KEMISKINAN MULTIDIMENSI PAPUA

dokumen-dokumen yang mirip
MENGUKUR PENDAPATAN DAN KEMISKINAN MULTI-DIMENSI: IMPLIKASI TERHADAP KEBIJAKAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Berdasarkan penghitungan kemiskinan multidimensi anak di Provinsi Sulawesi

Kemiskinan Multi-Dimensi Anak di Indonesia: Pola, Perbedaan dan Asosiasi. Gracia Hadiwidjaja, Cindy Paladines, dan Matthew Wai-Poi

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

TINGKAT KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MARET 2014 SEBESAR 15,00 PERSEN RINGKASAN

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2015 RINGKASAN

KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2017

BAB I PENDAHULUAN. indikator perbaikan dunia yang tercantum dalam Millenium Development Goals

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT MARET 2017

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP KEMISKINAN

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2015

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT SEPTEMBER 2015

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

TINGKAT KEMISKINAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2013 SEBESAR 15,03 PERSEN

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2017 RINGKASAN

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2016 RINGKASAN

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT MARET 2016

Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2016

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013

sebanyak 158,86 ribu orang atau sebesar 12,67 persen. Pada tahun 2016, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, yaitu se

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2014

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2016

TINGKAT KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MARET 2013 SEBESAR 15,43 PERSEN RINGKASAN

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2016 RINGKASAN

PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2013


PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010

Kalimantan Tengah. Jembatan Kahayan

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2012

sebanyak 160,5 ribu orang atau sebesar 12,98 persen. Pada tahun 2015, jumlah penduduk miskin mengalami sedikit kenaikan dibanding tahun sebelumnya, ya

BAB I. Pendahuluan Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah yang menjadi perhatian utama

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2014

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan

Gambar Perkembangan Kemiskinan di Indonesia,

PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2016

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2011

PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BERITA RESMI STATISTIK

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dalam bangsa, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi, perubahan

BADAN PUSAT STATISTIK



Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia

PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA


BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA TIMUR SEPTEMBER 2015

I. PENDAHULUAN. setiap negara, terutama di negara-negara berkembang. Negara terbelakang atau

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. POLA KONSUMSI RUMAHTANGGA

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita diharapkan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan, dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan masalah kompleks di semua negara yang muncul seiring

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2013

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2011

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008

Kemiskinan dan Ketimpangan

BAB VI PENUTUP. 6.1 Kesimpulan

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH.

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA MARET, 2016

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2016

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa berada di garda terdepan. Pembangunan manusia (human development)

Perkembangan Tingkat Kemiskinan Provinsi Banten

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

Sumatera Barat. Jam Gadang

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

PENDUDUK LANJUT USIA

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering

Penghitungan Kemiskinan Multidimensi

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan.

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA SEPTEMBER 2015

PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2013

KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA SEPTEMBER 2015

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

Transkripsi:

