BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN EURASIA. Gambar 1.1. Kondisi Geologi Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Teknik Industri. Oleh Priska Eudia Hehanussa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB I PENDAHULUAN. strategis secara geografis dimana letaknya berada diantara Australia dan benua Asia

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bencana. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

BAB I PENDAHULUAN. dan dikepung oleh tiga lempeng utama (Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik),

BAB I PENDAHULUAN. hidrologis dan demografis, merupakan wilayah yang tergolong rawan bencana,

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I PENDAHULUAN. bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis

Museum Gempa Bumi Yogyakarta BAB I

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BUPATI PURBALINGGA PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

- 2 - MEMUTUSKAN : PERATURAN GUBERNUR TENTANG PERBAIKAN DARURAT PADA SAAT TRANSISI DARURAT BENCANA DI ACEH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan Indonesia menjadi negara yang rawan bencana. maupun buatan manusia bahkan terorisme pernah dialami Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN Posisi Indonesia dalam Kawasan Bencana

BAB I PENDAHULUAN. sebenarnya adalah proses dan fenomena alam yang menimpa manusia. Rentetan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. dengan lebih dari pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang secara geografis terletak di daerah

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan terjadinya kerusakan dan kehancuran lingkungan yang pada akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. lempeng raksasa, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan

BAB1 PENDAHULUAN. Krakatau diperkirakan memiliki kekuatan setara 200 megaton TNT, kira-kira

Powered by TCPDF (

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BATU

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2083, 2014 BNPB. Bantuan Logistik. Penanggulangan Bencana. Pemanfaatan

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI dan BUPATI BANYUWANGI MEMUTUSKAN:

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2011

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, sehingga

PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 4 Tahun : 2011 Seri : D

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

2015, No Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tamba

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak pada 6º LU 11º LS dan 95º BT - 141º BT, antara

BAB I PENGANTAR. Wilayah Indonesia terletak pada jalur gempa bumi dan gunung berapi

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2010

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

BAB I PEDAHULUAN. yang disebabkan, baik oleh faktor alam atau faktor non alam maupun. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 ).

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. tektonik aktif yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 77 TAHUN 2011 TENTANG URAIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Cincin Api Pasifik/ Ring of Fire. Sumber:

BAB I PENDAHULUAN. subduksi yaitu pertemuan Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 32 SERI E

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANJARBARU

BAB 1 PENDAHULUAN. mengenai bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.

PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI, DAN RINCIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN

BAB I PENDAHULUAN. dan 10 Kelurahan, dengan luas ha. Kabupaten Klaten merupakan BT dan LS LS.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Bantuan logistik. Pedoman. Perubahan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jenis Bencana Jumlah Kejadian Jumlah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bupati ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Bulungan.

1.1 Latar belakang masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1

I. PENDAHULUAN. dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. digaris khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra dengan

BAB I PENDAHULUAN. terletakm pada 3 pertemuan lempeng tektonik dunia, yaitu lempeng Euro-Asia

PEMERINTAH KOTA SINGKAWANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

PENDAHULUAN Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Kepulauan Indonesia secara geografis terletak di 6 LU - 11 LS dan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 4 TAHUN

PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2013

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 56 TAHUN 2014 TENTANG URAIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA KEDIRI

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMETAAN SISTEM KONFIGURASI JARINGAN KOMUNIKASI DAN INFORMASI TANGGAP DARURAT BENCANA DI INDONESIA

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bencana dilihat dari beberapa sumber memiliki definisi yang cukup luas.

