fiscal sustainability) dalam rangka kebijakan ekonomi makro. Dengan demikian, kesinambungan pertumbuhan ekonomi nasional dapat dicapai. GRAFIK V.1 DANA KE DAERAH YANG DIKELOLA DALAM APBD DAN APBN TAHUN 2010 Belanja APBN-P 2010 (triliun rupiah) Sumber: APBN-P 2010 Belanja Negara di Daerah 126,37 (11,22%) Bantuan ke Masyarakat 35,37 (3,14%) Subsidi 176,33 (15,66%) Total Belanja = 1.126,15 T BelanjaNegaradiPusat 443,46 (39,38%) Transfer ke Daerah 344,61 (30,60%) Dana ke Daerah = 682,69 T (60,62%) Melalui Angg. K/L dan APP (Program Nasional) Melalui APP (Subsidi) Melalui Angg. Transfer ke Daerah (Masuk APBD) Melalui Angg. K/L - PNPM 10,42 0,93% - BBM 88,89 7,89% - DBH 89,62 7,96% - Dana Dekon 11,93 1,06% - BOS 19,84 1,76% - Listrik 55,10 4,89% - DAU 203,61 18,08% - Dana TP 7,64 0,68% - Jamkes 5,10 0,45% - Pangan 13,92 1,24% - DAK 21,14 1,88% - Dana Vertikal 106,80 9,48% - Pupuk 18,41 1,63% - Otsus 9,09 0,81% - Penyesuaian 21,15 1,88% *) APP = Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan Total 35,37 (3,14%) Total 176,33 (15,66%) Total 344,61 (30,60%) Total 126,37 (11,22%) 5.2 Perkembangan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Tahun 2005-2010 5.2.1 Perkembangan Kebijakan Desentralisasi Fiskal Hakikat dari hubungan antara otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada dasarnya merupakan pengejawantahan dari prinsip money follows function, yang berarti bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan. Dalam implementasinya, seiring dengan penyerahan kewenangan kepada daerah, maka kepada daerah diberikan sumber-sumber pendanaan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Mekanisme pendanaan atas V-3

Kebijakan Desentralisasi Fiskal pelaksanaan kewenangan yang telah diserahkan ke daerah tersebut dilakukan melalui azas desentralisasi. Di samping itu, untuk melaksanakan kewenangan yang masih dipegang oleh Pemerintah, karena alasan efisiensi dan efektivitas seringkali pelaksanaannya dilaksanakan di daerah melalui azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam konteks pelaksanaan azas desentralisasi, salah satu bentuk dukungan pendanaan kepada daerah dilakukan melalui pemberian sumber perpajakan daerah dan retribusi daerah yang dapat dipungut oleh daerah. Mengingat sumber tersebut sangat terbatas, maka kepada daerah diberikan dukungan pendanaan melalui transfer dari Pemerintah dalam bentuk Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Selain sumber penerimaan dari daerah sendiri dan transfer dari Pemerintah, daerah juga diberi kewenangan untuk melakukan pinjaman dalam rangka pembiayaan pembangunan daerah, dan juga penerimaan dalam bentuk hibah baik yang berasal dari Pemerintah maupun pihak lain. Pemberian sumber penerimaan daerah sendiri terutama dilakukan melalui kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah. Kebijakan mengenai perpajakan daerah dan retribusi daerah telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2010. Ada empat kebijakan mendasar yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009. Pertama adalah closed-list system untuk jenis pajak dan retribusi yang bisa dipungut oleh daerah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada masyarakat dan dunia usaha tentang jenis pungutan yang harus mereka bayar. Kedua adalah penguatan local taxing power. Hal ini dilakukan, antara lain melalui perluasan basis pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah ada, penambahan jenis pajak dan retribusi daerah (seperti pajak rokok dan pengalihan PBB menjadi pajak daerah), meningkatkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, serta pemberian diskresi penetapan tarif pajak. Ketiga adalah perbaikan sistem pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah melalui mekanisme bagi hasil pajak provinsi yang lebih ideal dan kebijakan earmarking jenis pajak daerah tertentu (seperti earmarking sebagian Pajak Kendaraan Bermotor untuk pemeliharaan jalan). Keempat adalah peningkatan efektivitas pengawasan pungutan daerah dengan mengubah mekanisme pengawasan represif menjadi preventif dan korektif. Selain penerimaan sendiri, sumber pendanaan kebijakan transfer ke daerah tersebut dilakukan melalui alokasi Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Dalam pelaksanaannya, Dana Perimbangan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh karena masing-masing komponen mempunyai tujuan yang saling melengkapi satu dengan lainnya. Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan instrumen untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan daerah. Disadari bahwa instrumen DBH tersebut menimbulkan kesenjangan fiskal antardaerah karena adanya variasi sumber daya antardaerah. Oleh karena itu, instrumen Dana Alokasi Umum (DAU) ditujukan untuk mengurangi kesenjangan antardaerah. Di samping itu, untuk membantu daerah dengan kemampuan keuangan yang relatif rendah, dialokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendukung pencapaian tujuan dan prioritas nasional serta meningkatkan pemerataan akses terhadap layanan publik. Penyempurnaan terus dilakukan terhadap ketiga komponen transfer tersebut, antara lain, melalui peningkatan akurasi data DBH sehingga penetapan alokasi dan penyaluran DBH dapat dilakukan secara tepat waktu dan tepat jumlah, penyempurnaan formulasi DAU melalui penerapan pembobotan masing-masing variabel yang diarahkan untuk pemerataan kemampuan keuangan daerah, serta penajaman kriteria DAK agar lebih tepat sasaran. V-4