KEMISKINAN MULTIDIMENSI PAPUA 1. Pendahuluan Kemiskinan merupakan masalah yang selalu muncul dalam proses pembangunan di berbagai belahan negara di dunia. Pada umumnya kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi kekurangan atau tidak sejahtera, yang secara konvensional diukur dengan pendekatan moneter. Seseorang dikatakan miskin apabila tidak mampu memenuhi standar tertentu seperti garis kemiskinan atau kebutuhan kalori minimum. Amartya Sen (1976) mengemukakan sebuah pemikiran yang lebih luas mengenai kemiskinan dalam konteks pembangunan, bahwa pembangunan memberikan kebebasan bagi setiap individu untuk memenuhi sejumlah fungsi tertentu di mana fungsi tersebut terdiri dari berbagai dimensi, sehingga kemiskinan merupakan kegagalan dalam memenuhi fungsi tersebut. Menurutnya, pendapatan (moneter) merupakan salah satu dari dimensi tersebut akan tetapi dimensi lain seperti pendidikan, kesehatan, kebebasan mengemukakan pendapat, partisipasi dalam kegiatan politik dan lain sebagainya tidak dapat diabaikan. Berdasarkan pemikiran tersebut, kemiskinan atau sebaliknya kesejahteraan mulai dipahami sebagai fenomena multidimensi. Indonesia melalui Badan Pusat Statistik (BPS) mengukur kemiskinan dengan menggunakan pendekatan moneter yaitu garis kemiskinan makanan dan nonmakanan sebagai titik potong antara penduduk miskin dan tidak miskin. Penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan dikategorikan mengalami kemiskinan moneter. Pengukuran dengan hanya menggunakan dimensi moneter (unidimensional) saja merupakan proksi kemiskinan yang baik namun tidak mampu menangkap semua aspek kesejahteraan. Studi yang dilakukan Franco et. al (2002) di India menemukan bahwa sebesar 60 persen rumah tangga yang dikategorikan tidak miskin secara moneter tidak mampu memenuhi fungsi pendidikan (Laderchi, Saith, & Stewart, 2003). Dengan memperhitungkan dimensi lain dari kemiskinan, dapat diperoleh gambaran utuh tentang bagaimana rumah tangga dapat bertahan bukan sekedar apa yang diperolehnya (Finley, 2003). Dengan menerapkan metode yang dikembangkan Alkire dan Foster (2007) penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat kemiskinan multidimensi di Papua dengan dimensi, titik potong, dan pembobot yang sama. Dimensi yang digunakan adalah pendidikan, kesehatan dan nutrisi, serta standar hidup yang masing-masing dimensi disusun oleh beberapa indikator. Ada beberapa modifikasi yang dilakukan mengingat keterbatasan informasi yang dapat disediakan oleh sumber data (Survei Sosial Ekonomi Nasional/ Susenas). Modifikasi pertama pada dimensi pendidikan, titik potong indikator lama sekolah yang digunakan dalam penelitian sebelumnya adalah lima tahun sedangkan pada penelitian ini digunakan lama sekolah minimal sembilan tahun yang disesuaikan dengan program wajib belajar sembilan tahun oleh pemerintah. Modifikasi kedua pada dimensi kesehatan dan nutrisi digunakan pendekatan konsumsi kalori dan protein rumah tangga sebagai pengganti indikator kematian anak dalam rumah tangga dan malnutrisi yang diukur dari body mass index (BMI). Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai kondisi kemiskinan dalam sudut pandangan multidimensi. Sehingga dapat memberikan sumbangan terhadap berbagai strategi penanggulangan kemiskinan yang telah ada. 2. Hasil Penelitian Kemiskinan di wilayah timur merupakan persoalan yang kompleks. Perbedaan tingkat kemiskinan yang cukup besar antara wilayah ini dengan wilayah lainnya di Indonesia tidak cukup dijelaskan melalui karakteristik individu atau rumah tangga. World Bank (2007) mengemukakan, bahkan setelah dikontrol dengan karakteristik-karakteristik yang lain, wilayah Indonesia bagian timur masih memperlihatkan tingkat