BAB 1 : PENDAHULUAN. alam seperti gempa bumi adalah bencana yang terjadi secara tiba-tiba, sedangkan

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 4 Tahun 2008, Indonesia adalah negara yang memiliki potensi bencana sangat tinggi dan bervariasi dari segi jenis bencananya. Kondisi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor geografi, geologi, dan hidrometeorologi. Berdasarkan faktor geografi, Indonesia terdiri dari ribuan pulau yang memiliki pantai-pantai yang memanjang di sepanjang dua samudera antara Benua Asia dan Australia sehingga menjadikannya rawan terhadap bahaya gelombang pasang dan tsunami. Berdasarkan faktor geologi, Indonesia terletak di sepanjang jalur pertemuan antara lempeng Asia, lempeng Australia, dan lempeng Pasifik yang membentuk Kawasan Cincin Api Pasifik (ring of fire). Ketiga lempeng ini saling bergerak aktif sehingga menyebabkan negara yang terletak pada kondisi geografis tersebut berpotensi terkena ancaman bencana gempa bumi dan letusan gunung berapi (Wikipedia, 2012). Berdasarkan faktor hidrometeorologi, Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang dialiri oleh sungai-sungai besar dan beraliran deras. Curah hujan di Indonesia sebagai suatu kawasan tropis juga tergolong tinggi, khususnya pada musim penghujan. Kondisi ini menimbulkan potensi bahaya/ancaman bencana banjir, tanah longsor, dan angin 1

ribut (Ramli, 2010). Pada musim kemarau, Indonesia dapat pula dilanda bencana kekeringan akibat ketidakteraturan suhu permukaan laut yang menyebabkan menurunnya curah hujan pada periode yang lama (Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana, 2010). Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang ikut berada pada kondisi rawan bencana di atas. Kondisi ini didukung dengan keberadaan Gunung Merapi yang merupakan salah satu gunung api teraktif di dunia (Sayudi dkk, 2010) dan masuk dalam wilayah administratif salah satu kabupaten di DIY, yaitu Kabupaten Sleman. Hal ini turut menyebabkan wilayah DIY, khususnya Kabupaten Sleman, rawan terhadap bahaya/ancaman bencana. Setiap ancaman bencana tersebut berpotensi mengancam kehidupan manusia karena menimbulkan dampak atau kerugian, seperti korban jiwa, korban luka, mengungsi, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, dan gangguan kegiatan yang disertai dampak psikologis bagi masyarakat. Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan rawan bencana harus menghadapi ancaman bencana yang sebagian besar tidak dapat diduga kapan dan bagaimana terjadinya karena sifat bencana yang terkait dengan ketidakpastian dan disertai dengan perubahanperubahan akibat kondisi alam yang dinamis. Besarnya ancaman bencana di DIY semakin meningkat dari waktu ke waktu, namun tidak disertai dengan sistem penanggulangan bencana yang berjalan dengan baik (Bintoro, 2012). Hal ini ditunjukkan oleh pengalaman kejadian bencana yang mengakibatkan korban dan kerugian yang besar, penanganan yang terkesan lambat, serta 2

dampak yang berkepanjangan. Sistem penanggulangan bencana cenderung bersifat sektoral dan diprioritaskan pada saat tanggap darurat saja sehingga mengakibatkan lebih banyak tindakan yang bersifat responsif daripada preventif. Salah satu komponen utama agar suatu aktivitas penanggulangan bencana dapat berjalan dengan baik dilihat dari pelaksanaan sistem logistik bencananya. Sistem logistik bencana sering dipakai untuk mengukur kinerja penanganan bencana sehingga menjadi indikator penting dalam keberhasilan suatu sistem penanggulangan bencana (Bintoro, 2012). Meskipun sistem logistik bencana menjadi komponen penting dalam keseluruhan aktivitas penanggulangan bencana, namun masih terdapat banyak permasalahan dalam pelaksanaannya, terutama di Kabupaten Sleman. Hal ini tampak pada kasus bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010 lalu yang menunjukkan lemahnya pelaksanaan logistik bencana, seperti sering terjadinya kelebihan stok barang untuk kebutuhan yang tidak mendesak sementara barang yang mendesak dibutuhkan justru mengalami kekurangan, kurangnya profesionalisme dan koordinasi antarpelaku penanganan bencana, pemanfaatan teknologi yang minimalis, kurangnya proses pembelajaran antarpelaku penanganan bencana, serta kurangnya pemahaman akan pentingnya logistik itu sendiri (Patriatama, 2012). Permasalahan utama yang juga menunjukkan masih lemahnya pelaksanaan logistik di Kabupaten Sleman adalah mengenai mekanisme distribusi barang bantuan yang kurang terarah akibat fungsi gudang kabupaten 3

