LAPORAN KUNJUNGAN KERJA SPESIFIK KOMISI VII DPR RI KE ALUMINA REFINERY, ANTAM DAN PLN DI KETAPANG KALIMANTAN BARAT 2 4 April 2015 SEKRETARIAT KOMISI VII DPR RI 2015
LAPORAN KUNJUNGAN KERJA SPESIFIK KOMISI VII DPR RI KE ALUMINA REFINERY, ANTAM DAN PLN DI KETAPANG KALIMANTAN BARAT A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang a. Implikasi kebijakan larangan penjualan eksport bauksit olahan ke luar negeri per 12 Januari 2014 adalah sebagai berikut; hilangnya penerimaan negara, terhentinya kegiatan penambangan 51 perusahaan IUP operasi produksi bauksit, terjadinya PHK karyawan perusahaan sebanyak + 40.000 orang, terhambatnya pendanaan pembangunan industry pemurnian alumina dari perusahaan IUP operasi produksi bauksit. b. Hilangnya penerimaan negara dari pajak dan non pajak sejak 2014 mengingat besarnya sumberdaya bauksit nasional di Kalbar sebesar 3,268,533,344 ton dan cadangan sebesar 1,129,154,090 ton. c. Kelayakan investasi industry alumina (smelter) PT. Harita Prima Abadi Mineral dengan bendera PT.Well Harvest Winning Alumina Refinery adalah pioneer dalam pembangunan Industri Pengolahan dan Pemurnian Alumina (Smelter), dengan lokasi Industri di Kec. Kendawangan Kab. Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat dengan Kapasitas produksi 4 juta ton alumina per tahun, nilai investasi sebesar + USD 2,28 Milyar, Peletakan batu pertama telah dilaksanakan pada 17 Juli 2013 oleh Wakil Menteri ESDM. d. Progress pembangunan tahap pertama sebesar 2 Juta Ton Alumina sampai saat ini telah mencapai 43,66%. e. Sejak dikeluarkannya Permen ESDM No. 1 tahun 2014 terhentinya eksport bauksit berdampak pada perekonomian Kabupaten Ketapang baik secara langsung maupun tidak langsung diantaranya berkurangnya pendapatan asli daerah dari pertambangan, terjadinya PHK 8.096 orang, meningkatnya angka pengangguran yang berimplikasi terjadinya kerawanan sosial dan gangguan Kamtibmas. f. Melihat implementasi pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri sesuai amanat UU Minerba yang dilakukan oleh PT. ANTAM di Kalimantan Barat.
g. Mengetahui kondisi kelistrikan, pemadaman bergilir dan rasio elektrifikasi di Ketapang Kalimantan Barat. 2. Dasar Hukum Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VII DPR RI dilaksanakan berdasarkan Hasil Keputusan Rapat Intern Komisi VII DPR RI tanggal 24 Maret 2015 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2014-2015 serta merujuk pada pasal 59, ayat 4, huruf d Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tentang Tata Tertib. 3. Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan diadakannya kunjungan kerja spesifik ini diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui sejauhmana progress pembangunan smelter PT. WHW di Kendawangan Ketapang Kalimantan Barat. 2. Untuk mengetahui kondisi infrastruktur pendukung seperti listrik, infrastruktur transportasi, jeti, pembebasan lahan, perizinan serta sejumlah reguasi pendukung di Kalbar. 3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi baik didaerah maupun pusat serta dukungan apa yang diperlukan dari Komisi VII DPR RI. 4. Waktu dan Lokasi Kegiatan Adapun waktu dan lokasi kegiatan selama Kunjungan Kerja Spesifik ke Kendawangan Ketapang Provinsi Kalbar (terlampir) B. SASARAN DAN HASIL KEGIATAN Sasaran dari kegiatan kunjungan kerja spesifik Komisi VII DPR RI ke Kendawangan Kabupaten Ketapang Provinsi Kalbar adalah terkumpulnya berbagai masukan/pandangan terkait progress pembangunan smelter bauksit dan kendalakendala yang dihadapi saat ini serta alternative solusi yang dapat diambil. C. METODE PELAKSANAAN KEGIATAN Metode pelaksanaan kegiatan Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VII DPR RI adalah sebagai berikut;
