BAB 5 KESIMPULAN Pengaruh Pola Tata Letak

dokumen-dokumen yang mirip
OPTIMASI KINERJA PENCAHAYAAN ALAMI UNTUK EFISIENSI ENERGI PADA RUMAH SUSUN DENGAN KONFIGURASI TOWER DI DENPASAR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Eksistensi Proyek. kota besar di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan jumlah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

lib.archiplan.ugm.ac.id

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Ventilasi suatu bangunan merupakan salah satu elemen penting dalam

Belakang Latar. yaitu. Kota. yang. dan dekat

BAB 1 PENDAHULUAN. Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah populasi manusia di Jakarta,

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN CATATAN DOSEN PEMBIMBING HALAMAN PENGANTAR PERNYATAAN ABSTRAK DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambar 1. Jumlah Penduduk DKI Jakarta Sumber : diakses tanggal 2 Oktober 2015

`BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB VI KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Karakteristik penghuni yang mempengaruhi penataan interior rumah susun

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

DAFTAR ISI. PROYEK AKHIR SARJANA... i. KATA PENGANTAR... ii. DAFTAR GAMBAR... ix. DAFTAR TABEL... xiii PENDAHULUAN Data Ukuran Lahan...

PENDEKATAN KONSEP DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. Pendekatan konsep untuk tata ruang dan tata fisik

PENCAHAYAAN SEBAGAI INDIKATOR KENYAMANAN PADA RUMAH SEDERHANA YANG ERGONOMIS Studi Kasus RSS di Kota Depok Jawa Barat

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

PEREMAJAAN PEMUKIMAN RW 05 KELURAHAN KARET TENGSIN JAKARTA PUSAT MENJADI RUMAH SUSUN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Database audit energi menggunakan Program Visual Basic 6.0

BAB I PENDAHULUAN. Tinggi terletak pada LU dan BT. Kota Tebing Tinggi

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB III ELABORASI TEMA

PENGENDALIAN BAHAYA KEBAKARAN MELALUI OPTIMALISASI TATA KELOLA LAHAN KAWASAN PERUMAHAN DI WILAYAH PERKOTAAN

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

(Mehleri, 2010). Konfigurasi bidang lipat dengan rentang sudut optimal menghasilkan penerimaan radiasi yang lebih kecil daripada model dasar, karena

AR 40Z0 Laporan Tugas Akhir Rusunami Kelurahan Lebak Siliwangi Bandung BAB 5 HASIL PERANCANGAN

BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN Urban Heat Island Sebagai Dampak Dari Pembangunan Perkotaan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Jumlah penduduk di Indonesia dari tahun ke tahun selalu mengalami

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Memahami Pola Pembentuk Estetika Batik Cakar

STUDIO TUGAS AKHIR ARSITEKTUR DOSEN PEMBIMBING : RAHY R. SUKARDI, Ir., M.T.

BAB VI RENCANA UMUM DAN PANDUAN RANCANGAN

ARAHAN PENATAAN KAWASAN TEPIAN SUNGAI KANDILO KOTA TANAH GROGOT KABUPATEN PASIR PROPINSI KALIMANTAN TIMUR TUGAS AKHIR

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia disamping kebutuhan sandang dan pangan. Dikatakan sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB VI PENUTUP. 1. Kondisi kenyamanan thermal hasil simulasi eksisting: Kondisi eksisting penggal 1,2,3 titik terendah dan tertinggi pagi

BAB I PENDAHULUAN. pemakaian energi karena sumbernya telah menipis. Krisis lingkungan sangat mempengaruhi disiplin arsitektur di setiap

DESAIN INTEGRATIF DALAM PERENCANAAN RUMAH SUSUN SEDERHANA

BAB I PENDAHULUAN. Apartemen adalah: Tempat tinggal (yang terdiri atas kamar tamu, kamar tidur,

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Analisis Pencahayaan Alami pada Ruang Kuliah Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pola Fraktal sebagai Pemberi Bentuk Arsitektur Apartemen yang Menenangkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Proyek. 1.2 Tujuan Proyek

RUMAH SUSUN HEMAT ENERGI DI YOGYAKARTA

BAB III TINJAUAN KHUSUS

BAB V PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN KAMPUS II PONDOK PESANTREN MODERN FUTUHIYYAH DI MRANGGEN

11. Batasan dan Definisi Judul I 1.2. Latar Belakang Permasalahan I

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pemahaman Judul Tanjung Emas Container (Peti Kemas) Apartement

RUMAH SUSUN PENJARINGAN PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA DINAS PERUMAHAN DAN GEDUNG PEMDA

BAB III: TAHAP FINALISASI METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Aktivitas Pengrajin Gerabah di Desa Pagelaran

PENGANTAR BANGUNAN BERTINGKAT

2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Agria Tri Noviandisti, 2012 Perencanaan dan Perancangan Segreen Apartment Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.