sebagai pusat distribusi utama belum dapat berjalan maksimal. Pada suatu waktu, bencana dapat terjadi lebih dari satu tempat dengan lokasi yang berjauhan dan jenis bencana yang berbeda (Bintoro, 2012). Gudang kabupaten yang menjadi titik persinggahan dari pemasok pusat dan berfungsi untuk mendistribusikan barang ke korban bencana, menjadi kesulitan karena jumlahnya yang hanya satu, namun harus melakukan distribusi ke berbagai lokasi untuk jenis bencana yang berbeda-beda. Masalah ini mengakibatkan tidak tercapainya kemampuan gudang kabupaten dalam memenuhi kebutuhan bantuan barang di lokasi terdampak bencana secara maksimal. Gambaran permasalahan logistik di atas menjadi dasar bagi pemerintah, instansi/lembaga, dan pelaku penanganan bencana di Kabupaten Sleman untuk melakukan perbaikan dalam sistem logistik bencana, terutama dalam hal mekanisme jaringan logistik dari gudang kabupaten ke pemanfaat yang berada di lokasi rawan bencana yang berbeda-beda. Pemerintah Kabupaten Sleman berencana membangun gudang penyalur yang selama ini belum ditetapkan dalam rantai pasok logistiknya, baik dalam hal lokasi dan jumlahnya. Gudang penyalur ini nantinya akan berfungsi untuk mendistribusikan barang bantuan dari gudang kabupaten (gudang utama) ke korban bencana secepat mungkin dengan jumlah (kapasitas) yang mencukupi. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi dampak/kerugian yang dapat ditimbulkan oleh ancaman bencana. Ancaman bencana berpotensi menimbulkan dampak/kerugian, namun tidak semua ancaman dapat menimbulkan dampak yang besar. Besarnya potensi suatu 4

ancaman bencana dapat menimbulkan dampak di suatu wilayah dapat diukur, yaitu melalui tinggi rendahnya risiko bencana di wilayah tersebut. Tinggi rendahnya risiko bencana terukur dari banyaknya jumlah korban jiwa, kerusakan, dan biaya kerugian yang ditimbulkan serta ditentukan oleh faktor-faktor, seperti occurency dan frekuensi terjadinya bencana, dampak/keparahan yang ditimbulkan, dan kerentanan masyarakat yang terlibat (Ramli, 2010). Untuk mengetahui tinggi rendahnya risiko bencana di Kabupaten Sleman, maka perlu dilakukan pemetaan risiko bencana. Peta risiko bencana Kabupaten Sleman (terakhir dibuat pada tahun 2004) sudah tidak mengalami pembaharuan dan penyesuaian (tidak up to date) karena adanya kondisi dan perkembangan bencana alam yang dinamis saat ini. Padahal, dengan peta risiko bencana tersebut, dapat diketahui potensi ancaman bencana yang dapat menimbulkan risiko paling tinggi sehingga dapat dilakukan perancangan jaringan logistik untuk menentukan lokasi dan jumlah gudang penyalur yang berbasis pada peta risiko bencana tersebut. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan pemetaan kembali risiko bencana Kabupaten Sleman agar up to date dan sesuai dengan kondisi dan perkembangan bencana saat ini sehingga dapat dilakukan perancangan jaringan logistik untuk menentukan lokasi dan jumlah gudang penyalur yang berbasis pada peta risiko bencana tersebut. 5