Dalam rangka mendukung peningkatan kinerja daerah, mulai tahun 2010 kepada daerah diberikan Dana Insentif Daerah (DID), yang pada dasarnya merupakan penghargaan kepada daerah yang berprestasi dari segi pengelolaan keuangan dan perekonomian daerah. Dana tersebut dialokasikan berdasarkan capaian output dan outcome pembangunan daerah. Selanjutnya, untuk memperkuat pendanaan daerah dan sekaligus memacu percepatan pembangunan ekonomi daerah, maka daerah juga diberikan kesempatan untuk melakukan pinjaman daerah. Pelaksanaan pinjaman daerah harus dilakukan dengan hati-hati (prudent), mengingat bahwa penerimaan pinjaman harus dikembalikan dananya dan mengandung konsekuensi biaya, seperti bunga. Oleh karena itu, kebijakan pinjaman yang ada sampai saat ini dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan fiskal dengan mengatur batasan pinjaman, sumber pinjaman, jenis dan jangka waktu pinjaman, penggunaan pinjaman, persyaratan pinjaman, prosedur pinjaman daerah, dan pelaporan pinjaman beserta sanksinya. Dalam pelaksanaannya, pinjaman daerah harus mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah, seperti pemerintah daerah dilarang memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain, pendapatan daerah tidak boleh dijadikan jaminan pinjaman daerah kecuali untuk proyek yang dibiayai dari obligasi daerah, pemerintah daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung ke luar negeri, jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75 persen dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya, Debt Service Coverage Ratio paling sedikit 2,5 (dua koma lima), dan tidak melampaui batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah yang dapat dibiayai dari pinjaman daerah. Dalam periode ini, hibah kepada daerah mengalami perkembangan yang signifikan, terutama setelah ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2008 tentang Hibah Daerah dan PMK Nomor 169 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyaluran Hibah Kepada Pemerintah Daerah. Kebijakan hibah kepada daerah sampai saat ini diarahkan pada peningkatan transparansi dan akuntabilitas dana hibah yang diterima oleh daerah dari Pemerintah, terutama yang bersumber dari penerusan hibah dari luar negeri. Di samping dukungan kebijakan dan pendanaan dalam bentuk dana desentralisasi, dalam upaya peningkatan sinergitas antara pusat dan daerah, Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk membiayai program dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah melalui Dana Dekonsentrasi, Dana Tugas Pembantuan, dan dana untuk melaksanakan program dan kegiatan instansi vertikal di daerah. Dana dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Sementara itu, Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah dan desa, yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan. Pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan yang tersedia bagi penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, proses perencanaan dan penganggaran dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan terhadap program dan kegiatan yang akan didekonsentrasikan/ditugaskan disusun dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara, keseimbangan pendanaan di daerah, dan kebutuhan pembangunan di daerah. Ketiga parameter penyusunan perencanaan dan penganggaran itu mengandung V-5

Kebijakan Desentralisasi Fiskal makna bahwa pengalokasian dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan disesuaikan dengan kemampuan APBN dalam mendanai urusan Pemerintah Pusat serta mempertimbangkan besarnya transfer belanja Pusat ke daerah dan kemampuan keuangan daerah, agar alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan menjadi lebih efektif, efisien, dan tidak terkonsentrasi di suatu daerah tertentu. Selain itu, penyusunan perencanaan dan penganggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan juga diarahkan agar sesuai dengan prioritas pembangunan nasional dan prioritas pembangunan daerah. 5.2.2 Perkembangan Transfer ke Daerah Desentralisasi fiskal telah dilaksanakan selama satu dasawarsa. Selama kurun waktu tersebut, perkembangan alokasi Transfer ke Daerah dari tahun ke tahun secara nominal terus meningkat. Dalam enam tahun terakhir dari tahun 2005 hingga 2010, secara lebih detail perkembangan Transfer ke Daerah dapat dilihat pada Grafik V.2 dan Tabel V.1. Pada tahun ke lima pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu pada tahun 2005, transfer ke daerah masih sekitar Rp150,5 triliun, namun pada APBN-P tahun 2010 jumlah transfer ke daerah tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat sehingga menjadi Rp344,6 triliun. Peningkatan tersebut terjadi merata pada semua jenis transfer ke daerah. DAU yang merupakan komponen terbesar dari transfer ke daerah meningkat dari Rp88,7 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp203,6 triliun pada tahun 2010, suatu peningkatan yang sangat signifikan karena meningkat hampir tiga kali lipat. Peningkatan terbesar terjadi pada DAK. Pada tahun 2005 nilai DAK masih berada di bawah Rp4 triliun, tetapi triliun rupiah 350 300 250 200 150 100 50 0 GRAFIK. V.2 PERKEMBANGAN TRANSFER KE DAERAH (DANA PERIMBANGAN, DANA OTSUS, DAN DANA PENYESUAIAN) TAHUN 2005-2010 143,22 7,24 4,05 9,30 2005 LKPP 222,13 2006 LKPP Sumber : Kementerian Keuangan 243,97 2007 LKPP Dana Otsus dan Penyesuaian 278,71 287,25 13,72 21,33 30,25 2008 LKPP 2009 LKPP Dana Perimbangan 314,36 2010 APBN-P TABEL V.1 PERKEMBANGAN TRANSFER KE DAERAH, 2005-2010 (miliar rupiah) LKPP Audited APBN-P Uraian 2005 % thd PDB 2006 % thd PDB 2007 % thd PDB 2008 % thd PDB 2009 % thd PDB 2010 % thd PDB I. Dana Perim bangan 143.221,3 5,1 222.130,6 6,7 243.967,1 6,2 278.714,7 5,6 287.251,5 5,1 314.363,3 5,0 a. Dana Bagi Hasil 50.47 9,2 1,8 64.900,3 1,9 62.941,9 1,6 7 8.420,2 1,6 7 6.129,9 1,4 89.618,4 1,4 b. Dana Alokasi Umum 88.7 65,4 3,2 145.664,2 4,4 164.787,4 4,2 17 9.507,1 3,6 186.414,1 3,3 203.606,5 3,3 c. Dana Alokasi Khusus 3.97 6,7 0,1 11.566,1 0,3 16.237,8 0,4 20.7 87,3 0,4 24.7 07,4 0,4 21.138,4 0,3 II. Dana Otsus dan Peny esuaian 7.242,6 0,3 4.049,3 0,1 9.296,0 0,2 13.7 18,8 0,3 21.333,8 0,4 30.249,6 0,5 a. Dana Otonomi Khusus 1.775,3 0,1 3.488,3 0,1 4.045,7 0,1 7.510,3 0,2 9.526,6 0,2 9.099,6 0,1 b. Dana Penyesuaian 5.467,3 0,2 561,1 0,0 5.250,3 0,1 6.208,5 0,1 11.807,2 0,2 21.150,0 0,3 Jum lah 150.463,9 5,4 226.17 9,9 6,8 253.263,1 6,4 292.433,5 5,9 308.585,2 5,5 344.612,9 5,5 Sumber : Kementerian Keuangan V-6

