DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Bab I: Pendahuluan A.Latar Belakang B. Permasalahan Bab II: Pembahasan UU No. 5 Tahun

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas

APA ITU DAERAH OTONOM?

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : RAILA SOLANTIKA BP

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

Rencana Induk Pengembangan E Government Kabupaten Barito Kuala Sistem pemerintahan daerah disarikan dari UU 32/2004 tentang

1 UNIVERSITAS INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kebijakan otonomi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. ketentuan umum UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

(The Decentralization of Investment: a Legal Study based on the Law Number 25 of 2007 regarding the Investment)

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. provinsi terbagi atas daerah-daerah dengan kabupaten/kota yang masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

DAFTAR ISI. Elita Dewi: Identifikasi Sumber Pendapatan Asli Daerah Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah, 2002 USU Repository 2006

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai wilayah

BAB II PENGATURAN TENTANG HIBAH DAERAH DI INDONESIA. A. Pengaturan Tentang Hibah Daerah di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. lama bahkan sejak sebelum kemerdekaan, dan mencapai puncaknya PADa era

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

Panduan diskusi kelompok

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan Daerah memerlukan sumber pendanaan yang tidak sedikit

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI

Peraturan pelaksanaan Pasal 159 Peraturan Menteri Keuangan. 11/PMK.07/ Januari 2010 Mulai berlaku : 25 Januari 2010

BAB I PENDAHULUAN. daerahnya sendiri, pada tahun ini juga tonggak sejarah reformasi manajemen

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

pemerintahan lokal yang bersifat otonomi (local outonomous government) sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. optimalisasi peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dan pelaksanaan pembangunan nasional. Keberhasilan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan tujuan negara yaitu Melindungi segenap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 (dilihat juga dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta

PEMBAGIAN KEKUASAAN SECARA VERTIKAL

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

Penyelenggaraan Kewenangan dalam Konteks Otonomi Daerah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan upaya pencapaian sasaran nasional di daerah sesuai

PERKEMBANGAN DAN HUBUNGAN DANA ALOKASI UMUM (DAU), PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN BELANJA PEMERINTAH DAERAH

RETRIBUSI TERMINAL SEBAGAI SALAH SATU SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN/KOTA. Oleh. Zainab Ompu Zainah ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Demokrasi adalah salah satu tuntutan terciptanya penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Era reformasi memberikan peluang bagi perubahan paradigma

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

DAFTAR ISI Kata Pengantar... i Bab I: Pendahuluan... 1 A.Latar Belakang... 1 B. Permasalahan... 3 Bab II: Pembahasan... 4 A. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Menurut UU No. 5 Tahun 1974... 4 B. Pemerintah Daerah menurut UU NO. 22 Tahun 1999... 8 Bab III Kesimpulan... 16 Daftar Kepustakaan i

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebelum keluarnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan pemerintahan di daerah dilaksanakan dengan sistem sentralisasi. Dengan sistem ini pemerintah daerah tidak diberi kebebasan untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Walaupun dalam UU Pemerintahan Daerah sebelumnya yaitu UU No. 5 Tahun 1974 mengisyaratkan sistem desentralisasi, namun di dalam pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 tersebut yang terjadi adalah kecenderungan bahwa pemerintah pusat lebih mengutamakan sentralisasi - kekuasaan terhadap pemerintah daerah. Dengan sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat meletakkan daerah sangat bergantung. l Ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat terutama di dalam hal keuangan dimana PAD (pendapatan Asli Daerah) harus disetor kepada pemerintah pusat. Nantinya pemerintah 1 Ni'matul Huda, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 10 Vol 5-1998, hal. 25 menyatakan hal ini sebagai pembusukan politik (democratical decay). 1

pusatlah yang akan membagi-bagikan dana tersebut kepada masing-masing daaerah, sehingga kemampuan daerah untuk mengembangkan potensinya menjadi sangat terbatas. 2 Kecenderungan sistem sentralisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dibangun oleh pemerintah orde baru pada kenyataannya menyebabkan lahirnya berbagai gejolak di daerah, yang merupakan respon terhadap ketidak adilan yang dirasakan daerah. Oleh karena itu sudah saatnya sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah ditinjau kembali. Walaupun tuntutan untuk merevisi UU NO. 5 Tahun 1974 sudah demikian lama didenggungkan, namun kesempatan untuk revisi baru terbuka pada era reformasi pada 1997. Era reformasi telah rnenimbulkan eforia untuk memperbaiki tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Perbaikan tersebut dilaksanakan dengan berbagai cara, salah satunya adalah melakukan revisi terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang dianggap usang dan sudah tidak tepat lagi untuk diterapkan sekarang ini. Salah satu peraturan perundana-undangan yang direvisi adalah UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan Daerah. 2 Rozali Abdullah, Pelaksanaaan Otonomi Luas & Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif, PT. RajaGrafindo Persada, 2000, hal. 46-47. 2