1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: a. Belum dilakukan pemetaan kembali risiko bencana Kabupaten Sleman sehingga peta tersebut sudah tidak up to date dan sesuai dengan kondisi dan perkembangan bencana saat ini. b. Belum dilakukan perancangan jaringan logistik untuk menentukan lokasi dan jumlah gudang penyalur yang berbasis pada peta risiko bencana di Kabupaten Sleman. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: a. Memetakan kembali risiko bencana Kabupaten Sleman agar up to date dan sesuai dengan kondisi dan perkembangan bencana saat ini. b. Merancang jaringan logistik untuk menentukan lokasi dan jumlah gudang penyalur yang berbasis pada peta risiko bencana di Kabupaten Sleman. 1.4. Batasan Masalah Adapun batasan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bahaya/ancaman bencana yang diteliti terbatas pada jenis bencana alam yang terjadi di Kabupaten Sleman. b. Data identifikasi bahaya/ancaman bencana menggunakan Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI) selama periode 10 tahun terakhir (2002-2012) dan Data 6

Kejadian Bencana Kabupaten Sleman selama bulan Januari-Februari 2012. c. Perancangan jaringan logistik dilakukan pada satu prioritas ancaman bencana yang mempunyai tingkat risiko paling tinggi di Kabupaten Sleman. d. Perancangan jaringan logistik diutamakan dilakukan pada kondisi normal (fase prabencana) sebagai upaya pencegahan, kesiapsiagaan, dan mitigasi dalam menghadapi ancaman bencana. e. Perancangan jaringan logistik masih berupa usulan, belum sampai pada tahap implementasi. f. Lokasi gudang penyalur yang diusulkan hanya ditentukan sebatas pada tingkat wilayah (desa/kecamatan) tertentu, tidak sampai pada penentuan titik lokasi secara detail atau rinci. 1.5. Metodologi Penelitian Secara skematis, langkah-langkah penelitian secara urut dan menyeluruh ditunjukkan oleh diagram metodologi penelitian pada Gambar 1.1. Setiap langkah tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: 1.5.1. Pemahaman sistem Pemahaman sistem bertujuan untuk mendapatkan gambaran awal tentang sistem penanganan bencana yang ada di Kabupaten Sleman, yaitu elemen-elemen yang saling terkait dan berinteraksi dalam suatu bidang penanganan bencana. Hal ini meliputi pemahaman mengenai kondisi kebencanaan umum di Kabupaten Sleman, pelaksanaan sistem dan jaringan logistik bencana saat ini, permasalahan-permasalahan yang terjadi, dan tindakan/rencana pemerintah kabupaten untuk 7

menyelesaikan masalah tersebut. Melalui pemahaman sistem, penulis memiliki gambaran umum akan pentingnya sistem logistik dalam keseluruhan sistem penanganan bencana dan perlunya untuk mengetahui ancaman-ancaman bencana yang ada beserta tingkat risikonya melalui pemetaan risiko bencana. 1.5.2. Studi literatur Untuk memperdalam pemahaman sistem, penulis melakukan studi literatur guna menambah informasi, wawasan, dan referensi yang didapat dari buku teks, jurnal penelitian, perundang-undangan, peraturan pemerintah, publikasi dokumen oleh lembaga/organisasi yang bergerak dalam penanganan isu bencana, dan referensi-referensi lain yang mendukung. Studi literatur juga dilakukan untuk mengetahui penelitianpenelitian yang telah dilakukan orang lain, bagaimana mereka melakukan penelitian tersebut, dan seberapa berbeda penelitian yang akan dilakukan penulis dibandingan dengan penelitian sebelumnya. 1.5.3. Observasi Penulis melakukan observasi untuk mendapatkan gambaran kondisi nyata yang terjadi di lapangan. Observasi dilakukan dengan mengamati langsung kondisi daerah terdampak bencana, salah satunya adalah daerah terdampak bencana letusan Gunung Merapi di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman (Maret 2012). Kegiatan observasi juga dilakukan melalui proses interview dengan staf pemerintahan Kabupaten Sleman, staf lembaga penanggulangan bencana tingkat provinsi DIY, staf lembaga/organisasi yang bergerak dalam penanganan isu 8