pada tahun 2009 meningkat menjadi Rp24,7 triliun, meskipun kemudian pada tahun 2010 turun menjadi Rp21,1 triliun. Tentunya semua ini tidak terlepas dari kerja keras seluruh komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun masyarakat, sehingga pendapatan negara senantiasa meningkat untuk turut mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal. Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, transfer DBH dihitung berdasarkan persentase tertentu dari realisasi penerimaan dalam negeri yang dibagihasilkan, baik dari penerimaan pajak maupun penerimaan Sumber Daya Alam (SDA). Penerimaan negara yang berasal dari penerimaan pajak yang dibagihasilkan ke daerah meliputi Pajak Penghasilan, yaitu PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Penerimaan negara yang berasal dari SDA yang dibagihasilkan ke daerah meliputi minyak bumi, gas bumi, pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan. Sejak tahun 2006, DBH SDA Kehutanan juga mencakup DBH Dana Reboisasi (DR), yang merupakan pengalihan dari Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK DR). Sejak tahun 2009, Pemerintah telah mengalokasikan DBH Cukai Hasil Tembakau yang merupakan amanat dari UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Selain itu, dalam APBN-P 2009 juga telah dialokasikan DBH Panas Bumi tahun 2006 sampai dengan tahun 2009. Adapun kebijakan pengalokasian dari tahun ke tahun adalah menyempurnakan proses perhitungan, penetapan alokasi dan ketepatan waktu penyaluran melalui peningkatan koordinasi dengan institusi pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam rangka penyediaan data yang lebih akurat. Sejalan dengan peningkatan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan, realisasi DBH menunjukkan adanya peningkatan dari Rp50,5 triliun dalam tahun 2005 menjadi Rp76,1 triliun pada tahun 2009, serta meningkat lagi menjadi Rp89,6 triliun pada tahun 2010, atau rata-rata tumbuh sebesar 13 persen per tahun. Selanjutnya, pada Grafik V.3 dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah yang menerima DBH SDA tertinggi adalah daerah se-provinsi Kalimantan Timur, dengan proporsi penerimaan DBH SDA terhadap keseluruhan DBH SDA, masing-masing sebesar 35,24 persen dan 34,06 persen. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa wilayah tersebut memang penyumbang utama hasil migas nasional, diikuti oleh wilayah Riau dan Sumatera Selatan. Sedangkan daerah yang menerima DBH SDA paling rendah pada tahun 2009 adalah daerah se-provinsi Bali dan pada tahun 2010 adalah daerah se-provinsi DI Yogyakarta, dengan proporsi penerimaan DBH SDA terhadap keseluruhan DBH SDA yang sama besar nya yaitu 0,004 persen. Sementara itu, pada Grafik V.4 dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah yang menerima DBH Pajak tertinggi adalah daerah se-provinsi DKI Jakarta, dengan proporsi penerimaan DBH Pajak terhadap keseluruhan DBH Pajak, masing-masing sebesar 22,50 persen dan 23,70 persen, sedangkan daerah yang menerima DBH Pajak paling rendah adalah daerah se-provinsi Gorontalo, dengan proporsi penerimaan DBH Pajak terhadap keseluruhan DBH Pajak pada tahun 2009 dan 2010, masing-masing sebesar 0,34 persen dan 0,28 persen. Peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun juga terjadi pada DAU, yang terjadi karena peningkatan rasio alokasi DAU terhadap Penerimaan Dalam Negeri (PDN) neto, yaitu 25,5 persen pada tahun 2005 dan kemudian meningkat menjadi 26 persen dalam periode tahun 2006-2010. Sejalan dengan peningkatan rasio DAU terhadap PDN neto tersebut, maka dalam V-7

Kebijakan Desentralisasi Fiskal GRAFIK. V.3 PETA DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM DAERAH PER PROVINSI DI INDONESIA*) TAHUN 2009 2010 14.000 12.000 10.000 Uraian 2009 2010 Daerah Jumlah % Daerah Jumlah % Total 33 35.632,17 100 33 31.870,56 100 Tertinggi Kaltim 12.555,56 35,24 Kaltim 10.853,70 34,06 Terendah Bali 1,29 0,004 Yogyakarta 1,24 0,004 Rata-Rata 33 1.079,76-33 965,77 - miliar rupiah 8.000 6.000 4.000 2.000 2009 2010 0 Yogyakarta Bali Banten NTT Gorontalo Sulbar Bengkulu Sulut Sumut Sulteng Sumbar Jateng Sultra Maluku Sulsel Kalbar DKI Malut NTB *) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan Untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan Babel Lampung Kalteng Jatim Jabar Jambi NAD Papua Papua Barat Kepri Kalsel Sumsel Riau Kaltim Sumber : Kementerian Keuangan 12.000 10.000 8.000 GRAFIK. V.4 PETA DANA BAGI HASIL PAJAK DAERAH PER PROVINSI DI INDONESIA *) TAHUN 2009-2010 Uraian 2009 2010 Daerah Jumlah % Daerah Jumlah % Total 33 39.271,24 100 33 45.997,51 100 Tertinggi DKI 8.688,80 22,1% DKI 10.905,84 23,7% Terendah Gorontalo 132,21 0,34% Gorontalo 129,00 0,28% Rata-Rata 33 1.190,04-33 1.393,86 - miliar rupiah 6.000 4.000 2009 2010 2.000 0 *) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan Untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan Sumber : KementerianKeuangan V-8