kemiskinan baik jumlah penduduk miskin maupun tingkat keparahan (dari segi pengeluaran) yang lebih tinggi dari wilayah lain di Indonesia. Hampir seluruh indikator sosial dan ekonomi di wilayah tersebut juga menunjukkan kinerja yang buruk. Buruknya pencapaian wilayah ini pada indikator kemiskinan nonmoneter tersebut menyebabkan tingkat kemiskinan multidimensi provins i Papua merupakan yang tertinggi di seluruh Indonesia. Hasil penelitian menemukan bahwa proporsi rumah tangga yang miskin multidimensi di provinsi ini mencapai 71,63 persen dengan intensitas kemiskinan yang relatif besar yaitu 64,10 persen, sehingga tingkat kemiskinan multidimensi sebesar 45,91 persen. Meskipun proporsi penduduk miskin multidimensi di wilayah ini lebih tinggi daripada wilayah Jawa dan Sumatera, provinsi Papua hanya menyumbang 6,37 persen terhadap total rumah tangga miskin multidimensi di Indonesia. Dibandingkan dengan provinsi lainnya di kawasan timur seperti Kepulauan Maluku dan provinsi pemekarannya yaitu Papua Barat, tingkat kemiskinan multidimensi Papua mencapai hampir dari dua kali lipatnya. Tingkat kemiskinan multidimensi Papua Barat sebesar 26,38 persen, Maluku dan Maluku Utara masing-masing sebesar 25,99 persen dan 29,38 persen. intensitas kemiskinan yang menunjukkan seberapa dalam kemiskinan multidimensi yang dialami rumah tangga juga menunjukkan pola yang serupa. Intensitas kemiskinan multidimensi Papua merupakan yang tertinggi dibandingkan tiga provinsi lainnya di kawasan timur. Sehingga dapat dikatakan, selain memiliki proporsi rumah tangga miskin multidimensi yang tinggi, rumah tangga miskin di Papua juga mengalami deprivasi (kekurangan) yang lebih banyak daripada rumah tangga miskin multidimensi di wilayah lain. 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 49.6 18.0 39.5 59.2 69.8 74.0 74.5 27.1 73.4 77.6 10.0 0.0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Gambar. Persentase Rumah Tangga yang Terdeprivasi pada Masing-masing Kemiskinan Multidimensi di Provinsi Papua Tahun 2012 Keterangan : 1 : Lama sekolah 2 : Partisipasi sekolah 3 : Konsumsi kalori 4 : Konsumsi protein 5 : Listrik 6 : Sumber air minum 7 : Jenis sanitasi 8 : Jenis lantai 9 : Jenis bahan bakar memasak 10 : Kepemilikan aset Kemiskinan multidimensi di Papua paling besar dijelaskan oleh deprivasi rumah tangga terhadap dimensi standar hidup yang disusun oleh indikator listrik, sumber air minum, sanitasi, jenis lantai, bahan bakar memasak, dan kepemilikan aset. Dimensi ini memiliki kontribusi sebesar 41,46 persen terhadap kemiskinan multidimensi yang dialami rumah tangga. Sebagaimana yang ditunjukkan pada gambar di

atas, indikator-indikator (indikator 6 sampai 10) yang digunakan untuk mengukur dimensi standar hidup menunjukkan pencapaian yang buruk. Pencapaian yang paling buruk adalah pada indikator kepemilikan aset, di mana hanya 22,4 persen rumah tangga di Papua yang memiliki aset, padahal indikator ini cukup penting dalam menunjukkan kemampuan finansial rumah tangga dan akses rumah tangga terhadap berbagai fasilitas seperti listrik. Selain itu, persoalan sumber air minum dan sanitasi layak masih menjadi persoalan penting di Indonesia dan Papua pada khususnya. Gambar di atas menunjukkan, lebih dari 74 persen rumah tangga di Papua tidak memiliki akses terhadap sumber air minum dan sanitasi yang layak. Isu ini sangat penting untuk diberikan prioritas karena air dan sanitasi layak sangat erat kaitannya dengan status kesehatan rumah tangga. UNICEF (2012) mencatat, diare masih merupakan penyebab utama kematian anak berusia di bawah lima tahun, di mana penyebab terbesar kejadian diare adalah ketiadaan akses terhadap sumber air minum dan sanitasi layak. jenis bahan memasak juga menunjukkan pencapaian yang buruk. Sebesar 73,4 persen rumah tangga di Papua masih menggunakan bahan bakar kayu dan sejenisnya untuk memasak, padahal penggunaannya dalam jangka waktu yang lama akan mengganggu kesehatan khususnya perempuan yang frekuensi terpaparnya lebih tinggi daripada laki-laki (Mishra, Retherford, & Smith, 2003). Dimensi kesehatan dan nutrisi memberikan kontribusi sebesar 34,71 persen terhadap kemiskinan multidimensi di Papua. Dari gambar tersebut terlihat bahwa konsumsi kalori rumah tangga di provinsi ini masih lebih baik daripada konsumsi protein. Lebih dari 50 persen rumah tangga di Papua konsumsi proteinnya masih di bawah standar kecukupan gizi dan nutrisi. Hal ini sejalan dengan hasil Susenas yang menunjukkan rata-rata konsumsi kalori di Papua sebesar 1.713 kkal per kapita per hari dan rata-rata konsumsi protein sebesar 41,22 gram per kapita per hari (BPS, 2012). Kontribusi dimensi pendidikan terhadap kemiskinan multidimensi sebesar 23,84 persen. Ada dua indikator yang menyusun dimensi ini yaitu lama sekolah dan partisipasi sekolah. Hasil penelitian ini menunjukkan, sebesar 49,6 persen rumah tangga di Papua yang anggota rumah tangganya berumur 15 tahun ke atas tidak menyelesaikan pendidikan dasar. Sementara itu, indikator ini juga menunjukkan bahwa kesempatan untuk memperoleh pendidikan dasar di provinsi ini sudah cukup baik, ditandai oleh rendahnya persentase rumah tangga di Papua yang memiliki anak usia sekolah (7-15 tahun) dan tidak menyekolahkan anaknya, yaitu hanya sebesar 18 persen. Apabila didekomposisi menurut jenis kelamin kepala rumah tangga (KRT), secara umum di wilayah timur tingkat kemiskinan rumah tangga yang dikepalai laki-laki (RTL) lebih tinggi daripada rumah tangga yang dikepalai perempuan (RTP). Hal ini ditunjukkan dengan tingginya proporsi serta rata-rata deprivasi yang dialami RTL miskin multidimensi di wilayah ini. Dengan kata lain, di wilayah timur RTL lebih banyak yang miskin daripada RTP serta mengalami kekurangan yang lebih banyak daripada RTP. Demikian halnya di Provinsi Papua, proporsi rumah tangga miskin yang dikepalai laki-laki lebih tinggi (72,11 persen) dibandingkan rumah tangga yang dikepalai perempuan (66,67 persen). Intensitas kemiskinan RTL juga lebih tinggi yaitu sebesar 64,54 persen daripada RTP (59,09 persen). Secara umum, tidak ada perbedaan kontribusi dimensi terhadap kemiskinan yang dialami keduanya. Dimensi standar hidup memberikan kontribusi terbesar terhadap kemiskinan yang dialami oleh keduanya, masing-masing sebesar 41,28 persen dan 43,63 persen. Terlihat sedikit perbedaan pada dimensi pendidikan serta kesehatan dan nutrisi. Pada dimensi pendidikan, kontribusi dimensi ini terhadap kemiskinan RTL lebih kecil (23,6 persen) daripada RTP (26,76 persen), sedangkan dimensi kesehatan dan nutrisi memberikan sumbangan yang lebih besar pada RTL (64,54 persen) daripada RTP (59,09 persen). Hal ini menunjukkan bahwa anak usia sekolah (7-15 tahun) pada rumah tangga yang dikepalai laki-laki memperoleh pendidikan yang lebih baik daripada anak yang KRT nya perempuan meskipun