BAB 3 TINJAUAN WILAYAH YPCM

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

Latar Belakang KONSEP DESAIN ARSITEKTUR EKOLOGIS PADA RESOR DI DAERAH BERIKLIM TROPIS LEMBAB

BAB IV KONSEP PERANCANGAN

berfungsi sebagai tempat pertukaran udara dan masuknya cahaya matahari. 2) Cross Ventilation, yang diterapkan pada kedua studi kasus, merupakan sistem

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN

KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. perumahan di Kota Sleman dan lahan pertanian masih tetap. penggunaan tanah sebagai pertimbangan utama, juga harus

BAB IV KONSEP. Gambar 25 Konsep Hub

PROGRAM PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN BERBASIS KOMUNITAS (PLPBK) DOKUMEN ATURAN BERSAMA

Gedung Kantor LKPP BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

APARTEMEN DI BEKASI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. syarat bangunan nyaman, maka deformasi bangunan tidak boleh besar. Untuk. memperoleh deformasi yang kecil, gedung harus kaku.

FENOMENA PERBEDAAN TINGKAT KEBISINGAN PADA 2 UNIT RUANG TIDUR: STUDI KASUS RUMAH TINGGAL PENELITI DI TEPI JALAN RAYA

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

NATURAL LIGHTING DESIGN CONSULTATION. Canisius College Sport Hall Jakarta

I. PENDAHULUAN. fungsi dan luas ruangan serta intensitas penerangannya.

BAB IV KONSEP PERANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

DAFTAR ISI. Multi Layer Kampung Page 77

Pengaruh Lingkungan Penerangan Terhadap Kualitas Ruang Pada Dua Tipe Ruang Kantor Studi Kasus : Gedung Graha Pena

Ujian Tesis. DISTRIBUSI ALIRAN UDARA PADA PERUMAHAN BERPOLA GRID DI LAHAN BERKONTUR (Kampung Jacky Chan di Aceh Besar) QURRATUL AINI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. letaknya ini, matahari dapat bersinar di wilayah Indonesia selama 12 jam per

2. Sejarah Desain Interior

RESORT DENGAN FASILITAS MEDITASI ARSITEKTUR TROPIS BAB III TINJAUAN KHUSUS. 3.1 Latar Belakang Pemilihan Tema. 3.2 Penjelasan Tema

Gambar 6.1 Alternatif Gambar 6.2 Batara Baruna. 128 Gambar 6.3 Alternatif Gambar 6.4 Alternatif Gambar 6.

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PROYEK

BAB IV ANALISIS PERENCANAAN DAN PERANCANGAN PERMUKIMAN TUMBUH DIATAS LAHAN BENCANA LUMPUR LAPINDO

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Pemilihan Studi

BAB V1 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV ANALISA PERENCANAAN

MAKALAH ILUMINASI DISUSUN OLEH : M. ALDWY WAHAB TEKNIK ELEKTRO

KONSEP TUGAS AKHIR TEHNIK ARSITEKTUR MUSEUM ZOOLOGY DI SURABAYA

Transkripsi:

BAB 5 KESIMPULAN 5.1. Kesimpulan Keterbatasan lahan di perkotaan mendorong pengembangan bangunan permukiman yang menyisakan sedikit ruang antar bangunan. Minimnya jarak antar bangunan menyebabkan luas bukaan atau bidang transparan yang berfungsi sebagai akses pencahayaan alami menjadi terbatas. Tata letak bangunan yang berdekatan mengakibatkan obstruksi dan ketertutupan akses pencahayaan alami bagi bangunan lainnya, sehingga mengurangi kuantitas pencahayaan alami yang masuk ke dalam bangunan. Dengan mengevaluasi pola tata letak dan bentuk bangunan yang telah ada dan menjelaskan bagaimana tata letak dan bentuk berpengaruh terhadap kinerja pencahayaan alami dalam bangunan, dapat diketahui permasalahan dasar yang menyebabkan kinerja pencahayaan alami dalam bangunan tidak optimal. Hasil kajian tersebut digunakan sebagai dasar dalam mengidentifikasi pola tata letak dan bentuk bangunan yang baik untuk mengoptimalkan pencahayaan alami di dalam bangunan. 5.1.1. Pengaruh Pola Tata Letak Pola tata letak bangunan dalam kaveling berpengaruh terhadap kinerja pencahayaan alami. Peningkatan jarak bangunan terhadap bangunan lain (penghalang) cenderung meningkatkan kuantitas pencahayaan alami yang dihasilkan. Modifikasi tata letak A (dinding paling belakang bangunan tidak berjarak dengan bangunan di belakangnya) menjadi B (dinding paling belakang bangunan berjarak 1,5m dengan bangunan di belakangnya) dapat meningkatkan kuantitas pencahayaan alami hingga 4,91%, namun menurunkan rasio keseragaman sebesar 8,3%. Rasio perimeter bebas (WWR optimal) yang memungkinkan pada bangunan akibat modifikasi tata letak tipe A menjadi tipe B dapat meningkat sebesar 35%. Pada skala bangunan, kinerja bangunan dengan pola tata letak tipe A cenderung lebih baik daripada pola tata letak tipe B karena lebih rendah, tetapi 145