rentang waktu 2005 2010, realisasi DAU meningkat dari Rp88,8 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp186,4 triliun pada tahun 2009, dan meningkat lagi menjadi Rp203,6 triliun pada tahun 2010 atau rata-rata tumbuh sebesar 18,65 persen per tahun. Pengalokasikan DAU ke daerah dilakukan dengan menggunakan formula yang didasarkan pada data dasar perhitungan DAU. Sebelum tahun 2006, formula DAU terbagi menjadi dua komponen utama, yaitu alokasi minimum (AM) dan alokasi DAU berdasarkan kesenjangan fiskal (KF). AM dihitung berdasarkan komponen lumpsum dan proporsional belanja pegawai. Sejak diberlakukannya UU Nomor 33 Tahun 2004, yang efektif berlaku sejak tahun 2006, komponen AM dan KF tersebut disempurnakan menjadi alokasi dasar (AD) dan celah fiskal (CF). Alokasi DAU berdasarkan CF tersebut merupakan komponen ekualisasi kemampuan keuangan antardaerah, dengan mempertimbangkan selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal masing-masing daerah. Pada Grafik V.5, dapat dilihat bahwa pada tahun 2010, daerah yang menerima DAU tertinggi adalah daerah se-provinsi Jawa Timur, dengan alokasi sekitar 11,06 persen dari total DAU. Dalam kurun waktu 2005 sampai dengan saat ini, upaya untuk mewujudkan fungsi DAU sebagai equalization grant dilakukan melalui kebijakan sebagai berikut: (1) Melakukan pembobotan alokasi dasar dengan persentase di bawah 50 persen dari DAU Nasional agar memberikan porsi alokasi yang lebih besar untuk menutup celah fiskal. Dengan kebijakan ini berarti besaran rata-rata gaji PNSD per daerah dihitung di bawah 100 persen. (2) Melakukan pembobotan pada setiap variabel kebutuhan fiskal dengan asumsi bahwa pemanfaatan Transfer ke Daerah adalah untuk pelayanan kepada penduduk dan pengelolaan wilayah, sehingga bobot untuk penduduk seimbang dengan bobot untuk wilayah. (3) Menetapkan persentase tertentu dalam menghitung variabel kapasitas fiskal untuk mendapatkan indek pemerataan yang terbaik yang dicerminkan dari semakin rendahnya Williamson Index. Pada tahun 2005, DAK dialokasikan untuk 8 bidang, yaitu pendidikan, kesehatan, jalan, irigasi, prasarana pemerintahan, kelautan dan perikanan, air bersih, serta pertanian. Selanjutnya, pada tahun 2006 bidang yang didanai melalui DAK ditambah bidang lingkungan hidup. Bahkan pada tahun 2008 bertambah dua bidang, yaitu bidang Keluarga Berencana (KB) dan bidang kehutanan. Sedangkan pada tahun 2009 bertambah dua bidang lagi yaitu bidang perdagangan dan bidang sarana prasarana perdesaan, sehingga menjadi 13 bidang. Selanjutnya, pada tahun 2010 menjadi 14 bidang sebagai akibat dari dipisahkannya DAK Air Minum dan DAK Sanitasi yang pada tahun sebelumnya tergabung dalam satu bidang. Untuk menunjukkan komitmen daerah dalam pelaksanaan DAK, kepada daerah diwajibkan menganggarkan dana pendamping dalam APBD, sekurang-kurangnya 10 persen dari besaran alokasi DAK yang diterima. Sejalan dengan penambahan bidang yang dibiayai dengan DAK, alokasi DAK juga terus meningkat, dari Rp3,97 triliun (0,1 persen terhadap PDB) pada tahun 2005, menjadi Rp20,8 triliun (0,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2008, dan meningkat menjadi Rp24,7 triliun (0,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2009. Pada tahun 2010, alokasi DAK mengalami penurunan menjadi Rp21,1 triliun sebagai akibat dari terbatasnya kemampuan keuangan negara. Sementara itu, dengan semakin bertambahnya daerah otonom baru berdampak terhadap bertambahnya jumlah daerah yang menerima DAK. Hal V-9