1. Persiapan Membuat TOR persiapan pelaksanaan kegiatan Melakukan Kontak dengan Mitra terkait yakni PT. WHW Group Harita, Pemda setempat, dirjen Minerba dsbnya Mempersiapkan administrasi keberangkatan 2. Pelaksanaan Pertemuan dengan jajaran direksi PT. WHW Harita Group di Ketapang Provinsi Kalimantan Barat. 3. Pelaporan Membuat laporan terhadap berbagai masukan berkenaan hasil Kunjungan Kerja Spesifik ke smelter bauksit di Kendawangan Ketapang Provinsi Kalimantan Barat. Memasukkan usulan/pandangan yang berasal dari direksi PT. WHW Group Harita dan pemangku kepentingan lainnya terhadap kondisi pembangunan smelter saat ini dan rencana pengembangan kedepan. Merumuskan kesimpulan/rekomendasi untuk ditindaklanjuti dengan Menteri ESDM dan mitra terkait lainnya D. SUSUNAN TIM KUNJUNGAN KERJA SPESIFIK Susunan Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VII DPR RI ke RU VI Balongan yang terdiri dari Ketua, anggota tim selengkapnya sebagai berikut: NO. NAMA NO. ANG FRAKSI JABATAN 1. DR. Ir. H. ZAHIRULLAH AZHAR PKB KETUA 2. YULIAN GUNHAR, SH, MH PDIP ANGGOTA 3. MERCY CHRIESTY BARENDS, ST PDIP ANGGOTA 4. dr. Hj. NENI MOERNIAENI, Sp. OG A-308 P. GOLKAR ANGGOTA 5. KATHERINE A. OENDOEN A-382 P. GERINDRA ANGGOTA 6. SUPRATMAN, SH, MH P. GERINDRA ANGGOTA 7. H. MUSTOFA ASSEGAF, M.Si PPP ANGGOTA
E. HASIL KUNJUNGAN E1. KUNJUNGAN KE PT. WELL HARVEST WINNING ALUMNIA REFINERY I. Inkonsistensi Regulasi Pemerintah tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral. 1. Pada tanggal 6 Februari 2012 pemerintah mengeluarkan Permen ESDM No. 7 tahun 2012 tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral. Substansi dari Permen ini adalah: a. Bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) ope rasi produksi dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang diterbitkan sebelum berlakunya Permen ini dilarang untuk menjual bijih (raw material atau ore) mineral ke luar negeri dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Permen tersebut yakni 6 Mei 2012. b. Perusahaan pemegang Kontrak Karya (seperti Freeport, dll) wajib menyesuaikan batas minimum pengolahan dan/atau pemurnian dengan batasan produk minimum untuk dijual ke luar negeri dengan kadar tembaga lebih besar dari 99,9 % CU (tembaga) dan mewajibkan kepada perusahaan Kontrak Karya (Freeport, dll) untuk membangun smelter di dalam negeri sesuai dengan amanat UU Minerba yakni harus selesai pada tanggal 12 Januari 2014. c. Larangan ekspor mineral menurut Permen ESDM No. 7/2012 juga berlaku bagi bauksit kecuali telah melakukan peningkatan nilai tambah Smelter Grade Alumina >99 % AL203 atau Chemical Grade Alumina >99 % AL203 dan >99% Al(OH)3. 2. Permen ESDM No. 7/2012 telah dibatalkan dalam permohonan hak uji materiil ke Mahkamah Agung dengan Putusan No 09P/HUM/2012 oleh Asosiasi Nikel Indonesia, No. 10 P/HUM/2012 oleh Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia, dan dibatalkan seluruhnya dengan Putusan MA No. 13 P/HUM/2012 oleh Alias Wello. 3. Pada tanggal 11 Januari 2014 (sehari sebelum kewajiban membangun smelter bagi perusahaan Kontrak Karya seperti Freeport dll jatuh tempo pada tgl. 12 Januari 2014 sesuai amanat UU Minerba), pemerintah kembali menerbitkan Permen ESDM No. 1 tahun 2014 tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri.