B.Permasalahan Berdasarkan uraian tersebut diatas maka yang menjadi permasalah dalam tulisan ini adalah : 1. Bagaimana sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka UU No. 5 Tahun 1974 dibandingkan dengan 2. Bagaimana sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah didalam kerangka UU No. 22 Tahun 1999. 3

BAB II PEMBAHASAN A. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Menurut W No. 5 Tahun 1974. Landasan penyelenggaraan pemerintahan daerah tercantum di dalam pasal 18 UUD 1945 Amanden yang berbunyi; 1.Negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintah daerah yang diatur dengan undang-undang. 2.Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas perbantuan Ketentuan UUD1945 tersebut merupakan landasan bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, sehingga pemerintah dapat membentuk dan menerapkan aturan untuk menyelenggarakan. pemerintahan di daerah. Sehingga lahirlah berbagai ketentuan yang mengatur tentang pemerintahan daerah, salah satu diantaranya adalah UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan ketetentuan UU No. 5 Tahun 1974 sistem pemerintahan yang dianut di Indonesia adalah asas desentralisasi, asas dekonsetrasi, dan asas tugas perbantuan. Dengan asas desentralisasi pemerintah daerah diberi kewenangan. untuk menyelenggarakan pemerintahan di 4

daerah baik dari pembuatan kebijakan, penerapan maupun pembiayaannya. Sedangkan asas dekonsentrasi berarti pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pejabat daerah, dengan disertai pedoman penyelenggaraan dan pemberian pembiayaan, namun tanggungjawab tetap oleh pemerintah pusat. Asas tugas perbantuan merupakan penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah maupun secara langsung kepada desa maupun dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan. Walaupun sebenarnya UU No. 5 Tahun 1974 mengatur tentang otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun pada kenyataannya pemerintah melakukan kecenderungan melakukan sentralisasi kekuasaan, semua kewenangan ada pada pemerintah pusat dalam arti daerah terkooptasi oleh pemerintah pusat. 3 Otonomi daerah diartikan sebagai hak wewenang dan kewaj iban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. 4 UU No. 5 Tahun 1974 menganut prinsip pemberian otonomi yang nyata dan bertanggung jawab 3 Muchan, 3H, Dtonomi Seluas-juasnya dan Ketidak Adilan Daerah, di dalam M. Arif Nasution, Demokratisasi & Problem Otonomi Daerah, Mandar Maju, 2000, Bandung, ha1.78-79. 4 Riant D Nugroho, Otonomi Daerah Desentralisasi ;'anpa Revolusi, Kajian dan Kritik Atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2000, hal. 46. 5

menggantikan prinsip pemberian otonomi riil dan seluas-luasnya. Penjelasan UU No. 5 Tahun 1974 mengartikan istilah "nyata" sebagai pemberian otonomi kepada daerah harus didasarkan kepada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan yang benar-benar dapat menjamin daerah tersebut secara nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri. Bertanggung jawab mengandung arti bahwa pemberian otonomi itu benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok tanah air dan serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa yang menjamin hubungan serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta menjamin perkembangan pembangunan daerah. Walau demikian UU No. 5 Tahun 1974 itu sendiri memiliki beberapa kelemahan. Adapun kelemahan dari UU No. 5 Tahun 1974 mencakup kelemahan didalam substansinya dan kelemahan didalam pelaksanaan UU tersebut. Kelemahan dalam bidang substansinya antara lain dapat dilihat pertama adanya kerancuan dalam pengertian apa yang dimaksud dengan pemerintah daerah. 5 Pemerintah daerah 5 Ni'matul Huda, Undang-Undang No. 5 Tanun 1974 dan Reformasi p,nmprintahan di Daerah, Jurnal Hukum No. 10 Vol 5 Tahun 1998. 6

diartikan sebagai kepala daerah, dan DPRD. 6 Dari pengertian tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kedudukan kepala daerah sejajar dengan DPRD. Akibatnya peran dan fungsi DPRD sebagai lembaga legislatif dan lembaga pengagas terhadap pemerintahan daerah menjadi lemah, dilain pihak kedudukan kepala daerah menjadi sangat kuat. Lemahnya fungsi kontrol dari DPRD dapat dilihat dari mekanisme pertanggung jawaban kepala daerah, dimana DPRD tidak dapat meminta pertanggungjawaban dari Kepala Daerah. DPRD hanya dapat meminta keterangan tentang laporan pertanggungjawaban, sedangkan pertanggungjawaban kepala daerah langsung kepada presiden melalui menteri dalam negeri. 7 Mekanisme pertangungjawaban seperti ini terjadi, disebabkan oleh mekanisme pemilihan dan pengangkatan kepala daerah yang dilakukan secara sentralistik. Dimana pemerintah pusatlah yang memiliki kewenangan untuk menetapkan seorang kepala daerah. Kewenangan DPRD hanya sebatas pada pengajuan calon kepala daerah saja, untuk selanjutnya ditetapkan oleh pemerintah pusat, akibatnya pemerintah akan menetapkan kepala daerah yang disukainya saja. 6 Pasal 13 UU No. 5 Tahun 1974. 7 Pasal 20 UU No. 5 Tahun 1974. 7