Kebijakan Desentralisasi Fiskal GRAFIK. V.5 PETA DANA ALOKASI UMUM PER PROVINSI DI INDONESIA*) TAHUN 2009-2010 25.000 miliar rupiah 20.000 15.000 10.000 5.000 Uraian 2009 2010 Daerah Jumlah % Daerah Jumlah % Total 33 186.414,10 100 33 192.490,34 100 Tertinggi Jatim 20.854,97 11,19 Jatim 21.290,50 11,06 Terendah DKI 0,00 0,00 DKI 0,00 0,00 Rata-Rata 33 5.648,91-33 5.833,04-2009 2010 0 *) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan Sumber : Kementerian Keuangan ini dapat dilihat dari jumlah penerima DAK pada tahun 2005, yaitu dari 377 kabupaten/ kota dan 2 Provinsi pada tahun 2005, menjadi 485 kabupaten/kota dan 32 provinsi pada tahun 2010. Adapun sebaran DAK untuk pemerintah daerah se-provinsi di Indonesia disajikan pada Grafik V.6 di bawah. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah yang menerima DAK tertinggi adalah daerah se-provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan proporsi masing-masing sama sebesar 8,65 persen dan 9,32 persen terhadap total penerimaan DAK seluruh daerah. Selain Dana Perimbangan, juga dialokasikan Dana Otsus dan Penyesuaian. Dana Otsus dialokasikan untuk Provinsi Papua dengan nilai setara 2 persen dari pagu DAU nasional selama 20 tahun, yang diutamakan untuk mendanai pendidikan dan kesehatan. Selain itu, diberikan juga dana tambahan untuk pembangunan infrastruktur yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dan DPR berdasarkan usulan provinsi setiap tahun. Sementara itu, Dana Otsus juga dialokasikan untuk Provinsi NAD dengan nilai setara 2 persen dari pagu DAU nasional selama 15 tahun, untuk tahun ke-16 hingga ke-20 menjadi sebesar 1 persen dari pagu DAU nasional. Selanjutnya, Dana Penyesuaian sampai dengan tahun 2007, terutama dialokasikan berupa Dana Penyeimbang kepada daerah yang menerima DAU lebih kecil dari DAU yang diterima tahun sebelumnya, sehingga DAU yang diterima minimal sama dengan DAU yang diterima tahun sebelumnya. Pengalokasian Dana Penyeimbang tersebut bertujuan agar penerapan formula DAU tidak menimbulkan adanya daerah yang memperoleh DAU lebih kecil dari DAU tahun sebelumnya, yang selanjutnya dikenal dengan prinsip non-hold harmless. Dalam perkembangannya, pada tahun 2009 kebijakan non-hold harmless telah dihapuskan. V-10

GRAFIK.V.6 PETA DANA ALOKASI KHUSUS PER PROVINSI DI INDONESIA*) TAHUN 2009-2010 miliar rupiah 2500 2000 1500 1000 500 Uraian 2009 2010 Daerah Jumlah % Daerah Jumlah % Total 33 24.707,42 100 33 21.133,38 100 Tertinggi Jatim 2.138,18 8,65 Jateng 1.969,34 9,32 Terendah DKI 0,00 0,00 DKI 0,00 0,00 Rata-Rata 33 748,71-33 640,41-2009 2010 0 DKI Kepri Babel Sulbar Kaltim Gorontalo Riau Yogyakarta Malut Bali Banten Bengkulu Papua Barat Maluku Kalteng Jambi Sulteng NTB Sultra Kalsel Sumsel Sulut Kalbar Lampung NTT NAD Sumbar Sulsel Sumut Papua Jabar Jatim Jateng *) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan Sumber : Kementerian Keuangan Pengalokasian Dana Penyesuaian tersebut juga menampung program-program tertentu untuk jangka waktu tertentu (ad hoc) dengan nomenklatur yang berganti-ganti hingga tahun 2009 dengan sebutan Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF & PPD). Selain DPDF & PPD, terdapat alokasi dana untuk meningkatkan penghasilan bagi guru PNSD yang belum mendapatkan tunjangan profesi, besarnya adalah Rp250.000, per orang per bulan dalam 12 bulan setahun. Dari alokasi anggaran Dana Tambahan Penghasilan bagi Guru PNSD tahun 2009 sebesar Rp7,49 triliun hanya terserap sekitar Rp4,57 triliun atau 61,01 persen. Pada tahun 2010, DPDF & PPD dialokasikan kembali sebesar Rp7,1 triliun. Sementara itu, pendanaan untuk guru PNSD selain Dana Tambahan Penghasilan Guru sebesar Rp5,8 triliun juga dialokasikan Dana Tunjangan Profesi Guru sebesar Rp10,99 triliun. Tunjangan Profesi Guru tersebut merupakan pengalihan alokasi anggaran dari Kementerian Pendidikan Nasional. Secara umum, Dana Penyesuaian tersebut dimaksudkan untuk menampung alokasi anggaran untuk mendanai kebijakan tertentu pemerintah dan anggaran yang disediakan untuk mendorong atau menguatkan desentralisasi fiskal dan percepatan pembangunan daerah. Perkembangan nomenklatur Dana Penyesuaian tahun 2005 2010 dapat dilihat pada Tabel V.2. V-11

Kebijakan Desentralisasi Fiskal Dalam Grafik V.7, dapat dilihat bahwa realisasi Dana Otsus dan Penyesuaian dalam periode 2005 2010 mengalami peningkatan yang signifikan, dari Rp7,2 triliun dalam tahun 2005, menjadi Rp21,3 triliun pada tahun 2009, dan meningkat lagi menjadi Rp30,2 triliun dalam APBN- P 2010. Peningkatan ini tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah untuk lebih mendorong peran daerah dalam era otonomi daerah yang ditandai dengan makin beragamnya jenis Dana Penyesuaian dari tahun ke tahun. TABEL V.2 PERKEMBANGAN NOMENKLATUR DANA PENYESUAIAN, TAHUN 2005-2010 No. Nomenklatur 2005 2006 2007 2008 2009 2010 1 Dana Penyesuaian Murni 2 Dana Penyesuaian DAU 3 Dana Penyeimbang DAU 4 Dana Tunjangan Kependidikan 5 Dana Tambahan DAU 6 Dana Penyesuaian Ad Hoc 7 Dana Penyesuaian Infrastruktur Jalan 8 Dana Penyesuaian Infrastruktur Sarana dan Prasarana (DISP) 9 Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal & Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF & PPD) 10 Dana Penguatan Infrastruktur dan Prasarana Daerah (DPIPD) 11 Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pendidikan (DPPIP) 12 Dana Insentif Daerah 13 Dana Tambahan Penghasilan Guru 14 Kurang Bayar DAK dan DISP Sumber: Kementerian Keuangan GRAFIK V.7 PERKEMBANGAN DANA OTSUS DAN DANA PENYESUAIAN TAHUN 2005-2010 35 30 25 Dana Penyesuaian Dana Otonomi Khusus triliun rupiah 20 15 11,8 21,2 10 5 0 5,5 0,6 1,8 2005 LKPP Sumber : Kementerian Keuangan 3,5 4,0 2006 LKPP 5,3 2007 LKPP 6,2 7,5 2008 LKPP 9,5 9,1 2009 LKPP 2010 APBN-P 5.2.3 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) merupakan komponen utama Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebagai sumber utama PAD, Pemerintah senantiasa mendorong peningkatan penerimaan daerah yang bersumber dari PDRD tersebut melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah sesuai dengan perkembangan keadaan. Dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, kebijakan perpajakan daerah dan retribusi daerah diarahkan untuk memberikan taxing power yang lebih besar kepada daerah. V-12