bencana, dan masyarakat daerah terdampak Sleman. Kabupaten 1.5.4. Perumusan masalah dan tujuan penelitian Pada tahap ini, penulis merumuskan masalah dan tujuan yang hendak diselesaikan dalam penelitian ini, yaitu memetakan kembali risiko bencana Kabupaten Sleman agar up to date dan sesuai dengan kondisi dan perkembangan bencana saat ini serta merancang jaringan logistik untuk menentukan lokasi dan jumlah gudang penyalur yang berbasis pada peta risiko bencana tersebut. 1.5.5. Pengumpulan data Dalam penelitian ini, data-data yang dikumpulkan meliputi data ancaman bencana, data kerentanan, dan data kapasitas/kemampuan. Data ancaman bencana meliputi: a. Data dan informasi kejadian bencana Kabupaten Sleman b. Data karakteristik masing-masing ancaman bencana c. Peta dan sebaran kawasan rawan bencana Data kerentanan meliputi: a. Data demografi/jumlah penduduk Kabupaten Sleman b. Data jumlah kelompok rentan (ibu hamil, bayi, balita, anak-anak, lansia) Kabupaten Sleman c. Data jumlah penduduk miskin Kabupaten Sleman Data kapasitas/kemampuan meliputi informasi mengenai dibentuknya BPBD Kabupaten Sleman sebagai kapasitas dan pembentuk kebijakan dalam sistem penanggulangan bencana. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut: 9

a. Interview Penulis melakukan interview/wawancara dengan pihak Pemerintah Kabupaten Sleman (BPBD, Bappeda, Dinas Kesehatan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil), BPBD DIY, Forum PRB DIY, dan BPPTK untuk mendapatkan data-data yang berkaitan dengan data ancaman bencana, data kerentanan, dan data kapasitas/kemampuan. b. Studi pustaka Pada tahap ini, penulis melakukan studi pustaka melalui buku atau dokumen kebencanaan dan perundangundangan yang dipublikasikan BNPB maupun oleh pemerintah daerah setempat. 1.5.6. Analisis data tahap awal Pada tahap ini, penulis melakukan rekap dan analisis apakah data-data yang dikumpulkan telah sesuai dan dapat digunakan sebagai data yang layak dan memang dibutuhkan dalam tahapan selanjutnya. 1.5.7. Identifikasi bahaya/ancaman bencana Identifikasi bahaya/ancaman bencana dilakukan berdasarkan pengumpulan data ancaman bencana yang telah didapat. Tahap ini bertujuan untuk mengetahui potensi bencana yang mengancam Kabupaten Sleman, karakteristik, faktor penyebab, occurency atau frekuensi terjadi, dampak/ keparahan yang ditimbulkan, serta peta kawasan rawan bencana dan sebaran wilayahnya. 1.5.8. Identifikasi kerentanan Identifikasi kerentanan dilakukan berdasarkan pengumpulan data kerentanan yang telah didapat. Tahap 10

ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerentanan di wilayah Kabupaten Sleman yang dilihat berdasarkan tingkat kerentanan sosial dan ekonominya. 1.5.9. Identifikasi kapasitas/kemampuan Identifikasi kapasitas/kemampuan dilakukan berdasarkan pengumpulan data kepasitas/kemampuan yang telah didapat. Tahap ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan, penguasaan sumber daya, kebijakan, dan kesiapsiagaan yang dimiliki masyarakat Kabupaten Sleman untuk mempersiapkan diri, menghadapi, dan menanggulangi ancaman bencana yang ada. 1.5.10. Analisis kemungkinan dampak bencana Analisis kemungkinan dampak bencana dilakukan melalui tahap penilaian bobot peluang munculnya bencana, penilaian dampak/keparahan yang dapat ditimbulkan oleh bencana, serta tahap penilaian dan evaluasi risiko bencana. Tahap ini dilakukan untuk mendapatkan peta risiko bencana Kabupaten Sleman. Bencana yang risikonya tidak dapat diterima (berisiko tinggi) akan menjadi target pengurangan risiko bencana. 1.5.11. Target pengurangan risiko bencana Target pengurangan risiko bencana didasarkan pada hasil pemetaan risiko bencana yang menunjukkan ancaman bencana dengan risiko paling tinggi. Dalam penelitian ini, terdapat 2 ancaman bencana yang memiliki risiko tinggi, yaitu gempa bumi dan letusan Gunung Merapi. Berdasarkan kesepakatan dengan Pemerintah Kabupaten Sleman dan melalui beberapa pertimbangan, maka hanya ditentukan satu ancaman bencana yang menjadi prioritas 11