4. Substansi dari Permen ESDM 1/2014 adalah memberi kelonggaran bagi Freeport dll untuk melakukan ekspor konsentrat ke luar negeri dengan kadar semula sebesar 99,9 % (persen) turun menjadi hanya lebih besar atau sama dengan 15 % (persen ) (terlampir Permen ESDM No. 1/2014 Lampiran 1 Halaman 1). Sedangkan untuk mineral bauksit, proses pengolahan tidak diakui, padahal hasil kajian LAPI-ITB dan CMPFA-UI menyatakan bahwa bauksit yang diekspor adalah hasil pengolahan. Akibatnya hasil pengolahan bauksit tersebut tidak diperbolehkan ekspor kecuali telah melakukan pemurnian dengan kadar Smelter Grade Alumina 98% Al2O3, atau Chemical Grade Alumina 90% Al2O3 dan 90% Al2(OH)3. 5. Pada saat bersamaan dengan terbitnya Permen ESDM 1/2014, pada tanggal 11 Januari 2014 pemerintah juga menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan RI. PMK No. 6/PMK.011/2014 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar yang diberlakukan untuk semua komoditi mineral. PMK ini mendapat tantangan keras dan keberatan dari perusahaan IUP maupun perusahaan Kontrak Karya (seperti Freeport dll) karena perusahaan - perusahaan tersebut harus membayar bea keluar sebesar 20 % (persen ). (terlampir PMK No. 6/2014). Meskipun telah mendapat kelonggaran ekspor sesuai Permen ESDM No. 1/2014 perusahaan memilih lebih baik tidak ekspor konsentrat daripada harus membayar bea keluar sebesar 20 % (persen). 6. Sikap pemerintah melunak dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan RI. PMK No. 153 tahun 2014 pada tanggal 24 Juli 2014. Sehari setelah itu Pemerintah melalui MESDM menandatangani MOU pertama dengan Freeport yang berlaku sejak tanggal 26 Juli 2014 hingga 26 Januari 2015. 7. Substansi dari PMK No. 153/2014 adalah bahwa pemerintah menurunkan bea keluar ekspor mineral dari 20 % (persen) menjadi hanya 7,5 % (persen), 5 % (persen) dan 0 % (persen) disesuaikan dengan kemajuan pembangunan smelter perusahaan Kontrak Karya (seperti Freeport). Pasal 4A point 3 PMK No. 153/2014 menjelaskan bahwa tahapan tingkat kemajuan pembangunan smelter adalah: a. Tahap I: tingkat kemajuan pembangunan sampai dengan 7,5 % (tujuh koma lima persen) termasuk didalamnya penempatan jaminan kesungguhan. Bea keluar yang harus dibayar 7,5 % (tujuh koma lima persen)
b. Tahap II : tingkat kemajuan pembangunan lebih dari 7,5 % (tujuh koma lima persen) sampai 30 % (tiga puluh persen). Bea keluar yang harus dibayar 5 % (lima persen). c. Tahap III : tingkat kemajuan pembangunan lebih dari 30 % (tiga puluh persen). Bea keluar yang harus dibayar 0 % (nol persen). Catatan: a. Hingga saat ini PT. Freeport Indonesia tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam pembangunan smelter di dalam negeri bahkan tapak smelterpun belum jelas apakah di Gresik Jatim atau di Mimika Papau atau di kedua lokasi tersebut. b. Terlampir PMK No. 153 tahun 2014 (mohon dilihat halaman terakhir besaran bea keluar yang harus dibayar sesuai kemajuan pembanguan smelter). 8. Keharusan perusahaan IUP dan Kontrak Karya membayar jaminan kesungguhan membangun smelter melalui Permen ESDM No. 11 tahun 2014 tentang tata cara dan persyaratan pemberian rekomendasi pelaksanaan penjualan mineral ke luar negeri hasil pengolahan dan pemurnian sejatinya tidak diatur dalam UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Jadi sangat jelas Permen ini bertentangan dengan UU Minerba. Permen ini dapat menimbulkan persepsi publik dan menjadi temuan KPK bahwa permerintah atau negara melakukan pemerasan secara legal kepada perusahaan mineral. II. Diskriminasi Regulasi Pemerintah Atas Larangan Ekspor Bauksit. 1. Di dalam UU Minerba tidak terdapat satu pasalpun yang melarang ekspor mineral. Pasal 5 UU Minerba secara jelas mengatakan bahwa: a. Untuk kepentingan nasional, pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat menetapkan kebijakan mengutamakan mineral dan/atau batu bara untuk kepentingan dalam negeri. Hingga saat ini atau selama 6 tahun sejak UU Minerba di syahkan tanggal 12 Januari 2009 pemerintah belum pernah berkonsultasi dengan DPR terkait kebijakan mengutamakan mineral dan atau batu bara untuk kepentingan dalam negeri.