Dengan pemberian taxing power yang lebih besar tersebut diharapkan pemerintah daerah dapat memungut sumber-sumber penerimaan potensial yang ada di masing-masing daerah untuk mendanai kebutuhan pemerintahan dan pembangunan daerah. Saat ini ketentuan peraturan perundangan yang mengatur tentang PDRD adalah UU Nomor 28 Tahun 2009 sebagai pengganti dari UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000. Beberapa perubahan mendasar yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tersebut antara lain adalah: (1) Mengubah kewenangan pemungutan dari sistem open list menjadi closed list, artinya pemerintah daerah hanya dapat memungut jenis PDRD sebagaimana yang tercantum dalam UU dimaksud. Namun demikian, khusus untuk retribusi daerah masih dimungkinkan untuk ditambah jenisnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Kebijakan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk menciptakan jenis pungutan baru sebagaimana diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 telah menyebabkan timbulnya banyak pungutan daerah yang bermasalah. Dengan tidak memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan jenis PDRD baru akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. (2) Meningkatkan kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah dengan memperluas basis pungutan dan memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif. Perluasan basis pajak dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik, tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekspor impor. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perluasan basis pajak daerah dilakukan dengan memperluas basis pajak daerah yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat, dan menambah jenis pajak baru. Upaya perluasan basis pajak yang sudah ada antara lain dilakukan dengan menambah objek Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (termasuk kendaraan Pemerintah/TNI/Polri). Sementara itu, terdapat 4 (empat) jenis pajak baru bagi daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Sarang Burung Walet, dan Pajak Rokok. PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB sebelumnya merupakan pajak pusat, kini dialihkan menjadi pajak kabupaten/kota, sementara Pajak Sarang Burung Walet sebagai pajak kabupaten/kota, dan Pajak Rokok sebagai Pajak Provinsi. Selain perluasan basis pajak, perluasan juga dilakukan terhadap beberapa objek retribusi dan penambahan jenis retribusi, misalnya Retribusi Izin Gangguan yang diperluas sehingga mencakup pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja. Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif, daerah hanya dapat menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan dalam UU PDRD dimaksud untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah V-13

Kebijakan Desentralisasi Fiskal beban bagi masyarakat secara berlebihan. Selain penetapan batas maksimum, ditetapkan pula ketentuan tarif minimum untuk menghindari terjadinya perang tarif antardaerah terutama untuk objek pajak yang mudah bergerak seperti kendaraan bermotor. (3) Memperbaiki sistem pengelolaan PDRD melalui kebijakan bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota, insentif pemungutan PDRD, dan earmarking penerimaan pajak daerah. Kebijakan earmarking dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan pungutan dimana sebagian hasil penerimaan pajak dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan dengan pajak tersebut. Sebagai contoh, sebagian penerimaan Pajak Penerangan Jalan dialokasikan untuk mendanai penerangan jalan, paling sedikit 10 persen dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum. (4) Dalam rangka mengefektifkan pengawasan PDRD, mekanisme pengawasan diubah dari represif menjadi preventif. Setiap peraturan daerah tentang PDRD sebelum dilaksanakan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. Selain itu, terhadap daerah yang menetapkan kebijakan di bidang PDRD yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan dikenakan sanksi berupa penundaan dan/ atau pemotongan DAU dan/atau DBH atau restitusi. UU Nomor 28 Tahun 2009 mengatur tentang 16 (enam belas) jenis pajak yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, yaitu 5 (lima) jenis pajak provinsi dan 11 (sebelas) jenis pajak kabupaten/kota. Sedangkan jenis retribusi yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah meliputi 14 (empat belas) jenis retribusi jasa umum, 11 (sebelas) jenis retribusi jasa usaha dan 5 (lima) jenis retribusi perizinan tertentu. Penetapan jenis PDRD tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa jenis PDRD tersebut secara umum dipungut hampir disemua daerah dan secara teori maupun praktik merupakan jenis pungutan yang baik serta memenuhi kriteria sebagai pungutan daerah. Pemerintah daerah boleh tidak memungut jenis PDRD sebagaimana yang tercantum dalam UU tersebut dengan pertimbangan, antara lain, apabila potensi jenis PDRD di daerah tersebut tidak memadai. Jenis pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 masing-masing dapat dilihat pada Tabel V.3 dan Tabel V.4. Sama halnya dengan pajak daerah, pemerintah daerah juga tidak diperkenankan untuk memungut jenis retribusi selain yang telah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009. Namun demikian, untuk mengantisipasi perkembangan keadaan, maka dimungkinkan untuk menambah jenis retribusi sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam UU dimaksud dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah. TABEL V.3 JENIS PAJAK DAERAH Provinsi Kabupaten/Kota 1. Pajak Kendaraan Bermotor 1. Pajak Hotel 2. Bea Balik Nama 2. Pajak Restoran Kendaraan Bermotor 3. Pajak Bahan Bakar 3. Pajak Hiburan Kendaraan Bermotor 4. Pajak Air Permukaan 4. Pajak Reklame 5. Pajak Rokok 5. Pajak Penerangan Jalan 6. Pajak Parkir 7. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan 8. Pajak Air Tanah 9. Pajak Sarang Burung Walet 10. PBB Perdesaan dan Perkotaan 11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Sumber: UU Nomor 28 Tahun 2009 V-14