perbedaannya tidak terlalu besar. Sebaliknya pada dimensi kesehatan dan nutrisi, RTP memperoleh kesehatan dan nutrisi yang lebih baik daripada RTL, hal ini disebabkan karena RTP mengalokasikan lebih banyak sumber daya yang dimilikinya untuk memenuhi gizi rumah tangga daripada RTL (Bogale, Hagedron, & Korf, 2005). Ada banyak hal yang dapat menjelaskan kesenjangan kemiskinan antar wilayah di daerah barat khususnya Jawa dan Sumatera dibandingkan wilayah timur, salah satunya adalah kesenjangan ekonomi. Harefa (2011) mengemukakan tiga hal yang menjadi penyebab utama kesenjangan ekonomi antara wilayah Jawa dan luar Jawa, yaitu terpusatnya pembangunan sektor industri manufaktur di wilayah Jawa dan Sumatera, tergantungnya kegiatan produksi sektor ekonomi daerah luar Jawa terhadap input dari wilayah Jawa, dan nilai impor daerah luar Jawa jauh lebih besar daripada nilai ekspor ke wilayah Jawa sehingga neraca perdagangan daerah luar Jawa mengalami defisit terhadap neraca perdagangan Jawa. Selain itu, tingginya proporsi rumah tangga miskin di wilayah timur Indonesia merefleksikan ketimpangan pelayanan sosial dasar. Berdasarkan data Potensi Desa (Podes) 2011, banyak daerah terutama desadesa di wilayah timur seperti Nusa Tenggara, Kalimantan, Maluku, dan Papua tidak mampu mengakses berbagai fasilitas kesehatan dan pendidikan oleh karena sulitnya geografis dan minimnya fasilitas di wilayah tersebut, sementara rumah tangga di wilayah Sumatera, Jawa-Bali, dan Sulawesi relatif lebih mudah mengakses fasilitas tersebut. Gambaran di atas menunjukkan variasi wilayah geografis turut menyebabkan variasi kemiskinan antar provinsi di Indonesia. Wilayah timur khususnya Provinsi Papua memiliki tingkat kemiskinan yang relatif lebih tinggi dibandingkan provinsi lainnya meskipun jumlah penduduk atau rumah tangga yang mengalami kemiskinan multidimensi paling banyak tinggal di wilayah barat, dengan persoalan kemiskinan yang berbeda-beda. Hal tersebut membawa kepada pilihan kebijakan yang berbeda. Apabila kebijakan difokuskan kepada wilayah barat, maka tingkat kemiskinan nasional akan turun lebih cepat namun semakin memperlebar ketimpangan kemiskinan antara wilayah barat dan timur, demikian sebaliknya. Hasil penelitian ini juga menunjukkan resiko untuk mengalami kemiskinan multidimensi pada RTL paling besar berasal dari rumah tangga dengan karakteristik tinggal di wilayah Kep. Maluku-Papua, berstatus cerai hidup atau mati, bekerja di sektor pertanian, serta komposisi rumah t angga yang terdiri dari dua orang dewasa dengan tiga anak. 3. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan Adanya pengukuran kemiskinan nonmoneter bukan untuk menggantikan pengukuran kemiskinan yang telah ada (moneter). Sebagaimana yang ditemukan dalam penelitian ini, bahwa ada hubungan antara kemiskinan unidimensional (moneter) dengan pengukuran multidimensi (nonmoneter) yang sifatnya saling melengkapi. Penggunaan ukuran unidimensional (moneter) sebagai ukuran tunggal dalam analisis kemiskinan tidak cukup mampu memberikan gambaran komprehensif dalam estimasi kemiskinan, ataupun sebaliknya. Temuan di atas menunjukkan bahwa wilayah timur khususnya Papua memiliki proporsi rumah tangga miskin multidimensi dengan intensitas kemiskinan paling tinggi di Indonesia. Ketimpangan pembangunan diduga menjadi salah satu penyebab tingginya kemiskinan di wilayah tersebut di mana indikator standar hidup menunjukkan pencapaian yang buruk. Implikasi kebijakan yang dapat diambil adalah kelanjutan pembangunan di wilayah timur terutama dengan menyentuh berbagai dimensi standar hidup seperti akses terhadap air dan sanitasi layak serta dimensi pendidikan seperti infrast ruktur pendidikan dan tenaga pendidik.