b. Kepentingan nasional sebagaimana dimaksud diatas adalah dapat dilakukan dengan pengendalian produksi dan ekspor. c. Dalam melaksanakan pengendalian tersebut pemerintah mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi tiap-tiap komoditas per tahun setiap Provinsi. 2. Dalam Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 2014 tentang perubahan kedua atas peraturan pemerintah No. 23/2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara sama sekali tidak ada satu pasalpun yang melarang ekspor hasil tambang mineral. 3. Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2010 pasal 84 mengatakan bahwa setelah terpenuhi kebutuhan dalam negeri maka hasil tambang dapat diekspor dalam jumlah terbatas. 4. Permen ESDM No. 1 tahun 2014 pasal 12 angka 3 dan 4 menyatakan bahwa: a. angka 3 mengatakan pemegang IUP operasi produksi mineral logam sebagaimana dimaksud PP No. 1/2014 dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu hasil pengolahan termasuk hasil pemurnian setelah memenuhi batasan minimum pengolahan dan pemurnian. b. angka 4 menyatakan penjualan hasil pengolahan mineral logam ke luar negeri tidak berlaku bagi komoditas tambang mineral logam yakni nikel, bauksit, timah, emas, perak dan kromium. Pasal 12 angka 4 ini jelas merupakan bentuk diskriminasi regulasi pemerintah atas komoditas tertentu termasuk bauksit. 5. Sebagaimana diatur dalam Permen ESDM No. 11/2014 tentang tata cara persyaratan pemberian rekomendasi pelaksanaan penjualan mineral keluar negeri hasil pengolahan dan pemurnian. Untuk mendapatkan rekomendasi penjualan ke luar negeri sesuai Permen tersebut diatas untuk jumlah tertentu harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. kinerja pengelolaan lingkungan b. jumlah cadangan yang merupakan cadangan sisa yang dihitung dari cadangan tertambang dikurangi jumlah kebutuhan fasilitas pemurnian c. kapasitas input fasilitas pemurnian d. kemajuan pembangunan fasilitas pemurnian
Catatan: PT. Harita Prima Abadi Mineral dengan bendera PT. Well Harvest Winning Alumina Refinery adalah pioneer dalam pembangunan industri pemurnian alumina (smelter). Peletakan batu pertama telah dilaksanakan pada tanggal 17 Juli 2013 oleh Wakil Menteri ESDM Bpk Susilo Siswoutomo. Progres pembangunan tahap pertama sebesar 2 juta ton alumina sampai saat ini sudah mencapai 44,24 % (empat puluh empat koma dua puluh empat persen) per Februari 2015. 6. Meskipun PT. Well Harvest Winning Alumina Refinery telah menunjukkan progres pembangunan smelter dengan capaian 44,24 % namun tetap tidak di izinkan melakukan penjualan ke luar negeri dengan jumlah tertentu karena terkendala oleh Permen ESDM No. 1 tahun 2014 pasal 12 angka 4 seperti point 4 diatas, dan lampiran Batasan Minimum Pengolahan dan Pemurnian Komoditas Tambang Mineral Logam di Dalam Negeri. 7. Batasan minimum pengolahan bauksit sesuai berita acara yang ditandatangani LIPI, BPPT, Tekmira, KADIN Indonesia APEMINDO, APB3I pada tanggal 6 Januari 2014 dengan kadar alumina 45 % (empat puluh lima persen) yang seharusnya tertuang dalam lampiran Permen ESDM No. 1/2014 dianulir oleh Dirjen Minerba KESDM sesuai perintah Menkoperekonmian saat itu. 8. Sering berubahnya regulasi menunjukkan bahwa pemerintah tidak mempunyai roadmap dan grand desain dalam pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri sesuai amanat UU Minerba sehingga regulasi minerba terkesan transaksional untuk mengakomodasi kepentingan pihak tertentu. Sebagaimana diketahui pengolahan dan pemurnian mineral terkait dengan dengan banyak aspek seperti jaminan pasokan listrik, pembagunan infrastruktur jalan dan pelabuhan, tax holiday, pembebasan lahan, kemudahan perijinan, birokrasi yang berbelit-belit tersebar dibanyak kementerian dari pusat hingga daerah sehingga urusan pengolahan dan pemurnian mineral terkesan seluruhnya menjadi tanggungjawab pelaku usaha. E2. PROYEK CHEMICAL GRADE ALUMINA TAYAN PT. ANTAM 1. Status operasi komersial dengan kapasitas 300.000 tpa CGA, realisasi biaya proyek USD 499 juta.