TABEL V.4 JENIS RETRIBUSI DAERAH Jasa Umum Jasa Usaha Perizinan Tertentu 1 Retribusi Pelayanan Kesehatan 1 Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah 1 Retribusi Izin Mendirikan Bangunan 2 Retribusi Kebersihan 2 Retribusi Pasar Grosir/Pertokoan 2 Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol 3 Retribusi KTP dan Akte Capil 3 Retribusi Tempat Pelelangan 3 Retribusi Izin Gangguan 4 Retribusi Pemakaman/ Pengabuan 4 Retribusi Terminal 4 Retribusi Izin Trayek Mayat 5 Retribusi Parkir di Tepi 5 Retribusi Tempat Khusus Parkir 5 Retribusi Izin Usaha Perikanan Jalan Umum 6 Retribusi Pelayanan Dasar 6 Retribusi Tempat Penginapan/ Pesanggrahan/Villa 7 Retribusi Pengujian Kendaraan 7 Retribusi Rumah Potong Hewan Bermotor 8 Retribusi Pemeriksaan Alat 8 Retribusi Pelayanan Kepelabuhan Pemadam Kebakaran 9 Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta 9 Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga 10 Retribusi Pelayanan Tera/ Tera Ulang 10 Retribusi Penyeberangan di Air 11 Retribusi Penyedotan Kakus 11 Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah 12 Retribusi Pengolahan Limbah Cair 13 Retribusi Pelayanan Pendidikan 14 Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi Sumber: UU Nomor 28 Tahun 2009 Penentuan jenis retribusi jasa umum dan retribusi perizinan tertentu yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota didasarkan pada urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan masing-masing daerah sesuai peraturan perundang-undangan, sedangkan untuk retribusi jasa usaha didasarkan pada siapa yang menyediakan jasa. Pemanfaatan hasil penerimaan masing-masing jenis retribusi daerah diutamakan untuk mendanai kegiatan yang bersangkutan dengan tujuan agar pelayanan yang disediakan dapat senantiasa ditingkatkan. Lebih lanjut dalam ketentuan UU Nomor 28 Tahun 2009, Pemerintah melakukan pengawasan secara preventif dan korektif terhadap Perda-perda tentang PDRD yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Pengawasan preventif dilakukan dengan mengevaluasi raperda sebelum ditetapkan menjadi perda, sedangkan pengawasan korektif dilakukan dengan mengevaluasi perda tentang PDRD yang telah ditetapkan oleh kepala daerah. Apabila dalam pengawasan tersebut ditemukan perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Pemerintah dapat melakukan pembatalan atas perda bermasalah tersebut. Sejak tahun 2001 sampai dengan 2010, terdapat 13.623 perda tentang PDRD yang diterima dan telah dievaluasi sebanyak 13.252 perda. Dari jumlah yang dievaluasi tersebut, 4.885 perda (37 persen) diantaranya direkomendasikan untuk dibatalkan karena tidak sesuai dengan kepentingan umum dan/ atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Untuk raperda, dari 2.765 yang diterima, sejumlah 2.754 diantaranya telah dievaluasi dengan hasil 352 (13 persen) raperda ditolak dan 1.522 (55 persen) raperda direkomendasikan untuk direvisi. V-15

Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terkait dengan kepatuhan hukum, Pemerintah dapat mengenakan sanksi kepada daerah yang tetap melakukan pemungutan PDRD walaupun telah diberikan ketetapan pembatalan atas perda PDRD tersebut. Sesuai UU Nomor 28 Tahun 2009, pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH atau restitusi, dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Pelanggaran terhadap prosedur penetapan raperda menjadi perda adalah berupa penundaan DAU atau DBH Pajak Penghasilan bagi daerah yang tidak memperoleh DAU sebesar 10 persen untuk setiap periode penyaluran; (2) Pelanggaran terhadap daerah yang tetap melaksanakan pemungutan PDRD berdasarkan perda yang dibatalkan adalah berupa pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan sebesar perkiraan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah yang telah dipungut untuk setiap periode penyaluran DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan atau 5 persen dari jumlah DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan yang disalurkan untuk setiap periode penyaluran. Selanjutnya, beberapa hal krusial dalam pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2009 adalah sebagai berikut: (1) Pengalihan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2011, sehingga penerimaan BPHTB tidak lagi dianggarkan dalam APBN tahun 2011; (2) Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan dari pajak pusat menjadi pajak daerah dilaksanakan selambat-lambatnya pada tanggal 1 Januari 2014. Dengan demikian, penerimaan PBB sektor perdesaan dan perkotaan tidak lagi dianggarkan dalam APBN apabila perda tentang PBB Perdesaan dan Perkotaan sudah berlaku di daerah; (3) Penerimaan terhadap jenis pungutan yang tidak terdapat dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tidak dianggarkan lagi dalam APBD tahun 2011; (4) Untuk perda tentang PDRD yang berlaku saat ini dan masih tercantum sebagai jenis PDRD menurut UU Nomor 28 Tahun 2009, maka ketentuan pemungutannya harus disesuaikan dengan UU dimaksud paling lambat tanggal 31 Desember 2012; (5) Terkait dengan PBB Perdesaan dan Perkotaan, Pemerintah perlu melakukan konsultasi/ koordinasi/sosialisasi dengan instansi terkait dan mempersiapkan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia, khususnya tenaga administrator, pendataan, penilaian, dan penetapan. 5.2.4 Pinjaman dan Hibah Daerah 5.2.4.1 Pinjaman Daerah Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, diamanatkan bahwa Pemerintah menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan keadaan dan prakiraan perkembangan perekonomian nasional. Batas maksimal kumulatif dimaksud adalah 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun anggaran yang V-16