justru lebih mendekati standar kebutuhan, (DF:0,25%-1,5% dan Rasio Uniformity: 1-2,5). Bangunan dengan pola tata letak tipe A menjadikan jarak bukaan terhadap bangunan lain (di depan) menjadi lebih jauh (13-16m) tetapi menyebabkan bagian belakang bangunan tidak memiliki jarak antar bangunan. Pada tipe B jarak bangunan (di depan) menjadi lebih dekat (10-12m) sehingga pada bagian belakang jarak antar bangunan bertambah 3m. Pada skala ruang, tipe B lebih baik kinerjanya daripada tipe A karena semua ruang dapat mengakses pencahayaan alami. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola tata letak bangunan ternyata berpengaruh terhadap kinerja pencahayaan alami di dalam bangunan. Hal ini sama dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Antaryama, dkk (2013), yaitu pola tata letak bangunan yang membentuk jarak antar bangunan pada sisi belakang bangunan dapat meningkatkan kinerja pencahayaan alami di dalam bangunan. Menurut Unver dkk, (2002) salah satu faktor yang mempengaruhi pencahayaan alami adalah obstruction (obstruksi). Dalam penelitian ini bangunan di sekitar bangunan yang diteliti penjadi obstruksi/penghalang cahaya alami untuk mencapai bangunan. Semakin rendah dan jauh jarak obstruksi terhadap bukaan, akan semakin banyak cahaya alami yang masuk ke dalam bangunan. Littlefair (2001) dalam penelitiannya juga menunjukkan bahwa faktor jarak dan ketinggian bangunan berpengaruh terhadap kinerja pencahayaan alami. 5.1.2. Pengaruh Bentuk Bentuk bangunan juga berpengaruh terhadap kinerja pencahayaan alami. Modifikasi bentuk juga dapat meningkatkan kinerja pencahayaan alami rata-rata pada tipe A hingga 81,73% dan pada tipe B 72,33%. Akibat modifikasi bentuk, tingkat keseragaman distribusi cahaya alami di dalam bangunan, yaitu pada tipe A menurun 18,33% dan pada tipe B menurun 5,21%. Dengan modifikasi bentuk bangunan kompak (SI besar) menjadi tidak kompak (SI lebih kecil) pada tata letak tipe A dapat meningkatkan perimeter bebas bangunan 77,78%, dan pada tipe B meningkat 26,98%. 146

Bentuk bangunan yang cenderung kompak dengan pola tata letak tipe A menunjukkan kinerja yang lebih rendah dibandingkan tipe B, namun masih memenuhi standar kebutuhan pencahayaan alami. Bentuk bangunan tidak kompak memiliki perimeter bebas yang lebih banyak daripada bentuk kompak, sehingga pencahayaan alami dapat menjangkau seluruh bagian dalam bangunan. Bentuk yang tidak kompak dengan pola tata letak tipe B memiliki perimeter bebas yang lebih banyak sehingga memungkinkan adanya bukaan lebih banyak. Bentukbentuk tidak kompak, seperti bentuk L (model 5 dan 6) bentuk S dan T dengan tata letak tipe A ataupun B tetap memungkinkan adanya bukaan di setiap ruang huniannya, sehingga kinerja pencahayaan alaminya relatif tetap tinggi. Dalam hal kemerataan perolehan pencahayaan alami di semua ruang, bentuk yang tidak kompak (shape index kecil) cenderung menghasilkan kinerja pencahayaan alami yang lebih baik. Bentuk S (model 3) yang memiliki shape index 0,762 menghasilkan kinerja pencahayaan alami yang lebih baik daripada bentuk lain. Hasil penelitian ini menjukkan adanya pengaruh bentuk terhadap kinerja pencahayaan alami. Hal ini sesuai dengan teori Ander (1995) bahwa selain material penutup bukaan, ukuran bukaan dan geometri ruang juga menentukan tingkat iluminasi yang masuk ke dalam bangunan. Intensitas cahaya alami akan semakin berkurang pada kedalaman ruang yang lebih jauh. (Ander, 1995). Penelitian mengenai bentuk bangunan yang dilakukan Ghisi & Tinker (2004) ternyata sedikit berbeda dengan hasil penelitian ini. Penelitiannya menunjukkan bahwa ruangan dengan kedalaman ruang pendek (room index kecil) kinerja pencahayaan alaminya lebih baik. Hasil penelitian ini ternyata menunjukkan hasil yang sedikit berbeda. Hal ini terjadi karena dalam penelitian ini terdapat faktor lain yang turut berpengaruh, yaitu jarak antar bangunan dan posisi bukaan terhadap penghalang yang berbeda. Bentuk dan tata letak saling berpengaruh terhadap kinerja pencahayaan alami di dalam bangunan, namun terdapat variabel lain yang lebih berpengaruh, yaitu luas dan posisi bukaan. Tingginya kuantitas cahaya alami yang dihasilkan di dalam ruang pada bagian-bagian tertentu, selain akibat jarak penghalang yang jauh, juga disebabkan oleh posisi bukaan yang berada pada satu tempat saja. Untuk meningkatkan kemerataan distribusi cahaya dapat dilakukan dengan 147