Kelemahan lainnya adalah dibidang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, dimana dominasi pusat terhadap daerah sangat besar, sehingga asas desentralisasi yang diterapkan hampir tidak memiliki arti sama sekali. B. Pemerintah Daerah menurut UU NO. 22 Tahun 1999. Setelah reformasi bergulir ditahun 1997 pemerintah mulai memperhatikan aspirasi daerah yang menginginkan perubahan di dalam penyelenggaran pemerintahan daerah. Sehingga lahir UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan yang mendasar yang diatur di dalam UU N0. 22 Tahun 1999 antara lain perubahan tentang kewenangan daerah otonomi, susunan pemerintah provinsi, mekanisme pencalonan, pengangkatan dan pemilihan kepala daerah provinsi, kabupaten/kota, serta penguatan peran dan fungsi DPRD. Berdasarkan Pasal 1 huruf c UU No. 22 Tahun 1999 menyebutkan," otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakasa sendiri berdasarkan, aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan". Berdasarkan pasal tersebut diatas daerah diberi kewenangan untuk mengurus sendiri daerahnya sesuai dengan 8

kemampuan dan kebutuhan masing-masing daerah. Dengan demikian kewenangan dari pemerintah pusat telah diperkecil. Namun demikian eksistensi dan peranan pemerintah pusat tidak dapat dikesampingkan atau ditinggalkan dengan pemberian otonomi kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri rumah tangganya. Peran pemerintah pusat akan tetap terus ada melalui kebijak-kebijakan nasional (public policy) dalam semua aspek kehidupan, demi mewujudkan kesejahteraan yang seimbang, maupun perlakuan yang adil bagi seluruh masyarakat dan daerah. 8 Adapun kewenangan dari pemerintah dibatasi menjadi beberapa kewenangan, yaitu : 1. kewenangan di bidang politik luar negeri, 2. kewenangan di bidang pertahanan keamanan, 3. kewenangan di bidang peradilan, 4. kewenangan di bidang moneter dan fiskal, 5. kewenangan di bidang agama. Kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang berfungsi sebagai perekat bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika UU No. 5 Tahun 1974 menerapakan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, maka UU No. 22 Tahun 1999 8 Khrisna. D. Darumurti dan Umbu Ratna, Otonomi Daerah, Perkembangan Pemikiran dan Pelaksanaan, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 2000, hal. 65-66. 9

menganut prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Kata luas mengandung arti bahwa daerah diberi keleluasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan. Kata nyata mengandung arti daerah diberi kebebasan untuk menyelenggarakan pemerintahan yang secara nyata ada, tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan kata bertanggung jawab berarti pemerintah daerah bertanggungjawab untuk memberikan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. 9 Di dalam UU No. 22 Tahun 1999 juga terdapat perubahan yang mendasar di dalam hubungan kepala daerah dan DPRD. Jika di dalam UU No. 5 Tahun 1974 mempersamakan kepala daerah dan DPRD sebagai pemerintuh daerah, maka di dalam UU NO. 22 Tahun 1999 membedakan antara pemerintah daerah dengan DPRD. Adapan yang dimaksud dengan pemerintah daerah menurut UU No.22 Tahun 1999 adalah kepala daerah beserta perangkat daerah. l0 Sedangkan DPRD dikembalikan fungsinya sebagai badan legislatif, 11 Pemisahan ini dimaksudkan untuk memberdayakan DPRD serta untuk meningkatkan pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada rakyat. Dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan pertanggungjawaban kepala daerah kepada rakyat UU No. 22 9 Lihat penjelasan umum UU No. 22 Tahun 1993. 10 Pasal 1 huruf b UU No. 22 Tahun 1999. 11 Pasal 1 huruf c UU No. 22 Tahun 1999. 10