bersangkutan. Dalam rangka menjaga batas tersebut, setiap tahun Pemerintah menetapkan batas maksimal kumulatif defisit APBD, batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah, dan batas maksimal kumulatif pinjaman daerah. Untuk menutup defisit APBD, pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman daerah yang bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat dalam bentuk obligasi daerah. Grafik V.8 menggambarkan perkembangan kontribusi pinjaman daerah terhadap pembiayaan defisit APBD. Kontribusi tersebut dihitung dari besarnya penarikan pinjaman daerah dibandingkan dengan besarnya defisit pada APBD. Berdasarkan grafik tersebut, dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, kontribusi pinjaman daerah terhadap pembiayaan defisit APBD sangat kecil dan berfluktuasi antara 4 persen sampai dengan 7 persen. Defisit APBD pada umumnya ditutup dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) tahun sebelumnya masingmasing Pemerintah Daerah. Dalam era otonomi daerah, sebagian besar pinjaman daerah yang digunakan untuk menutup defisit bersumber dari Pemerintah dan lembaga keuangan bank. Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah yang dananya bersumber dari pendapatan APBN dan/atau pengadaan pinjaman Pemerintah dari dalam negeri maupun luar negeri. Pengadaan pinjaman luar negeri dikelola melalui mekanisme penerusan pinjaman luar negeri (Subsidiary Loan Agreement/SLA). Penerusan pinjaman luar negeri pada umumnya merupakan pinjaman jangka panjang yang digunakan untuk mendanai proyek investasi yang menghasilkan penerimaan. Beberapa sumber pinjaman luar negeri tersebut adalah pinjaman yang bersumber dari badan-badan yang sifatnya multilateral seperti Bank Dunia (World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank), dan negara-negara lain secara bilateral. Di samping itu, Pemerintah terus berupaya mendorong pemerintah daerah untuk mengoptimalkan sumber pinjaman dalam negeri berupa obligasi daerah yang diperdagangkan di pasar modal domestik. 5.2.4.2 Hibah Daerah 7% 6% 5% 4% 3% 2% 1% 0% GRAFIK. V.8 PERKEMBANGAN KONTRIBUSI PINJAMAN DAERAH TERHADAP PEMBIAYAAN DEFISIT APBD TAHUN 2007-2010 Pemberian hibah kepada pemerintah daerah merupakan wujud pelaksanaan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah yang merupakan suatu sistem pendanaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk dapat memberikan hibah kepada pemerintah daerah. Kebijakan pemberian hibah kepada daerah tersebut kemudian dipertegas dalam Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004. Peraturan-peraturan tersebut mengatur secara tegas bahwa pemberian hibah dari Pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersumber dari 5,32 Sumber: KementerianKeuangan 6,13 4,63 4,21 2007 2008 2009 2010 V-17

Kebijakan Desentralisasi Fiskal penerimaan dalam negeri, pinjaman dalam negeri serta penerusan pinjaman luar negeri dan hibah luar negeri dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pelaksanaan pemberian hibah kepada pemerintah daerah adalah sebagai berikut: (1) Hibah dari Pemerintah kepada pemerintah daerah dilaksanakan dalam kerangka hubungan keuangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah. (2) Hibah dilaksanakan sejalan dengan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. (3) Hibah dilaksanakan dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah berdasarkan peta kapasitas fiskal daerah yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. (4) Hibah bersifat bantuan untuk melaksanakan kegiatan urusan pemerintahan yang merupakan kewenangan pemerintah daerah. Hibah kepada daerah dalam kerangka hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah, mulai dilaksanakan pada tahun 2009 dengan ditandatanganinya Naskah Perjanjian Penerusan Hibah (NPPH) antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk kegiatan Mass Rapid Transit (MRT). Hibah ini bersumber dari pinjaman luar negeri yang berasal dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Proyek MRT merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan transportasi di Jakarta yang menjadi prioritas pembangunan nasional dan telah tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hibah ini dilakukan secara bertahap dan direncanakan mulai direalisasikan pada tahun 2010. Pada APBN tahun 2009 telah dialokasikan dana hibah kepada daerah sebesar Rp31,6 miliar yang merupakan kegiatan penerusan hibah untuk kegiatan Local Basic Education Capacity (L-BEC) dan Support to Community Health Services (SCHS). L-BEC adalah kegiatan penerusan hibah yang bersumber dari hibah Uni Eropa dan Pemerintah Kerajaan Belanda (dikelola oleh Bank Dunia) untuk kegiatan peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam bidang pendidikan dasar. Hibah L-BEC diteruskan kepada 50 kabupaten/kota. Sementara itu, hibah SCHS bersumber dari bantuan Uni Eropa (dikelola oleh WHO) ditujukan untuk peningkatan fasilitas ruang isolasi pasien flu burung yang diberikan kepada 10 rumah sakit yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Selanjutnya pada tahun 2010, APBN mengalokasikan dana hibah kepada daerah sebesar Rp243,21 miliar. Dana tersebut merupakan penerusan hibah untuk 5 kegiatan. Hibah untuk kegiatan MRT merupakan rencana realisasi hibah yang penandatanganan NPPH-nya sudah dilakukan pada tahun 2009. Kegiatan L-BEC merupakan lanjutan dari tahun 2009 dan direncanakan berakhir pada tahun 2012. Selain dua kegiatan tersebut, APBN 2010 juga mengalokasikan hibah yang bersumber dari AusAID dan Bank Dunia. AusAID memberikan hibah untuk kegiatan Hibah Air Minum dan Hibah Air Limbah. Hibah Air Minum tersebut ditujukan untuk peningkatan akses penyediaan air minum bagi masyarakat yang belum memiliki akses sambungan air minum perpipaan. Sedangkan Hibah Air Limbah ditujukan untuk peningkatan akses sistem air limbah perpipaan bagi masyarakat. Selanjutnya, dalam kegiatan WASAP-D, Bank Dunia memberikan hibah yang ditujukan untuk pembangunan sarana pengelolaan air limbah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah. (lihat Tabel V.5) V-18