target pengurangan risiko bencana dalam penelitian ini, yaitu letusan Gunung Merapi. Tindakan pengurangan risiko pun diprioritaskan pada kawasan rawan bencana (KRB) Merapi yang mempunyai potensi terdampak paling parah, yaitu KRB III. 1.5.12. Pemilihan tindakan pengurangan risiko Tindakan pengurangan risiko dilakukan melalui serangkaian analisis pemilihan tindakan yang didasarkan pada sistem logistik sebagai tolak ukur keberhasilan suatu sistem penanganan bencana. Pilihan tindakan pengurangan risiko diutamakan dilakukan saat kondisi normal sebagai upaya pencegahan, kesiapsiagaan, dan mitigasi dalam menghadapi ancaman bencana. 1.5.13. Perancangan jaringan logistik Perancangan jaringan logistik yang dilakukan adalah berupa penentuan lokasi dan jumlah gudang penyalur bagi titik tujuan (lokasi demand) yang berada di KRB III Merapi yang terdiri dari tahap penentuan lokasi demand, perkiraan jumlah penduduk di lokasi demand, dan analisis penentuan lokasi dan jumlah gudang penyalur. 1.5.14. Analisis penentuan lokasi dan jumlah gudang penyalur Analisis penentuan lokasi dan jumlah gudang penyalur terdiri dari tahap penentuan lokasi berdasarkan kriteria aman, penentuan lokasi berdasarkan prinsip cepat dan tepat, pengumpulan data jarak menggunakan Google Maps, serta tahap analisis jarak. 12

1.5.15. Pengambilan keputusan dan kebijakan Pengambilan keputusan dan kebijakan didasarkan pada tiga skenario usulan lokasi yang merupakan hasil dari analisis pada tahap sebelumnya. 1.5.16. Proyeksi kebutuhan logistik Pada tahap ini, dilakukan proyeksi kebutuhan logistik untuk pengungsi yang harus ada di gudang penyalur berdasarkan kebutuhan prioritas atau yang paling banyak dibutuhkan, yaitu mengacu pada pengalaman kejadian bencana Merapi tahun 2010 dan Peraturan Kepala BNPB Nomor 7 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberian Bantuan Pemenuhan Kebutuhan Dasar. 1.5.17. Alokasi tugas instansi/sumber daya Pada tahap ini, dilakukan alokasi tugas dan tanggung jawab instansi/sumber daya masyarakat yang ada di Kabupaten Sleman agar masing-masing memiliki kesadaran dan peranan dalam bersama-sama meningkatkan kinerja sistem penanggulangan bencana menjadi lebih baik lagi. 1.5.18. Kesimpulan dan saran Pada tahap ini, dilakukan pemaparan mengenai inti dan hasil dari penelitian yang dapat digunakan untuk menjawab rumusan masalah dan tujuan dari penelitian. Selain itu, penulis juga memberikan saran-saran untuk pengembangan penelitian selanjutnya. 13

Pemahaman Sistem Studi Literatur Observasi Perumusan Masalah dan Tujuan Penelitian Pengumpulan Data Data ancaman bencana: Data dan informasi kejadian bencana, data karakteristik bencana, peta dan sebaran kawasan rawan bencana Data kerentanan: Data demografi, data jumlah kelompok rentan (ibu hamil, bayi, balita, anak-anak, lansia), data jumlah penduduk miskin Data kapasitas/kemampuan: Data mengenai dibentuknya BPBD Kabupaten Sleman Studi Pustaka Interview Analisis Data Tahap Awal Data TIDAK Data cukup? YA Identifikasi Bahaya/Ancaman Bencana Identifikasi Kerentanan Identifikasi Kapasitas/ Kemampuan A Gambar 1.1. Diagram metodologi penelitian 14