membuat bukaan pada bagian lain agar bagian yang gelap dapat terjangkau cahaya dan tidak terjadi over brightness pada satu bagian di dalam ruang. 5.1.3. Optimasi Kinerja Pencahayaan Alami Pola konfigurasi bangunan yang optimal untuk pencahayaan alami merupakan kombinasi antara bentuk dan tata letak yang menghasilkan kinerja yang sesuai atau paling mendekati standar kebutuhan dan kenyamanan visual. Secara kuantitas, bangunan yang memenuhi standar kebutuhan dan keseragaman adalah Model 2 tipe A, Model 4 tipe A dan Model 3 tipe B. Pada skala bangunan ketiga model tersebut memenuhi standar kebutuhan, yaitu 0,25%-1,5% (Baker, 2001) dan standar keseragaman untuk kenyamanan visual dalam bangunan, yaitu maksimum 2,5-3 (Ruck, 2000). Dengan meninjau kinerja pada skala ruang, dan syarat luas lubang cahaya minimal, maka pola konfigurasi bangunan Model 2 dan 4 tipe A tidak memenuhi syarat. Pola konfigurasi yang paling baik (paling mendekati syarat dan standar kebutuhan) pada tipe A adalah Model 3 dengan dan pada pola tata letak tipe B juga Model 3. Dengan model yang sama, kinerja antara tipe tata letak A dibandingkan tipe tata letak B ternyata lebih baik tipe B karena lebih mendekati standar kebutuhan pencahayaan alami. Dari seluruh model yang diuji di dalam penelitian ini, konfigurasi bangunan Model 3 tipe B adalah model yang paling optimal kinerja pencahayaan alaminya. 5.2. Saran 5.2.1. Teoritis Penelitian ini hanya fokus pada pengaruh bentuk dan tata letak bangunan saja. Pada penelitian selanjutnya dapat pula dikaji bagaimana pengaruh variabel lain, seperti jenis dan warna material, orientasi bangunan, posisi dan luas bukaan yang optimal untuk menghasilkan kinerja pencahayaan alami yang baik di dalam bangunan. Hasil penelitian tersebut akan sangat berguna bagi perancang bangunan sebagai pedoman desain bangunan rumah tinggal di kawasan yang relatif padat. Untuk melihat lebih jauh pengaruh variabel bentuk dan tata letak terhadap kinerja pencahayaan alami, penelitian selanjutnya dapat dilakukan pada 148

tipologi bangunan dengan bentuk yang lebih kompleks dan pola tata letak yang lebih bervariasi. Bangunan dengan konsep rumah tumbuh memungkinkan untuk dikembangkan secara vertikal menjadi 2 atau 3 lantai. Air well yang terbentuk pada bagian belakang bangunan akan menguntungkan untuk proses pertukaran udara dalam bangunan. Oleh karena itu dapat diteliti lebih lanjut bagaimana pengaruh konfigurasi bangunan tersebut terhadap pola aliran udara di dalam bangunan atau pada kawasan permukiman. 5.2.2. Praktis Pada kawasan permukiman yang relatif padat (KDB lebih dari 50%), untuk mendapatkan kinerja pencahayaan alami yang optimal, desain yang direkomendasikan untuk dikembangkan adalah bentuk S (Model 3), dengan pola tata letak B. Jarak sempadan bangunan bagian depan yang optimal adalah 3m dan bagian belakang 1,5m seperti pada Gambar 5.1. Dalam skala ruang, jarak optimal antara bukaan terhadap bangunan lain (penghalang), untuk ruang tamu: 13m atau 16m, ruang tidur 1: 14m, dan ruang tidur 2: 3,2m. 4.500 1.500 RUANG TIDUR 1 RUANG TIDUR 2 1.000 6.000 RUANG TAMU 2.000 KM 4.500 1.500 12.000 Gambar 5.1. Denah Tipologi Bangunan untuk Pencahayaan Alami yang Optimal 149

Halaman ini sengaja dikosongkan 150