Tahun 1999 mengatur mekanisme baru dalam rangka pemilihan dan pengangkatan kepala daerah. Dimana DPRD diberi kewenangan untuk menetapkan kepala daerah kabupaten/kota atau provinsi, mulai tahap pencalonan sampai menetapkan kepala daerah tersebut. Dalam rangka pemilihan kepala daerah UU No 22 Tahun 1999 memberikan hak suara kepada masing-masing anggota DPRD untuk memilih satu pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah ditetapkan. Dengan mekanisme pemilihan seperti ini diharapkan nantinya kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik gubernur, maupun bupati/walikota yang terpilih benar-benar memahami aspirasi rakyat daerahnya masing-masing,serta memiliki kemampuan untuk memenuhi aspirasi rakyatnya. Selain hal tersebut di atas perwujudan dari pemberian otonomi kepada daerah adalah pemberian kewenangan kepada daerah untuk membuat suatu produk peraturan perundangundangan daerah. Produk hukum yang ditetapkan oleh daerah itu dapat berupa penjabaran dari perundang-undangan yang lebih tinggi maupun produk hukum yang dibutuhkan daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Namun demikian produk hukum yang dikeluarkan pemerintah daerah harus tetap memperhatikan ketentuan tidak boleh bertentangan dengan 11

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 Produk hukum daerah dapat berupa : 12 1. Peraturan Daerah Peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah dengan persetujuan dari DPRD, merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. 2. Keputusan Kepala Daerah Keputusan kepala daerah dikeluarkan oleh kepala daerah untuk melaksanakan peraturan daerah. Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yang bersifat mengatur harus diundangkan dan ditempatkan di dalam Lembaran Daerah, barulah hukum daerah tersebut mempunyai kekuatan hukum mengikat. Untuk dapat mewujudkan tujuan dari pemberian otonomi kepada daerah, maka daerah membutuhkan dana yang mendukung kewenangan pemerintah daerah. Untuk memperoleh dana bagi penyelenggaraan otonomi daerah maka daerah harus diberikan kewenangan untuk menggali sumber dana tersebut, dengan suatu perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. 12 Lihat Pasal 69---: UU No. 22 Tahun 1999. 12

Untuk mewujudkan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah maka pemerintah juga mengeluarkan UU No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Hal utama yang diatur di dalam UU No. 25 Tahun 1999 adalah mengenai persentase pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta pemerataan antara daerah secara proporsional dan demokratis. Menurut UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sumber pendapatan Daerah untuk membiayai APBD terdiri dari : a. Pendapatan asli daerah (PAD) yaitu : 1. hasil pajak daerah. 2. hasil retribusi daerah 3. hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. 4. lain-lain pedapatan asli daerah yang sah. b.dana pertimbangan. c.pinjaman Daerah d. Lain-lain pendapatan daerah yang sah. 13 Menurut UU No. 25 Tahun 1999 dana pertimbangan terdiri dari 14 : 13 Pasal 79 UU No. 22 Tahun 1999. 14 Pasal 6 UU 25, Tahun 1999. 13

a. bagian daerah dari penerimaan paj'ak bumi dan bangunan, Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam. b. Dana alokasi umum c. Dana alokasi khusus Pasal ini juga mengatur perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dengan persentase sebagai berikut: a. Penerimaan negara dari pajak bumi dan bangunan dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 90% untuk pemerintah daerah. b. Penerimaan negara dari bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk pemerintah daerah. c. 10% penerimaan pajak bumi dan bagunan dan 20% penerimaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang menjadi bagian dari pemerintah pusat. Bagian pemerintah pusat dari penerimaan bea peralihan hak atas tanah dan bangunan dibagikan kepada seluruh kabupaten dan kota. d. Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk daerah. 14

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah sejak dahulu mengalami pasang surut persoalan yang tidak akan pernah berhenti. Persoalan tersebut akan terus berlangsung sepanjang tidak ada keseragaman pola penyelenggaraan pemerintahan daerah, di antara pemerintah pusat dengan daerah. Untuk itu dibutuhkan suatu peraturan perundang-undangan yang tegas, jelas, adil dan demokratis bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pelaksanaan UU NO. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah membawa implikasi luas terhadap hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Jika sebelum keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 dominasi pemerintah pusat sangat mewarnai penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka melalui UU ini diharapkan dominasi dan sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat dapat dibatasi.sehingga akan melahirkan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan dikeluarkannya UU NO. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah diharapkan akan mampu mendorong 15

pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang mengutamakan desentralisasi. 16

Daftar Kepustakaan Khrisna. D. Darumurti dan Umbu Ratna, Otonomi Daerah, Perkembangan Pemikiran dan Pelaksanaan, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 2000. Muchan, SH, Otonomi Seluas-luasnya dan Ketidak Adilan Daerah, di dalam M. Arif Nasution, Demokratisasi & Problem Otonomi Daerah, Mandar Maju, 2000, Bandung Ni'matul Huda, Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 dan Reformasi Pemerintahan di Daerah, Jurnal Hukum No. 10 Vol 5 Tahun l998. Rozali Abdullah, Pelaksanaaan Otonomi Luas & Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif, PT. RajaGrafindo Persada, 2000. Riant D Nugroho, Otonomi Daerah Desentralisasi Tanpa Revolusi, Kajian dan Kritik Atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2000. 17