2. Industri pionir pengolahan bauksit menjadi chemical grade alumina (CGA) yang merupakan bahan industrial pembuat kaca, IC chips, layar LCD, produk elektronik, water treatment, dll. 3. Proyek kerjasama ANTAM (80%) dengan Showa Denko K.K, Jepang (20%) 4. Product offtake ke pasar internasional dan domestik. E3. KONDISI KELISTRIKAN DI KABUPATEN KETAPANG KALBAR 1. Kondisi kelistrikan Ketapang masih mengalami defisit dengan beban puncak pada malam hari sebesar 28,1 MW, beban puncak siang 20,8 MW dengan daya mampu 26,1 MW. 2. Pertumbuhan pelanggan kelistrikan Ketapang mengalami peningkatan yang signifikan sejak 2009 hingga 2014. Total pelangggan tahun 2014 sebesar 86,848 (pelanggan) dengan pertumbuhan 12,4 persen. 3. Pertumbuhan daya tersambung sepanjang 2009 2014 sebesar 90,429 kva dengan pertumbuhan 14,5 persen. 4. Pertumbuhan penjualan listrik di Ketapang sepanjang 2009 2014 sebesar 157,810 MWh dengan pertumbuhan 5,5 persen. 5. Pertumbuhan pendapatan listrik di Ketapang sepanjang 2009 2014 sebesar Rp. 123,594,637 dengan pertumbuhan 9,9 persen. F. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KESIMPULAN 1. Perusahaan bauksit meminta dukungan pemerintah melalui Komisi VII DPR RI untuk merevisi Permen ESDM No. 1 tahun 2014 terkait diskriminasi larangan eksport terhadap 6 komoditas yakni nikel, bauksit, timah, emas, perak dan kromium sebagaimana tertuang dalam Permen ESDM No. 1 tahun 2014 karena merugikan masyarakat, berkurangnya penerimaan negara dan daerah serta berdampak signifikan bagi pelaku usaha. 2. Perusahaan bauksit meminta dukungan pemerintah melalui Komisi VII DPR RI untuk mendapatkan ijin eksport bauksit dalam jumlah tertentu sesuai dengan progres pembangunan alumina refinery saat ini yang telah mencapai 43,66% sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 153 tahun 2014. 3. Pemerintah tidak konsisten dan mengabaikan batasan minimum pengolahan untuk komoditas bauksit didalam negeri sesuai hasil rapat tanggal 6 Januari 2014 dan telah melalui penelitian sejumlah lembaga riset seperti LIPI, BPPT, Tekmira, KADIN Indonesia APEMINDO dan APB3I dengan kadar alumina 45 % (empat puluh lima persen) yang seharusnya tertuang dalam lampiran Permen ESDM No. 1/2014 dianulir oleh Dirjen Minerba KESDM.
4. Pemerintah tidak konsisten dan mengabaikan batasan minimum pengolahan untuk komoditas bauksit didalam negeri sesuai hasil rapat tanggal 6 Januari 2014 dan telah melalui penelitian sejumlah lembaga riset seperti LIPI, BPPT, Tekmira, KADIN Indonesia APEMINDO dan APB3I dengan kadar alumina 45 % (empat puluh lima persen) yang seharusnya tertuang dalam lampiran Permen ESDM No. 1/2014. 5. Pemerintah Kab. Ketapang melalui Komisi VII meminta kepada PT. PLN untk membenahi kondisi kelistrikan di Kab. Ketapang Kalbar yang masih mengalami defisit sebesar 2 MW dengan beban puncak pada malam hari sebesar 28,1 MW, beban puncak siang 20,8 MW dengan daya mampu 26,1 MW. G. PENUTUP Demikian laporan kegiatan dalam rangka Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VII DPR RI ke PT. Well Harvest Winning Alumina Refinery, PT. ANTAM (Persero) dan PT. PLN (Persero) di Ketapang Kalimantan Barat yang telah dilaksanakan pada tanggal 2 4 April 2015. Jakarta, 6 April 2015 Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VII DPR RI Ketua Tim, Dr. H.M. Zahirullah Azhar