4. Daftar Pustaka Sen, Amartya. (1976). Poverty: An Ordinal Approach to Measurement. Econometrica, Vol. 44, No. 2, (Mar, 1976), pp. 219-231. http://www.jstor.org/stable/1912718. Laderchi, C.R., Saith, R., & Stewart, F. (2003). Does it matter that we don t agree on the definition of poverty? A comparison of four approaches. Working Paper Number 107 May 2003. Finley, A.P. (2003). Are They the Poorest of the Poor? Examaning Capital Accumulation Among Female- Headed Households in Mexico. Proquest, UMI Number : 3097527. United States. Alkire, S., & Foster, J. (2007). Counting and Multidimensional Poverty Measurement. OPHI Working Paper No.7 December 2007 (Revised May 2008). World Bank (2007). Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. World Bank. UNICEF (2012). Ringkasan Kajian: Air Bersih, Sanitasi, dan Kebersihan. UNICEF Indonesia. Mishra, V.K., Retherfood, R., & Smith, K. (2003). Biomass Cooking Fuels and Prevalence of Tubercolosis in India. International Journal of Infections Diseases Volume 3, Number 3, 1999. Badan Pusat Statistik (BPS). (2013). Analisis Pola Konsumsi Penduduk Papua Tahun 2013. BPS. Jayapura. Bogale, A., Hagerdon, K., & Korf, B. (2005). Determinants of Poverty in Rural Ethiopia. Quarterly Journal of International Agriculture 44 (2005), No.2: 101-120. DLG-Verlag Frankfurt. Harefa, Mandala. (2011). Kebijakan Pembangunan dan Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah dalam Isu Perdagangan dan Industri sebagai Kebijakan Strategis Daerah dalam Menghadapi Globalisasi dan Liberisasi. Tim Ekonomi dan Kebijakan Publik DPR RI.