A Analisis Kemungkinan Dampak Bencana Penilaian Bobot Peluang Munculnya Bencana Penilaian Bobot Dampak/Keparahan Penilaian Risiko Bencana dan Evaluasi Risiko Bencana Pemetaan Risiko Bencana Stop YA Risiko dapat diterima? TIDAK Target Pengurangan Risiko Bencana Prioritas Bencana Prioritas Kawasan Rawan Bencana B Gambar 1.1. Lanjutan 15

B Pemilihan Tindakan Pengurangan Risiko Analisis Pemilihan Tindakan Pengambilan Keputusan (Sistem Logistik Bencana pada Kondisi Normal) TIDAK Pilihan tepat? YA Perancangan Jaringan Logistik Penentuan Lokasi dan Jumlah Gudang Penyalur Penentuan Lokasi Demand Perkiraan Jumlah Penduduk di Lokasi Demand Analisis Penentuan Lokasi dan Jumlah Gudang Penyalur C Gambar 1.1. Lanjutan 16

C Penentuan Berdasarkan Gambar 1.1. Lanjutan Kriteria Aman TIDAK Lokasi aman? YA Penentuan Berdasarkan Prinsip Cepat dan Tepat Pengumpulan Data Jarak (Google Maps) TIDAK Data cukup? YA Analisis Jarak Pengambilan Keputusan dan Kebijakan Proyeksi Kebutuhan Logistik Alokasi Tugas Instansi/ Sumber Daya Kesimpulan dan Saran Gambar 1.1. Lanjutan 17

1.6. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam laporan penelitian ini terdiri dari enam bab yang disusun sebagai berikut: BAB 1 PENDAHULUAN Bagian ini berisi penjabaran latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan laporan. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bagian ini berisi uraian singkat tentang penelitian yang dilakukan orang lain, yang memiliki kemiripan dengan topik dan metode yang digunakan dengan penelitian yang dilaksanakan saat ini. Secara garis besar, bab ini memaparkan tentang perbandingan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan sekarang. BAB 3 LANDASAN TEORI Bagian ini berisi uraian teori-teori yang digunakan penulis sebagai dasar dalam melakukan penelitian. Landasan teori diambil dari sejumlah buku referensi dan jurnal penelitian yang mendukung. BAB 4 KONDISI KEBENCANAAN DI KABUPATEN SLEMAN Bagian ini berisi gambaran kondisi kebencanaan di Kabupaten Sleman yang meliputi profil wilayah Kabupaten Sleman, identifikasi bahaya/ancaman bencana, identifikasi kerentanan, identifikasi kapasitas/kemampuan dalam menghadapi ancaman bencana, dan gambaran mengenai pelaksanaan sistem logistik bencana di Kabupaten saat ini. 18

BAB 5 PEMETAAN RISIKO BENCANA Bagian ini berisi tentang uraian tahapan yang dilakukan untuk memetakan kembali risiko bencana Kabupaten Sleman, yang terdiri dari analisis kemungkinan dampak bencana dan pembahasannya yang menghasilkan peta risiko bencana dengan gambaran akan tinggi rendahnya risiko dari masing-masing ancaman bencana yang ada di Kabupaten Sleman. Ancaman bencana yang berisiko paling tinggi akan menjadi target pengurangan risiko bencana yang dalam penelitian ini difokuskan pada perancangan jaringan logistik bencana. BAB 6 PERANCANGAN JARINGAN LOGISTIK Bagian ini berisi uraian tentang perancangan jaringan logistik di Kabupaten Sleman untuk menentukan lokasi dan jumlah gudang penyalur bagi titik tujuan (lokasi demand) beserta dengan kebijakannya, proyeksi kebutuhan logistik, serta alokasi tugas instansi/sumber daya yang dibutuhkan agar sistem penanggulangan bencana dapat berjalan dengan baik. BAB 7 PENUTUP Bagian ini berisi kesimpulan penelitian dan saran untuk penelitian-penelitian selanjutnya. 19